Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Tipudaya, Kecerdikan, dan Latihan Berpikir

Abbas Hasan As Sisi

Saya sangat “kagum” pada orang-orang Yahudi. Sampai hari ini, mereka masih tetap membuahkan idea-idea baru tentang tipudaya dan rekacipta dengan berbagai macam variasinya. Seakan mereka memiliki lembaga khusus tentang hal ini, baik dalam bidang perdagangan, peperangan, maupun politik.

Saya teringat sebuah anekdot yang terjadi di kota Rasyid, sejak sebagian bangsa Yahudi berdomisili di sana. Ada seorang Yahudi menjual rumahnya kepada seorang penduduk kota Rasyid dengan transaksi yang resmi. Setelah beberapa tahun berlalu, datanglah orang Yahudi tersebut ke sekitar rumah itu dengan membawa sejumlah batu bata, kayu bangunan, semen, dan kapur. Ketika pemilik rumah bertanya, “Apa yang sedang Anda kerjakan di sini?”

Ia menjawab, “Saya datang untuk membangun!”

“Mau membangun apa?” tanya pemilik rumah?

 ”Saya akan membuat bangunan baru di atas rumah ini!” jawab Yahudi.

“Bukankah rumah ini sudah kamu jual dan telah kamu terima uangnya beberapa tahun lalu?” kata pemilik rumah.

Si Yahudi menjawab, “Ya, tetapi yang saya jual hanya sampai atap rumah. Masih menjadi hak saya untuk membangun di atas atapnya sampai setinggi-tingginya!”

Anekdot ini terjadi sebelum pendudukan bumi Palestina, Jalur Gaza, dan Tepi Barat Sungai Yordan. Sekarang Israel mengatakan, “Bangsa Arab boleh tinggal di bumi Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan, tetapi tidak punya hak milik sama sekali. Bumi ini tetap milik Israel.” Masih sama saja, itulah tipudaya Yahudi. Apa bedanya antara malam ini dengan kemarin malam!

Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sangat memahami tipudaya Yahudi yang dapat menaklukkan dunia itu. Ketika menjadi khalifah, beliau menjumpai seorang Yahudi di Madinah, yang menyimpan sumur penampung air. Ia menguasai sumur itu, yang airnya dijual kepada kaum Muslimin. Maka khalifah menawar kepada Yahudi agar menjual sumur itu kepadanya, untuk disedekahkan kepada kaum Muslimin. Tetapi si Yahudi itu menolak tawaran khalifah. Kemudian khalifah mengatakan, “Juallah sebagian sumur ini padaku, yakm kamu meng-ambil air sehari dan saya juga mengambil air sehari!”

Akhirnya Yahudi itu setuju. Khalifah berkata, “Kaum Muslimin berhak mengambil air secukupnya pada hari giliranku. Pada saat giliranmu mereka tidak akan mem-belinya sedikit pun!”

Setelah beberapa hari, ia merasa  tertekan karena embargo kaum Muslimin kepadanya. Maka tidak ada alternatif lain kecuali ia harus menjual bagiannya kepada Khalifah.

Semoga kisah ini dapat menyadarkan dan menggugah pikiran kaum Muslimin. Yang lalu biarlah berlalu, kebaikan pasti akan datang.

Suatu hari, Khalifah Al Mahdi sedang duduk-duduk bersama beberapa orang, tiba-tiba masuklah seorang lelaki dengan membawa sandal yang terbungkus sapu tangan.

Lelaki itu berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, ini adalah sandal Rasulullah, saya hadiahkan untuk Tuan!”

Beliau pun menerima dan meletakkan di hadapannya, lalu menyerahkan sepuluh nbu dirham kepada lelaki tersebut. Ketika ia pergi, beliau berkata kepada orang-orang yang sedang duduk bersamanya, dan membuat mereka semua terkejut “Saya tahu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mungkin pernah melihat sandal itu, apalagi memakainya. Tetapi bila kita dustakan orang tadi, ia akan menyebarkan fitnah kepada orang lam. Sebaliknya, bila ia kita terima maka ia akan mengatakan kepada orang lain, ‘Saya telah menghadap khalifah dengan membawa sandal Rasulullah, tetapi beliau malah mengembalikan lagi sandal tersebut kepada saya, bahkan saya menerima hadiah.”‘

Beliau tidak tergesa-gesa bertindak sebelum berpikir. Bahkan beliau berpikir sebelum bersikap. Itulah sikap yang bijak.

sumber
Lengkapnya Klik DISINI

Perbedaan Musyawarah dan Demokrasi

Perbedaan Musyawarah dan Demokrasi 

Sebelumnya, kita telah membahas tentang Prinsip Dasar Demokrasi yang bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Islam, sehingga menjadikan sistem demokrasi ini haram dalam pandangan Islam. Selanjutnya kini kita akan membahas mengenai perbedaan antara sistem syura’ (musyawarah) yang dimiliki Islam dengan sistem demokrasi yang berasal dari Yunani. Berikut ini penjelasan yang dipaparkan oleh Ustadz Muhammad Nur Ichwan Muslim, mengenai syura’ dan demokrasi:

Definisi Syura’’ (Musyawarah)

Menurut bahasa, syura’ memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu (Mu’jam Maqayis Al Lughah 3/226).

Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura’, diantara mereka adalah Ar Raghib Al Ashfahani yang mendefinisikan syura’ sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura’ (Al Mufradat fi Gharib Al Quran hlm. 207).

Ibnu Al Arabi Al Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura’ saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki (Ahkam Al Quran 1/297).
Sedangkan definisi syura’ yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran (Asy Syura’ fi Zhilli Nizhami Al Hukm Al Islami hlm. 14).

Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura’ sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan (Asy Syura’ fi Al Kitab wa as-Sunnah hlm. 13).

Pensyari’atan Syura’ dalam Islam

Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya (HR. Muslim : 1480).

Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat Al Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman, “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. (Al Baqarah : 233).

Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 1/635).

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura’ telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.

Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali ‘Imran : 159).

Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura’ ayat 38, Allah Ta’ala berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. (Asy Syura’ : 36-39).

Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 7/211).

Seluruh ayat Al Quran di atas menyatakan bahwasanya syura’ (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura’ adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” (As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126).

Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.

Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.

Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat Al Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.

Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.

Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits Al ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.

Demikianlan, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya baik dalam masalah perang maupun yang lain.

Urgensi dan Faedah Syura’

Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura’ merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan ketentuan hukum dalam Islam” (Al Muharrar Al Wajiz). Apa yang dikatakan oleh beliau mengenai syura’ benar adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura’ sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dalam mencari solusi berbagai persoalan yang membutuhkan kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain itu, Allah pun telah menjadikan syura’ sebagai salah satu nama surat dalam Al Quran Al Karim. Kedua hal ini cukup untuk menunjukkan betapa syura’ memiliki kedudukan yang penting dalam agama ini.

Amir Al Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura’. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura’, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) (Al Aqd Al Farid hlm. 43).

Urgensi dan faedah syura’ banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-Razy dalam Mafatih Al Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura’ memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Musyawarah yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka.
  2. Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy Al amr (penguasa). Al Hasan pernah mengatakan, “Setiap kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” (Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149).
  3. Al Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan untuk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya”
  4. Syura’ memberitahukan kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para penguasa setelah beliau mengenai kadar akal dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan.
12 Perbedaan antara Syura’ dan Demokrasi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha untuk memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura’ dan demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura’ berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi) sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah Al Islamiyah). Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat (Syura’ bukan Demokrasi karya M. Shiddiq Al Jawi). Dengan demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara system pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.

Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura’ dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :

a.        Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras dan bahasa (Mabadi Nizham Al Hukm fi Al Islam hlm. 489).

Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam pandangan Islam (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).

b.        Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah.

Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di belakangnya (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).

c.         Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan dan tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam Al Quran dan lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at (An Nazhariyaat as-Siyaasiyah Al Islamiyah hlm. 338).

d.        Kewenangan majelis syura’ dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura’ terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura’ tidak lagi diperlukan. Syura’ hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.

Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak. Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan musyawarah (Fath Al Baari 3/3291).

Adapun dalam demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan (Asy Syura’ wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).

e.        Syura’ yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat.

Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas (Asy Syura’ wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).

f.          Demokrasi memiliki kaitan erat dengan eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.
g.        Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh majelis syura’. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.

Adapun demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan hukum mayoritas (Fiqh asy-Syura’ wal Al Istisyarah hlm. 12).

h.        Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura’, rakyat tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin (Asy Syura’ la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32).

i.          Syura’ bertujuan untuk menghasilkan solusi yang selaras dengan Al haq meski bertentangan dengan suara mayoritas, sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran (Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32).

j.          Kriteria ahli syura’ sangatlah berbeda dengan kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura’, beliau mengatakan, “Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, memiliki karakter senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang menjadi topik musyawarah (Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah fi I’dad Al ‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats Al Umam hlm. 33).

Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dalam mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah dengan mereka yang terkenal akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya, “Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” (HR. Muslim: 974).

Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam (‘Umdat at-Tafsir 1/383-384).

k.         Ahli syura’ mengedepankan musyawarah dan nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin. Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura’ bergantung pada maslahat yang dipandangnya (Al ‘Umdah fi I’dad Al ‘Uddah 112).

Sedangkan dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang kredibel dari pemerintahan.

l.          Apabila terdapat nash syar’i dari Al Quran dan hadits, maka ahli syura’ wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat minoritas ataupun mayoritas.

Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan orang-orang berilmu yang amanah dalam permasalahan yang mubah agar mampu menemukan solusi yang termudah. Apabila Al Quran dan hadits telah jelas menerangkan suatu permasalahan, maka mereka tidak berpaling kepada selainnya dalam rangka mengikuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr telah berpandangan untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda memerangi mereka padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka telah terjaga kecuali dengan alasan yang hak dan kelak perhitungannya di sisi Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisah-misahkan sesuatu yang justru digabungkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.

Abu Bakr tidak lagi butuh pada musyawarah dalam permasalahan di atas, karena beliau telah mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat serta berkeinginan merubah aturan dan hukum dalam agama (Shahih Al Bukhari 9/112; Asy-Syamilah).

Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas Al Laadiniyah/al-’Ilmaniyah (ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran prinsipil dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum yang tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.

Kesimpulannya adalah tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Gharbiyyah hlm. 32).

Meskipun ada persamaan antara syura’ dan demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura’ adalah sebuah metode yang berasal dari Rabb al basyar (Rabb manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.Wallahu Al Muwaffiq.

Dalam pembahasan selanjutnya, kita akan membahas hukum berpartisipasi dalam sistem pemerintahan non Islami.

Lengkapnya Klik DISINI

Jangan Lupakan Sejarah

gambar dari google
Sobat gaulislam, sampai saat ini militer Bashar al-Assad masih aja ngebantai saudara kita di Suriah. Belum lagi di Afganistan, Irak, Rohingya dan lain-lain. Malahan bulan Januari kemaren di facebook rame ama berita para ektrimis di Afrika Tengah ngebantai, ngebakar ama makanin jasad kaum Muslim. Kejadiannya itu di daerah Bangui, Afrika Tengah. Salah seorang ektrimis itu malahan nyebut dirinya sebagai ‘Mad Dog’ atau ‘Anjing Gila’ dan bangga karena udah ngelahap kaki si korban. Astaghfirullah!

Ya, kejadian kayak gini emang udah nggak aneh lagi. Kaum Muslimin ditindas ama kaum kafir yang emang dari dulu benci benget ama umat Islam. Banyak tuh saudara kita di luar sana yang nggak ngerasa aman padahal kan di tanah kelahirannya sendiri.

Sobat Muda Islam, udah 80 tahun lebih nih kaum Muslimin hidup tanpa adanya pemimpin dunia. Yaitu sejak Khilafah Utsmani runtuh pada tanggal 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Attaturk laknatullah dan komplotannya. Semenjak itu, kaum Muslimin jadi terpecah belah dalam berbagai negara dan bangsa. Nggak cuma itu, kaum Muslimin juga ngalamin berbagai penderitaan dan problema yang nggak kunjung surut. Dalam sikon (situasi dan kondisi) kayak gini negara-negara Barat pada gencar ngelakuin berbagai konspirasi dan propaganda yang bisa ngelemahin iman kaum Muslimin bahkan sampai ngejauhin kaum Muslimin dari diin-nya sendiri. Jadinya, saat ini kaum Muslim didera berbagai krisis yang nggak habis-habis.

Wilayah kekuasaan Islam yang mulanya terbentang luas dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau… eh kok malah nyanyi. Maksudnya, wilayah Islam mulai dari Spanyol di Eropa, pedalaman Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah, Semenanjung Balkan hingga ke Timur Jauh, kini terpecah belah menjadi puluhan negara kecil yang dikuasai oleh para penjajah.

Berbagai bentuk krisis dan penjajahan terjadi baik di bidang politik, ekonomi, soal budaya, pendidikan dan lain-lainnya. Bahkan akibat program bantuan utang luar negeri, rakyat kaum Muslimin di daerah kaya yang harusnya kaya eh tetap aja miskin. Negeri-negeri Muslim menjadi objek jarahan, eksploitasi dan penindasan. Di Indonesia aja, udah berapa ton emas yang diangkut Freeport ke AS dan Kanada? Udah berapa barel minyak di negeri-negeri Teluk yang disedot melalui politik perdagangan yang curang?

Di bidang kemanusiaan, terjadi pembantaian atas kaum Muslimin di berbagai wilayah. Di Palestina, Afghanistan, Chechnya, Kashmir, dan negara lainnya. Tentu ini sangat memprihatinkan mengingat kita yang di Indonesia masih terbilang aman. Kalau di negara-negara tadi, mau ke luar aja susah. Bisa-bisa langsung ditembak. Dor!

Nah, semua krisis itu nunjukkin kalau kaum Muslimin belum mampu dalam ngadepin makar atau tipu daya negara-negara Barat. Bener kalau dikatakan bahwa Umat Islam yang jumlahnya lebih dari 1,2 miliar tak ubahnya seperti buih di lautan. Hal ini merupakan fakta kongkrit karena ketiadaan pemimpin Islam.

