Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Mengenal Hikikomori yang Mulai Mewabah di Indonesia

142605729734206774
Ilustrasi/Shutterstock-Kompas.com
Saya sangat kaget ketika membaca tulisan Kompasianer Trisna Wati tentang Hikikomori di Indonesia. Apalagi katanya justru malah orang-orang disana malah bangga mengatakan dirinya sendiri sebagai seorang Hikikomori. Geleng-geleng kepala.

Hikikomori mewabah di Indonesia??

Saya bukan seorang pengamat sosial, tapi saya sangat tertarik terhadap dua masalah sosial yang terjadi di Jepang dan sudah menjadi momok yang berkepanjangan hingga akhirnya pemerintah pun turun tangan dan mencari solusi untuk mengurangi atau bahkan mencegah sampai masalah semakin berkembang di Jepang.

Pertama adalah tentang IJIME, bully di Jepang, dulu saya pernah bahas tentang Ijime di Jepang yang sudah bisa dibilang masalah akut dan masih terlihat jelas kalau persoalan ini sampai sekarang pun masih membayangi kehidupan bermasyarakat disini, lalu yang kedua adalah HIKIKOMORI.
Kali ini saya tertarik untuk membahas tentang HIKIKOMORI ini.

Apa sih HIKIKOMORI itu? Kalau translate harfiah dari artinya adalah menarik diri atau mengisolasi dirinya sendiri. Kenapa? Karena takut untuk berinteraksi dengan lingkungan luar, takut untuk menerima penolakan dari masyarakat. Dan akhirnya mengurunglah orang itu agar tetap merasa dirinya aman selalu dan terlindungi.

Saya inget sekali dulu waktu anak sulung saya merengek minta dibelikan game portable, suami saya langsung bilang NO! Kenapa? Karena efek bermain game portable ini salah satunya bisa membuat anak menjadi seorang seorang hikikomori. Terus bermain di dalam kamar tanpa berinteraksi dengan teman di rumah bahkan dengan keluarganya sendiri. Baru setelah anak-anak sudah besar dan bisa diajak untuk ber-yakusoku(berjanji) suami saya pun mengijinkan untuk mereka membeli game portable itu dengan hasil tabungan dari uang sakunya mereka.

Anak-anak diijinkan dengan berbagai syarat yang harus dipatuhi, seperti tidak boleh bawa game saat bepergian dengan keluarga dan tidak boleh main game saat sabtu minggu, kenapa? Karena saat-saat itulah harusnya dihabiskan untuk bercengkerama dengan keluarga dan so far mereka masih `takut` untuk merobek janji yang telah disepakatinya itu.

Lalu ada kisah kedua, ini tentang anak sahabat Jepang saya yang sangat pendiam, hobinya main game dan baca majalah manga. Dulu anak ini adalah sahabat anak-anak saya, sering sekali main kerumah, tapi setelah anak-anak ini masuk SD, sudah jarang sekali berkunjung kerumah. Suatu ketika saat ibunya main kerumah saya, berceritalah kalau anaknya itu sudah enggan untuk keluar rumah kalau sudah asyik dengan manga-nya, bahkan bisa itu sambil ketawa ngikik ngikik sendirian dikamarnya. Terus gimana perasaan ibu? Tentu saja sedih melihat perkembangan anaknya yang sudah menampakan gejala yang cenderung menyukai `dunia sendirinya` itu. Saya hanya terdiam, ikut bisa merasakan perasaan sahabat saya, karena saya juga dulu sangat takut anak saya menjadi seorang yang suka mengurung diri dikamar.

Kita tidak pernah menyebut HIKIKOMORI secara lugas dan terang-terangan saat membicarakan masalah dimana ada saudara, teman atau kita sendiri merasa terkena penyakit mental ini? Kenapa? Karena itu adalah sesuatu yang sangat memalukan! Ya, kisah menyedihkan yang perlu untuk ditutupi tutupi, sama banget dengan kasus Ijime. Kalau bisa jangan sampai ada orang lain yang tahu.

Jadi saat ada orang-orang Indonesia malah merasa ini sebagai suatu trend dan merasa bangga ketika menyebut dirinya seorang HIKIKOMORI dimedia sosial, karena bagi saya pribadi justru it`s so pathetic. 

Kenapa bisa mewabah di Indonesia? Entahlah, apa karena kata itu dari Jepang yang dianggap keren kalau jadi follower-nya, atau sudah ngerti arti harfiah nya tapi tetep secara sadar nempelin sendiri dijidat nya kalau dia itu seorang Hikikomori. Duh ngakak saya kalau begitu ya jelas banget dia bukan hikikomori sejati hehehe wong orang yang berkecenderungan berprilaku begini pun ogah tauk dicap Hikikomori. 

Dulu pernah saya nonton TV yang membahas detail tentang masalah Hikikomori di Jepang yang semakin parah, besoknya saya tanya sama bapak mertua saya, dan tahu nggak jawaban beliau? Weedy kamu tahu darimana itu, duh malu saya untuk menjelaskannya sama kamu…

Kenapa bapak mertua saya begitu enggan ketika saya sindir tentang hikikomori ini? Sekali lagi karena ini hal yang tidak bagus, hal yang bisa membuat malu keluarga, hal yang harus dicari solusinya dan pencegahannya. Sampe segitunya ya. Makin diumpetin makin penasaran saya.

