Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

“Perang Diplomatik” di PBB, Saudi Tantang AS Jika Veto Pengakuan Palestina

 
Pada September ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menjadi ajang pertarungan besar politik, saat Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, mengajukan permintaan pengakuan PBB ke Dewan Keamanan dan keanggotaan Negara Palestina.

Abbas telah lama menyatakan akan mengajukan permohonan pengakuan dari Sidang Majelis Umum (MU)  PBB bagi Negara Palestina setelah perundingan dengan Israel muncul-tenggelam tanpa pernah ada hasil nyata.

Sejak Kesepakatan Oslo ditandatangani pada tahun 1993, babak baru dalam sejarah Timur Tengah pun merekah. Pemimpin organisasi pembebasan Palestina (PLO) saat itu, Yasser Arafat, dan Perdana Menteri (PM) Israel, Yitzak Rabin, di hadapan Presiden Amerika Selatan (AS), Bill Clinton, berfoto di depan para wartawan, berjabat tangan, dan membawa perundingan Israel-Palestina ke “hasil kesepakatan yang sebenarnya”.

Dengan menandatangani Kesepakatan Oslo, kedua belah pihak saling mengakui untuk pertama kali dalam sejarah dan membuat kesepakatan dua negara untuk pertama kali pula. Setelah menandatangani kesepakatan tersebut, gagasan bahwa perdamaian “akhirnya akan dimungkinkan” mulai merambah ke seluruh dunia.

Sejak itu muncul harapan bahwa pertikaian Arab-Israel bisa dipecahkan untuk selamanya, dan perdamaian akan membawa kemakmuran dan kebahagiaan ke Timur Tengah.
Shimon Perez, orang nomor dua di Israel kala itu, menulis sebuah buku berjudul “The New Middle East”, yang menggambarkan pemandangan membahagiakan tersebut. Buku itu segera terjual laris. Penampilan Israel sebagai “pembawa perdamaian” kelihatannya meyakinkan hampir setiap orang.

Akan tetapi, Harun Yahya menerbitkan buku tandingan dengan judul “The New Masonic Order”. Di dalam buku yang pertama kali diterbitkan pada Februari 1996 tersebut, Harun Yahya menggambarkan betapa penampilan itu tidak mencerminkan kenyataan, dan betapa perdamaian Israel hanyalah “perdamaian basa-basi”.

Harun Yahya adalah nama pena Adnan Oktar, yang dilahirkan di Ankara, Turki, pada tahun 1956.
Harun Yahya menerangkannya bahwa dengan berunding bersama PLO, Israel sebenarnya ingin memperburuk pertikaian antara mereka dan HAMAS. Israel, katanya, sebenarnya tidak mempunyai niat menarik diri dari Daerah Pendudukan, dan bahwa mereka hanya menjadikan perdamaian sebagai permainan taktik.
Kini setelah proses perdamaian tersebut berjalan selama sekitar 18 tahun dari kedua penandatangannya telah tiada, pembicaraan perdamaian Palestina-Israel macet, sehingga Mahmoud Abbas –pengganti Arafat– bertekad mengambil jalan pintas, mendekati Sidang Majelis Umum dan meminta pengakuan di sana.
Tindakan Palestina itu mendapat dukungan penuh Arab. Pada 14 Juli, Liga Arab berjanji “akan melakukan semua langkah yang diperlukan” guna memastikan diperolehnya pengakuan bagi Negara Palestina melalui Dewan Keamanan.

Sementara itu, Israel sibuk mengerahkan semua temannya dan energi dahsyatnya sendiri guna menggagalkan usaha Abbas, dan Presiden AS Barack Obama tak ketinggalan serta sudah menyatakan ia akan menggunakan hak veto AS guna menghalangi upaya Abbas.

Pada Kamis (8/9), pemerintah AS mengatakan dengan gamblang bahwa Gedung Putih akan menggagalkan upaya Palestina untuk bergabung menjadi anggota PBB dalam resolusi Dewan Keamanan PBB.
“Tindakan pemerintah itu bukan sesuatu yang mengejutkan. AS menentang langkah Palestina, yang berusaha mendirikan sebuah negara, yang hanya dapat dilakukan dengan negosiasi, di New York,” kata juru bicara AS, Victoria Nuland, dalam pertemuan rutin, sebagaimana dilaporkan Xinhua.

Reaksi keras
Amerika Serikat juga menghadapi reaksi keras sekutu dekatnya yang lain di Timur Tengah, Arab Saudi. Pada Jumat, 10 Juni, Pangeran Turki Al-Faisal, mantan duta besar Arab Saudi untuk AS, memberi tanda tegas mengenai proses mendatang di PBB.
“Akan ada konsekuensi yang berisi bencana bagi hubungan AS-Arab Saudi, jika AS memveto pengakuan PBB atas Negara Palestina,” kata Pangeran Turki, yang tak memangku jabatan di pemerintah tapi mencerminkan pikiran pemerintah di Riyadh, sebagaimana dilaporkan media internasional.