Islam menjadi rujukan peradaban dunia
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sesuai dengan subjudul di atas, udah pada tahu belum kalau Islam pernah menjadi rujukan perababan dunia? (Hayo, yang nggak tahu, berarti kudet nih. Makanya jangan update status melulu. Hehe…). Ya, Islam emang pernah jadi rujukan peradaban dunia yaitu ketika masa kejayaan Islam di Andalusia, Spanyol. Di bawah kekhilafahan Islam, Eropa yang awalnya berada dalam masa kegelapan berubah menjadi daerah maju dan terdepan. Pada masa ini kaum Muslimin berhasil melahirkan peradaban yang cemerlang. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sains, kesenian, bahasa dan sastra. Nggak ketinggalan ilmu filsafat dan fiqih. Belum lagi kemajuan dalam pembangunan fisik.

Perkembangan pengetahuan di Spanyol emang sangat pesat, nggak kalah ama perkembangan ilmu pengetahuan di Bagdad dan Mesir. Misalnya ilmu fiqih. Berkembangnya ilmu fiqih di Spanyol menggambarkan bahwa di Spanyol pada saat itu udah banyak yang ahli dan paham dalam bidang agama. Mazhab yang berkembang saat itu adalah mahzab Maliki.

Kota-kota di Spanyol pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban yang membuat banyak pelajar-pelajar Eropa nimba ilmu di sana (bukan nimba air di sumur ya!). Misalnya aja Cordova, sampai saat ini kota Cordova masih nyimpen peninggalan dari kejayaan Islam pada masa bani Umayyah. Salah satunya adalah Masjid Raya Cordova. Sampai sekarang nih, keindahan arsitekturnya tetap memukau para pengunjung (yang belum lihat, search aja di mbah google ya). Tapi sayangnya saya juga belum pernah ke sana tuh. Huhu…

Berbagai sarana keilmuan kayak gedung sekolah, universitas, perpustakaan dan masjid udah  dibangun. Malahan dibangun juga taman-taman yang indah untuk para cendekiawan berdiskusi. Wiih asik! (kalau di Indonesia ada nggak, ya?)

Kondisi kayak gini membuat ilmuan-ilmuan Muslim bermunculan. Di bidang matematika, ada Al-Khawarizmi yang merupakan orang pertama yang nulis buku tentang aljabar. Itu loh yang udah dipelajarin di SMP, inget nggak?

Di bidang kedokteran, ada Ibnu Sina atau di Barat dikenal Avicenna. Ibrahim ibnu Yahya an-Naqqash si pembuat teropong bintang modern. Ibnu Khaldun, penemu teori sejarah. Ahli sastra Ibnu Abd Rabbih, Ibnu Bassam dan Ibnu Khaqan. Dan masih banyak lagi.

Itu adalah bukti kontribusi Umat Muslim kepada dunia. Umat Muslim telah menciptakan dan mengembangkan teknologi dengan sangat baik sehingga berguna bagi dunia Barat sekaligus menolong Eropa dari masa kegelapannya. Keren kan?

Tapi saat kaum Muslimin nggak lagi berjaya di Andalusia, orang-orang Eropa berusaha bangkit dan lahir kembali. Ini dia yang namanya masa ‘renaissance’ atau ‘kelahiran kembali’. Mereka mengambil kemajuan teknologi milik kaum Muslimin. Coba kalau kita lihat Italia, segala seni dan ukirannya diambil dari seniman-seniman Muslim Spanyol. Cuma ada perubahan sedikit aja untuk menciptakan gaya orang Italia sendiri. Jadi, mereka hanya mempelajarinya dari umat Muslim.

Dakwah, jalan tegaknya syariat Islam
Islam emang udah nunjukin kontribusinya kepada dunia. Islam pernah berjaya dan berkuasa. Bahkan hingga memayungi 2/3 dunia. Subhanallah! Namun sayang banyak kaum Muslim yang nggak tahu. Lihat aja di SD, ada nggak pelajaran khusus yang ngebahas tentang masa kejayaan Islam? Paling yang diajarin tentang kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Betul? Kalau pun ada paling sekilas aja. Padahal, jangan lupakan sejarah Islam!

Nah, sekarang ini umat Muslim masih terpuruk. Sementara Barat dengan Kapitalisme-Sekulerimenya udah bikin negeri-negeri Muslim di belahan dunia semakin lemah dan terbelakang. Sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negara Muslim telah menyiksa warganya sendiri. Kerusakan terjadi hampir dalam segala bidang. Jarak antara si kaya dan si miskin terlampau jauh. Yang kaya makin kaya begitu juga sebaliknya. Segala sesuatu diukur dengan materi. Ujung-ujungnya kaum  Muslimin tertindas. Hal ini adalah akibat dari tak diterapkannya syariat Islam. Lalu, apakah kondisi saat ini ideal untuk bisa melaksanakan syariat Islam dengan benar dan baik?

