Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan

Jangan Ragu Tinggalkan Masa Lalu

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Bro en Sis rahimakumullah, Alhamdulillah jumpa lagi, di setiap hari Senin. Ya, ini adalah jadwal terbit buletin kesayanganmu ini setiap pekannya. Semoga ada manfaatnya. Nah, sekarang temanya agak adem dan cair alias ringan, ya. Kemarin-kemarin dituduh panas, keras, dan berat mulu, atau manas-manasin. Ah, nggak juga sih. Kan pas nulisnya kagak duduk di atas kompor lagi nyala. Oppss…
Duh, ini masa lalu kayak gimana sih? Lah, kamu masih belum ngeh, ya. Hmm.. ini memang judulnya belum spesifik. Itu sebabnya, kamu memang kudu baca ampe tuntas, ya.
Jadi begini. Orang kalo ngomongin masa lalu, dan itu harus ditinggalkan, berarti masa lalu itu kelabu, mungkin juga kelam, bisa juga gelap. Intiya nggak mau diinget-inget lagi. Malah seharusnya jangan ragu untuk ditinggalkan. Betul?
Gimana kalo masa lalu itu kebaikan? Nah, bukan saatnya dibahas sekarang. Insya Allah nanti aja lain waktu, kalo inget dibahas (hehehe…). Kalo untuk kebaikan di masa lalu, boleh aja sih diingat, sebagai bahan evaluasi buat sekarang dan masa yang akan datang. Iya, kalo dulu aja udah baik, seharusnya saat ini jauh lebih baik dan masa yang akan datang makin jauh lebih baik. Duh, ribet juga nulisnya. Intinya, terus bertambah kebaikannya, sepanjang hayat di kandung badan. Insya Allah.
Berusaha berbuat baik
Keburukan masa lalu, bila pun masih teringat, jadikan saja sebagai bahan evaluasi. Agar hari ini dan hari depan jauh lebih baik. Mengubur masa lalu yang buruk dengan cara menabur banyak kebaikan pada masa sekarang dan yang akan datang. Walau mungkin agak berat untuk bisa memulainya.
Namun, kita memang harus berusaha untuk bisa melakukannya. Jika dahulu kita bisa melakukan perbuatan buruk meski awalnya ragu, kenapa tidak bisa mencoba sekuat tenaga untuk melakukan perbuatan baik di masa sekarang, meski awalnya berat? Iya, nggak sih?
Kita mungkin juga sering mendengar nasihat, “ayo kamu bisa!”. Bukan sekali atau dua kali kita dengar, bisa jadi malah puluhan kali. Tapi kenapa kita tidak percaya diri untuk membuktikannya? Atau justru kita malah menyepelekan motivasi tersebut?
Hehehe.. saya sendiri pernah atau bahkan sering merasakannya. Bahwa saya bisa menulis, iya itu benar. Saya sudah punya kemampuan untuk menulis. Menulis untuk menyampaikan kebenaran, menulis untuk melawan kedzaliman. Namun, dalam beberapa kondisi selalu saja ada godaan yang memungkinkan saya tidak selesai-selesai dalam menulis atau justru malas menulis. Pada beberapa kondisi pula alhamdulillah saya berhasil mengalahkan rasa malas itu. Saya mampu menulis artikel bahkan buku. Tapi dalam beberapa kondisi pula saya gagal menulis satu artikel pun. Inilah sisi baik dan buruk yang bisa dimiliki siapa saja.
   Memang, banyak kendala yang menghalangi kita untuk bisa berubah menjadi lebih baik. Kita sebenarnya bisa. Tapi kita seringkali mengampuni diri sendiri bahwa kita belum bisa sebaik itu. Kita merasa bahwa apa yang kita lakukan sudah benar. Kita berpendapat sesuai pikiran kita sendiri bahwa apa yang kita lakukan sebelumnya sudah lebih dari cukup. Bahkan merasa bahwa kini saatnya menikmati hasil yang sudah dicapai. Saatnya santai.
Wah, itu namanya kendala internal yang kudu banget dijauhi. Nggak seru dong kalo setiap upaya untuk menjadi baik dan sebenarnya kita berpeluang bisa melakukannya, malah dibiarkan berlalu begitu saja.
