Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Debat Tanpa Etika dan Berhujjah Tanpa Ilmu

Farid Nu'man Hasan
  
Jidal Bila Adab Wa Ihtijaj Bila Ilm
Muqaddimah

Fenomena kritik dalam dunia ilmu dan pemikiran adalah hal yang biasa, wajar, dan tidak membahayakan. Manusia Allah ciptakan dengan potensi, keampuan, bakat, dan kecakapan yang berbeda jenis dan kadarnya. Sehingga potensi untuk berbuat salah dan tergelincir sangat terbuka. Maka mustahil ada manusia yang selamat dari kritikan, baik yang konstruktif maupun skeptis. Perbedaan-perbedaan ini adalah bagian dari masyiah (kehendak) Allah bagi hamba-hambaNya dan semua ciptaanNya. Manusia hanya bisa tunduk terhadap ketetapanNya ini.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan Al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat Ikrimah). Dan firman selanjutnya ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah an Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain, ‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua keneraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadraknya dengan tambahan ini.” ( Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, II/465)

Imam Ibnu Katsir juga memaparkan perbedaan para ulama dalam memaknai firmanNya “untuk itulah Dia menciptakan mereka”. Imam Hasan Al Bashri mengatakan untuk perbedaanlah mereka diciptakan. Ada pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dan Thawus bin Kaisan mengatakan untuk rahmat-lah mereka diciptakan.
Perbedaan yang Allah adakan bagi manusia, memungkinkan manusia untuk saling mengisi kekurangan dan meluruskan kesalahan. Maka budaya taushiah dan naqd (kritik) harus dihidupkan agar manusia tidak berlama-lama dalam ketergelinciran dan merasa benar dengan apa yang difahami dan dilakukan.

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad Dari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Agama itu nasihat”, Kami bertanya, “Bagi siapa?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, KitabNya, rasulNya, Imam-mam kaum Muslimin dan orang-orang umumnya.” (HR. Muslim. Riadhush shalihin no. 181 Bab Fi An Nashihah, hal. 72. lihat juga Bulughul Maram, no. 1339, Bab At Targhib fi Makarimil Akhlaq, hal. 285)

Nasihat karena Allah
Nasihat dan kritik adalah amal mulia yang Allah dan RasulNya perintahkan, maka harus dilakukan dengan niat, tujuan dan cara yang mulia pula. Tidak pantas amal mulia dilakukan dengan cara-cara yang tidak mulia seperti caci maki dan sumpah serapah. Para da’I ilallah harus bisa menahan lisan dan tangannya dari menyakiti hati manusia dan menelanjangi kehormatannya. Syariat dan husnul khuluq harus menjadi panglima yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan emosi.

Nasihat karena Allah hendaknya dilakukan untuk Allah semata, bukan untuk menjatuhkan kedudukan manusia, meninggikan diri sendiri, pembuktian eksistensi, apalagi mencari ketenaran.

Nasihat karena Allah harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan apa yang Allah dan RasulNya perintahkan (muwafaqah bisy syara’), yaitu dengan adab yang mulia, ucapan yang lembut, dan argumentatif.

Jika para kritikus mampu menampilkan ini, yakni nasihat dengan adab dan ilmu, Insya Allah- Allah mudahkan bagi siapapun untuk memperoleh petunjuk melalui lisannya. Jika sebaliknya, debat tanpa etika dan berhujjah tanpa ilmu, justru akan menjatuhkan diri sendiri, ditertawakan, dibenci, dan dijauhi manusia. Tak ada yang mau mendengar apalagi mengikutinya. Sayangnya hal ini telah menggejala pada sebagian pemuda da’wah yang tinggi ghirahnya terhadap Islam, namun kurang menghargai manusia dan tokohnya, serta kurang dilengkapi pemahaman yang utuh dan benar.

Suatu hari datang seorang yang menasihati khalifah Al Mu’tashim dengan kata-kata kasar, namun khalifah mampu menahan amarahnya, lalu berkata, “Dahulu ada orang yang lebih mulia darimu yang datang untuk menasihati orang yang lebih jahat dariku.” Maksud ucapan ini adalah dahulu Nabi Musa alaihissalam pernah menasihati fir’aun. Sehebat apapun orang itu, Nabi Musa jauh lebih mulia darinya, dan sejahat apapun Al Mu’tashim, fir’aun masih jauh lebih jahat darinya. Kenapa harus dengan kata-kata kasar padahal Nabi Musa menasihati fir’aun dengan kata-kata yang lembut? Betapapun jahatnya fir’aun!
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Maka katakanlah oleh kalian berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun), perkataan yang lembut baginya (Fir’aun), agar dia ingat atau takut” (QS. Thaha:44)

Ada contoh menarik tentang kritik yang etis dan argumentatif, yaitu sanggahan Syaikh Dr. Shalah Ash Shawi terhadap Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi. Syaikh Shalah tidak sependapat dengan fatwa Syaikh Al Qaradhawi dan majelis Fatwa Eropa yang membolehkan riba bunga bank untuk membeli rumah, mengingat kondisi Muslimin di sana yang sangat sulit menghindar dari riba bank. Namun kritik ini –subhanallah- benar-benar bagus baik dari isi maupun tuturannya, amat berbeda dengan sebagian pihak yang rajin mengkritik Syaikh Al Qaradhawi dengan cara yang sangat kasar. Kami coba ringkas kritik tersebut di bawah ini.

Syaikh Shalah Ash Shawi berkata, “ …. Saya ingin sampaikan satu hal penting yang harus kita jadikan pijakan dan tolok ukur dalam mengomentari masalah krusial dan sensitif ini. Nasihat itu hendaknya dilakukan karena Allah dan RasulNya dan untuk semua imam kaum Muslimin dan orang-orang awam kalangan mereka. Maka jangan sampai nasihat yang kita lontarkan keluar dari koridor fikih yang jauh dari nuansa ilmiah. Nasihat itu harus jauh dari emosional dan mementingkan diri sendiri, atau saling tuding dan mengingkari, sebab orang-orang yang ikut dalam muktamar ini adalah orang-orang yang memiliki kredit poin dalam melakukan kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang telah menelan pahit getirnya perjuangan dalam membela agama ini. Bahkan di antara mereka ada yang harus menderita pada paruh kedua (pertengahan) abad ini ….dan seterusnya.

Maka sangat tidak etis jika pembicaraan kita kali ini melewati batas kesopanan dan keilmuwan yang pernah dicontohkan generasi salaf ketika terjadi perbedaan pendapat dikalangan mereka, jangan sampai melakukan pelecehan kepada pihak yang berbeda pendapat walau tampak jelas kesalahan dalam ijtihad yang mereka lakukan atau ketergelinciran kesimpilan hokum yang mereka ambil. Sebab para salafus shalih mengatakan, ‘Sesungguhnya daging para ulama itu beracun, dan sunnah Allah atas orang-orang yang selalu merendahkan mereka sudah diketahui akibatnya. Sesungguhnya orang yang menjulurkan lidahnya kepada orang-orang yang berilmu dengan nada mengumpat, maka Allah akan menjatuhkan siksaan kepadanya berupa kematian hati….”. Dan seterusnya.

Sebenarnya sangat panjang komentar Syaikh Shalah as Shawi ini. Semuanya menunjukkan kedalaman ilmunya dan kebersihan hati dan lisannya terhadap pihak yang disanggahnya, yakni Syaikh Yusuf Al Qaradhawi (lihat secara lengkap Manhaj Fikih Al Qaradhawi, hal. 211-213. Pustaka Al Kautsar)

Nasihat karena Allah bukanlah nasihat yang ditaburi dengan celaan dan membuka aib manusia. Apalagi bila tujuannya untuk mengurangi pengaruh orang yang dikritik dan karya-karyanya. Bertambah buruk bila ternyata orang-orang yang dicela tersebut tidak memiliki aib yang dimaksud atau kepatutan menerima perlakuan seperti itu. Ini tidak berarti ia ma’shum. Maksudnya dalam konteks masalah yang membuat ia dicela, tidak ada hal yang layak disebut sebuah kesalahan yang layak dicela.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

 “Hai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)” (QS. Al Hujurat: 11)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
“Cukuplah bagi seorang termasuk berbuat jahat, jika ia menghina saudaranya sesama Muslim.” (HR. Tirmidzi, dia berkata: hadits ini hasan. Riadhush shalihin no. 232)

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
“Mencaci seorang Muslim adalah perbuatan fasiq, dan membunuhnya adalah perbuatan kufur.” (HR. Muttafaq ‘alaih. Bulughul Maram, no. 1297, Bab Tarhib min Musawi Al Akhlaq, hal. 279)

Nasihat karena Allah bukanlah nasihat yang dibumbui gelar-gelar buruk kepada yang dinasihati tanpa alasan yang syar’I, terlebih gelar itu lahir karena ketidakmampuan si pemberi nasihat dalam memahami atau membaca masalah. Tentu ini lebih terlarang lagi. Tergelincirnya sebagian kecil pemuda da’wah dalam hal ini sudah berkali-kali terjadi.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al Hujurat: 11)