Nggak. Kondisi saat ini emang nggak ideal. Namun bukan berarti kita diem aja nggak ngelakuin sesuatu. Emangnya mau umat Muslim terus terpuruk kayak gini? Nggak lah!

Masa depan Islam itu terletak di atas pundak para pemudanya loh. Merekalah yang nantinya memegang kendali bahtera rumah tangga, eh, maksudnya bahtera Islam. Tapi ya dengan syarat harus punya kesadaran dan kecintaan kepada agamanya. Mereka harus mau bergerak secara ikhlas dan sungguh-sungguh untuk meraih kembali kejayaan Islam.

Nah, kita masih bisa mengubahnya yaitu dengan dakwah. Kenapa? Agar syariat Islam tegak kembali di muka bumi ini. Dengan dakwah kita menyeru umat untuk kembali kepada Islam dan menanamkan kesadaran serta kecintaan penuh pada agamanya. Juga kepada para pemuda Muslim untuk bersama-sama berjuang demi kembali tegaknya Islam sebagai ideologi negara di bawah naungan khilafah. Insya Allah!

Ayo belajar!
Sobat muda di mana pun kamu berada, maka yang bisa dilakukan oleh kita sebagai remaja adalah sadar dan mau belajar. Kenapa begitu? Ya gimana syariat Islam mau tegak lagi kalau kitanya aja nggak tahu en nggak paham. Gimana kita mau berhasil kalau nggak sadar dengan kondisi kita sendiri. Jangan sampai kita cuek-cuek aja. Katanya mau maju tapi nggak mau belajar? Jangan bermimpi bahwa tegaknya syariat Islam itu terjadi dengan sendirinya. Ya, perlu usaha dari kitanya juga. Nggak bisa kalau cuma nunggu. Para pendahulu kita juga mereka pake usaha bahkan dengan taruhan nyawa. Beuh… berani nggak? Maka, belajar dong. Oke?

Belajar dan menguatkan keyakinan bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna, yang harus diperjuangkan. Tapi keyakinan ini nggak bisa ada dalam diri kita aja. Harus disebarkan kepada orang-orang. Ya jadinya balik lagi ke tadi, harus dakwah. Dakwahin keluarga, kerabat, tetangga, kawan di sekolah, teman kerja, dan lain-lain.

Kita juga kudu wajib en harus yakin kalau Allah Ta’ala pasti menolong kita. Allah Ta’ala menolong para pejuang diin-Nya yang haq dan akan memberikan kemenangan dan kekuasaan kepada mereka. Sebagaimana firman-Nya: ”Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad [47]: 7)

Nah sobat, jadi harus yakin ya. Ayo kita belajar dan berdakwah. Buat para remaja di mana pun kalian berada, yuk kita tegakkan syariat Islam dengan cara berdakwah yaitu dakwah untuk mewujudkan Islam di tengah-tengah kehidupan sebagai sebuah sistem kehidupan. Teruslah berjuang untuk menjadi remaja Muslim yang mampu menjadi penerang bagi umat yang kini tengah dicengkram kegelapan kapitalisme global (Widih, kamu ngerti kan istilah ini? Yup! Itu sistem yang bertentangan dan menentang Islam). Bersiaplah untuk selalu bertahan dalam menghadapi segala cobaan yang datang. [Muhaira | iraazzahra28@ymail.com]

*rabbani79.blogspot.com sumber
Lengkapnya Klik DISINI

GAK USAH MIKIRIN MALAM MINGGU UNTUK PACARAN

gambar google
1. Pacaran
Naah ini yang paling aneh. Kenapa harus pacaran? Apakah yang namanya cinta harus didahului dengan pacaran? Kalo jantan dan memang tujuannya untuk menikah (sebagai laki-laki) datangi orang tuanya, langsung lamar! Islam tak pernah mengajarkan pacaran, sebab dalam aktivitas ini banyak sekali mudharat yang ada.

Ga usah dengerin kata-kata temen ga punya pacar ga gaul. Lebih baik dekat dengan Allah daripada dekat dengan pacar.

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Israa ‘ : 36)

2. Aktivitas Pacaran
Kalo yang gue tahu rada aneh juga sih. Kalo pacaran banyak “kewajiban” yang harus dilakukan. Harus nanyain kabar, nanyain lagi ngapain, nanyain udah makan belum, terus antar sana antar sini. Hahaha,, pikir untuk apa bro? Dia belum ada ikatan apa-apa sama lo.