Sobat, kita bisa kok untuk jadi lebih baik dalam hidup ini. Siapa nggak capek kalo hidup gitu-gitu aja. Nggak ada kemajuan. Kalo pun ada, ya sebatas bisa dinikmati sendiri dan kita nggak peduli dengan yang lain. Apa yang kita jalani sebatas memuaskan keinginan kita dalam hal-hal yang sifatnya miskin manfaat bahkan nyerempet-nyerempet maksiat. Kita hanya bisa berbuat untuk hal-hal yang buruk, sementara untuk mencoba yang baik, kita malu, malas, dan belum siap berubah karena merasa akan ada teror kata-kata berupa ejekan dari teman-teman kita.
So, nggak ada salahnya kalo kita menanamkan dalam pikir dan rasa kita, “aku harus bisa!”. Kalo kamu udah ngerasa sadar diri, berbahagialah. Sebab, kamu bisa untuk berubah menjadi lebih baik. Seorang pelajar yang menyadari kekurangan dirinya dalam bidang akademik tertentu, lalu ia berusaha belajar dengan giat dan serius agar bisa, insya Allah akan bisa. Bukan halangan. Kita mungkin pernah belajar naik sepeda. Jatuh bangun saat belajar adalah hal yang wajar. Kita berusaha dan bertekad agar bisa naik sepeda dan pada akhirnya, dengan proses belajar yang benar kita bisa mewujudkan keinginan tersebut.
Saya waktu belum bisa baca al-Quran, merasa penasaran. Kenapa penasaran? Karena teman-teman saya yang sebaya dengan saya sudah bisa lancar membaca al-Quran sementara saya masih terbata-bata membacanya. Saya berusaha untuk lebih giat dan serius belajar. Hingga akhirnya alhamdulillah bisa membaca al-Quran dengan lancar setelah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran. Pengorbanan itu tak sia-sia karena berbuah prestasi.
Begitu pula saat saya ingin bisa menulis. Banyak sudah waktu yang saya korbankan, tenaga, pikiran, bahkan harta untuk membeli buku-buku sebagai sarana menambah wawasan saya. Tapi saya puas karena saya pada akhirnya bisa mewujudkan harapan itu.
Nah, seharusnya kita juga bisa mengubah diri kita. Kepribadian kita. Akhlak kita. Juga tentunya meng-‘create’ masa depan kita di akhirat kelak. Awalnya memang berat, tapi kita harus bisa. Saya sebelum belajar Islam, bukan siapa-siapa. Jangankan menulis untuk mensyiarkan Islam seperti sekarang, karena bisa jadi saat itu sayalah yang harus didakwahi. Saya tak bisa apa-apa. Ilmu sedikit, menulispun masih sekadar mengeluarkan unek-unek. Tak ada idealisme, tak ada harapan bisa menjadi lebih baik secara hakiki.
Waktu teman-teman ngajak saya untuk ngaji, sebenarnya saya malas. Nsmun saya salut dengan beberapa rekan saya yang tak putus semangat untuk mengajak saya belajar Islam. Saya sempat merenung mengapa ada orang yang begitu peduli dan mengajak orang lain untuk baik, sementara yang diajaknya malah cuek. Seperti halnya jika ada orang yang mau menunjukkan jalan yang benar, tapi yang ditunjuki tak merespon, bahkan menolak mentah-mentah. Saya sadar, memang tak mudah untuk berubah. Tapi bukan berarti tak bisa mencobanya. Saya harus bisa.
Alhamdulillah, dengan proses yang cukup panjang akhirnya saya bisa mencintai Islam, bisa mencintai ilmunya, dan berbagi ilmu dengan media yang bisa saya kuasai. Saya yakin ada banyak cerita lain dari kawan-kawan yang bisa menjadi inspirasi dalam hidup ini. Beberapa orang yang pernah belajar dengan saya merasakan hal yang sama. Awalnya sulit mengubah kebiasaan. Tapi dengan berusaha mengalahkan ego diri sendiri (yang belum tentu selalu benar), insya Allah bisa mengubah kebiasaan buruk menjadi baik. Percayalah. Banyak orang sudah berubah. Kini saatnya diri kita. So, jangan ragu untuk tinggalkan masa lalu yang buruk, lalu songsong masa depan yang lebih baik.