Panggilan buruk sesudah iman maksudnya seperti hai kafir, hai fasik, dan sebagainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:

“Barang siapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai musuh Allah!’, sedang pada kenyataannya tidak demikian, maka ucapan itu kembali kepada orang yang mengucapkan” (HR. Muslim)
“Barang siapa yang mengkafirkan seorang Muslim, maka ucapan itu akan menimpa salah satu di antara keduanya” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Nasihat karena Allah adalah nasihat yang didasari cinta dan benci karena Allah, sehingga kasih sayang dan kelembutan yang nampak, bukan kata-kata kasar lagi menghakimi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu lembut, menyukai kelembutan dalam segara urusan.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari ‘Aisyah. Riadhush shalihin, no. 631)
“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah menjadikan sesuatu kecuali menambah indah, dan tidaklah dicabut dari sesuatu (kelembutan itu, pen) kecuali menambah kejelekan.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah. Ibid, no. 633)

“Siapa yang diharamkan dari sifat lembut, maka telah diharamkan dari semua kebaikan.” (HR. Muslim dari Jarir bin Abdullah. Ibid, no. 636)

Nasihat dengan Ilmu
Ada anekdot yang menyindir manusia yang pandai mengkritik dan mencari kelemahan , tetapi ia sendiri tidak tahu masalah yang ia kritik..

Sebuah kepanitiaan bedah buku nampak bingung memilih buku apa yang menarik untuk dibahas. Ada yang usul, “Bagaimana jika buku A?”, dijawab oleh rekannya yang rajin mengkritik orang, “Jangan, buku itu tidak ada nilainya.” Lalu, “Kalau buku B?”, rekannya menjawab lagi, “Oh jangan juga, penulisnya menyimpang.”

“Waduh apa ya, kalau buku ini?”, rekannya menjawab, “Apalagi yang ini, lebih parah dari sebelumnya.” Panitia yang lain heran dan kagum, “Hebat, ente tahu betul ketiga buku itu. Apa sudah membaca semuanya?” Dia menjawab, “Belum kok, saya cuma baca buku kritiknya saja.”

*****
Anekdot ini menggambarkan adanya manusia yang rajin dan pandai mengkritik sana-sini, tetapi akalnya tidak digunakan. Ia hanya menggunakan akal orang lain melalui buku kritikan, tanpa melihat sendiri objek yang dikritik. ‘Kelucuan’ yang tidak lucu ini lahir lantaran semangat meluruskan tanpa dibarengi dengan ilmu dan niat yang baik, sekadar i’tizaziyah (jago-jagoan). ‘Ini lho saya, bisa tahu kesalahan si Fulan dan si Alan’.

Ilmu dalam sebuah nasihat laksana modal bagi para pedagang. Bukan pedagang namanya, jika hanya memiliki kios, promosi, manajemen, tanpa adanya modal barang dagangan. Niatnya ingin meluruskan yang bengkok, memperbaiki yang rusak, meralat yang keliru, justru menjadi bahan tertawaan lantaran ketiadaan bekal dalam itu semua.

Para da’I harus memiliki keduanya, yaitu debat dengan etika dan berhujjah dengan ilmu, Contoh bagus adalah ‘debat’ melalui tulisan ringan antara Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz rahimahullah dengan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi hafizhahullah tentang masalah perjanjian damai antara Palestina dengan Israel yang menghangat satu dekade yang lalu. Syaikh Al Qaradhawi posisinya sebagai penentang, sedang Syaikh bin Bazz mendukungnya. Tulisan kedua imam ini dihiasi kata-kata saling memuji, bersih dari zhan buruk, dan -tentunya- ilmiah. Lihat dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid III, karya Syaikh Yusuf Al Qaradhawi.

Lawannya ilmu adalah kebodohan dan khayalan. Hanya bias mengklaim, memvonis, dan menghakimi tanpa mampu memberikan argumen. Sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla perlihatkan tentang Yahudi dan Nasrani.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan pernah masuk surga kecuali orang Yahudi dan Nasrani.’ Itulah keinginan mereka. Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Tunjukan argumen kalian jika kalian memang orang-orang yang benar.’ “ (QS. Al Baqarah: 111)

Contoh Debat tanpa Adab dan Berhujjah tanpa Ilmu

Ada sebuah buku pseudo ilmiah (ilmiah seolah-olah) yang berjudul Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin (selanjutnya ditulis MSKIM) yang tulis oleh Andi Abu Thalib Al Atsary, yang dibuat untuk membantah buku kami Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah Allah yang Terzalimi (selanjutnya ditulis Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah yang Terzhalimi). Buku tersebut telah memenuhi tema kita saat ini.
Disebut ilmiah karena buku tersebut merujuk pada buku-buku ilmiah para ulama dan lainnya. Ini terlihat dalam galeri daftar pustakanya. Disebut pseudo (semu/seolah-olah) lantaran penulisnya gagal dalam memahami maksud-maksud dalam Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah yang Terzhalimi, sehingga banyak sekali bantahannya –walau merujuk kitab- yang disconnect dan tidak menyentuh masalah, bahkan cenderung ngelantur. Walalu tidak sedikit ada yang sekadar salah faham biasa.

Belum lagi bahasanya yang kasar yang diarahkan untuk kami, juga kepada Aus Hidayat Nur dan Abu Syamil Basayev, sebagaimana yang dirasakan oleh para ikhwan yang pernah membacanya. Kata-kata tersebut berulang-ulang seakan menjadi ciri khasnya, seperti jahil, pendusta, tidak faham dien, kufur, khawarij, Sayyid Quthb tidak faham seluk beluk bahsa Arab (?), dan lain-lain. Ini semua semakin membuat semu dan jauh dari koridor ilmiah.

Di bawah ini akan kami paparkan beberapa saja contoh ‘Jidal bila Adab wa Ihtijaj bila Ilm’.

Pertama. Penggunaan kaidah jarh wa ta’dil (celaan dan pujian) bukan pada tempatnya.
Jarh dan ta’dil adalah kaidah dalam ilmu hadits yang digunakan muhadditsin untuk menguji kelayakan seorang rawi dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak dibenarkan menggunakan kaidah ini bukan pada bidangnya, apalagi yang menggunakan bukan ahlinya. Dalam fikih ada ushul fikih, dalam tafsir ada kaidahnya. Maka amat berbahaya mencampurkan kaidah-kaidah ini untuk bidang lain, selain memang tidak pernah dicontohkan para ulama.

Penulis MSKIM telah menjarh kami secara terus terang -juga Aus Hidayat Nur, Abu Syamil Basayev, Sayyid Quthb, Hasan Al Banna, Yusuf Al Qaradhawi, Umar Tilmisany-, sehingga dengan sinis ia mengajak untuk jangan menerima ucapan dan tulisan kami. Sebab dalam ilmu hadits rawi yang kena jarh tidak layak diterima haditsnya, walau ia juga dipuji (ta’dil). Sebab jumhur mengatakan jarh harus didahulukan dibanding ta’dil. Inilah pendapat yang kuat.

Munggunakan kaidah jarh wa ta’dil untuk kepentingan hawa nafsu dan kebencian, adalah bentuk aniaya terhadap ilmu. Apakah manusia harus meninggalkan para ulama lantaran para ulama juga tidak ada yang selamat dari jarh ? Apakah pantas kita meninggalkan Imam Malik lantaran ia pernah disebut sebagai keturunan budak, atau Imam Asy Syafi’i disebut Rafidhah (sekte dalam syiah). Terlebih celaan kepada Imam Abu Hanifah yang amat banyak, sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Khathib Al Baghdady dalam Tarikh-nya jilid XIII.

Said bin Salim berkata kepada Imam Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah), “Aku mendengar penduduk Khurasan berkata, ‘Sesungguhnya Abu Hanifah itu Jahmiyah dan Murji’ah?’, Abu Yusuf menjawab, ‘Mereka benar.’ Aku (Said bin Salim) bertanya, ‘Bagaimana posisimu pada dirinya?’ Abu Yusuf menjawab, ‘Kami mendatanginya hanya untuk mempelajari fikihnya, sedangkan dalam urusan keyakinan kami tidak taklid kepadanya.’ “ (Tarikh Baghdadi, XIII/399)

Salamah bin Amru Al Qadhy pernah berdiri di atas mimbar lalu berkata, “La rahimallahu Aba Hanifah (semoga Allah tidak merahmati Abu Hanifah)! Lantaran ia mengatakan Al Qur’an adalah makhluk.” (Ibid, XIII/385) bahkan ada ulama yang sujud syukur ketika wafatnya Abu Hanifah, ada lagi yang menyebutnya lebih bahaya dibanding Dajjal. Lihat semua di Tarikh Bahgdady jilid XIII.
Imamul Muhadditsin, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany rahimahullah, juga pernah dicela sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah) oleh Syaikh Al Ghimari sebagaimana yang diceritakan Syaikh Al Albani dalam muqaddimah Sifat Shalat Nabi edisi revisi. Nah, apakah celaan-celaan ini membuat kita gegabah menolak apa saja yang para imam itu katakan dan tulis?