Di Televisi saya baru tahu kalau Hikikomori itu bukan saja menjangkiti anak kecil yang tidak mau main keluar karena main game atau keasikan baca manga di kamar, tapi bisa juga kena untuk orang dewasa!

Saya sumpah kaget saat presenternya mewawancarai seorang bapak sudah berumur 70 tahun yang merasa khawatir dengan keadaan anaknya yang suka mengurung dikamar. “Bayangkan umur anak saya sekarang sudah 40 tahun!! Bagaimana bisa menikah dan punya keluarga sendiri, kalau semua waktunya dihabiskan didalam kamar, dan hanya keluar kalau sudah waktunya makan”, kata bapaknya dengan raut muka sedih.

Dan yang lebih bikin mata saya melotot adalah ketika terlihat bapaknya itu loh yang memasak makanan anaknya, dan saat mereka makan berdua dimeja makan pun gak ada satupun kata yang keluar atau ngobrol apa kek sama bapaknya. Kasihan saya yang melihatnya, dari penuturan bapaknya, semenjak kehilangan ibunya (ibunya terlalu protek anaknya) anaknya itu seperti kehilangan pegangan hidup. Pernah kerja di suatu perusahaan tapi gak lama dipecat karena ya tentu saja bisa ditebak kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Melihat semakin banyak orang-orang berprilaku hikikomori di sini dengan dilatarbelakangi oleh berbagai macam kesusahan, kegagalan yang dirasa sangat membekas dan membuat trauma hidup mereka, seperti :
  1. Ditinggal oleh orang tersayang, dalam hal ini orang tua atau pacar

  2. Pernah ditolak oleh wanita yang diam-diam dicintainya

  3. Mendapat tekanan di tempat kerja

  4. Gagal dalam ujian

  5. Di bully oleh teman-temannya, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana tanggapan pemerintah Jepang?? dalam siaran itu terlihat banyaknya bantuan dari lembaga-lembaga sosial dimana para volunteer mendatangi rumah orang-orang yang berprilaku hikikomori ini. Mereka diberi keyakinan kalau dunia luar itu memang bisa aman dan tidak nyaman, tapi justru itu kita harus cari jalan gimana agar bisa survive. Suatu penolakan atau diabaikan oleh lingkungan adalah hanya suatu bagian kecil dari perjalanan hidup, harus dicari solusi dan harus bikin kita makin kuat untuk menyongsong dan melanjutkan hidup. Deeg ngena banget buat saya juga nih sebagai orang asing yang numpang tinggal di negeri orang, uraian yang sangat bijaksana, manfaat buat saya sendiri.

Lalu terapi bagi orang hikikomori ini bagaimana? orang-orang hikikomori ini akan digiring ke tempat perkumpulan, dimana disana sudah ada para pembimbing dan orang-orang hikikomori lainnya. Diperkumpulan itu diadakan seperti semacam diskusi dan terapi untuk membuat prakarya yang melibatkan team work.
Pada awalnya sangat susah melibatkan orang hikikomori ini karena adanya ketidak percayaan diri dan merasa dirinya lemah dan tidak berguna. Tapi sejalan dengan waktu dan sedikit demi sedikit bisa terlihat mereka mulai memiliki rasa nyaman setelah beberapa kali pertemuan. Mulai berani untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar teman-temannya. Saya pun yang melihatnya sampai berkaca kaca.

Orang-orang hikikomori ini janganlah justru kita ejek atau semakin kita sisihkan, tapi ulurkanlah tangan untuk membantunya keluar dari dunianya. Bagi yang mempunyai anak dan saudara yang cenderung mirip dengan sifat hikikomori ini harus segera `dipaksa` untuk sering diajak jalan keluar, diajak pergi kerumah saudara atau mengundang teman main kerumahnya.

Kegiatan lainnya adalah, dengan melakukan piknik keluarga, pergi ketempat rekreasi dan tentu saja harus sering untuk diajak bercengkerama agar selalu merasa dirinya bagian penting dari suatu kelompok/komunitas. Kegiatan atau perbuatan yang kadang kita angap sepele ini kadang justru jadi suatu hal yang sangat penting dan berharga bagi penderita hikikomori ini.

Keluarga sebagai elemen terdekat harus cepet tanggap dan mencegah agar jangan sampai berkelanjutan, karena memang untuk pengobatan mentalnya ini katanya butuh bertahun-bertahun dengan bantuan dari seorang psikiater. 

Bagi yang bangga berkoar-koar kalau dirinya seorang Hikikomori, please stop it. Karena itu bukanlah hal yang jadi bahan mainan atau trend untuk diikuti. Gaya atau sesuatu dari luar negeri tidak selamanya patut untuk ditiru namun haruslah kita cek dan telaah dahulu sebelum diikuti untuk diterapkan dalam keseharian sebagai gaya hidup.
Salam Hangat, wk

0 Komentar:

Posting Komentar

Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..

Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......