Belajar berubah
Sobat gaulislam, seorang pimpinan perusahaan yang tidak tanggap akan perubahan dunia usaha dan dinamika pasar, bisa saja perusahaan yang dikelolanya gagal bersaing dengan perusahaan lain, dan bukan tak mungkin menemui kebangkrutan. Kita juga sama. Ya, manusia juga sama. Perubahan itu selalu ada. Baik dari dalam diri kita maupun dari luar diri kita. Kita harus menyiapkan diri untuk berubah menjadi lebih baik. Berkembang dengan sangat pesat meraih prestasi dunia-akhirat.
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. tentang lima hal sebelum datang lima hal sangat tepat jika kita ingin mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Insya Allah kita harus bisa melakukannya. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: 1) waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu; 2) waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu; 3) masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu; 4) masa luangmu sebelum datang masa sibukmu; 5) hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak)
Nah, kita coba jelasin satu per satu ya. Pertama, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.” Jadi, ayo tanamkan dalam diri kita untuk bisa berubah menjadi lebih baik: “aku harus bisa!” Jangan sampe nunggu udah tua dan bau tanah. Selain belum tentu usia kita nyampe tua, juga kelamaan. Mau berubah kok susah. Iya nggak sih?
Kedua, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.” Iya dong, kalo udah sakit (apalagi parah), jangankan beribadah dengan khusyuk, mau makan dan minum aja susah. So, mumpung masih sehat, lakukan perubahan diri dan perbanyak amal baik.
Ketiga, waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatkanlah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.” Selain itu, jangan biasakan menunda-nunda pekerjaan saat waktu luang. Lakukankan yang bisa dilakukan saat itu, sebelum suatu saat nanti kita sibuk dan tak punya banyak waktu untuk mengerjakan yang seharusnya sudah kita kerjakan sejak lama. Abdullah ibn Mubarak memberikan nasihat, “Orang bijak adalah dia yang hari ini mengerjakan apa yang orang bodoh akan mengerjakannya tiga hari kemudian”
Keempat, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: ”Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”
So, kesadaran dari kita sangat menentukan, apakah saat ini kita bisa mencoba untuk bisa berubah menjadi baik, atau menunda saat kita tak punya apa-apa yang bisa dikorbankan demi meraih kebaikan. Kita yang menentukannya sendiri. Ok?
Kelima, hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.” Yo ayo sebelum datang kematian, yang bisa tiba-tiba datang karena kita tak pernah tahu kapan ajal kita, kita berbuat untuk kehidupan lebih baik. Sadar sesadar-sadarnya dan berusaha untuk bisa mengubahnya.
Bro en Sis, semua orang dilahirkan hebat. Tinggal kita mau berusaha atau tidak untuk menunjukkan bahwa diri kita hebat. Terlahir sebagai pemenang dan menjadi keren karena mau berubah dari buruk menjadi baik. Perlu kesadaran tingkat tinggi agar mau berhasil mewujudkan keinginan itu. Kita bisa melakukannya. Insya Allah. Kalo orang lain saja bisa, mengapa kita tidak bisa untuk berbuat lebih baik?
Lupakan masa lalu yang buruk. Isi dengan beragam kebaikan amal shalih kita. Jadi, jangan ragu tinggalkan masa lalu, semai harapan untuk meraih kebaikan di masa depan. Pastikan, kebaikan bersama Islam.