Menurut Pangeran Turki, kerajaan Teluk itu akan menggunakan semua kekuatan diplomatiknya untuk mendukung upaya Palestina untuk meminta pengakuan internasional.
“Para pemimpin Amerika telah lama menyebut Israel sekutu `yang sangat diperlukan`. Mereka akan segera tahu bahwa ada pemain lain di wilayah ini, `yang lebih diperlukan`,” kata Pangeran Turki pada Juni.
Permainan pemberian dukungan bagi Israel telah terbukti tidak bijaksana buat Washington, kata Pangeran Turki, dan dalam waktu dekat itu akan terbukti sebagai tindakan yang lebih bodoh lagi.
Lalu, mengapa Palestina nekad menempuh risiko bahwa tindakannya bisa membuat hubungannya dengan AS jadi jauh?

Alasannya kasat mata, yaitu penyerobotan wilayah Tepi Barat Sungai Jordan dan Jerusalem Timur oleh Israel, kemacetan total perundingan Palestina-Israel, perasaan Palestina bahwa, sementara dunia Arab diguncang revolusi, tiba waktunya bagi mereka untuk juga menarik perhatian besar masyarakat internasional.
Alasan lain, kata Patrick Seale penulis tentang Timur Tengah, bisa jadi karena mereka merasa AS –penaja utama proses perdamaian Timur Tengah– sudah bukan lagi penengah yang adil dan tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman lobi Yahudi, kekuatan pro-Israel di Kongres AS.
Selama proses menuju pemungutan suara di PBB pada September, Israel dan Palestina telah gencar melakukan lobi. Palestina tahu mereka takkan kesulitan untuk mengumpulkan dukungan dari negara berkembang.

Di antara 193 anggota PBB, 122 sudah mengakui Negara Palestina. Jumat itu dapat bertambah jadi sebanyak 154, hampir sebanding dengan Israel, yang memiliki hubungan diplomatik dengan 156 negara.
Masalahnya buat Palestina adalah posisi pada negara kaya, tangguh dan maju layaknya Amerika Utara, Eropa dan Australia-Asia. Dari sana lah Israel bisa meraup keuntungan.

Uni Eropa diperkirakan akan jadi ajang pertempuran sesungguhnya bagi perang diplomasi Palestina-Israel, dan di sana tersimpan “suara berayun” yang penting, yaitu Inggris, Prancis dan Jerman.
Prancis diperkirakan akan memberi suara buat Palestina, seperti seringkali dikatakan oleh Presiden Nicolas Sakozy. Tapi, ia baru-baru ini tampaknya telah bergeser ke kubu pro-Israel. Jerman, seperti biasa, diduga akan memberi suara yang menentang Palestina, sementara Inggris belum memperlihatkan sikap jelas.

Secara resmi Uni Eropa telah lama mendukung penyelesaian dua negara. Tapi, beberapa negara Eropa boleh jadi khawatir tindakan “sepihak” Palestina bisa menimbulkan risiko memecah Uni Eropa dan menambah dalam perpecahan lintas-Atlantik.
Palestina tampaknya tak memiliki jalan ke luar lain. Mereka melihat pemerintah PM Israel, Benjamin Netanyahu, bukan lah mitra yang bisa diandalkan untuk mewujudkan berdirinya Negara Palestina.
Pemerintah Netanyahu cuma mengenal satu taktik, yaitu menentang upaya Palestina untuk meminta pengakuan PBB.

Israel, yang tak ragu untuk “beradu kepala” dengan pengakuan PBB atas Negara Palestina, berharap bisa meraih “kemenangan moral”, jika negara utama Uni Eropa –seperti Jerman, Prancis dan Inggris– abstein atau malah menggunakan hak veto terhadap pengakuan itu.
Pada dasarnya, Netanyahu diperkirakan akan berkilah Palestina “hanya memperoleh mayoritas otomatis”, dan negara besar Barat tak mendukungnya.

Tapi, AS sedang dirundung masalah pencitraan. Pengaruh AS di dunia Arab dan Islam sudah mengalami penurunan drastis. Selain dukungan membabi-butanya untuk Israel, perangnya di Irak, Afghanistan, Pakistan dan serangannya terhadap kelompok gerilyawan Muslim di Yaman, serta tempat lain, telah mencuatkan rasa permusuhan besar.
Di antara tindakan yang mengirim gelombang kejutan kedua dunia Arab ialah veto AS pada Februari terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk berlanjutnya pembangunan permukiman oleh Israel.

Obama juga mengirim kejutan dengan menentang perujukan Fatah dengan HAMAS, dan penolakan kerasnya terhadap strategi Palestina di PBB.
Namun, AS juga menghadapi kejutan dengan mundurnya George Mitchell, utusan khusus Obama untuk Timur Tengah, pada Mei. Ia dilaporkan merasa kecewa karena selama dua tahun ia tak mampu menggeser Netanyahu dari posisinya, sekalipun hanya satu inci.

Hal yang menjadi pertanyaan sesungguhnya ialah apa yang akan terjadi setelah pengakuan di PBB, dan proses tersebut mungkin sangat penting bagi AS.
Sementara itu, jajaran militer dan politik Israel berusaha untuk pada akhirnya menghadapi protes besar-besar di Tepi Barat, setelah sebanyak 140 negara mengakui Palestina. Kemungkinan pecahnya kerusuhan memang mengerikan.

Antara

0 Komentar:

Posting Komentar

Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..

Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......