Jika penulis MSKIM mau konsisten menggunakan kaidah ini dan konsekuensinya, maka ia harus juga meninggalkan ucapan guru-gurunya. Sebab guru-guru yang ia sebutkan dalam bukunya itu juga mengalami celaan dari kalangan mereka sendiri. Mereka dicela sebagai Hizby, Sururi, Turatsi (terpengaruh pemikiran dan yayasan Ihya’ at Turats-nya Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq di Kuwait), dan musbil (laki-laki yang memakai kain atau celana panjang melebihi mata kaki, yang menurut mereka haram). Kami melihat sendiri beberapa kali, bahwa salah seorang ustadz yang ia sebut namanya itu menggunakan pantolan (celana panjang) yang melebihi mata kaki. Maka, ia harus rela meninggalkan ucapan para gurunya, demikianlah konsekuensi bagi orang yang kena jarh dalam konteks ilmu hadits. Namun itu bukanlah perilaku yang bijak, sebab memang bukan pada tempatnya menggunakan kaidah jarh wa ta’dil untuk masalah ini. Wallahu A’lam wal Musta’an.

Satu lagi, siapakah yang memberikan rekomendasi penulis MSKIM menjarh orang lain? Apakah ia telah memenuhi syarat-syarat sebagai orang yang layak mentajrih? Bahkan adakah di negeri ini yang sudah memenuhi syarat-syaratnya, dan diakui ulama dunia?

Dr. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh pentajrih dan penta’dil, yaitu alim, taqwa, wara’, jujur, tidak fanatic terhadap sebagian perawi, mengerti betul sebab-sebab jarh dan ta’dil, dan dia sendiri tidak kena jarh.(Ushul Al Hadits, hal. 240) Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka wajib ditolak jarh dan ta’dil yang dilakukannya.

Kedua. Dalam hal. 102-103 buku Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah yang Terzhalimi edisi lengkap, kami paparkan perkataan para orientalis Barat yang menyebut bahwa Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sekadar agama, ia juga tatanan sistem hidup dan kehidupan, seperti politik dan negara.
Pandangan mereka kami tulis untuk membantah kalangan sekuler yang memisahkan Islam dari negara dan politik. Kami katakan sombonglah mereka (para sekuleris) jika orientalis Barat –yang biasanya mereka ikuti- juga mereka tolak pandangannya yang justru mengakui universalitas Islam.

Namun sayang sekali, penulis MSKIM (hal. 384-390) memahami paparan ini sebagai bantahan untuk kalangan ‘salafiyun’ (dengan tanda petik). Ia mengira ucapan para orientalis adalah hujjah kami untuk mematahkan hujjah kaum ‘salafiyun’. Inilah kesalahfahaman yang luar biasa. Namun sayangnya celaan untuk kami telah terlanjur terjadi. Jika pangkalnya keliru, apalagi kelanjutannya.

Ketiga. Ini adalah contoh lucu. Pada hal. 404-406 buku MSKIM, nampak penulisnya kehilangan arah dan ngelantur.

Kekacauan ini terjadi ketika, ia menuduh kami tidak membersihkan gigi dan mulut (bersiwak atau menggosok gigi), gara-gara tulisan kami, “Mungkin mereka (Ikhwanul Muslimin) menilai menghancurkan penguasa tiran lebih prioritas daripada meributkan kain atau celana panjang yang melebihi mata kaki (isbal), melindungi kaum Muslimin dari kaum kafir lebih prioritas daripada meributkan cadar yang masih ikhtilaf, mempersoalkan makna istiwa’ (bersemayam), atau menggosok gigi pakai siwak.”

Sesungguhnya makna tulisan ini amat jelas, yaitu Ikhwan memandang bahwa ada agenda-agenda besar yang layak lebih diperhatikan disbanding meributkan masalah yang sudah lama menjadi perdebatan para ulama. Seperti isbal, cadar, makna istiwa, dan gosok gigi dengan siwak; apakah menggunakan odol dan sikat cukup memenuhi makna bersiwak? Namun begitu ajaib jika penulis tiba-tiba menuduh kami dengan yakin tidak membersihkan gigi dan mulutnya gara-gara tulisan itu? Haihata haihata (jauh sekali)! Lebih aneh ternyata ia sama sekali tidak menyinggung dan mengkritik isbal, kenapa? Karena salah seorang gurunya juga seorang musbil. Jika hal ini dikritik tentu ia harus berhadapan dengan gurunya. Inilah bukti Jidal bila Adab wa Ihtijaj bila Ilm.

Keempat. Dalam Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah yang Terzhalimi hal. 251 catatan kaki no. 13 kami menulis “Hadits hasan mendekati shahih atau dhaif.”

Makna tulisan ini juga jelas, yaitu posisi hadits hasan berada di antara hadits shahih dan dhaif. Hadits hasan tidak sampai shahih, tidak pula jatuh ke dhaif. Inilah yang difahami banyak orang ketika menemui kami setelah membaca bagian ini. Namun aneh sekali, ternyata penulis MSKIM (hal. 28) memahaminya bahwa kami menganggap sama antara shahih dan dhaif. Menurutnya kami tidak membedakan antara shahih dan dhaif. Ini adalah kesalahfahaman yang fatal.

Namun kami berbaik sangka, kesalahafahaman ini mungkin terjadi lantaran kami menggunakan kata atau dalam bagian shahih atau dhaif. Sehingga seakan antara keduanya tidak ada bedanya. Berbeda seandainya kami gunakan dan sehingga menjadi shahih dan dhaif. Sehingga memisahkan makna keduanya, dan mungkin akan lain ceritanya. Sesungguhnya menggunakan atau juga benar, tidak menunjukkan kesamaan antara keduanya. Seandainya ada pertanyaan, “Suka apa, jeruk atau apel?”, apakah kedua buah itu adalah buah yang sama karena menggunakan atau? Tentu atau di sini menunjukkan perbedaan keduanya. Sayangnya, kekeliruan telah terjadi lalu dilanjuti oleh celaan untuk kami.

Contoh lain adalah penulis mencaci maki da’wah FIS (Front Islamic Salvation) di Al Jazair (hal. 122 dan 329) lalu dengan yakin ia sebut FIS adalah partainya Ikhwanul Muslimin Al Jazair. Ini keliru. Ikhwan di Al Jazair adalah HAMAS (Harakah Muqawwamah As Silm) yang dipimpin oleh Syaikh Mahfuzh Nahnah. HAMAS di sana bukan HAMAS-nya Palestina. Adapun FIS dipimpin oleh Abbas Madani yang berkawan akrab dengan Ali bin Hajj.

Masih di hal. 122, ketika kami sebut Jamaah Islam Malaysia (disingkat JIM) merupakan Ikhwanul Musliminnya Malaysia, penulis MSKIM mengira Jamaah Islam Malaysia adalah Jamaah Islamiyah di Malaysia yang sedang dicari-cari intel dan kepolisian Malaysia dan Indonesia. Ini juga keliru dan bukti ketidaktahuannya tentang sejarah Ikhwan. JIM adalah ormas Islam resmi di Malaysia sebagaimana ABIM. Maka, JIM bukanlah JI seperti yang dikira penulis.

Penulis MSKIM juga sangat keliru ketika mengatakan bahwa demokrasi adalah produk Amerika Serikat. Demokrasi sudah ada jauh sebelum benua Amerika ditemukan. Demokrasi telah ada sejak masa Yunani kuno, bahkan Plato mengkritik Demokrasi.

Demikianlah contoh kecil ‘musykil’ dalam buku MSKIM. Ada papatah Arab:
Qabla ar rima Tumla’ul Kana’in
Sebelum memanah, siapkan dulu busurnya
Maksudnya sebelum mengkritik atau menyerang, hendaknya memiliki bekal yang cukup. Baik bekal ilmu maupun etika, dan tentunya niat yang baik Jangan asal kritik.

Penulis MSKIM mengingatkan kami kepada ucapan Imam Adz Dzahabi rahimahullah:
Ingin terbang tetapi tidak memiliki bulu burung. Ingin menanduk kambing hutan tapi tidak punya tanduk
Atau syair lainnya:
Wahai orang yang menanduk gunung tinggi untuk menundukkannya
Sayangilah kepala(mu), dan bukan gunung itu
Demikianlah contoh Jidal bila Adab wa Ihtijaj bila Ilm dari penulis buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin. Bukan di kolom ini menulis koreksi seluruh isi buku tersebut. Buku yang kami akui amat bermanfaat bagi yang terbiasa debat tanpa etika dan berhujjah tanpa ilmu.