Semangat!


Lengkapnya Klik DISINI

Kisah Dua Anak Petani Buta Huruf yang Meraih Gelar Doktor Bersamaan

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Sang Kakak Sebagai Wisudawan Terbaik, Sang Adik Sebagai Doktor Termuda

Kisah-Dua-Anak-Petani-Buta-Huruf-yang-Meraih-Gelar-Doktor-Bersamaan

Pada hari Selasa 29 september 2015 UIN Alauddin Makassar melaksanakan wisuda yang ke 75, saya hadir untuk mengikuti wisuda salah satu adik saya berhubung orang tua kami berhalangan hadir, di sebelah kiri saya ada orang tua wisudawan yang umur umurnya kurang lebih 60 tahun, dia menggunakan songkok haji, yang menarik perhatian saya adalah ketika sesi pengumuman wisudawan terbaik dipersilahkan maju ke depan untuk menerima penghargaan sebagai wisudawan terbaik di semua jenjang, tiba-tiba saya melihat orang tua di sebelah kiri saya tadi meneteskan air mata, bahkan terdengar bahwa dia sedang menangis, orang tua itu kemudian mengambil tissue untuk menghapus air matanya, saya kemudian bertanya kepada orang tua tersebut.
“Pak haji kenapa menangis?”

Dia menjawab dengan bahasa daerah (Bahasa Fattae, bahasa yang digunakan di daerah Kanang, salah satu daerah di Polman Sulbar) saya paham walaupun menggunakan bahasa Fattae karena mirip dengan bahasa Palopo, yang artinya kurang lebih: “anak saya tadi yang diumumkan namanya”,

Saya kemudian bertanya: “siapa nama anaknya pak Haji?”

Dia menjawab: “Gaffar”

Kemudian saya mencoba untuk mencari nama yang dia maksud Pak Haji tadi, sebab saya sedang asik balas sms, sehingga saya tidak mendengar dengan baik pengumuman wisudawan terbaik. Saya sms ke adik saya perihal nama yang disebutkan oleh pak Haji tadi.

Adik saya membalas Sms tersebut bahwa nama lengkap anak pak Haji tadi yaitu: Dr. Abdul Gaffar, S.Th.I., M.Th.I. sesuai yang tertera dalam buku alumni yang dibagikan kepada seluruh wisudawan. Saya sontak kagum melihat pak Haji yang saya yakini bahwa beliau adalah orang yang buta huruf, sebab bahasa Indonesia saja tidak bisa, apalagi membaca dan menulis.

Saya kemudian duduk tenang mengikuti seluruh rangkaian wisuda hari itu, setelah acara wisuda selesai, pak Haji kemudian berdiri dan berjalan dengan terpincang-pincang, saya mengikuti dan meminta untuk saya papa, tetapi beliau menolak dengan halus. Setelah kami berada di lantai dua, lokasi para wisudawan, salah seorang wisudawan datang mendekatinya bersama dengan ibunya, kemudian bersalaman dan mencium tangannya, kemudian saya bertanya kepada wisudawan yang datang tadi.

“kenal dengan pak haji ini?,

Dia menjawab “bapak saya pak?”

Saya kembali bertanya; “adiknya Gaffar ya?” saya bertanya demikian karena wisudawan yang datang tadi masih sangat muda, dalam benak saya dengan usia segini paling cepat baru selesai S2/ Masternya bahkan masih terlihat dari mukanya S1/sarjana, sebab tidak mungkin dia sudah Doktor dalam usia semuda ini.

Saya kemudian berkata kepada pak Haji; “beruntung sekali anda pak haji punya dua anak bersamaan wisudanya, satu doktor dan satu sarjana”

Pak haji itu kemudian menjawab; “doktor ngasanni” yang artinya kurang lebih “doktor semua”
Saya kemudian bertanya ke wisudawan tadi yang baru saja selesai mengangkat telepon.

“kita (kita dalam tradisi bahasa Makassar berarti kata penghargaan dan memuliakan sebagai pengganti anda atau kamu) doktor juga?”

Dia menjawab: “iya, Alhamdulillah promosinya bersamaan harinya dengan kakak kemarin”, saya makin terkagum-kagum melihat keberhasilan kedua orang tua ini dalam mendidik anaknya, sebab orang yang buta huruf dapat melahirkan dua anak doktor sekaligus, istri dari pak haji walaupun bisa menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dia juga buta huruf. Tak lama berselang kami berdiri di luar lokasi wisuda, salah seorang wisudawan datang menghampiri kami dan langsung mencium tangan kedua orang tua tadi.

Wisudawan yang datang tadi ternyata Abdul Gaffar, saya kemudian meminta mereka untuk mencari lokasi di mana bisa bercerita dan berbagi tips bersama mereka.
Akhirnya kami sepakat untuk masuk ke ruang wisuda yang sudah mulai kosong.

Dalam perbincangan itu saya mendapati banyak hal positif terkait dengan perjalanan hidup keluarga mereka.

Profesi kedua orang tua mereka adalah petani gula merah (pa’ golla), keduanya orang tua yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah alias buta huruf. Anaknya delapan bersaudara semuanya bergelar sarjana kecuali satu orang, bahkan salah satunya sebagai pejabat Kemenag Sulbar.

