Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Subhanallah, Pemulung ini Berikan dua Hewan Qurban


Pasangan suami istri yang berprofesi sebagai pemulung memberikan dua hewan qurban di Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Pengurus masjid yang menerima dua ekor kambing itu menangis terharu.
“Saya nangis, tidak kuat menahan haru,” ujar Juanda (50), salah satu pengurus Masjid Al Ittihad kepada merdeka.com, Jumat (26/10/2012).

Juanda menceritakan, Selasa (23/10/2012), seorang pemulung bernama Maman datang ke Masjid Al Ittihad. Masjid megah ini terletak di kawasan elit Tebet Mas, Jaksel.
“Bawanya pakai bajaj. Dia kasih dua ekor kambing untuk qurban. Dia bicara tegas, justru saya yang menerimanya tak kuat. Saya menangis,” kata Juanda.

Dua kambing qurban yang diserahkan pemulung itu berwarna cokelat dan putih. Kambing itu justru yang paling besar di antara kambing-kambing lain.
Juanda menceritakan, pengurus lain pun terharu mendengar cerita ini. Begitu juga jamaah shalat Idul Adha saat mendengar pengumuman lewat pengeras suara sebelum shalat dilaksanakan. Mungkin, saat membaca cerita ini, mata Anda pun berkaca-kaca.

Adalah pasangan suami istri Yati (55)  dan Maman (35), keduanya pemulung, menabung susah payah untuk berqurban. Yati mengaku,  sempat ditertawakan saat bercerita seputar niatnya untuk berqurban.
“Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel, ngapain qurban,” cerita Yati, Jumat (26/10/2012).

Tapi Yati bergeming. Dia tetap meneruskan niatnya untuk membeli hewan qurban. Akhirnya setelah menabung tiga tahun, Yati bisa berqurban tahun ini.
“Pada bilang apa tidak sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur hidup masak tidak pernah qurban. Malu cuma nunggu daging kurban,” beber Yati.

Yati dan suaminya, Maman, sama-sama berprofesi sebagai pemulung. Pendapatan mereka jika digabung cuma Rp 25 ribu per hari. Tapi akhirnya mereka bisa membeli dua ekor kambing. Masing-masing berharga Rp 1 juta dan Rp 2 juta.

Dua kambing ini disumbangkan ke Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Jemaah masjid megah itu pun meneteskan air mata haru.

Pasangan suami istri ini tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan. Saat merdeka.com mengunjungi gubuk Yati usai Shalat Idul Adha, Jumat (26/10/2012), Juanda, pengurus Masjid Al Ittihad, ikut menemani.

Yati membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Tak ada barang berharga di gubuk 3×4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.

Wanita asal Madura ini bercerita soal mimpinya bisa berqurban. Dia malu setiap tahun harus mengantre meminta daging. “Saya ingin sekali saja bisa berqurban. Malu seumur hidup hanya minta daging,” katanya.

Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu.
“Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? Ya numpang hidup saja,” katanya ramah.

Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.

“Biar ngesot saya harus kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo,” akunya.

Juanda yang menjaga Masjid Al Ittihad terharu saat Yati bercerita mimpi bisa berqurban lalu berusaha keras mengumpulkan uang hingga akhirnya bisa membeli dua ekor kambing.
“Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil,” gumamnya.

Di tengah kemiskinan yang mendera, Yati-Maman, dua pemulung ini berqurban dua kambing–setelah dengan susah payah menabung selama 3 tahun. Bagaimana bagi yang memiliki kemampuan, tapi tak tergerak untuk berqurban?  
[merdeka/salamonline/ismed]
*) http://www.islamedia.web.id/2012/10/subhanallah-pemulung-ini-berikan-dua.html
Lengkapnya Klik DISINI

Mengelola Rasa Kecewa

Bermula dari aktivitas kelompok komando marinir AS  pimpinan Jenderal Francis X. Hummel (Ed Harris) yang menyerang dan menduduki pulau bekas penjara Alcatraz, pasukan Hummel menyandera para turis yang sedang berkunjung.

Jenderal Hummel melakukan hal itu lantaran kecewa kepada pemerintah AS yang tidak memperhatikan nasib para prajurit dan keluarga yang berada di bawah komandonya. Selama bertahun-tahun Hummel telah banyak berjasa pada berbagai operasi rahasia yang dilakukan tentara demi membela negara Amerika Serikat. Selama operasi itu sekitar seratus prajuritnya gugur maupun terpaksa ditinggalkan di belakang dalam berbagai misi rahasia tersebut.

Namun keluarga prajurit yang gugur itu sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah, apalagi mendapat kompensasi yang layak. Jenderal Hummel sudah berjuang mendapatkan kompensasi bagi keluarga prajuritnya melalui jalur formal maupun informal namun selalu gagal. Kekecewaan Hummel semakin menumpuk hingga berujung pada keputusan nekat untuk mendapat perhatian pemerintah dengan cara kekerasan. Setelah berhasil menduduki Alcatraz, Hummel pun menuntut pemerintah Amerika agar membayar ganti rugi untuk keluarga para prajurit yang tewas sebesar U$ 100 juta.

Jika tuntutannya ditolak, Hummel mengancam meluncurkan 15 misil berisi gas syaraf mematikan VX yang sebelumnya dirampas dari militer, ke San Francisco. Pentagon yang tahu benar reputasi Hummel, mengangap serius ancaman tersebut. Untuk itu, Pentagon meminta bantuan kepada FBI yang segera mengirim seorang ahli senjata kimia, Dr. Stanley Goodspeed (Nicolas Cage). Stanley akan mendampingi sebuah tim elit SEAL dalam menyusup dan melumpuhkan Hummel dan anak buahnya serta mencegah peluncuran gas syaraf VX itu.

Tidak mudah menyusup ke pulau Alcatraz yang dijaga ketat, maka mereka pun meminta bantuan kepada John Patrick Mason (Sean Connery), mata-mata Inggris yang dipenjara selama 30 tahun tanpa pernah menghadapi pengadilan. Mason diminta bantuannya lantaran pernah mendekam di Alcatraz dan satu-satunya orang yang berhasil kabur dari penjara tersebut. Tidak heran jika Mason mengenal baik seluk beluk Alcatraz.

Perasaan Ketidakadilan

Kisah di atas adalah cuplikan dari film The Rock. Ternyata perasaan kecewa ada dimana-mana, dan sering membuahkan perlawanan. The Rock adalah salah satu contoh film yang menggambarkan kekecewaan tentara Amerika atas kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil. Kata kuncinya adalah perasaan ketidakadilan dan sikap menghadapinya.
Jenderal Hummel memilih sikap memberontak dan melawan pemerintah AS atas kekecewaan mendalam yang dialami dan dirasakannya. Ia tidak bisa menerima kebijakan pemerintah AS yang mengabaikan jasa para prajurit yang telah banyak berperan membela negara.

Bagaimana sikap kita seandainya mengalami hal yang sama ? Sungguh ini ujian yang sangat berat bagi kita. Saat kita merasa kerja kita tidak dihargai. Ketika kita merasa jerih payah selama ini tidak diapresiasi. Ketika kita merasa bahwa semua yang telah kita lakukan dianggap tidak berarti. Bahkan cenderung dihakimi sebagai bermasalah dan tidak beprestasi.