Khatimah
Bagi pemuda da’wah harus segera melihat apa yang ada dihatinya ketika ia memberikan nasihat atau kritik. Jangan sampai ada rasa superioritas, merasa paling benar, tak mungkin salah. Sementara memandang orang lain lebih rendah, bodoh, dan pasti salah. Hanya karena berbeda dengan dirinya. Apalagi orang yang dikritiknya adalah orang yang bekerja untuk Islam dan kejayaannya.Ada syair:

Wahai para pengkritik manusia, tidakkah kamu lihat manusia?
Apa yang kamu lakukan? Jangan komentari pekerjaan: Ini kurang
Tapi perbuatlah yang lebih, lalu katakan: Ini yang lebih sempurna
Dari Abu Hurairah radhaiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang berkata, ‘Celakalah manusia’. Maka sesungguhnya ia lebih celaka dari mereka.” (HR. Muslim)

Jangan pula membesarkan masalah yang sepele, atau menyepelekan masalah yang besar. Ini berangkat dari terbaliknya pemahaman terhadap permasalahan umat. Masalah yang dikritik pun harus benar-benar sebuah ‘kesalahan’ bukan sekedar dikira salah, atau masih wilayah perdebatan manusia. Karena wilayah khilafiyah bukanlah kemungkaran yang harus dirubah.

Jangan pula menerjuni masalah yang bukan spesialisasinya. Agar tidak menghasilkan kerusakan pada masyarakat dan dipermalukan dimanusia.
Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

Maraji’:
  1. Tafsir Al Qur’anul Azhim jilid II, Imam Ibnu Katsir. Toha Putra –semarang (teks Arab yang disesuaikan dengan naskah terbitan Darul Kutub Al Mishriyah). Tanpa tahun
  2. Riadhush Shalihin, Imam An Nawawi. Tahqiq: Muhammad Ishamuddin Amin. Maktabatul Iman – Manshurah. Tanpa tahun
  3. Bulughul Maram, Imam Ibnu Hajar Al Asqalany. Tahqiq dan Ta’liq: Syaikh bin ‘Idrus Al ‘Idrus dan Alwi bin Abu Bakr as Saqqaf. Darul Kutub Al Islamiyah. Cet. 1. 2004
  4. Tarikh Baghdady jilid XIII, Imam Khathib Al Baghdady. Darul Fikr. Tanpa tahun
  5. Manhaj Fikih Yusuf Al Qaradhawi, Isham talimah. Pustaka Al Kautsar – Jakarta. Cet. 1. 2001
  6. Ushul Al Hadits, Muhammad ‘Ajaj Al Khathib. Gaya Media Pratama – Jakarta. Cet. 1. 1998
  7. Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah Allah Yang Terzalimi, Farid Nu’man. Pustaka nauka Depok. Cet. 2. 2004
  8. Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin, Andi Abu Thalib Al Atsary. Darul Qalam – Jakarta. Cet. 1. 2004

hasanalbanna.com/
Lengkapnya Klik DISINI

Duri di Jalan Dakwah

banna4
“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS Ali Imran [3]: 146).

Dakwah adalah sebuah perjalanan panjang yang takkan pernah sepi dari rintangan dan cobaan bagi mereka yang melaluinya. Usianya lebih panjang dari penyeru dakwah itu sendiri. Para rasul dan nabi yang telah merintis dan melaluinya telah memberikan banyak pelajaran (ibrah) bagi mereka yang meneruskan estafeta dakwah ini.

Rintangan dan ujian dalam berjuang di jalan dakwah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Ia pasti akan menghampiri, jangan pernah berhenti, karena para nabi dan pengikutnya tak pernah berhenti ataupun melemah karena rintangan dan ujian.

Nabi Nuh AS telah menghadapi cacian kaumnya, Nabi Ibrahim AS dibakar dalam nyala api, Nabi Isa AS dimusuhi, bahkan Nabi Muhammad SAW mendapat ancaman dibunuh setelah seringkali mendapat cacian, hinaan, dan penyiksaan. Tak ada satu pun dari mereka yang bergeming ataupun lemah lalu berhenti dalam dakwahnya, kecuali tetap kokoh dan semakin gigih dalam mengajak untuk menyembah Allah SWT semata.
Ayat di atas memberikan pelajaran dalam perjuangan. Dalam perjuangan para nabi dan pengikutnya, mereka tidak pernah berputus asa, menjadi lemah ataupun berhenti dalam dakwah atas cobaan yang menimpanya. Dalam ayat tersebut, terdapat tiga sifat yang menjadi duri di jalan dakwah, sifat yang harus diwaspadai oleh para dai penyeru kebenaran sehingga mereka tidak terjatuh dalam golongan orang-orang yang berjatuhan di jalan dakwah.

Di antara duri di jalan dakwah itu adalah, pertama, sifat wahn (famaa wahanu). Sifat ini dapat diartikan seperti dalam sebuah hadits ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang sebuah sebuah penyakit wahn. Wama alwahn ya Rasulallah? Rasulullah menjawab, ”Hubbuddunya wa karohiyatul maut.” Wahn adalah sifat cinta dunia dan takut mati. Sifat wahn banyak membuat para penyeru dakwah berguguran, boleh jadi karena tidak kuat atas siksaan, ataupun godaan dunia yang melenakan. Seorang yang telah memasuki arena dakwah dalam pertarungan hak dan kebatilan akan dihadapkan dengan hal ini. Sekali lagi sejarah telah menceritakan itu. Bukankah Rasulullah juga ditawari harta yang bergelimang? Tawaran untuk menjadi penguasa di jazirah Arab? Serta dijanjikan wanita Arab yang paling mempesona? Asalkan Rasul meninggalkan dakwahnya. Namun jawaban yang Rasulullah katakan, ”Kalaupun sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini.”

Kedua, sifat lemah (wama dho’ufu). Tentunya sebuah keharusan ketika sebuah kebenaran berteriak lantang dan mulai menyadarkan kebisuan dan keterlenaan banyak orang, dakwah akan berhadapan dengan sebuah kekuatan yang akan menghadangnya. Begitulah ketika Firaun mengahadang dakwah Nabi Musa AS, begitulah ketika Abu Jahal dan Abu Lahab menghalang-halangi dakwah Rasulullah. Begitulah Gamal Abdul Naser menghalangi dakwah Al-Banna dan ikhwan. Namun mereka tidak pernah merasa lemah atas apa yang menimpa mereka. Inilah pelajaran penting dari dakwah bahwa sifat tsabat adalah sebuah keharusan yang harus dimiliki bagi pengembannya.

Ketiga, sifat berdiam diri / sifat istikan (wamastakanu).Mereka tidak pernah berdiam diri, para dai terus bergerak di tengah kesulitan dan cobaan. Seorang dai sejati tidak pernah menunggu panggilan untuk dakwah. Bagaimana mungkin ia akan bisa berdiam sedangkan kemungkaran berada di sekelilingnya. Ketika dakwah belum juga menampakkan hasilnya, maka tidaklah membuat dai kemudian berdiam diri, karena yang dituntut darinya bukanlah hasil. Namun yang dipinta darinya hanyalah amal, sedangkan hasil adalah urusan Allah SWT semata.

Ketiga sifat tersebut, wahn, dhoif, dan istikan hendaklah mesti dihindari dan dibuang jauh-jauh dari kamus para dai. Maka dari itu untuk menjaga kualitas ruhiyah agar tetap tsabat para pejuang dakwah hendaklah tidak bosan-bosan untuk mengulang-ulang doa yang diucapkan oleh para nabi dan pengikutnya.

”Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS Ali Imran [3]: 147)

Semoga Allah SWT menguatkan langkah kita dalam menapaki jalan dakwah ini. Tsabat atas ujian dan rintangan yang menghadang di atas jalan ini. Amin.

http://www.al-intima.com/nasehat/duri-di-jalan-dakwah
Lengkapnya Klik DISINI

Saat Engkau Dizalimi

 http://cahyadi-takariawan.web.id/wp-content/uploads/2013/02/Saat-Dizalimi.jpg
Engkau mungkin terlalu sensitif.

Engkau mengira semua orang menghinamu.

Engkau mengira semua orang mengejekmu.

Engkau merasa semua orang mentertawakanmu.

Engkau menduga semua orang membencimu.

Padahal tidak begitu.

Yang terjadi adalah : semua orang tengah memperhatikanmu.

Oleh karena itu mereka akan segera mengetahui kualitas dirimu.

Ketegaranmu memberikan inspirasi bagi siapapun yang memperhatikanmu.

Ketabahanmu memberikan motivasi kepada semua orang di sekitarmu.

Ketulusanmu menguatkan langkah perjuanganmu.

Teruslah berjalan dan bekerja menggapai visi peradaban baru.

Tegakkan kepalamu, saudaraku.
 
Jangan ragu.

Allah tidak akan menyia-nyiakan semua usaha dakwahmu.
Lengkapnya Klik DISINI

CIA, PKI dan PKS

...Rudi Zainal...