Salah satu prinsip orang tuanya dalam membiayai anaknya adalah harus dilandasi dengan kejujuran artinya tidak pernah memberikan makan dan biaya dari harta yang haram kepada anaknya.

Bapaknya merasa orang yang paling bodoh di Kanang (salah satu daerah di Polman Sulbar), sehinggan beliau tidak mau kalau anak-anaknya mengikuti jejaknya sebagai orang yang bodoh pula.
Ketika saya bertanya kepada kedua doktor bersaudara tersebut kakaknya menjelaskan bahwa yang mendorongnya untuk melajukan pendidikan lebih tinggi karena mereka mau berubah nasib keluarga mereka dan membuktikan bahwa dengan keterbatasan ekonomi tidak menghalangi untuk meraih cita-cita.

Saya kemudian bertanya kepada mereka berdua untuk berbagi tips dalam meraih doktor sang kakak sebagai lulusan terbaik dan adik sebagai doktor termuda di UIN Alauddin Makassar bahkan tidak banyak di Indonesia, dia kemudian bercerita dari awal sekolah sampai doktor yang saya ringkas dalam sebuah tulisan:

Kakak Lulusan Terbaik
Pantang menyerah dalam menuntut ilmu (selalu menjadi terbaik dalam semua jenjang pendidikan yang ia ikuti)

Saya mondok pada saat berusia 8 tahun tepatnya hari Selasa tgl. 1 Agustus 1989. Lalu tinggal bersama KH. Abd Latif Busyra dan keluarganya. Setiap hari diantar ke sekolah SDN 007 Parappe hingga kelas 4 SD. Pada saat kelas 5 SD, mulai mandiri dan masak dan mencuci sendiri, terkadang kiriman terlambat sehingga makan seadanya seperti makan nasi dengan kepiting empang yang konon tidak boleh dimakan, kadang makan nasi cukup dengan kelapa yang telah diparut lalu diberi garam dan bahkan terkadang makan nasi dengan hanya berteman garam saja atau sekalian buat bubur. Kalau lauknya ikan kering maka itu sudah sangat enak. Untuk mendapatkan uang jajan maka terkadang menjual kerupuk yang diberi gula atau menjual es lilin di sekolah SD. Pengalaman ini dirasakan hingga kelas 2 MTs.

Keterbatasan biaya tidak menghalangi saya untuk belajar, sehingga saat masih duduk di kelas 5 SD, saya sudah mulai membaca kitab kuning yakni Syarah al-Jurumiyah, bahkan pernah Kyai menyuruh menghafal kitab Matan Rahbiyah dan akhirnya saya bisa menghafalnya semalam dengan cara merendam kaki di ember agar tidak tidur dan pada pagi harinya saya hadapkan hafalan Matan Rahbiyah kepada Kyai.

Pada saat kelas 2 MTs, saya diberhentikan dari Pondok Pesantren Salafiyah Parappe karena suatu hal, tetapi peristiwa itu yang membuat saya bisa menginjakkan kaki ke Jawa. Setelah berhenti di Pondok, saya akhirnya membantu orang tua di empang selama 2 bulan. Sebenarnya saya diajak melanjutkan di Pondok Pesantren Mangkoso atau Kaballangan tapi akhirnya bisa melanjutkan di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur berkat H. Husain (seorang penduduk Kanang yang sangat senang melihat anak-anak mondok di pesantren) yang rela meminjamkan uang 500 ribu sebagai bekal ke Jawa. Saat itulah saya berangkat ke Jawa diantar oleh alumni dari Sidogiri bernama Ust. Hadisman.

Saat di Sidogiripun, saya harus berusaha untuk menghemat karena uang yang dibawa tidak banyak, terlebih lagi kalau habis maka harus berkirim surat ke kampung (maklum tidak ada telpon saat itu). Jika berkirim surat, paling cepat suratnya sampai sekitar 1 minggu, kemudian orang tua mengirim uang melalui wesel di POS dan sampai ke pondok biasanya 1 minggu juga lalu diumumkan di papan pengumuman.

Saat menunggu kiriman datang, setiap hari saya rajin membaca dan melihat papan pengumuman siapa tahu kiriman sudah datang. Jika kiriman terlambat, saya hanya makan ubi jalar rebus yang harganya saat itu 50 rupiah 1 buah di pagi hari, siang hari dan malam hari. Jika kiriman masih juga terlambat maka langkah terakhir yang dilakukan puasa supaya uangnya cukup hingga kiriman datang. Saya tidak berani juga meminjam uang karena takut tidak bisa membayar.

