B |
anyak orang merasa telah beramal, tetapi tak ada buah apapun yang ia petik dari amalnya, baik itu perubahan sifat, kelembutan hati ataupun kearifan budi dan keterampilan beramal. Bahkan tak sedikit diantara mereka beramal jahat tetapi mengira beramal baik. Karenanya Al-Qur’an selalu mengaitkan amal dengan kesalihan, jadilah amal shalih. Kata shalih tidak sekedar bermakna baik, untuk makna ini sudah tersedia istilah-istuilah khusus, seperti hasan,khair, ma’ruf, birr (kebaikan) dll. Sedangkan shalih suatu pengertian tentang harmoni dan tanasuqnya (keserasian) suatu amal dengan sasaran, tuntunan, tuntutan, dan daya dukung. Amal di sebut shalih jika pelakunya selalu mengisi ruang dan waktu yang seharusnya diisi.
Seorang pendusta atau pengingkar agama tidak selalu mengambil bentuk penghujat arogan agama itu. Ia dapat tampil sebagai pengamal yang dermawan atau bahkan pelaku shalat yang khusyu. Namun pada saat yang bersamaan Allah menyebutnya pendusta agama, karena ia menghardik si yatim dan tak menganjurkan orang memberi makan si miskin (QS. 107 ; 2-3). Allah telah mengajarkan kita bagaimana bersikap benar, bahkan kepada tetangga yang yahudi atau nasrani. Da’wah adalah kerja yang amat mulia, karenanya harus dilakukan dengan memenuhi dua syarat utama, yaitu Al-Ikhlas wa shawab. Ikhlas karena dilakukan semata mata untuk dan kerena Allah. Shawab (benar) kerena dilakukan berlandaskan sunnah Rasulullah, SAW. Mungkin seseorang menampakan diri berdakwah ke jalan Allah, tetapi ia telah berda’wah ke jalan dirinya, demkian catatan dan komentar Syaikh Muhammad bin Abd. Wahhab dalam kitabutTauhid dan Alallamah Abdullah bin Alawi Alhaddad dalam Adda’watut Taammah atas QS.12;108.
Betapa banyak amal menjadi berlipat ganda nilainya oleh niat yang baik dan itu tak akan terjadi bila pelakunya tak punya ilmu tentang hal tersebut. Dan demikian pula sebaliknya. Barang siapa yang beramal tanpa melandasinya dengan ilmu, maka bahayanya akan lebih banyak dari pada manfaatnya, sebagaimana amal tanpa niat jadinya anaa (kelelahan) dan niat tanpa ikhlas jadinya habaa(debu, kesia-siaan) dan ikhlas tanpa tahqiq (realisasi) jadinya ghutsaa(buih).
Kita tak punya kekuatan apapun untuk melarang orang untuk bekerja dalam lingkup Amal isalami, bahkan mereka yang menjalaninya dengan cara yang kita nialai merugikan perjuangan. Ya, pada saatnya kita mendapatkan penyikapan salah dari masyarakat sebagai reaksi salah atas aksi salah yang dilakukan para aktifis amal islami. Qadliyah(problema) kaum khawarij dan berbagai gerakan lainnya menunjukkan fenomena para pengamal, dari yang ikhlas minus fiqh, sampai yang oportunis dan pemanfaat jargon.
Alkisah disuatu masa, seorang alim menyelamatkan seekor beruang yang terhimpit sebatang pohon besar. Sebagai tanda terimakasihnya atas jasa sang syaikh, ia berikrar untuk menjadi pengawalnya yang setia. Dan memang ia buktikan itu. Suatu hari sang tuan tertidur kelelahan. Sesuai ikarnya beruang menjaga tuannya dengan setia, agar tak mendapat bahaya atau gangguan. Yang menjengkelkannya yaitu lalat-lalat yang hinggap- hinggap-pergi di wajah syaikh, membuat tidurnya tak nyaman. Inilah saatnya beruang membuktikan loyalitasnya. Ia angkat batu besar dan dihantamkannya ke seekor lalat yang hinggap di dahi tuannya. Pecah kepalanya dan entah kemana larinya sang lalat jahanam itu.
Hama-hama Amal
Sebagaimana tumbuhan, amalpun terancam hama. Riya (beramal untuk dilihat), ujub (kagum diri), sum’ah (beramal untuk popular/didengar), mann (mengungkit-ngungkit pemberian) adalah hama yang akan memusnahkan amal. Seorang aktifis yang berkurban dengan yang dimilikinya harus meng-imunisasi amalnya agar di saat hari perjumpaan kelak tak kecewa karena amalnya menjadi haba-an mantsura (debu yang berterbngan) sebagaimana firman Allah SWT :
Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, Sebenarnya Allah, dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan jika kamu orang yang benar." ( QS. Al Hujuraat ; 17)
Tidak serta merta rasa beban berat dalam beramal berubah jadi kesukaan. Kata kuncinya terletak pada: pemaksaan, pembiasaan dan (akhirnya menjadi) irama hidup. Junaid Albaghddadi mengatakan: 40 tahun kusembah Allah, di tahun ke 40 itulah baru kutemukan ledzatnya.