Keterlibatan Agen Intelijen Amerika (CIA), dalam keruntuhan sebuah partai besar di Indonesia, bukanlah kisah mengada-ada. Dalam kasus PKI (Partai Komunis Indonesia), John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal (terbit 2008) membuktikan keterlibatan tersebut secara ilmiah. Pada bab VI buku yang edisi Inggrisnya diterbitkan The University of Wisconsin Press, Madison, USA (2006) itu, terurai bagaimana keterlibatan Amerika Serikat (CIA) hingga berujung pada kehancuran partai berlambang palu arit. Dari pembukaan bab VI itu saja telah terbayang peranan Amerika Serikat di sana. Di pucuk bab itu diletakkan kutipan pernyataan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard P. Jones (HPJ), pada 10 Maret 1965.Apa katanya?


”Dari sudut pandangan kami, sudah barang tentu, percobaan kup yang gagal oleh PKI boleh jadi merupakan perkembangan yang paling efektif untuk memulai pembalikan arah kecenderungan politik di Indonesia.” Demikian Howard Jones berkata.


Dihubungkan dengan kenyataan yang kemudian menjadi fakta sejarah, pendapat HPJ itu langsung terlihat relevansinya. Meskipun, dalam uraian lengkap Roosa di bab 6 itu terungkap, bahwa tidak mudah juga bagi Amerika untuk mendorong terjadinya apa yang mereka harapkan. Bagaimanakah membuat PKI mau melancarkan aksi yang diharapkan Amerika? Bukankah PKI berada di posisi yang sangat baik, buah dari taktik kerjasamanya dengan Sukarno? Di sisi lain, posisi Sukarno pun tidak bisa diserang. Dalam laporan diplomat berpengalaman Ellsworth Bunker kepada Presiden Johnson pada April 1965 tertulis,“Tidak perlu disangsikan kesetiaan rakyat Indonesia kepada Sukarno.” Bangsa Indonesia, lanjut Bunker, “Dalam jumlah yang besar mengharapkan kepemimpinan darinya, mempercayai kepemimpinannya, dan bersedia mengikutinya. Tak ada kekuatan di tanah air yang bisa menyerangnya, tidak pula ada bukti bahwa suatu kelompok penting ingin berbuat demikian.” 


Di sinilah kelihaian intelijen menemukan momentum ujiannya. Untuk mencapai apa yang diinginkan Amerika, CIA melancarkan operasi-operasi rahasia yang mendorong PKI berfikir bahwa partai dan Bung Karno dalam keadaan bahaya. Beberapa dari “operasi-operasi black letter [surat kaleng]” dan “operasi-operasi media” CIA dirancang untuk meyakinkan pimpinan PKI, bahwa jenderal-jenderal Angkatan Darat dan Amerika Serikat adalah anjing-anjing gila yang sangat menginginkan kup/kudeta. 


Di sisi lain, Bunker menyarankan pula, agar AS menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi elemen-elemen kekuatan potensial untuk menang dalam konfrontasi. Pemerintah AS pun kemudian menjadi sangat berharap terjadinya bentrokan antara Angkatan Darat dengan PKI. AS meyakinkan Angkatan Darat bahwa Amerika Serikat akan mendukung mereka jika mereka bergerak melawan PKI.


Meski kemudian AS dibayang-bayangi keraguan akan sukses dengan isu kudeta para Jenderal, kenyataannya PKI dalam hal ini DN Aidit dan Syam Kamaruzzaman, menyambar umpan yang dipancingkan Amerika. Mereka percaya dengan isu itu. Terjadilah penculikan para jenderal. Akibatnya fatal bagi PKI. Tak lama sesudah operasi yang terkenal dengan nama G 30 S, partai komunis terbesar ketiga di dunia saat itu, hancur dan tak pernah dibiarkan hidup kembali di negeri ini. Amerika dengan kapitalismenya pun keluar sebagai pemenang dalam perebutan pengaruh ideologis melawan komunisme di Indonesia, hingga saat ini.


*** 


Sebagai sebuah karya yang dihasilkan dari metode ilmiah, apa yang disampaikan Roosa itu tentu sulit untuk dikatakan oleh orang Indonesia saat ini sebagai mengarang-ngarang atau mereka-reka. Namun, di masa dokumen-dokumen Amerika yang menjadi objek penelitian Rossa masih bersifat rahasia (tahun 60-an sampai 80-an), dan karena itu belum diungkap ke publik, anggapan yang berlaku di masyarakat Indonesia saat itu pastilah sebaliknya. Saat itu, analisis yang menyatakan adanya keterlibatan intelijen dalam keruntuhan PKI, tentu dianggap hanya suatu teori konspirasi belaka, yang sulit memberikan bukti.


Tetapi mulai tahun 90-an, ketika dokumen itu resmi menjadi konsumsi publik, anggapan itu pun mau tidak mau harus berubah. Apa yang disebut-sebut hanya sebagai teori konspirasi ternyata faktual adanya. Pelajaran dari hal ini adalah: Suatu anggapan yang dinilai sebagai teori konspirasi belaka pada suatu masa, boleh jadi merupakan suatu fakta yang dapat dilihat kesahihannya beberapa dasawarsa ke depan. 


Bertolak dari pelajaran atau hikmah tersebut, adalah menarik apa yang disampaikan Anis Matta dalam orasi politik perdananya setelah diangkat sebagai presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Dari berbagai poin yang ia sampaikan, yang relevan di sini adalah pernyataan bahwa ada konspirasi besar untuk menghancurkan PKS.


Ketika ditanya berbagai pihak, siapakah para konspirator itu? (Termasuk dalam pertanyaan ini tentunya: dari dalam negeri atau luar negerikah konspirator itu?). Anis Matta menjawab diplomatis, bahwa ia merasa tidak relevan untuk mengungkapkan apalagi membuktikannya. Anis seolah hendak mengatakan bahwa biarlah PKS saja yang merasakannya, karena sifat konspirasi memang tidak kasat mata namun terasa adanya. 


Akan tetapi, jika kisah penghancuran PKI di atas menjadi pembanding, kiranya patut dipertimbangkan publik, kemungkinan pihak asing (baca:Amerika) punya andil dalam prahara PKS. Dan sekiranya memang demikian yang terjadi, prahara PKS sejatinya bukan musibah bagi PKS semata. Bukan pula hanya bagi perpolitikan Indonesia (sebagaimana judul dialog Indonesia Lawyer Club dalam salah satu edisinya: Prahara PKS, Prahara Politik). Tapi ini menyangkut musibah bagi kedaulatan dan harga diri bangsa. Tidakkah nasionalisme bangsa ini terusik, ketika dalam urusan dalam negerinya bangsa lain ikut cawe-cawe?


Kerangka teoritik untuk pertimbangan itu sebenarnya telah lama tersedia, dan semakin hari semakin terlihat relevansinya. Adalah Samuel Huntington, seorang Guru Besar Ilmu Politik asal Amerika yang mengabarkan dunia, bahwa pasca perang dingin di panggung global akan berlangsung clash civilization, benturan peradaban. Kemajuan ekonomi China, reaksi Amerika pasca tragedi 11 September 2001 (termasuk pembentukan Densus 88 di Indonesia), dan Arab Spring, adalah fenomena-fenomena yang kemudian tampak, usai Huntington menyampaikan teorinya di dekade akhir abad 20. Benturan peradaban yang dimaksud Huntington tak lain adalah antara Barat dan Timur. Timur dalam hal ini adalah Islam dan Konfusianisme. 


Kerangka teori itu, bagi PKS jelas ada relevansinya. PKS adalah partai Islam terbesar di negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia. Apakah ia tidak layak karenanya diperhitungkan, dalam konstelasi clash civilization a la Huntington itu? 


Dalam konteks perbenturan ideologi di masa lalu, yang sangat diperhitungkan Barat dari Indonesia adalah PKI. Dalam konteks perbenturan peradaban saat ini, yang wajar bila ia diperhitungkan, adalah PKS! Dalam sejarah, PKI hancur sehancur-hancurnya. Dalam masa penantian, apakah PKS akan habis?


Dengarlah pesan Anis Matta dalam sebuah perhelatan partainya di Bandung. Ia mengutip Aku-nya Chairil Anwar: Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari. Hingga hilang pedih perih Aku ingin hidup seribu tahun lagi….. 


30 tahun lagi, konspirasi besar yang dinyatakan Anis Matta, terbuka untuk diuji dan dibuktikan di perpustakaan Amerika. Di sana akan ditemukan jawaban atas persoalan: Apakah Amerika memang memiliki keterlibatan atau tidak dalam prahara PKS tahun 2013, dan bagaimana modus operandinya. Apakah PKS saat itu tetap eksis dan telah menjadi the ruling party ? Waktulah yang akan menjawabnya. Yang pasti, sekali lagi, keterlibatan Agen Intelijen Amerika (CIA) dalam keruntuhan sebuah partai besar di Indonesia, bukanlah kisah mengada-ada.

http://politik.kompasiana.com/2013/02/16/cia-pki-dan-pks-534053.html 


Baca Juga 'Operasi Intelijen' untuk PKS: Dari penjatuhan citra hingga perangkap daging impor
Lengkapnya Klik DISINI

Ketika

Oleh : Kang Umar Yuwono
http://profile.ak.fbcdn.net/hprofile-ak-snc7/373469_340286599414393_1510145351_q.jpgKetika aku menyebut diriku PKS
yang lain akan menuduhku sebagai pro demokrasi. Walau sebenarnya bukan itu tujuanku…

... Atau ketika aku bicara bahwa aku HTI
yang lain akan bilang aku tidak mengimani adzab kubur, turunnya al mahdi, bahkan tidak mengambil hadits ahad, padahal aku bukan seperti itu.