Syukur alhamdulillah kita memiliki iman yang terpatri di hati. Jika para pemimpin organisasi dakwah tidak mampu memberikan apresiasi yang memadai, sungguh Allah tidak pernah lalai. Semua yang telah kita lakukan, semua tenaga yang kita curahkan, semua kesungguhan yang kita kontribusikan di jalan dakwah ini, pasti mendapat balasan yang indah di sisi Allah nanti. Tidak pernah ada yang sia-sia di jalan dakwah ini.

Alhamdulillah ala kulli ni’mah. Perjuangan di jalan ini sepi dari ambisi pribadi. Yang kita usung adalah kemenangan hakiki. Yang kita kehendaki adalah ridha Ilahi. Maka, tidak perlu ada sakit hati, walau itu sangat manusiawi. Kendati kita merasa disakiti, kerja kita tidak akan berhenti. Walau merasa tidak dihargai, tetapi cinta kita kepada jalan dakwah ini terlanjur terpatri. Cinta yang sangat luas tidak bertepi.

Tidak, kita tidak akan menjadi Jenderal Hummel yang sakit hati. Kita tidak akan memberontak dan melawan dengan sepenuh benci. Kita sudah berjanji, hidup dan mati ada di jalan ini. Jika merasa ada ketidakadilan, segera mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Mengasihi. Jangan dibiarkan tumbuh menjadi dendam dan berkembang menjadi duri.

Mari bersihkan hati, kuatkan motivasi.  Surga Allah telah menanti bagi siapapun yang bersungguh-sungguh mencari.

…belum selesai menulis, sudah dipanggil boarding……

Bandara Soekarno Hatta, 22 Oktober 2012
Lengkapnya Klik DISINI

Curhat Seorang Bujangan, Pada Catatan Hariannya

Ilustrasi (desainkawanimut.com)
Hari-hari yang kulalui saat ini adalah hari-hari yang penuh kegersangan, begitu padat dengan kegelisahan, teramat sarat akan kegalauan. Aku merasakan betul betapa jiwa ini perlu berbagi keluh, kisah, suka, duka, berbagi, berbagi, dan berbagi. Kepada siapa aku berbagi? Jika jawabannya kepada Allah, itu mah sudah pasti atuh! Yang hendak aku soroti dalam hal ini, dalam tataran atau dalam posisiku sebagai makhluk yang sudah pasti Allah ciptakan berpasangan, aku merindukan perjumpaan dengannya.

Nah, lho, perjumpaan dengan siapa?

Aku merindukan perjumpaan dengan dia yang menjadi belahan jiwaku. Dia yang akan menyelimutiku dalam ketergigilan. Dia yang akan menjadi penenangku dalam kegelisahan. Dia yang akan memercikiku dalam kemalasan untuk berdiri di sepertiga malam. Dia yang akan mempersembahkan indahnya Ar-Rahman, melantunkan Maryam yang menawan. Dia yang akan selalu tersenyum dalam setiap kelelahanku. Dia yang akan memanjakan diri di hadapanku. Dia yang akan mengajakku bermunajat dan merayakan cinta. Dia yang semakin aku urai, semakin aku merindukannya. Dia yang sama sekali aku tak tahu berasal dari mana, namanya siapa, seperti apa orangnya. Ah, terkadang kerinduan ini begitu membuatku pilu, namun juga terkadang membuatku tersipu. Maha besar Allah yang telah mengaruniakan kerinduan ini.

Ust Salim A Fillah (Baca: Penulis Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim) menyampaikan bahwa orang suci menjaga kesuciannya dengan pernikahan, menjaga pernikahannya dengan kesucian. Aku begitu bersyukur jika aku termasuk ke dalam golongan orang yang seperti itu, yang menjaga kesuciannya dengan pernikahan dan menjaga pernikahannya dengan kesucian. Rasanya saat ini, jauh panggang dari api. Aku ini bukan orang suci. Ingin sekali rasanya, aku – dan aku percaya para pembaca pun punya keinginan yang sama denganku – untuk menjadi orang suci dan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh mereka, orang-orang suci. Orang-orang yang menjaga kesuciannya dengan pernikahan. Menjaga pernikahannya dengan kesucian. Indahnya. Ah, betapa indahnya.

Aku merasakan betul, betapa berat hidup membujang (jadi inget lagunya bang haji ni, kalo di film-film mungkin sudah ada back sound lagu dangdut yang menemaniku menuliskan curhatan ini). Selain pada diaryku, kepada siapa aku boleh bercumbu rayu? Kepada siapa aku boleh bergombal ria? Mengapa dia belum kunjung tiba? Halah, salahnya, mengapa aku begitu suka merangkai kata? Mengapa (ups! hati-hati, pertanyaan “mengapa” bisa menjerumuskanmu pada sikap menyalahkan takdir, lho! kata Aa Gym, Rasul itu jarang sekali atau bahkan tidak pernah samasekali bertanya “mengapa” semasa hidupnya)

Setahuku (yang pengetahuannya begitu terbatas ini) Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan termasuk semua manusia, termasuk aku. Jadi, pasangan adalah sesuatu yang pasti. Sesuatu yang telah dijanjikan Allah. Tidak mungkin, manusia yang terlahir ke dunia ini tidak ada pasangannnya. Sekalipun sampai matinya manusia itu dalam keadaan sendiri, Allah telah menyiapkan pasangannya di kehidupan kedua yang lebih lama. Kira-kira begitulah kata salah seorang Ust. Entah di mana aku menemukannya. Entah di buku atau di ceramah-ceramah.

Terkadang, penantian ini menjadi begitu mengasikkan. Apalagi ketika semangat menulisku muncul seperti saat ini. Dalam kondisi tertentu hal ini menjadi sebuah manfaat yang tidaklah kecil, merangsang eksplorasi keterampilan menulisku. Tetapi juga sebetulnya sekaligus men-teror-ku, tentang sebuah kesiapan untuk menjemput si dia yang telah Allah janjikan untuk menggenapkan dien-ku, mengobati kerinduanku. Mewarnai hari-hariku. Menjadi jalan bertambahnya syukur dan ketersungkuranku dalam sujud panjang dengan mata yang rinai dan mulut yang lirih berucap hamdalah: Alhamdulillah, Alhamdulillahi Robbil Alamin.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. 30: 21)
Lengkapnya Klik DISINI

Energi Cinta Meluruhkan Segala Dinamika

Oleh : Cahyadi Takariawan
cinta karena allah
sumbergambar : deraplangkahbiru.multiply.com
Dinamika adalah keharusan dalam perjalanan dakwah. Harus selalu ada dinamika, untuk menguatkan kesadaran setiap aktivis akan hakikat amanah yang tengah diembannya. Bahwa perjalanan dakwah akan selalu bertemu dengan berbagai realitas yang tidak mesti sesuai keinginan dan harapan. Dengan dinamika ini, setiap aktivis akan selalu terjaga dan bergairah melaksanakan tugas di pos masing-masing.