Dia sama dengan saudara-saudara sesama Muslim yang lain, buat apa melakukan hal-hal tidak berguna seperti itu. Kita sama sekali belum punya kewajiban karena dia bukan siapa-siapa kita. Butuh perhatian? Rasanya perhatian orang tua dan sodara jauh lebih tulus dibanding pacar yang biasanya ada maunya.

3. Malam minggu
Ada apa dengan Pocong? Eh salah itu mah judul film. Ada apa dengan malam minggu? Nah ini yang gue bikin heran. Tiap malam minggu pasti para jombloers (istilah yang ga punya pacar) mengeluh tentang kejombloannya. Sebenarnya apa sih yang istimewa dengan malam minggu? Perasaan sama-sama aja deh dengan malam-malam lainnya.

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/s403x403/971636_594964227210386_2135956300_n.jpg
gambar google
Entah tradisi dari mana, katanya sih malam minggu waktu yang pas buat jalan bareng pacar, jalan-jalan ke mall gitu karena esoknya libur jadi “dimanfaatkan” gitu.

Menurut gue daripada malam minggu hambur-hamburin uang, mendingan pake buat hal yang lebih bermanfaat gitu, mengaji kek atau memperdalam agama. Atau mungkin piket malem di facebook (eh itu mah gue, halah). That’s better I think.

4. Putus - jomblo
Nah ini yang paling aneh. Abis pacaran kalo udah ga cocok ada istilah yang namanya putus. Kalo setahu gue yang namanya putus itu kabel telepon putus, atau layangan putus. Pacaran kok putus? Seperti udah ada ikatan aja.

Padahal dari yang namanya pacaran itu kan hubungan tanpa ikatan, kalo ga diiket mana mungkin putus, iya toh? Kalo udah putus ada yang namanya jomblo. Coba buka KTP mu sodara-sodara? Apakah di sana ada yang tertulis jomblo? Setahuku yang ada cuma dua, menikah dan belum menikah. Itulah status resmi, ga ada yang namanya jomblo.

5. Galau
Ini juga ga ngerti gue, siapa yang populerin istilah ini. Katanya galau itu sedang mikirin sesuatu yang ga jelas, sampai ga enak ngapa-ngapain. Hampir 90 persen galau gara-gara malam minggu pingin jalan dan ga punya pacar.

Let’s think abot this. Pernahkah kita galau karena: ..
a. Merasa jauh dengan ALLAH Subhanahu Wa Ta'aala..? Merasa berdosa karena melakukan banyak perbuatan maksiat, salah satunya pacaran?
b. Melihat teman-teman sebaya banyak yang meninggal, seakan diperingatkan dan takut belum punya cukup amal untuk menghadap-Nya?
c. Pingin banget shalat tahajud, tapi ga bangun-bangun? (kalo ga ada sms dari pacar aja galau, gini ga mungkin ya)
d. Kesiangan bangun jadi ga shalat subuh? (boro-boro shalat dzuhr kelewat aja masih bisa ketawa-ketawa)
e. Merasa hari demi hari tidak berguna karena lebih banyak maksiyat dibandingkan amalan?
f. Pingin shaum, tapi sahur susah banget bangun?

6. Kalo ga pacaran gimana bisa punya jodoh ..?!? ..
Menurut gue, kalo usia lo masih ingusan, hidup masih dibiayai orang tua, kuliah ga lulus-lulus lebih baik stop mikirin pacar! Lebih baik persiapkan diri, baik amalan yang diperbanyak ataupun ilmu dan masa depan pikirkan. Pacaran bisa membuang banyak waktu lo, banyak dosa pula. Kalo suka sama lawan jenis, belum mampu menikah simpan dalam hati dan perbanyaklah berpuasa.

“Wahai sekalian para pemuda barang siapa diantara kalian telah mampu menikah, hendaklah menikah karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Barang siapa yg belum mampu menikah hendaklah puasa karena puasa merupakan perisai baginya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Setau gue, kalo pas pacaran biasanya ada maunya. Pingin dibayarin makan, pingin ada yang perhatiin, pingin ada yang nanya udah makan belom, dsb. Tapi begitu sudah didapet semuanya, udah deh ga dipake lagi. Kita sendiri pasti dong pingin dapet istri/suami yang baik. Jadi ngapain ngurusin yang namanya Pacaran di malam Minggu ...

Ingat sahabatku semua ...

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...”
Aku Mencintaimu Karena Allah ...

Silahkan Klik "SUKA" dan "BAGIKAN", Jika dinilai baik & bermanfaat bagi sahabat semua. Semoga menjadi kebaikan Kita semua.