Dan ketika aku mengaku Jama’ah Tabligh
oh no!! yang lain mencibirku karena aku meningalkan anak istriku sendirian, padahal tujuanku dakwah.

Ketika aku mengklaim diriku WHI atau SALAFY
yang lain berteriak…”JANGAN SUKA MEMBID’AH-BID’AHKAN ORANG LAIN!!!!” padahal aku tahu mana benar dan mana salah. Aku hanya ingin membetulkan.

Aku memutuskan…
Untuk berhenti sejenak…
Menertawakan mereka yang merasa benar dengan jalannya masing-masing
berfikir sejenak, mengapa ini bisa terjadi ? Bahkan disini! tidak ada lagi Ukhuwah Islamiyah! Yang ada hanya ukhuwah PKS-iyah, ukhuwah HTI-iyah, Ukhuwah Salafy-iyah, Ukhuwah JT-iyah dan semua Ukhuwah

Ashobiyah lainnya yang jelas-jelas merupakan PERPECAHAN…
Semua perdebatan yang katanya mencari “PENCERAHAN”
Bisakah dirasakan “PENCERAHAN” nya ?
Saya sama sekali tidak bisa merasakanya….Bagaimana dengan anda?

Aku malu pada Rasulullah saw, karena aku sendiri tidak berdaya…
Aku seorang MUSLIM. Ya, seorang MUSLIM
Seorang mutarobby yang fikrohnya dipupuk oleh tarbiyah, tapi aku bukan PKS…
Dan mencoba mencontoh apa yang dilakukan salafusshalih, tapi aku bukan WHI atau SALAFY…
Dengan kegemilangan islam dan khilafah sebagai tujuan, aku bukan HTI…

Dan aku tahu…
Dimana aku berpijak…
Di situ ladang dakwahku….
Tanpa harus menjelek-jelekkan orang lain….
Karena aku seorang MUSLIM….
Astaghfirullahal adzim…
Astaghfirullahal adzim…
astaghfirullahal adzim…

Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh Allah beserta orang-orang sabar (QS.Al-Anfal[8]:46).

Sy bukan kader PKS n ga’ bisa nyamain kapasitas Ilmu & Perjuangan para murabby/murabbyah/kader PKS, karena mereka tak kenal lelah & istirahat dlm mendakwahkan Islam..
Meski tidak menafikkan masih banyak pula kekurangannya tetapi disitulah 
ketidaksempurnaannya sbg makhluk Allah di dalam berdakwah, ttp mereka terus berproses dlm perbaikan (lebih suka mengoreksi diri sendiri daripada sibuk mencari kekurangan orang/organisasi lain yg tidak sefikroh/sejalan dengannya. 

Soal demokrasi n parpol, klw sy sich itu cuman penamaan organisasi sj, cuman label n covernya doank tetapi isinya tetap sama yaitu Islam (Ingin menegakkan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammadurrasulullah, ingin tegaknya khilafah n syariah Islam di bumi Allah), jd Partai hanyalah wasilah, kendaraan n strategi dakwah sj.

PKS Dakwahnya menyeluruh semua dimensi, mulai dari kalangan atas hingga kebawah…
PKS Dakwahnya lebih mudah diterima, mendahulukan kabar gembira daripada menakut-nakuti.
PKS Dakwah fardiyahnya bagus n lebih gaul, sama keluarga/kerabat, tetangga, teman, bahkan orang belum dikenal sekalipun, dll. Mereka Gaul namun tetap Syar’i (Tahu menjaga antara perintah dan larangan agama).

Sampaikanlah walau satu ayat…
Terus berjuang, Ikhlas, Istiqamah, Muhasabah, Sabar..
No Body’s Perfect !!!
Saya salut dengan Dakwah PKS
Sebuah catatan kaki.
dari orang yang tidak tahu apa-apa. dan gerah melihat semua keretakan ini
facebook
Lengkapnya Klik DISINI

Jangan Lupakan Target Akhir Dakwah Kita

ust-hilmi-aminuddin
Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
Target akhir dakwah kita adalah nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk) dan li I’laai kalimatillah (meninggikan kalimah Allah), hatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Jangan lupakan target akhir ini. 

Amal khoiri yang pendekatannya kesejahteraan, jangan dianggap sebagai ghayah (target akhir), itu sasaran antara saja. Memang dia suatu anjuran dari Allah, tapi dia sasaran antara dari segi dakwah, diharapkan melalui ihsan kita menghasilkan penyikapan dan sambutan yang khoir. Hal jazaul ihsan illal ihsan, tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. Tapi ihsan kita, operasi mewujudkan kesejahteraan itu jangan dianggap tujuan akhir. Negara-negara Eropa itu adalah Negara yang sejahtera hidupnya. Tapi 50% penduduknya atheis.

Bagi kita, jadi camat, bupati, walikota, gubernur atau presiden, itu sasaran antara. Akhirnya hatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Wa kalimatullah hiyal ulya (dan kalimat Allah itulah yang tinggi).

Jadi, amal tsaqafi, orang jadi bertsaqafah; amal khairi, orang jadi sejahtera; itu hanyalah sasaran-sasaran antara kita. Sebab kalau orientasi masyarakat madani itu hanya terdidik, dan sejahtera seperti di Eropa, banyak yang mulhid, atheis walaupun terdidik dan sejahtera. Walaupun bukan atheis terorganisir seperti komunis, style masyarakat sebagai individu itu atheis. Bahkan memandang keagamaan itu merupakan bagian dari budaya.

Di Jepang juga masyarakatnya sangat sejahtera. Tapi bagi mereka agama itu kultur yang terserah selera, boleh berganti kapan saja. Orang Jepang saat lahir umumnya disambut dengan upacara-upacara Budha. Ketika nanti menikah dirayakan dengan upacara Kristen dan ketika meninggal dengan upacara Sinto. Kata ikhwah yang pernah bermukim di Jepang, pernah ada sensus keagamaan, ternyata pemeluk agama di Jepang itu tiga kali lipat dari jumlah penduduk. Jadi mereka sebenarnya sejahtera dan terdidik. Secara fisik, materi, mereka terlihat bahagia. Tapi yabqa ala dhalalah (tetap dalam kesesatan).

Nah kita sebagai partai dakwah tidak begitu. Maksud saya, kalau kita sudah bisa mentau’iyah (menyadarkan), menjadi terbuka, bebas, demokratis, mentatsqif, menjadi terdidik, atau menyejahterakan sekalipun, perjalanan kita masih tetap jauh. Sebab sesudah itu, bagaimana mereka bisa kita konsolidasikan, bisa kita koordinasikan, kita mobilisasikan, litakuuna kalimatulladziina kafaru sulfa wa kalimatullahi hiyal ‘ulya. Ini penting untuk selalu diingatkan dan dicamkan. Apalagi di masa-masa musyarokah (partisipasi politik) ini.

Jangan merasa sukses menjadi pemimpin  Pemda itu ukurannya sekedar telah membangun sekolah sekian, madrasah sekian, kesejahteraan, pertanian subur; sementara hidayah tercecer. Makanya keterpaduan langkah-langkah yang sifatnya tarfih (kesejahteraan), atau tatsqif (mencerdaskan bangsa) harus sejajar dengan upaya-upaya mendekatkan orang pada hidayah Allah. Harus begitu.

Ini saya ingatkan karena ketika kita di masyarakat dituntut di sektor kesejahteraan, di sektor kebijakan, di sektor pendidikan, di sektor kesehatan; maka harus secara menyatu terpadu dengan nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk Islam), nayrul fikrah (menyebarkan gagasan Islam), wa nasyrul harakah (penyebaran gerakan dakwah). Agar mereka akhirnya bergerak bersama-sama li I’lai kalimatillah. [  ]


http://www.al-intima.com/taujih-hilmi-aminuddin/jangan-lupakan-target-akhir-dakwah-kita
Lengkapnya Klik DISINI

Pertempuran Itu Belum Berakhir

 
Kemenangan pasukan Muslim saat perang Badar serta merta menyuburkan perkembangan dakwah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Saat perang Badar, pasukan Islam berjumlah 300-an. Sedangkan persiapan untuk menghadapi pasukan kafir di bukit Uhud, pasukan Islam menjadi 1000 orang.