Ada dinamika internal, ada pula dinamika eksternal. Sebagian aktivis mungkin merasakan kelelahan, rasa capek yang mendera pikiran, hati, perasaan dan badan. Namun sebagian lain memahami dinamika adalah bagian yang menggugah semangat dan keberanian. Apapun kondisi kita, dinamika selalu akan kita temukan di sepanjang perjalanan dakwah yang sangat menantang.

Disebabkan karena cinta kita yang luar biasa besarnya kepada dakwah, jamaah dan umat, maka kita akan selalu tegar dalam melewati berbagai dinamika yang setiap saat datang. Yang menyergap kesadaran kita tiba-tiba. Mendera kesungguhan kita sejadi-jadinya. Menggeriap memasuki relung-relung jiwa kita tanpa terasa. Tidak peduli waktu dan kesiapan kita.

Disebabkan karena energi yang kita  sediakan sangat besar bagi upaya meretas jalan dakwah ini, maka kita akan selalu sanggup menghadapi dinamika apapun yang akan terjadi. Berpagi-pagi, di tengah siang hari, ataupun di malam-malam yang sangat kelam menyelimuti, jiwa aktivis selalu dipenuhi energi. Ya, selalu penuh energi.

Energi untuk mengerti dan memahami, energi untuk mencintai, energi untuk peduli, energi untuk berbagi, energi untuk berkontribusi, energi untuk bertahan di semua kondisi, energi untuk tetap bekerja walau tengah disakiti. Energi yang selalu bertambah setiap hari.

Semuanya, disebabkan oleh karena cinta kita yang tidak bertepi kepada jalan dakwah ini.
Lengkapnya Klik DISINI

Tak Ada Tempat yang Bebas Ujian

“Tempat kerja antum enak ya akh”
“Kenapa?”
“Di tempat antum kan akhwat semua. Lebih mudah ghadul bashar. Di tempat ane karyawatinya jarang yang berjilbab. Tak sedikit yang pakaiannya ketat.”
“Mereka tidak berjilbab, antum langsung risih kan? Di kantor ane yang banyak akhwat, menjaga hati tak kalah berat. Ane malah sempat jatuh cinta akh.”

***

Di manapun kita berada di bumi ini, tak pernah ada tempat yang benar-benar steril dari ujian. Kadang ujian itu berbentuk orang-orang yang mencemooh dan menghalangi amal kebajikan. Kadang ujian itu berupa rekan-rekan kerja yang mengajak mengkhianati amanah. Kadang ujian itu berupa tetangga yang memancing kompetisi pamer kekayaan. Kadang berupa lingkungan yang kurang kondusif bagi pendidikan dan perkembangan anak-anak kita.

Seperti dialog di atas. Ikhwan yang rekan-rekan kerjanya tidak menutup aurat adalah ujian baginya untuk lebih sungguh-sungguh menjaga pandangan dan kehormatan. Sekaligus ujian agar ia mengentaskan mereka dari pakaian kejahiliyahan menuju pakaian iman dan ketaqwaan. Tapi bukan berarti yang kesehariannya bekerja di lingkungan akhwat tak ada ujian yang berat. Hati yang tak terjaga justru lebih mudah jatuh cinta. Sebab kepada wanita yang tak berjilbab, hati ikhwan sejati pasti menolak. Bahkan membenci. Tak pernah terbersit menikahi wanita seperti ini. Tapi jika yang dekat dengannya adalah akhwat yang berjilbab rapi, lemah lembut dan berbudi, cinta bisa tumbuh di hati. Bahkan bagi ikhwan yang telah beristri. Wal iyadzubillah…

Setiap tempat ada ujiannya. Setiap lingkungan ada cobaannya. Rasulullah dan para shahabat dulu juga begitu. Di masa awal dakwah Islam di Makkah, ujiannya adalah lingkungan yang represif terhadap dakwah. Celaan, hinaan, hingga penyiksaan dan pemboikotan terjadi di sana. Ketika sebagian sahabat hijrah ke Habasyah, di sana pun tak lepas dari masalah. Semula mereka harus beradu argumen dengan utusan Quraisy, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah, sebelum mereka berdua masuk Islam. Di bawah pimpinan Ja’far bin Abu Thalib, mereka menang. Mereka bisa hidup aman, tetapi itu bukan berarti bebas ujian. Nyatanya ketika kaum muslimin mendapatkan perlindungan, kondisinya aman, bebas dari siksaan dan intimidasi yang selama di Makkah selalu menghiasi dakwah, Ubaidillah bin Jahsy justru murtad, keluar dari Islam.

Setelah hijrah ke Madinah, beda lagi ujiannya. Di sana ada ujian head-to-head dengan pasukan kafir Quraisy, pengkhianatan kaum Yahudi dan seterusnya. Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menjadi khalifah, lalu Umar, banyak kemenangan gemilang umat Islam. Harta berlimpah bukan berarti bebas masalah. Terraihnya kemenangan bukan berarti steril dari ujian. Bahkan masa itu dan masa-masa berikutnya dipenuhi dengan ujian yang lebih berat: ujian harta, kekayaan dan kekuasaan.

Setiap tempat ada ujiannya. Setiap lingkungan ada cobaannya. Tapi justru karena itulah, muslim yang bermasyarakat lebih baik daripada muslim yang beruzlah, ketika ia dapat lulus dari ujian.

“Seorang mukmin yang bergaul dan sabar terhadap gangguan orang, lebih besar pahalanya dari yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Agar kita dapat lulus dari ujian, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari dan mengidentifikasi ujian-ujian itu. Optimislah bahwa semakin besar ujian semakin besar pula pahala yang kita dapatkan. Optimislah pula bahwa semakin berat ujian semakin tinggi derajat yang akan Allah anugerahkan.

“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya Allah memberikan cobaan kepadanya.”
(HR. Bukhari)

Kedua, menghadapi ujian itu dengan cara yang tepat. Yakni cara yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan hadits Nabi. Karena Allah telah menetapkan bahwa Dia takkan menguji hambaNya melebihi batas kemampuan mereka, maka pastilah seorang hamba diberi kesanggupan oleh Allah untuk menghadapi ujian itu. Pertanyaannya adalah, apakah cara menghadapinya benar atau salah, tepat atau malah menambah masalah. Sebenarnya Allah menguji kemauan kita untuk menyelesaikan masalah, bukan kemampuan kita menghadapi masalah. Karena ujian tak lebih berat dari kemampuan, sesungguhnya –sekali lagi- kita mampu menghadapi ujian itu.

Ketiga, jika ikhtiar sudah dilakukan dan sudah optimal, yang berikutnya adalah doa dan tawakal. Faidza azamta fatawakkal ‘alallah. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]


Lengkapnya Klik DISINI

(Angan-angan) Cinta Ilahi

"Cukuplah sudah aku dipermainkan selama ini. Cintaku kini hanya untuk Ilahi. Bukan untuk laki-laki!" ungkap seorang siswi yang putus cinta. "Cinta manusia adalah palsu belaka. Cinta Allah, itu yang utama", kata seorang yang lain. 