Kehidupan ini saya jalani selama mondok di Pesantren Sidogiri selama kurang lebih 9 tahun, mulai dari tahun 1996 hingga 2004 dengan suka duka, terlebih lagi saat adik saya M Ali Rusdi juga ikut mondok di Sidogiri sekitar 3 tahun sebelum saya berhenti mondok. Saat saya meminta izin kepada orang tua untuk membawa serta adik mondok, orang tua keberatan karena takut tidak bisa membiayai kami berdua. Akhirnya saya sampaikan biarlah dicoba satu tahun. Jika memang tidak sanggung membiayai kami, saya rela berhenti mondok yang penting adik saya mondok dengan alasan saya sudah lama merasakan pondok. Tapi pada akhirnya orang tua tetap membiayai kami berdua hingga selesai.

Pada tahun 2005, saya sebenarnya tidak ingin kuliah di Makassar atau di Indonesia secara umum. Saya hanya ingin kuliah saat itu di al-Azhar Mesir, namun karena ijazah saya sudah menganggur 3 tahun lebih (lulus 2002) akhirnya saya memutuskan untuk tidak kuliah. Saat pulang ke kampung, semua keluarga membujuk saya agar tetap kuliah meski hanya di Makassar, dan keluarga yang paling ngotot saat itu adalah kakak yang bernama Muhdin (saat ini Ka.Kanwil) tapi tetap saja saya tidak bergeming dan akhirnya pada satu momen, ibu saya menghampiri dan menangis tanpa berkata apa-apa. Saat itu juga saya berangkat ke Makassar dan memutuskan untuk kuliah di Jurusan Tafsir Hadis karena takut durhaka terhadap ibu.

Sebenarnya, saya tidak pernah berpikir mau jadi apa saat itu, yang terlintas dalam pikiran saya bukan ingin menjadi guru atau yang lain tetapi hanya ingin mendapatkan ilmu. Saat mau memilih jurusan, salah seorang kelurga yang bernama Ust. Suddin Bani (salah seorang dosen UIN Alauddin Makassar) memberikan masukan dan pilihan kepada saya dengan mengatakan “Kalau mau jadi guru masuklah di Tarbiyah, kalau mau jadi ulama fikih masuk di Syariah, kalau mau jadi pemikir masuk di Ushuluddin Jurusan Filsafat, tapi kalau mau dapat ilmu masuklah di Tafsir Hadis”. Akhirnya saya memilih Tafsir Hadis dengan harapan bisa mendapatkan ilmu.

Ada satu peristiwa yang tidak bisa saya lupakan yaitu saat mendaftar di bagian akademik rektorat, salah seorang staf berkata kepada saya “Dek, beraninya kita ambil jurusan Tafsir Hadis dengan nilai seperti ini (saat itu, nilai ijazah aliyah saya memang rendah)”, saya kemudian menjawab “Biar bu, saya coba dulu kalau tidak sanggup, saya akan berhenti”.

Singkat cerita saya masuk di Tafsir Hadis tepatnya pada tanggal 1 September 2005. Tidak lama berselang, ada kabar gembira dari Kemenag Pusat bahwa UIN Alauddin diberi amanah menjadi salah satu pelaksana Program Khusus Tafsir Hadis di Indonesia. Akhirnya saya mendaftar dan ikut tes Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Saya masih ingat bahasa Arab saya mendapatkan nilai 90 tapi bahasa Inggris saya dapat nilai 40 (nilai terendah). Namun saya dinyatakan lulus dan masuk dalam urutan 4 besar.

Akhirnya saya sadar bahwa keinginan untuk kuliah di luar negeri tidak terkabul karena Allah sudah mengaturnya bahwa di Makassar ternyata ada beasiswa yang lebih menjanjikan yakni Program Khusus Tafsir Hadis. Saya yakin bahwa beasiswa itu erat kaitannya dengan kepatuhan dan doa ibu yang mengharapkan saya kuliah di Makassar.