Meski pendapat Rasulullah berbeda dengan hasil keputusan syuro’, beliau adalah orang pertama yang melaksanakan keputusan itu. Manusia paling mulia di muka bumi ini berkata: "Tidak pantas bagi seorang nabi, apabila telah memakai pakaian perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum berperang, Sebelum Allah memberikan putusan antara diriku dengan musuhnya, atas ketabahan kalian, semoga kemenangan ditangan kalian".

Keputusan telah diambil, hasilnya harus dilaksanakan. Nabi pun keluar kota Madinah bersama pasukannya yang berjumlah 1000 orang. Tetapi dalam perjalanan, Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan desersi dan mampu mempengaruhi sebanyak 300 orang. Sehingga tinggal 700 orang yang akan menghadapi kekuatan 3000 pasukan kafir Quraisy.

Kisah pertempuran di bukit Uhud ini insyaAllah kita sudah tahu semua. Karena ketidaktaatan pasukan panah, pasukan Islam menderita banyak kerugian. Bahkan hampir saja Rasulullah SAW terbunuh. Sekembalinya ke kota Madinah, para pasukan Islam ini justru diolok-olok oleh orang-orang munafiq yang desersi tadi. Allah SWT berfirman, "Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh". Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar". QS 3 :168

Kemenangan demi kemenangan selanjutnya diperoleh.
Perang Khandaq, Kisah Fathul Makkah, Perang Hunain… hingga mampu mengalahkan Adidaya Romawi dan Persia.

And Now.....

Siapapun yang menginginkan buah kemenangan (dengan ridho Allah tentunya), tidak akan menghindar dari sikap totalitas (tajarrud) sebagai kemutlakan dalam berdakwah. Lezatnya aroma pengorbanan dalam dakwah dapat diraih dari sikap mujahadah, qanaah, dan ridha dalam menghadapi setiap cobaan dalam dakwah.

Suatu saat kita mengalami euphoria dakwah. Saya menangis haru ketika Ustadz Hidayat Nur Wahid berhasil menjadi Ketua MPR 2004 lalu. Sebuah pencapaian yang tidak terbayangkan pada 5 tahun sebelumnya.

Atau kita mengalami cobaan dakwah yang menurut kita sangat berat. Padahal mungkin belum ada apa-apanya bila dibandingkan cobaan para ikhwah pada masa lalu yang berakhir di tiang gantungan. Atau 40 ikhwah yang baru-baru ini dipenjarakan tanpa sebab yang jelas oleh rezim yang berkuasa di Mesir. Apabila dibandingkan dengan cobaan pada masa Rasul SAW dan sahabat? Kita belum ada apa-apanya.

Ikhwatifillah, untuk memenangkan pertempuran bukan dengan cara kita sendiri, tapi harus dilakukan secara kolektif. Keinginan-keinginan pribadi pun harus digilas menjadi sebuah keikhlasan yang kolektif, keikhlasan yang dilakukan oleh setiap individu dari sebuah jama’ah.

Nabi SAW bersabda :  “Kalian harus berjama’ah karena tangan Allah bersama jama’ah”

Serta sabda Nabi SAW yang lain : “Janganlah engkau tanyakan kepadaku sesuatu yang aku biarkan untuk kamu, karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka dengan Nabi mereka. Apabila aku melarang kamu dari sesuatu maka jauhilah ia dan aku memerintahkan sesuatu kepada kamu maka lakukanlah semaksimal mungkin; dan jika aku mencegah kamu dari sesuatu maka tinggalkanlah ia” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Apakah kita akan meninggalkan teman kita ketika teman kita itu dalam keadaan terpuruk dan difitnah oleh banyak pihak? Apakah kita hanya akan menganggap teman kita sebagai ‘teman’ ketika dia dalam keadaan yang sesuai dengan pendapat kita. Teman sejati kita adalah teman dikala kita sedang di atas, kita sedang bias-biasa saja di tempat yang datar, atau ketika kita sedang terpuruk dan terperosok di jurang yang dalam dan gelap, dia tetap menganggap kita sebagai teman sejati.

Ikhwatifillah, kerugian besar yang diperoleh pasukan Muslim pada peristiwa Uhud, banyak memberikan pelajaran bagi Sahabat Rasulullah pada waktu itu. Sehingga kemenangan demi kemenangan dapat diraih pada masa selanjutnya hingga mampu menguasai dunia sebagai wujud khalifah fil ardh….

Dan bagi kita, pertempuran dalam dakwah masih akan berlanjut. Satukan gerak dan langkah kita untuk menggapai kemenangan.

Wallahu a’lam bishshawwab

Al Akh Taufik

http://www.islamedia.web.id/2013/02/pertempuran-itu-belum-berakhir.html
Lengkapnya Klik DISINI

Nazhar, Bukan Sekedar Ta’aruf


Engkaulah itu minyak atar

    Meskipun masih tersimpan

    Dalam kuntum yang akan mekar

    -Iqbal, Javid Namah-



“Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami”, kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat dan jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi. Janggut. Salah satu simbol kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin dan bersih.

Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!

Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya.

Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!”

Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.

Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya.

♥♥♥

Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu. Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih anaknya.

Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.

Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.

Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang  menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.

Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum.

”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat 13)

♥♥♥

Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.”

Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.”

Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk menikahi.

Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya, ”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih langgeng.”

Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi.

Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar (نظر). Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan melestarikan prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama.

Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya..

Keluarkan Kucing dari Karungnya

    jangan kau kira cinta datang

    dari keakraban dan pendekatan yang tekun

    cinta adalah putera dari kecocokan jiwa

    dan jikalau itu tiada

    cinta takkan pernah tercipta,

    dalam hitungan tahun, bahkan millenia

    -Kahlil Gibran-

Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin menikah dengan kucing.

 Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja.

Adalah Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker yang setelah sukses dengan buku Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya, Blink: The Power of Thinking without Thinking. Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya.

Dua detik pertama mencerap dengan indera itu menentukan. Mahapenting.

Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan akbar.

“Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”

Padahal seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja.

Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.

Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon tak bisa memasak?

“Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum.

“Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.”

Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.”

Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua macam profesi itu.

Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja.

Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda.

"Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah)

            Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja. Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak menyatu.

”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita.

Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu.

    kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya

    ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan

    ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan

    ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan

    tapi satu hal tetap sama

    mereka cocok  karena bersama bertasbih memuji Allah

    seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya






*http://salimafillah.com/nazhar-bukan-sekedar-taaruf/
Lengkapnya Klik DISINI

Hamas Serukan Pembebasan Tangan Mujahidin untuk Melawan Zionis

Jurubicara Gerakan Palestina Perlawanan Islam Hamas Dr. Sami Abu Zuhri menegaskan bahwa gerakannya akan menggunakan semua sarana untuk membebaskan seluruh tawanan dari penjara-penjara Zionis.

Sementara itu Menteri Urusan Tawanan Dr. Atallah Abu Sabih meminta gerakan Fatah kembali kepada pilihan perlawanan dan membebaskan tangan para mujahidin di Tepi Barat untuk menangkap penjajah Zionis dan menghentikan kejahatannya terhadap para tawanan Palestina.

Dia menegaskan, “Penyanderaan serdadu Zionis merupakan sarana paling sukses untuk membersihkan penjara Zionis dari tawanan Palestina.” Dia mengingatkan bahwa perundingan sia-sia tidak akan memberikan apa-apa bagi isu Palestina utama masalah tawanan. “Darah Jaradat menuntut semua pihak untuk bangkit untuk membalas kehormatan para tawanan dan pengorbanan mereka yang mahal,” serunya.

Sedang jurubicara Gerakan Tawanan, Mazen Fuqaha, mengatakan bahwa Jaradat meninggal akibat kejahatan sistematis. Dia menjelaskan penderitaan yang dialami para tawanan yang melakukan mogok makan di penjara Zionis. Dia menyerukan campur tangan secepatnya untuk menyelamatnya nyawa mereka sebelum terlambat.

Dia menyatakan bahwa penjajah Zionis merampas hak-hak mendasar para tawanan. Dia menyerukan rakyat Palestina untuk melakukan intifadhah baru untuk membela para tawanan.