Termenung saya membaca ungkapan-ungkapan seperti ini. Semakin banyak terdengar di dalam lirik-lirik nasyid. Semakin banyak terlihat di blog, tempat anak muda mengekspresikan kekecewaan. Pahamkah mereka dengan apa yang mereka ungkapkan? Cinta Ilahi?Tidak ada lagi cinta kepada lelaki?Wanita gila harta?Hanya Allah saja yang 'setia'? Seperti yang pernah saya ungkapkan, saya memang tidak suka mendengar orang berbicara hal-hal yang dia sendiri tidak paham. Mumbling ... kata bahasa Inggrisnya. 

Apakah ada konflik antara cinta Allah, cinta lelaki, dan cinta perempuan? Cinta hanya satu. Harus memilih apakah buayafriend mau jatuh hati kepada gelifriend, atau menyerahkan cintanya hanya pada yang Esa? Saya tidak suka orang bermain dengan kata-kata. Jika sudah kecewa dengan si dia, tiada lagi cinta kepada penggantinya?! BERTAPA? Lantas, mau ke mana? Ke puncak gunung bertapa seperti rahib? Enggan berumahtangga karena mau mendedikasikan diri kepada Dia dan bukan dia? Pikiran apa ini? Islamkah yang mengajar kita berpikir begitu? Tidakkah kita sudah dinasihati tentang kisah segelintir sahabat yang tersilap memahami cara melihat Ibadah Nabi SAW yang begitu sederhana? "Sesungguhnya salah seorang dari sekelompok sahabat Nabi shallallahu alayhi wa sallam telah berkata," Berkenaan dengan diriku, maka aku akan berpuasa dan tidak berbuka. Berkata seorang yang lain: Aku akan berQiyam di malam hari dan tidak akan tidur. 

Dan berkata lagi seorang yang lain: Aku pula, aku tidak akan menikahi perempuan. Seorang lagi berkata: Aku pula, sekali-kali aku tidak akan memakan daging. "Lalu beliau shallallahu alayhi wa sallam bangun dan berbicara, lantas beliau berkata, "Apa halnya dengan pemuda-pemuda yang setiap seorang mereka ini berkata begini begitu? Aku sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan aku juga seorang yang menikahi perempuan ini aku memakan daging. Barangsiapa yang tidak ingin ke Sunnahku maka dia bukan dari kalangan (pengikut) ku," (Dari Sunan al-Nasaa'ie, no. 3217) Janganlah bermain-main dengan kata-kata yang kosong dari makna, jauh sekali dari yakin dan percaya. Belajarlah untuk menyelami makna dan menyebut hal yang kita jelas tahu akan makna dan maksudnya. Ungkapan cinta Ilahi bukan ungkapan yang kosong, bukan ungkapan abstrak dan penuh misteri. 

Cinta Ilahi bukan inspirasi instan untuk mengungkapkan syair-syair yang bertebaran di sana sini di blog dan status jejaring sosial muda mudi. Jangan berlakon menjadi Rabiatul Adawiyah. Tidak perlu memakai sepatunya. Rabiatul Adawiyah itu insan yang tersendiri. Untuk kita di sini, bercintalah dengan Allah secara realitas. CINTA ILAHI ADA CARANYA Tidak pernahkah kita merenung peringatan dari Allah sendiri terhadap orang yang mengklaim mereka itu cinta kepada-Nya? "Katakanlah: Jika sesungguhnya kamu itu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya kamu juga akan dikasihi oleh Allah, dan akan diampun-Nya kesalahanmu. 

Dan Allah itu Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Aal Imraan 3: 31) Jika cinta kan Allah, contohilah Rasulullah SAW. Hiduplah seperti Rasulullah, buatlah kerja dan karya seperti Rasulullah. Sibukkan diri dengan belajar dan mengajar, berdakwah dan memberi peringatan, membela agama dan bekerja untuk umat, sibukkan diri dengan segala kebajikan demi cinta kita kepada-Nya. Berhentilah berpuisi, andai puisi itu datang dari sebuah khayalan tentang cinta Ilahi sambil memijit jerawat di awal pagi. Jika mau mengungkapkan Cinta pada madah dan kata, tumpahkan ia dari ruhani dan jasmani yang bekerja untuk kekasih-Nya. 

Hiasilah blog dan jejaring sosial kalian dengan catatan amal dan muhasabah diri, bukan retorika dan angan-angan terhadap CINTA ILAHI. Ustadz Hasrizal Abdul Jamil Trainer. Penulis buku best-seller di Malaysia. 

Narablog SaifulIslam.com
Lengkapnya Klik DISINI

Mengadu kepada Allah

“Biasanya, ketika ada seseorang yang berlaku zalim kepadaku, aku mengadukannya kepada Anda. Karena Anda adalah pemimpin yang menjadi rujukan orang-orang mengadu. tapi sekarang, kezaliman itu datang dari Anda. Karena itu, saya akan mengadukan Anda kepada Allah,” sontak, Presiden Mesir itu terkejut dan gemetar. Ia meminta ikhwah di depannya untuk menarik kembali pengaduannya. 

 Dengan tegas, sopan, dan mengesankan, ikhwah ini menjawab: “Saya tidak mengadukan Anda kepada pihak yang zalim, tetapi kepada Dzat yang Maha Adil. Dia-lah yang mengetahui segala yang saya katakan!” 

Peristiwa itu terjadi pada era 70-an. Sang presiden adalah Anwar Sadat, sedangkan ikhwah yang mengadukannya adalah Umar Tilmisani. Sebabnya adalah, waktu itu Anwar Sadat menuduh Jama’ah Ikhwanul Muslimin sebagai dalang fitnah sektarian. Ia juga melontarkan fitnah yang lain kepada Ikhwan. 

Tak lama setelah itu, pada 6 Oktober 1981 Anwar Sadat tewas di usianya yang ke-62. Umar Tilmisani wafat lima tahun setelahnya pada usia 82 tahun. Sedangkan jama’ah yang difitnah dan diserang Anwar Sadat bertahan eksis hingga hari ini, bahkan salah seorang kadernya kini menempati posisi yang sama dengannya; menjadi Presiden Mesir. 

Jika ingin mengadu karena saat ini tengah dizalimi orang. Jika saat ini ada konspirasi yang berusaha menjatuhkan jamaah dakwah. Mengadulah kepada Allah. Allah senantiasa mendengarkan pengaduan hamba-Nya; 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Sekuat apapun kezaliman orang, mereka takkan mampu melawan kekuatan Allah. Sehebat apapun konspirasi kaum kuffar, mereka takkan sanggup berhadapan dengan kekuasaan Allah. Wamakaruu wamakarallah, wallaahu khairul maakiriin. Mereka membuat tipu daya, Allah membuat tipu daya. Dan Allah adalah sebaik-baik pembuat tipudaya. 

Mengadu kepada Allah. Begitulah Rasulullah mengajarkan. Kisah paling mengharukan tentang pengaduan beliau terjadi setelah dakwah ke Thaif. Dakwah ditolak, beliau dicaci maki, diusir dan dilempari batu hingga terluka dan berdarah-darah. 