Lengkapnya Klik DISINI

Kalian Adalah Umat Terbaik

http://www.hasanalbanna.com/harokah/wp-content/uploads/2012/01/Hasan-Al-Banna.jpg
Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.
Kita memulai dengan cara yang paling baik. Ikhwan yang mulia, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi: assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Ketika para pendahulu Anda membawa dakwah kebenaran ke Timur dan ke Barat, sampai akhirnya dengan perjuangan mereka, Islam berjaya dan panji-panjinya dikibarkan, hal itu bukanlah lantaran banyaknya jumlah, kuatnya tekad, banyaknya harta, besarnya postur tubuh mereka, atau karena mereka memiliki keistimewaan dalam ilmu pengetahuan tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Rahasia kemenangan itu adalah karena mereka mempunyai keimanan mendalam yang merasuk hingga relung hati, mereka saling mencintai karena Allah, saling mengasihi berdasarkan ketaatan kepada-Nya, serta bersatu padu di atas dakwah. Jadilah mereka ibarat benteng dari besi.
Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam wafat, sedangkan jumlah sahabat beliau tidak lebih dari tujuh puluh ribu orang. Ilmu pengetahuan dan kreativitas mereka tidak lebih baik daripada musuh. Mereka berperang sementara pedang mereka dibungkus sobekan kain, karena tidak memiliki sarung yang terbuat dari besi atau kulit. Satu-satunya modal yang mereka punyai adalah bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam.
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan)yang menyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian!’, maka kami pun beriman.” (QS. Ali Imran: 193)
Mereka meyakini bahwa itu adalah kebaikan, sedangkan selainnya adalah keburukan. Ia adalah cahaya sedangkan selainnya adalah kegelapan. “Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang.” (QS. Ibrahim: 1)
Ikhwan sekalian, saya percaya bahwa di mana ada orang-orang muslim, di situ ada kebaikan, sekalipun zaman dan manusia telah rusak; meskipun kebatilan dan pendukung-pendukungnya merajalela. Karena itu, hendaklah Anda semua berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama dan sunah nabi —semoga shalawat dan salam Allah dilimpahkan kepada beliau—. Pantulkanlah cahaya ini kepada diri Anda, sehingga tidak ada yang keluar dari diri Anda selain kebaikan dan Anda tidak mengumpulkan di sekeliling Anda selain hati yang penuh dengan cinta, kasih sayang, kelemahlembutan, kebaikan, dan kemuliaan. Ajaklah manusia kepada ketinggian dan kesempurnaan, tidak dengan ucapan saja, tetapi dengan perbuatan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, perbuatan yang sesuai dengan agama Anda yang lurus dan sejarah Anda yang agung.
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Ikhwan sekalian, hendaklah kebaikan menjadi bekal bagi Anda semua, sekaligus hendaklah Anda menjadi pembela dan simbolnya. Islam akan melapangkan jalan bagi manusia yang demikian ini dan menutup bagi setan jalan kejahatan, makar, kebencian, dan kedengkian. Jika kaum muslimin berpegang teguh kepada agama mereka, niscaya mereka bisa bersatu padu dalam satu barisan ibarat bangunan yang kokoh dan niscaya mereka bisa berjalan menuju tujuan mereka yang mulia dengan langkah-langkah yang mantap dan cepat. Alangkah indahnya andaikata kaum muslimin menjadi sebagaimana yang diperintahkan Tuhan kepada mereka. “Keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29)
Ikhwan semua, hendaklah Anda semua menjadi orang-orang yang mengasihi setiap muslim. Ajarkan kepada setiap muslim bagaimana mencintai, bertoleransi, mengabaikan perkara-perkara kecil, serta bagaimana menghindari prasangka buruk, perkataan yang melukai, dan kedustaan yang tercela. Ikhwan semua, tutuplah celah-celah ini agar tidak dilalui oleh setan, jadikanlah kaum muslimin ibarat besi, yang padat, kuat, dan padu.
Dekadensi moral dan kekacauan sosial yang muncul lantaran keberadaan imperialis di negeri kita serta lantaran tindakannya yang merusak moral, menghidupkan nafsu syahwat, dan memikat orang-orang yang berpikiran tidak “waras” agar memperhatikan urusan-urusan kecil supaya terpalingkan dari kebaikan dan kehidupan yang terhormat lagi mulia, telah merasuki masyarakat kita dalam gambaran sedemikian rupa yang tidak mungkin bisa dihadapi, kecuali dengan gerakan untuk berpegang teguh kepada agama, keteladanan yang baik, serta penyebaran cinta dan persaudaraan di kalangan kaum muslimin. Jika Anda melihat orang yang mencela Anda, maka berdoalah agar ia mendapat hidayah dan kebaikan. Pujilah Allah bahwa Dia telah memberikan nikmat kehormatan, kebersihan, dan cinta kebaikan untuk manusia, kepada Anda.