Sabtu (23/2), Arafat Jaradat (30), warga asal pinggiran Hebron, wilayah selatan Tepi Barat, meninggal dunia di penjara Zionis Magedo, setelah enam hari ditahan dan dua hari dibawa ke pusat interogasi Zionis di Jamla. Keluarga Jaradat menegaskan korban gugur akibat penyiksaan. (asw)

http://www.islamedia.web.id/2013/02/hamas-serukan-pembebasan-tangan.html
Lengkapnya Klik DISINI

Sssts...Ada Operasi Intelijen Bersandi SS untuk Hancurkan Parpol

 
Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2014, kondisi politik di Indonesia mulai memanas. Sejumlah partai politik terus berupaya membangun citra, demi mendongkrak elektabilitas partai.
Tapi, tak hanya berupaya memoles citra, sejumlah partai politik juga menyerang partai politik lain, untuk menjatuhkan citra. Hal itu, terlihat dari banyaknya kader partai politik besar  yang terseret kasus korupsi.
Menurut Wakil Bendahara Umum (Wabendum) Golkar, Bambang Soesatyo, ada selentingan rumor yang menyatakan, saat ini ada operasi intelijen bersandi SS yang tengah dijalankan kelompok tertentu. Operasi itu dilakukan dengan cara  menghembuskan kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik. Tujuannya agar elektabilitas lawan politiknya menurun.
"Operasi sandi SS ini dijalankan kepada lawan politiknya untuk menyamakan skor keterpurukan (partai yang sedang terpuruk)," kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu, usai diskusi 'Distrust Rakyat Pada Partai Politik: Proyeksi Pemilu 2014' di Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Jakarta, Rabu (20/2/2013).
Bamsoet menjelaskan, operasi SS ini sendiri sudah terbukti ketika Partai Demokrat dihantam kasus korupsi dan membuat elektabilitas diberbagai lembaga survei menurun. Terakhir, kata dia, kasus suap impor daging sapi yang melibatkan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Kasus itupun secara tidak langsung mengancam elektabilitas PKS.
"Banyaknya partai yang tersandung kasus itu akan semakin mencoret citra partai di mata masyarakat dan secara tidak langsung akan berimbas pada partisipasi masyarakat dalam Pemilu," jelasnya.
Selain itu, kata Bambang, kasus korupsi juga digunakan sejumlah politisi sebagai alat untuk menghancurkan lawan politiknya dengan membentuk stigma buruk. "Stigma jelek terlibat dalam korupsi sama seperti stigma 'kontrarevolusi di masa demokrasi terpimpin dan stigma 'terlibat PKI' di masa orde baru," tambahnya.
Lebih lanjut, Bamsoet menjelaskan memang kasus yang menjerat politikus tidak bisa digeneralisasi langsung kepada parpol secara kelembagaan. Tapi, opini publik berkata yang sebaliknya. Satu orang korupsi maka satu partai merasakan akibatnya.

*http://news.okezone.com/read/2013/02/20/339/764978/sssts-ada-operasi-intelijen-bersandi-ss-untuk-hancurkan-parpol
Lengkapnya Klik DISINI

Islam dan Sains

Nabiel bin Fuad Al Musawa 
“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka kelak di hari Kiamat akan dijahit mulutnya dengan jahitan dari api neraka.”[1]

Sepengetahuan kami, tidak ada dalam aliran agama dan pemikiran manapun di dunia ini, baik yang terdahulu (seperti Kristen, Hindu dan Budha) maupun kontemporer (kapitalisme, westernisme, sosialisme, pluralisme) yang sampai memberikan support demikian kuat kepada anggotanya untuk belajar dan mengajarkan ilmu (dalam arti umum, bukan hanya ilmu agama ansich), bahkan dengan memberikan ancaman yang demikian keras hanya karena tidak mau menjawab sebuah pertanyaan tentang ilmu padahal ia mengetahuinya…

Demikianlah kesempurnaan sistem ilahiah dan rabbaniah yang merupakan sistemtertinggi yang tidak dapat ditandingi oleh sistem manapun dalam kesempurnaannya di segala aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh penganutnya. Demikian tinggi perhatian Islam pada ilmu pengetahuan, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan rasul-Nya yang mulia melarang bersikap iri hati kecuali kepada 2 kelompok orang, salah satunya orang yang dianugerahi ilmu lalu ia memanfaatkan dan mengajarkan ilmunya tersebut siang dan malam.[2]

Lebih jauh, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan balasan Jannah bagi orang-orang yang sedang berusaha menempuh jalan untuk menuntut ilmu[3], bahkan dalam riwayat lain disebutkan secara lengkap sebagai berikut: “Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka akan Allah mudahkan baginya jalan menuju Jannah.

Sungguh para malaikat itu membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan hal tersebut. Bahwasannya penghuni langit dan bumi sampai ikan-ikan dan kerang di dasar samudera memintakan ampunan kepada orang yang berilmu. Keutamaan orang alim dari seorang abid (ahli ibadah) adalah bagaikan keutamaan bulan purnama dari bintang-bintang. Sungguh para ulama itu adalah pewaris Nabi dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham akan tetapi mewariskan ilmu pengetahuan. Maka barangsiapa yang menuntut ilmu, maka ia telah mengambil bagian yg sempurna.”[4]

Keutamaan belajar ilmu dan mengajarkannya bagi pelakunya dalam Islam juga tidak hanya berhenti sebatas di dunia ini saja, melainkan pahala dan keutamaannya tersebut akan terus mengalir kepada orang tersebut sampai setelah ia lama mati [5]sepanjang perbuatan mencari dan mengajarkan ilmu tersebut semata-mata ikhlas ditujukan untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, ada pun jika tujuan mencari ilmu tersebut untuk kepentingan sesaat (duniawi) yang rendah dan buruk, maka hukumanlah yang akan ia dapatkan di akhirat kelak, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya bertujuan untuk mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla, lalu ia mempelajarinya dengan tujuan hanya untuk mendapatkan kedudukan dunia, maka kelak di hari Kiamat ia tidak akan mendapatkan wanginya Jannah.”[6]

Islam pun menggariskan bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama dalam menyerap dan memahami ilmu pengetahuan, ada yang genius, ada yang moderat dan ada pula yang lemah akalnya (idiot); sebagaimana dalam sabda nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku bagaikan hujan yang menimpa bumi. Sebagian tanah ada yang subur, lalu tumbuhlah berbagai tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Namun ada pula tanah yang kering namun masih bisa menyimpan air, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaatkan kepada manusia, mereka bisa minum dari air tersebut dan memberi makanan ternak dan bertani. Ada lagi air yang menimpa bagian bumi yang datar dan lunak yang tidak dapat menyimpan air dan tidak dpt menumbuhkan tumbuhan. Demikianlah perumpamaan orang alim dalam masalah agama dan mengerjakannya, dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk Allah yang diturunkan kepada mereka.”[7]

Maka ketika kaum Muslimin mendalami dan mengamalkan agamanya dengan benar, penuhlah dunia dengan para ilmuwan dan saintek Muslim seperti di bidang kedokteran: Kitab Ibnu Sina, Al Qanun (abad-12) & Al Hawi (Ar Razi) menjadi sumber pengetahuan kedokteran di Barat sampai abad-16; Raja Friederich-II dari Perancis meminta putra-putra Ibnu Rusyd (menurut ejaan Barat dibaca: Averoes) untuk tinggal diistananya mengajarinya ilmu Botani & Zoologi; Paus Gerbert (bergelar Sylvestre-II) mengajar ilmu-ilmu alam pada tahun 1552-1562 yang kesemuanya dipelajarinya di Universitas Islam Andalusia di Spanyol; Bahkan menurut Gustave Le Bon (sejarawan Perancis) bahwa ahli-ahli Barat seperti Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Albertus Magnus, dan lain-lain dibesarkan dalam era keemasan perpustakaan pengetahuan Islam & Arab.[8] Kesemuanya itu kemudian diganti oleh generasi berikutnya yang menjauh dari nilai-nilai Islam dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga sedikit demi sedikit kepemimpinan kaum Muslimin digantikan oleh generasi yang meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat.[9]

Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala mencabut ilmu dari kaum Muslimin tidak secara sertamerta, tapi melalui diwafatkannya orang-orang yang berilmu dan bertaqwa dan digantikannya dengan orang-orang yang bodoh dan sesat yang memimpin manusia, sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang lainnya.[10]
Allahu a’lam bish Shawab…


[1] Hadits Riwayat: 1. Abu Daud, hadits no. 3658. 2. Tirmidzi, hadits no. 2651. 3. Ibnu Majah, hadits no. 261. 4. Menurut Tirmidzi sanadnya hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban hadits ini shahih (no. 95), juga dalam shahih-nya dalam bab Abdullah bin Umar (96).
[2] HR. Bukhari, I/152-153; Muslim hadits no. 816.
[3] HR. Muslim, hadit no. 2699.
[4] HR. Abu Daud no. 3641-3642; Tirmidzi, no. 2683; Ibnu Majah, no. 223; dan dishahih-kan oleh Ibnu Hibban (74-75) melalui riwayat Abu Darda Radhiyallahu ‘Anhu; juga dari riwayat Jabir bin Muth’im Radhiyallahu ‘Anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/80) dan dishahih-kan oleh Al Hakim (I/86-87); juga dari riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu yang diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (V/183); hadits ini juga diriwayatkan oleh ad Darami (I/75) dan di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban (72-73).
[5] HR. Muslim, hadits no. 1631.
[6] HR. Abu Daud (3664); Ibnu majah (252); dan di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban (89) dan Al Hakim (I/85) dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[7] HR. Bukhari I/150-151, VI/152; Muslim (1037).
[8] DR Musthafa As Siba’i, Min Hadharatina.
[9] QS Maryam, 19/59.
[10] HR. Bukhari I/174-175; Muslim (2673).


sumber: http://www.hasanalbanna.com/islam-dan-sains/
Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......