 Dengarlah pengaduannya kepada Allah yang mengundang derai air mata orang yang mencintainya: “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, terbatasnya daya upayaku, dan kerendahanku di hadapan manusia. Wahai Tuhan yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah. Engkaulah Tuhanku. Kepada siapa Engkau serahkan daku? Kepada orang jauh yang menganiaya aku? Ataukah kepada orang-orang yang dekat yang Engkau biarkan dia menguasaiku? Selama Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. 

Akan tetapi, Maaf-Mu lebih luas untukku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan akhirat; jangan Engkau timpakan murka-Mu kepadaku. Kepada-Mu aku kembali hingga Engkau ridha; dan tiada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Mu” 

Seperti titah Allah dalam surat Al Baqarah ayat 45, Rasulullah juga biasa mengadu kepada Allah dengan shalat. Abu Daud merekam kebiasaan beliau itu dalam sebuah hadits yang berderajat hasan: "Apabila Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam ditimpa suatu perkara, maka beliau langsung shalat." Maka jika engkau memiliki masalah, mengadulah. Mengadu saja kepadaNya dengan doa dan shalatmu. 

Dia tidak pernah membatasi pengaduan pada masalah dakwah saja. Apa saja persoalanmu, baik dunia atau akhirat, Dia akan mendengarkan semuanya dan Maha Kuasa untuk mengabulkan doa serta memberi jalan keluar; baik dengan cara biasa, atau dengan cara yang tidak engkau sangka-sangka. [Muchlisin] 

sumber: http://www.bersamadakwah.com/2012/10/mengadu-kepada-allah.html
Lengkapnya Klik DISINI

Generasi Cinta Dunia dan Takut Mati

  ÙŠُÙˆْØ´ِÙƒُ Ø£َÙ†ْ تَدَاعَÙ‰ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ… الأُÙ…َÙ…ُ ÙƒَÙ…َا تَدَاعَÙ‰ الأَÙƒَÙ„َØ©ُ Ø¥ِÙ„َÙ‰ Ù‚َصْعَتِÙ‡َا” اَÙˆَÙ…ِÙ†ْ Ù‚ِÙ„َّØ©ٍ بِÙ†َا ÙŠَÙˆْÙ…َئِØ°ٍ ÙŠَا رَسُÙˆْÙ„َ اللهِ؟ Ù‚َالَ: “بَÙ„ْ اِÙ†َّÙƒُÙ…ْ ÙŠَÙˆْÙ…َئِØ°ٍÙƒَØ«ِÙŠْرُÙˆْÙ†َ، ÙˆَÙ„َÙƒِÙ†َّÙƒُÙ…ْ غُØ«َاءٌ ÙƒَغُØ«َاءِ السَÙŠْÙ„ِ، ÙˆَÙ‚َدْ Ù†َزَÙ„َ بِÙƒُÙ…ُ الْÙˆَÙ‡ْÙ†ُ” Ù‚ِÙŠْÙ„َ: ÙˆَÙ…َا الْÙˆَÙ‡ْÙ†ُ ÙŠَارَسُÙˆْÙ„َ اللّÙ‡ِ ؟ Ù‚َالَ: “Ø­ُبُّ الدُÙ†ْÙŠَا ÙˆَÙƒَرَاهِÙŠَØ©ُ الْÙ…َÙˆْتِ
"Akan datang suatu masa umat lain akan memperebutkan kamu ibarat orang-orang lapar memperebutkan makanan dalam hidangan.” Sahabat bertanya, “Apakah lantaran pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit Ya Rasulullah?”. Dijawab oleh beliau, “Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah kamu pada waktu itu banyak, tetapi kualitas kamu ibarat buih yang terapung-apung di atas laut, dan dalam jiwamu tertanam kelemahan jiwa.” Sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud kelemahan jiwa, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati!”. (HR. Abu Daud). 

“Cinta dunia dan takut mati!”. Inilah ungkapan ringkas yang disampaikan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam 14 abad yang lalu untuk menggambarkan betapa lemahnya mental generasi akhir zaman. 

Apa yang disampaikan Nabi tersebut nampaknya kini telah menjadi kenyataan. Setiap hari kita menyaksikan peristiwa demi peristiwa dan beragam tingkah polah manusia di sekeliling kita, sungguh telah jauh dari nilai-nilai kebenaran yang diajarkan Allah dan rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan Sunnah. 

 Disorientasi Hidup 

Al-Wahn—cinta dunia dan takut mati—memang membuat manusia kehilangan arah dan orientasi hidup. Mereka tidak lagi mengenal tujuan hidupnya yang hakiki untuk mencari ridha Allah (QS. 6: 163). Tidak sadar pada tugas hidupnya untuk mengabdikan diri kepada-Nya dalam berbagai aspek kehidupan (QS. 51: 56). Lupa akan peranan hidupnya yang agung, menjadi khalifah, wakil Allah untuk mewujudkan kehendak Ilahi di muka bumi (QS. 6: 165) dan sebagai pelanjut risalah Islam, menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada seluruh umat manusia dan membelanya (QS. 3: 110). 

Mereka jauh dari Al-Qur’an dan Assunah sebagai pedoman hidup. Maka jadilah mereka pengagum dunia. Padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan mereka, 

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (enak dipandang), dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu khalifah di dalamnya. Allah akan melihat apa yang kamu kerjakan. Maka berhati-hatilah pada dunia dan berhati-hatilah pada wanita. Sesungguhnya pertama kali fitnah yang melanda Bani Israel adalah tentang wanita”. (HR. Muslim) 

 Kini tidak sedikit diantara manusia yang bersaing meraih jabatan. Namun sayang, jabatan itu mereka ambil dengan tidak mengindahkan hak-haknya. Meraih jabatan bukan untuk melayani, tapi untuk memperkaya diri. Tentang sikap mental seperti ini Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Sesungguhnya diantara kalian ada yang berambisi menjadi penguasa, padahal yang demikian itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Karena sebaik-baik seorang ibu adalah yang mau menyusui anaknya dan sejelek-jelek ibu adalah yang tidak mau menyusui anaknya” (HR. Bukhari). 

Kepemimpinan bukanlah hal yang kotor dan busuk. Bahkan ia adalah kebaikan di sisi Allah Ta’ala, asal mampu membawanya dengan menunaikan hak-haknya. 

Zaid bin Tsabit pernah berkata saat ia berada di samping Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Seburuk-buruk perkara adalah kepemimpinan.” Mendengar hal itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyanggahnya, “Sebaik-baik perkara adalah kepemimpinan, bagi orang yang mengambilnya dengan hak-haknya. Dan seburuk-buruk perkara adalah kepemimpinan, bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang tidak benar, maka kelak hanya akan mengundang kekecewaan pada hari kiamat.” (HR. Thabrani). 