Ikhwan sekalian, dakwah tidak akan tegak kecuali dengan dua hal.
Pertama, iman yang mendalam kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menggantungkan diri kepada-Nya dalam segala hal, dan berpegang teguh kepada aqidah yang suci dengan segala manifestasinya berupa akhlak mulia, keteguhan dalam kebenaran, kesabaran menghadapi penderitaan, dan ketegaran dalam memikul kesulitan.
“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63)
“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)
Kedua, kecintaan karena Allah yang kuat, yang menjadikan Anda semua satu hati, sehingga Anda  berjalan ke arah tujuan dalam keadaan mendapatkan pertolongan. Jagalah lidah, bersihkan hati, bersabarlah terhadap gangguan, jangan takut kepada topan kedustaan dan banjir kebohongan. Jadilah Anda semua sebagaimana firman Allah, “Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah Yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)
Ikhwan semua, ketahuilah bahwa kondisi negara saat ini merupakan batu ujian bagi keteguhannya, cobaan bagi kesatuannya, dan ancaman bagi nasibnya. Itu semua menjadikan setiap warga Mesir berkewajiban untuk melupakan dirinya sendiri dan berkonsentrasi untuk satu agenda, yaitu memperbaiki diri, memberi petunjuk kepada orang lain, dan bersiap siaga untuk menghadapi suatu hari kemenangan yang mungkin sudah dekat. Jangan sampai ia terjerumus dalam arus rendah, yaitu arus perselisihan yang menyesatkan dan hina.
Amma ba’du. Ikhwan semua, dalam menjelaskan makna-makna ayat, kita telah sampai pada firman Allah. “Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Saya telah menjelaskan bahwa dalam ayat ini terkandung makna tantangan dan bahwa tantangan itu ada beberapa tahapan. Pertama, orang-orang yang sombong itu ditantang untuk mendatangkan kitab seperti Al-Qur’an, mereka tidak mampu. Kemudian mereka ditantang untuk mendatangkan sepuluh surat sebagaimana surat yang ada dalam Al-Qur’an, mereka tidak mampu. Akhirnya mereka ditantang untuk mendatangkan satu surat yang setara dengan satu surat Al-Qur’an, mereka pun menyerah. Mereka selanjutnya lebih memilih perang dan mati daripada melayani tantangan ini.
Siapakah mereka itu? Mereka adalah orang-orang yang fasih, ahli balaghah, pakar retorika, dan jago berbicara. Al-Qur’an dan Allah menantang mereka melalui lisan Rasul-Nya shalallahu ‘alayhi wa sallam untuk melakukan apa yang merupakan sifat paling membanggakan bagi mereka dan “menyerang mereka di benteng mereka yang paling kokoh”, sehingga mereka tersungkur menyerah dan benteng-benteng pertahanan mereka pun runtuh.
Wahai Akhi, saya telah menjelaskan bukti kemukjizatan Al-Qur’an melalui dua jalan, yaitu melalui bukti sejarah dan melalui bukti ilmiah. Saya juga telah mengemukakan contoh-contoh mengenai itu. Sekarang kita akan mengalihkan pembicaraan tentang prinsip penetapan balasan.
Balasan senantiasa menjadi stimulan yang mendorong untuk melakukan perbuatan baik. Anda bisa melihat para orang tua, penguasa, dan pendidik memberikan iming-iming hadiah ketika mereka menganjurkan agar berbuat baik dan menjauhi kejahatan, kerendahan, dan kemaksiatan.
Balasan itu ada dua macam. Yang pertama adalah balasan untuk orang-orang yang beriman, shalih, dan membenarkan ajaran Rasul, yaitu surga yang seluas langit dan bumi, yang di dalamnya terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terdetik dalam hati manusia. Wahai Akhi, kita harus percaya bahwa balasan baik yang diberikan kepada orang-orang beriman di surga adalah meliputi kenikmatan ruhani dan kenikmatan materi. “Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 17)
Adapun balasan bagi orang-orang kafir adalah siksa di neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu. Penjelasan mengenai siksa ini bisa diperoleh dengan gamblang dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab.” (QS. An-Nisa’: 56)
Jadi, Allah subhanahu wa ta’ala memperlakukan orang yang berbuat baik dengan kebaikannya dan orang yang berbuat jahat dengan kejahatannya.
Tambahan pahala bagi orang yang berbuat baik akan mendorongnya untuk meningkatkan perbuatan baiknya. Sedangkan pembalasan pelaku kejahatan dengan kejahatan yang setara akan mendorongnya untuk menghentikan perbuatan jahat dan menyadari kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala. Penulisan satu nilai kebaikan bagi siapa yang berniat melakukan kejahatan tetapi tidak jadi melakukannya serta tidak dituliskannya satu kejahatan kecuali setelah ia benar-benar dilaksanakan, juga menegaskan makna ini.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya.
sumber : hasanalbanna.com
Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......