Pelipatgandaan kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan para sahabat tak dapat dikejar generasi manapun. Bayangkan, hanya dalam dua dekade saja telah terjadi perubahan yang sangat mendasar pada pola sikap, pandangan hidup dan tradisi bangsa Arab dan bangsa-bangsa muslim lainnya. Kerja besar taghyir ini sukses seperti ungkapan Sayyid Quthb dalam maalim fitThariq berkat komitmen mereka yang (1) menuntut ilmu bukan sekedar untuk megoleksi ilmu, (2) putus dari jahiliyah kemarin dan menghayati hidup baru dalam islam, tanpa keinginan sedikitpun untuk kembali kekancah jahiliyah dan (3) bersiap siaga menunggu komando Alqur-an seperti prajurit siaga menunggu aba-aba komandan.
Kerja untuk perubahan masyarakat
Kecendrungan sufi murung, sudah nampak sejak zaman Rasulullah SAW, namun selalu mendapat koreksi dari beliau. Suatu masa dalam suatu perjalanan pasukan kecil beliau, seorang mujahid terpesona oleh keindahan wahah (oase) ditengah padang pasir dengan rumpun kurma, sebongkah lahan produktif dan sumber air yang cukup untuk seumur hidup.
Oh, alngkah nikmatnya bila aku tinggal disini, beribadah kepada Allah dan tak perlu lagi kembali kemadina, sehingga aku bebas dari gangguan masyarakat atau mengganggu mereka.
Rasulullah SAW, segera mengoreksi :
Jangan lakukan hal itu, karena kedudukan kalian di jalan Allah sehari saja, menandingi 70 tahun tinggal dan beribadah di sini.
Hari ini ribuan surat kabar, radio dan televisi dunia bekerja sama diberbagai kawasan untuk menyebarkan fasad. Menyedihkan, kemana ribuan kader yang hanya menggurutu tanpa berbuat apapun kecuali gerutu. Apakah masyarakat dapat berubah dengan gunjingan dari mimbar masjid? Hari ini rumah ummat kebakaran, tidakkah setiap orang patut memberi bantuan memedamkan api walaupun hanya denagan segelas air. Banyak upaya dilakukan. Sebagian menyentuh kulit tanpa isi. Sebagian membangun simbol-simbol tanpa peduli substansi untuk apa wahyu diturunkan. Mereka yang senantiasa tadabbur Al-Quran akan melihat keajaiban ungkapan. Ketika allah mengisahkan kandungan ahli kitab yang bangga dengan status zahir mereka, ia menyebutkan: “Mereka mengatakan , takan masuk surga kecuali (yang berstatus) yahudi dan nasrani Itu hanya angan-angan mereka. Dan ketika ia mengisahkan sikap keberagamaan kaum beriman, disebutnya prestasi mereka: Ya, barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah seraya berbuat ihsan, maka baginya ganjarannya disisi Tuhannya dan tiada ketakutan atas mereka, tiada pula mereka akan bersedih.”(QS. Al-Baqarah: 111-112).
Banyak orang mengandalkan nisbah diri dengan nama besar suatu organisasi atau jamaah, berbangga dengan kepemimpinan tokoh perubah sejarah, namun sayang mereka tak pernah merasa defisit, padahal sama sekali tidak meneladani keutamaan mereka:
“ Barangsiapa lambat amalnya, tidak akan menjadi cepat oleh nasabnya”
Apa yang harus dikerjakan ?
Hanya pada saat kekikiran dituruti, hawa nafsu ditaati dan setiap orang kagum hanya pada dirinya sendiri, maka ummat ini boleh mulai mendaftar koleksi orang-orang khassahnya dan meninggalkan awam yang tenggelam. Orang beramal dihari itu seperti 50 kali kerja kamu hari ini. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai)
Sebagian kerja dakwah memang kata, tetapi tak dapat di tuding sebagai cuman omong, seperti halnya penyiar dan reporter yang mengisi daftar profesi kerjanya dengan ngomong. Namun perlu dibedakan mana dakwah yang mencukupkan diri dan puas memberi informasi seram kepada khalayak, atau meninabobokan khalayak dengan mimpi-mimpi indah, atau mengingatkan bahaya seraya memberi jalan keluar. Mampukah mereka tampil sebagai problem solver, ataukah cukup menjadi problem speaker, lalu peluang terbesarnya hanya jadi problem maker. Dan hari ini banyak juga orang kaya karena jadi problem trader.
* Taujih Syaikhul Tarbiyah Ust. KH. Rahmat Abdullah
sumber Majalah Tarbawi