Ibadah seremonialis formalitas bercampur nifak 

 Keburukan lain yang seringkali nampak adalah fenomena ibadah seremonialis formalitas bercampur nifak. Banyak manusia mengaku beragama Islam, tapi perbuatannya sehari-hari tidak mencerminkan ajaran Islam sama sekali. Islam hanya sekedar jadi identitas formal yang tertera di surat-surat penting untuk memudahkan urusan-urusan administratif. Sementara kehidupannya sehari-hari dipenuhi kedurhakaan pada syariat Islam. Shalat sering ditinggalkan tanpa perasaan berdosa. Zakat tidak ditunaikan secara sempurna. Sedangkan haji dijadikannya sarana tamasya. 

Mushaf Al-Qur’an disimpannya dengan rapi di lemari. Tidak dibaca, tidak dipelajari, dan tidak diamalkan. Ia hanya jadi aksesoris dan instrument pemanis interior rumah sekaligus jadi alat jaga image. Mereka senang membangun masjid-masjid, tapi tidak senang memakmurkannya. Mereka senang berdiskusi dan berbicara tentang Islam tapi malas mengamalkan ajarannya secara paripurna. 

Abu Hudzaifah pernah ditanya, “Apa itu nifaq?”, Hudzaifah menjawab, “Kamu berbicara tentang Islam, tapi kamu tidak mengamalkan ajarannya”. (Musnad Ar-Rabi’). 

Ya, banyak orang yang pandai berbicara tentang Islam, tapi sebenarnya ia tidak mengimani dan tidak mengamalkan ajarannya. Apa yang keluar dari mulutnya tidak lain hanyalah kumpulan retorika sekedar untuk membuat orang terkagum-kagum pada ‘otot-otot intelektual’nya. 

Nabi SAW bersabda,“Akan datang pada manusia satu zaman, di kala itu Islam tidak tinggal melainkan namanya, dan al-Qur’an tidak tinggal melainkan tulisannya, masjid-masjidnya bagus namun kosong dari petunjuk, ulama-ulamanya termasuk manusia paling jelek yang berada di kolong langit, karena dari mereka timbul beberapa fitnah dan akan kembali kepada mereka”. (HR. Baihaqi). 

Kehilangan Integritas Diri 

Sangatlah pantas apabila Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati umat akhir zaman dengan kalimat hubbud dunya wa karohiyatul maut, karena saking gandrungnya pada dunia, kebanyakan dari mereka tidak lagi memperhatikan halal dan haram. 

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang satu masa kepada manusia, dimana pada masa itu seseorang tidak lagi memperdulikan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram”. (HR. Bukhari dan Nasa’i dari Abu Hurairah). 

Bukan hanya itu, mereka pun tidak menghargai kejujuran. Mereka beranggapan kejujuran itu tidak akan mendatangkan keuntungan. Sementara kebohongan dan kata-kata palsu dianggapnya lebih bisa diandalkan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. 

“Akan datang satu masa kepada manusia, yang di dalamnya manusia tidak kuasa mencari penghidupan melainkan dengan cara maksiat. Sehingga seorang laki-laki berani berdusta dan bersumpah. Apabila masa itu telah datang, hendaklah kalian berlari.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, kemana harus berlari?” Beliau menjawab, “Kepada Allah dan kepada kitab-Nya serta kepada sunnah Nabi-Nya.” (HR. Ad-Dailami). 

Degradasi Moral 

Akhlak buruk merajalela; premanisme, kekerasan, pornografi dan pornoaksi menjadi tontonan dan berita harian. Rasa kemanusiaan seolah telah sirna ditelan bumi. Fenomena seperti ini mengingatkan kita pada salah satu hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, 

“Dua golongan dari ahli neraka yang belum kami ketahui yaitu segolongan kaum yang membawa cambuk seperti ekor lembu untuk memukul manusia; dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menari-nari sambil menggelengkan kepalanya seperti punuk unta. Mereka itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal surga itu dapat tercium dari perjalanan sejauh sekian dan sekian.” Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sejauh lima ratus tahun.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). 

Degradasi moral mewabah hingga mampu menghapus rasa tanggung jawab untuk mendidik anak; tidak merasa perlu menghormati orang tua dan tidak menyanyangi mereka yang lebih muda. Tidak ada yang dipedulikan kecuali kenikmatan badani. 

“Apabila zaman telah dekat (kiamat), seorang laki-laki mendidik anjing lebih baik daripada mendidik anaknya. Tidak ada rasa hormat pada yang lebih tua dan tidak ada rasa kasih sayang pada yang lebih muda; dan banyak anak-anak hasil perzinaan, hingga banyaklah laki-laki menyantap perempuan di jalanan, mereka berbulu kambing namun berhati serigala.” (HR. Al-Hakim & Thabrani). 

Betapa malang dan ruginya mereka. Hubbud dunya wa karohiyatul maut telah menggiringnya begitu jauh dari hidayah Al-Qur’an. Wahai dimanakah para penyeru kebenaran? Dimanakah pejuang amar ma’ruf nahi munkar? Dimanakah pembawa panji-panji Al-Qur’an? 

Apakah kemaksiatan sudah begitu memuncak dan menjadi dinding penghalang keberkahan wahyu Al-Qur’an? 

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila ummatku mengagungkan dunia, maka dicabutlah kehebatan Islam darinya; dan apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, maka terdindinglah keberkahan wahyu (Al-Qur’an)” (HR. Tirmidzi). 

Na’udzubillahi min dzalik. 

sumber: http://www.al-intima.com/opini/generasi-cinta-dunia-dan-takut-mati
Lengkapnya Klik DISINI

Menggugat Kebenaran

Menggugat KebenaranBeberapa hari yang lalu selepas sholat Ashar di sebuah Masjid tempat saya tinggal ada seorang mahasiswa yang mengajak saya untuk berdiskusi. Di awal pembicaraan kami tidak ada yang aneh sampai pada sebuah pembahasan terkait kewajiban seorang muslimah untuk menutup aurat atau tentang jilbab. Mahasiswa tersebut mengatakan bahwa jilbab itu hanyalah sebagai perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi. Ia meyakinkan bahwa jilbab sudah tidak relevan lagi pada masa kekinian. 

Saya mencoba menyampaikan dalil-dalil terkait kewajiban untuk berhijab. Namun berbagai argumen dan beribu alasan disampaikan mahasiswa tadi untuk membenarkan pendapatnya. Cerita saya akhiri sampai disini. Mungkin yang disampaikan mahasiswa tadi adalah benar dengan adanya bukti dan argumen yang dibuat-buat, namun apakah itu kebenaran atau hanya pembenaran? Perdebatan terjadi karena perbedaan sudut pandang atau tidak bertemunya keinginan dengan kenyataan. 

Orang yang terlibat dalam perbedaan pandangan sampai tahap perdebatan akan menggiring orang lain agar setuju dengan gagasan yang dimilikinya. Oleh karena itu ia telah mempersiapkan berbagai argumen dan dalil untuk mendukung gagasannya. Ia juga telah siap dengan beribu alasan yang dapat mematahkan argumen lawannya. 

Kebenaran, itulah hasil akhir yang diinginkan dari adanya perdebatan. Sebuah perdebatan sering tidak menemukan titik temu karena pihak-pihak yang terlibat dalam perdebatan merasa kebenaran merekalah yang paling benar. Hal ini sangat mungkin terjadi jika kebenaran yang mereka perdebatkan itu adalah kebenaran menurut manusia. 

