Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Karena Ukuran Kita Tak Sama

Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya

memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti

memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi 

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!” 

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab. 

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!” 

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras. 

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang. 

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!” 

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“ 

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!” 

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki. 

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya. 

“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.” 

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi. 

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.

Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali. 

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti. 

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah. 

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi

tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya. 

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”
sepenuh cinta,


Salim A. Fillah 

Lengkapnya Klik DISINI

Pergantian Bumi dan Langit pada Hari Kiamat

 Pergantian Bumi dan Langit pada Hari Kiamat
Allah berfirman,

(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. (QS. Ibrahim: 48).

(Yaitu) pada hari Kami menggulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya. (QS. Al-Anbiyaa: 104).

Manusia berada di mana saat pergantian langit dan bumi?

Dari Tsauban Radhiyallahu ‘Anh maula Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata, ‘Aku berdiri di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu datang salah seorang dari pendeta Yahudi … Orang Yahudi itu berkata, ‘Manusia berada di mana saat terjadi pergantian langit dan bumi?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Mereka di dalam kegelapan sebelum jembatan.’ Dalam satu riwayat: ‘di atas titian‘.” (HR. Muslim No. 315 dan No. 2791 dari Aisyah radhiyAllahu ‘anha)

Tempat Berhenti yang sangat panas dan huru haranya?

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan semua makhluk setelah membangkitkan mereka dalam satu tanah terbuka di halaman depan hari kiamat dalam kondisi tidak beralas kaki, tidak berpakaian, lagi tidak dikhitan. Dan hal itu untuk memberi keputusan, dan manusia berkeringat menurut ukuran amal perbuatan mereka (semasa hidup di dunia).

Al-Miqdad bin Al-Aswad Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Matahari berada di dekat semua makhluk pada hari kiamat, sampai ada yang berada di dekat mereka seperti ukuran mil. Dalam berkeringat, manusia juga menurut amal ibadah mereka. Di antara mereka ada yang sampai dua mata kakinya, ada yang sampai dua lututnya, ada yang sampai dua pinggangnya, dan ada yang dikekang (digenangi) oleh keringat. Al-Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu ‘Anh berkata: ‘Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan ke mulutnya.” (HR. Muslim No. 2864.)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Pada hari kiamat, Allah Subhanahu wa Ta’ala memegang bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Aku adalah Sang Raja, di manakah raja-raja di bumi?” (HR. Bukhari No 7382 dan Muslim No. 2787)

Allah Subhanahu wa Ta’ala Datang untuk Memberi Keputusan

Allah Subhanahu wa Ta’ala akan datang pada hari kiamat untuk memberi keputusan, lalu bumi bersinar dengan cahaya-Nya dan semua makhluk pingsan karena pengaruh, keagungan dan kebesaran-Nya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, * dan datanglah Rabbmu; sedang malaikat berbaris-baris. (QS. Al-Fajr: 21-22).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mengutamakan aku atas Musa a.s. Sesungguhnya semua manusia pingsan pada hari kiamat, aku pingsan bersama mereka. Lalu aku adalah orang pertama yang sadar/siuman, ternyata Musa alaihis salam bergantung dengan kuat di samping arasy. Aku tidak tahu, apakah dia (Musa a.s) termasuk orang yang pingsan, lalu siuman lebih dahulu dariku, atau Musa a.s termasuk orang yang dikecualikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Bukhari No 2411 dan ini adalah lafazhnya, dan Muslim No. 2373)

Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......