Kebenaran menurut manusia bersumber dari nafsu yang menguasai pikiran. Orang yang didalam dirinya dipenuhi dengan nafsu yang mendorong kepada kebaikan dan mengarahkan kepada kemuliaan inilah yang disebut sebagai kebenaran yang hakiki. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an Surat Al Fajr ayat 27-30, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka Masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku”. Kebenaran yang dapat melahirkan ketenangan, menyebabkan rasa aman dan menimbulkan kedamaian. 

Kebenaran ini adalah kebenaran yang selalu mendamaikan karena kebenaran ini selalu bermuara pada bagaimana mengingat Allah SWT dan selalu berujung untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kebenaran inilah kebenaran hakiki. Kebenaran yang sesungguhnya pasti sesuai dengan fitrah manusia. Kebenaran hakiki pasti bermanfaat bagi manusia dan sesuai dengan kebutuhan manusia walaupun kadang manusia tidak mengetahuinya. 

Kebenaran ini bersifat mutlak dan dapat diterima oleh semua orang. Sehingga kalau bisa disimpulkan kebenaran hakiki adalah segala sesuatu yang telah Allah SWT kehendaki yang sesuai dengan Al-Qur’an dan semua hal yang telah Rasul sampaikan yang selalu mendorong kepada kebaikan dan meningkatkan kemuliaan di hadapan Allah SWT. Sedangkan orang yang hatinya telah tenggelam kedalam nafsu yang mendorong kepada keburukan maka kebenaran yang mereka sampaikan adalah kebenaran yang palsu. 

Kebenaran yang dicari-cari untuk membungkus kemaksiatan dan kejahatan yang sesungguhnya. Inilah kebenaran semu, kebenaran yang bisa diperdebatkan, kebenaran yang dapat digugat dan kebenaran yang harus dipermasalahkan. Kebenaran ini adalah kebenaran yang menipu, yang menampakkan kejahatan sebagai kebaikan, dan memutarbalikkan kebaikan menjadi kemaksiatan. Sebagaimana di sebutkan didalam Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 83 yang artinya “Ya’qub berkata : “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan yang buruk (Musawwilah) itu. Kebenaran ini bukanlah kebenaran namun lebih tepat disebut sebagai pembernaran. 

Pembenaran ini muncul karena tujuan-tujuan tertentu dan keinginan-keinginan tertentu yang jauh dari kebenaran yang hakiki. Inilah yang saat ini marak terjadi. Na’udzubillahi min dzalik. Bisa ditarik kesimpulan bahwa kebenaran hanya berasal dari Allah SWT. Kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang indah dan kebenaran yang mendamaikan hati. Kebenaran yang bukan berasal dari Sang Kholik dapat dipastikan bahwa itu adalah kebenaran yang palsu dan menyesatkan. Bukan kebenaran namun pembenaran, dan orang-orang yang mencari pembenaran dengan mengotak atik agama, memutarbalikkan dalil adalah bentuk dari kemaksiatan tingkat tinggi. 

Semoga kita dihindarkan dari mencari-cari pembenaran dan semoga Allah menunjukkan jalan kebenaran kepada kita. InsyaAllah. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8) 

Oleh: Ibnu Setya 

sumber: http://fimadani.com/menggugat-kebenaran/
Lengkapnya Klik DISINI

Cinta Yang Terlupakan

Jika kita berbicara cinta, maka yang terlintas adalah sesuatu yang menyejukkan, menyenangkan, menentramkan dan membuat damai. Bagi kebanyakan orang, mereka yang masih berpacaran dan memadu kasih dengan lawan jenis, akan merasakan indahnya cinta ketika bersama pasangannya. Tenteram rasanya jika ada yang selalu menemani seraya menikmati keindahan dunia berdua. Indah rasanya meski sebenarnya hubungan ini belumlah halal. Tapi seperti itulah cinta yang dirasakan para muda-mudi saat ini. Bagi sebagian orang lainnya, yang lebih tepat disebut sebagai aktivis Islam sangatlah tidak mengenal yang namanya pacaran. 

Mereka cenderung menikmati masa lajangnya dengan amal dakwah. Menantikan masa indah merajut cinta ialah dengan menanti masa-masa indah pernikahan. Terkadang, membaca berbagai buku dan literatur tentang pernikahan seraya mempersiapkan diri ke sana. Menuju sebuah tempat di mana keindahan merajut cinta dan menjalin kasih dengan lawan jenis dapat terwujud dalam nuansa halal atas ridha-Nya. Cinta memang menjanjikan suatu keindahan, baik bagi yang sedang menanti pernikahan atau bagi yang sudah merasakan manisnya berumah tangga semua terasa indah. 

Ketika menghadapi masalah yang pelik, dihadapi bersama-sama. Ketika menanggung sebuah beban yang berat, ditanggung bersama. Saling menyemangati di saat susah, saling berbagi di saat senang. Bagi sepasang suami-istri, mendidik anak bersama, membangun kehidupan harmonis di bawah ridha-Nya, sang suami yang begitu pulang merasakan kehangatan sambutan istri dan senyum anak-anaknya, istri yang dengan hangatnya menyambut sang suami serta membimbing anak-anaknya, tentu hal yang sangat menyenangkan. Indah cinta benar-benar terasa di sini, cinta yang berlandaskan karena Allah SWT. 

Namun, mesti ada sebuah perenungan di sini, mari kita sama-sama simak firman Allah SWT berikut ini: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-imron: 14) Ada satu hal yang perlu kita renungi dari ayat ini. Apakah kita benar-benar mencintai sesuatu itu karena Allah? Apakah semua keindahan yang kita rasakan itu benar-benar nyata atau bersifat sementara? Pernahkah terbayang di pikiran kita ketika semua keindahan dan kesenangan yang kita rasakan itu hilang dalam seketika? Coba kita renungkan dan tanya ke dalam hati ini. Jika semua yang membuat kita bahagia saat ini, teman, keluarga, ayah, ibu, istri dan semuanya itu tiba-tiba dipanggil oleh Allah SWT.

Akankah kita menangis histeris, merasa kehilangan segalanya, merasa dunia tidak bersahabat atau bahkan merasa bahwa Allah tidak adil? Jika ini yang akan kita rasakan maka sekaranglah saatnya kita merekonstruksi niat kita ini. Ketika kita bersama sebuah kebahagiaan, merasakan indahnya cinta, terkadang ada sebuah hal yang sering terlupakan. Terkadang sering kita menantikan seseorang yang akan mendampingi kita dengan sebuah kebahagiaan dan harapan akan bisa merasakan indahnya cinta, namun lagi-lagi ada sebuah hal yang terlupakan. Jika kita akan merasa begitu sangat sedih dan sangat kehilangan saat orang tersayang kita harus menghadap-Nya, bahkan kita merasa tidak dapat menemukan kebahagiaan lagi karena hal itu maka di sinilah kita telah melupakan suatu hal yang sangat berharga yang menyebabkan segala keindahan dan kesenangan itu hadir. Cinta kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya cinta. 

Di kala senang, kita sering melupakan hal ini padahal Allah-lah yang membuat kita merasakan kesenangan itu. Kebahagiaan yang tadi kita sebutkan itu hanya sementara, terbukti ketika kita kehilangan, kita tidak lagi merasakan kebahagiaan itu. Tapi, berbeda kondisinya dengan cinta kepada Allah SWT karena Allah itu kekal sehingga kita tidak akan pernah kehilangan. Cinta yang dapat membuat sebuah tangisan terasa begitu indah. 

Di sinilah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya. Ketika kita merajut indahnya jalinan kasih rumahtangga, cinta kepada Allah-lah yang sebenarnya membuat kita merasakan kebahagiaan itu. Kesenangan bersama lawan jenis yang belum halal hanyalah kesenangan semu semata. Kebahagiaan bersama dalam rumah tangga juga tidak boleh melebihi besarnya cinta kepada Sang Pemberi Cinta. Sehingga, ketika sekarang kita sedang mengagumi seseorang, mendambakan seseorang untuk menjadi pendamping hidup kelak, merasakan getar-getir dengan lawan jenis sehingga timbul keinginan memilikinya, dan lainnya. Itu bukanlah hal yang tidak wajar, namun bukankah akan lebih baik jika kita fokuskan hal itu kepada sumber kita meraih cinta itu, yaitu Allah SWT. 

Rasa kagum terkadang timbul, rasa cinta yang terkadang sulit dihindari, rasa tenteram yang terkadang terasa di hati cobalah untuk menepisnya dengan memfokuskannya kepada Allah SWT karena dengan merasakan indah cinta kepada Allah SWT itu kita bisa merasakan semua kebahagiaan dan ketenteraman itu. Jadi, ketika kita ingin mendapatkan cinta lawan jenis, alihkanlah dengan keinginan untuk mendapatkan cinta Allah SWT karena itu adalah syarat mutlak bagi kita untuk bisa merasakan keindahan cinta. Aku ingin mencintaimu setulusnya, sebenar-benar aku cinta dalam doa dalam ucapan dalam setiap langkahku aku ingin mendekatimu selamanya sehina apapun diriku kuberharap untuk bertemu denganmu ya Rabbi 

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/09/23237/cinta-yang-terlupakan/#ixzz28743X5gk
Lengkapnya Klik DISINI

Kewajiban Membentuk Jama’ah Dakwah

Dakwah adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada setiap laki-laki dan wanita beriman. Allah telah memilihkan dakwah sebagai sebuah jalan yang harus ditempuh setiap mukmin, agar bisa meraih kemenangan. Allah telah berfirman: “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (An Nahl: 125). 

 Ayat di atas mengandung perintah dari Allah untuk mengajak manusia ke jalanNya. Inilah yang menjadi landasan kewajiban dakwah. Rasul saw dan seluruh pengikutnya dari kaum muslimin dan muslimat terkena beban kewajiban dakwah. Dengan demikian, dakwah merupakan sebuah kewajiban yang melekat karena keimanan, dan dilandasi kesadaran bahwa hal itu dilakukan sebagai realisasi dari ketaatan kepada perintah Allah dan contoh dari zaman kenabian. 

Allah telah memerintahkan kita untuk membentuk umat yang senantiasa melakukan dakwah, amar makruf dan nahi munkar, sebagaimana firmanNya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran : 104). Dari ayat di atas, ada beberapa pelajaran fiqih dakwah yang bisa kita ambil. Di antaranya adalah : 

1. Keharusan membentuk umat atau jama’ah Ayat di atas dengan tegas menunjukkan kewajiban membentuk sebuah umat atau jama’ah yang memiliki tugas atau karakter yang spesifik. Secara bahasa, menurut Kamus Al Munawwir, al ummah memiliki banyak pengertian, di antaranya adalah ar rajulu al jami’u lilkhair (laki-laki yang padanya terkumpul kebaikan), man huwa ‘alal haq (orang yang menetapi kebenaran), asy sya’bu wal jumhur (rakyat, masyarakat, bangsa). Jika dikatakan ummatullah artinya adalah khalquhu, ciptaanNya. Ummatun yad’una ilal khair dalam ayat tersebut bermakna jama’atun yad’una ilal khair, suatu jama’ah yang menyeru kepada kebaikan. Umat memiliki makna jama’ah, yang harus dibentuk untuk melaksanakan berbagai kewajiban agama. Hal ini menandakan harus adanya pelaksanaan dakwah, amar makruf dan nahi munkar secara kolektif, tidak individual. 

Asy Syatibi dalam kitab Muwafaqat menyebutkan, “Hendaklah kamu mempersiapkan kader-kader yang bertugas melaksanakan dakwah dan membantu mereka dengan segala macam bantuan yang dapat diberikan demi suksesnya usaha mereka menegakkan dakwah, menyebarkan agama Allah. Apabila kaum muslimin tidak melaksanakan yang demikian itu berdosalah mereka semua”. 

2. Umat dimaksudkan untuk melakukan dakwah, amar makruf dan nahi munkar Umat yang dikehendaki Allah Ta’ala memiliki karakteristik senantiasa melakukan dakwah (yad’una ilal khair), amar makruf (ya’muruna bil ma’ruf) dan nahi munkar (yanhauna ‘anil munkar). Dibentuknya umat atau jama’ah adalah untuk melaksanakan serangkaian tugas mulia yang telah diretas oleh para Nabi dan Rasul, serta orang-orang beriman sepeninggal mereka. Dakwah, amar makruf dan nahi munkar akan efektif apabila dilaksanakan dalam bingkai kejama’ahan, bukan dalam skala personal. Aktivitas dakwah merupakan ladang yang amat luas dan mencakup makna-makna yang lebih umum. Sedangkan ungkapan amar makruf serta nahi munkar telah menunjukkan sesuatu pekerjaan yang lebih spesifik. Keseluruhannya memerlukan kebersamaan dan jama’ah dalam penunaiannya. 

3. Dakwah adalah aktivitas yang membawa keberuntungan Ayat di atas ditutup dengan wa ulaa-ika humul muflihun, dan mereka (umat itu) adalah orang-orang yang beruntung. Dakwah adalah aktivitas yang membawa keberuntungan dan kemenangan bagi pelakunya. Artinya, dakwah bukan saja memberikan kontribusi kebaikan bagi masyarakat, bangsa dan negara, namun yang lebih awal justru memberikan keuntungan dan kemenangan bagi para pelakunya. 

Keuntungan dan kemenangan ini dalam berbagai bentuk, seperti kemenangan spiritual, kemenangan soliditas, kemenangan penjagaan diri, keutuhan shaf pergerakan, dan tentu saja kemenangan akhirat. Dalam kisah ashabul ukhdud yang berakhir dengan kematian para pembela kebenaran, Allah memberikan komentar peristiwa itu sebagai wa dzalikal fauzul kabir, itulah kemenangan yang besar. Walau berakhir dengan syahidnya banyak pembela kebenaran, namun tetap merupakan kemenangan di hadapan Allah. 

 Wallahu a’lam bish shawab.
Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......