Sejak itulah, saya mulai menuntut ilmu tanpa memikirkan biaya karena di samping SPP dibayarkan, kami juga difasilitasi dengan asrama kampus. Pada tahun 2009 tepatnya tanggal 23 Juni 2009 saya bisa menyelesaikan S1 dengan nilai 3,97 dengan predikat Summa Cumlaude, karena dapat menyelesaikan pendidikan kurang dari 4 tahun, skripsi dalam bahasa asing (bahasa Arab) dan dipersentasikan dengan bahasa Arab pula.

Pada bulan berikutnya saya melanjutkan kuliah S2 dan mendapatkan beasiswa 20 besar karena lulus tes pada urutan 12. Saya bisa menyelesaikan S2 dalam jangka 1 tahun 11 bulan dengan predikat Cumlaude dengan IPK 4,00. Pada tahun 2012, saya nekat untuk melanjutkan S3 tanpa berfikir dapat beasiswa atau tidak tapi akhirnya dalam perjalanan kuliah tersebut, saya dua kali mendapat beasiswa BBP dari Kemenag Pusat dan dapat menyelesaikan S3 dalam jangka 3 tahun 6 hari dengan IPK 3,98.

Sang Adik Sebagai Doktor Termuda
Doktor di Usia 28 Tahun (Anak Pa’gollah -pembuat gula merah- jadi Doktor)

Sebab waktu yang sangat terbatas sehingga dia memberikan biografi perjalan pendidikannya yang telah ditulis oleh temannya kepada saya, melalui email.

Dr. M. Ali Rusdi Bedong, S.Th.I., M.H.I., Lahir di Kanang Polmas, 18 April 1987, anak ketujuh dari delapan bersaudara, pasangan dari H. Bedong dan Hj. Harisah, saudara kandungnya: Nurdiah, Muhdin, S.Ag, M.Pd.I, (Kakanwil Kemenag Sulbar) Abdul Majid, S.Pd.I, Dr. Abdul Gaffar, M.Th.I. (Dosen IAIN Kendari), Mustamin, S.Pd.I, Rusnaeni, S.Pd.I, St. Munawwarah, S.Pd.I. Alamat rumah Jalan Mangondang-Kanang Desa Batetangnga Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat. Salah satu moto dan prinsip hidupnya, yaitu : “Di dunia ini tidak ada orang yang bodoh yang ada adalah orang yang tidak mempu menentukan skala prioritas dalam hidupnya”.
Sejak usia 6 tahun sampai usia 28 tahun, ia tidak pernah jeda dalam menuntut ilmu mulai dari TK-SD-MTs-MA-S1-S2-S3 ditempuh selama 23 tahun tanpa jeda, sejak kecil ia tidak pernah membayangkan dapat mendapat gelar doktor di usia yang relatif muda seperti saat ini. Terlebih lagi bila melihat latar belakang kedua orang tuanya yang tidak pernah sekolah dan buta huruf, bahkan ayahnya hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa Fattae (bahasa daerah orang Kanang). Akan tetapi kedua orang tuanya memiliki tekad yang kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya, sehingga sangat marah bila melihat ada anaknya tidak berangkat ke sekolah, sebab ayah memiliki prinsip: “biarlah saya orang yang paling bodoh di kampung ini (Kanang), tapi jangan sampai ada anak-anak yang mengikuti jejak saya.”

Ketika menempuh pendidikan pada SDN No. 012 Kanang, ia hidup sebagaimana anak pada normalnya yaitu bermain dan sesekali membantu orang tua, pada saat kelas enam SD, ia bersama teman-temannya bermain sepak bola di sebuah lapangan kecil, ia mengalami cedera patah tulang pada kaki yang membuat harus dirawat di rumah selama kurang lebih tiga bulan, pada titik inilah ia merasa putus asa, karena ia tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak berdaya, sebab cita-cita sederhananya dulu, cukup jadi petani coklat atau menggarap sawah saja sudah cukup, peristiwa itu pula membangkitkan keinginan untuk sekolah sampai ke perguruan tinggi menjadi impiannya, setalah lulus SD pada tahun 2000. Selanjutnya sekolah menengah pertama di tempuh di Madrasah Tsanawiyah al-Ihsan DDI Kanang dan lulus pada tahun 2003.

Setalah menyelesaikan pendidikan tingkat pertama, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur, tahun 2003-2005 dan diterima pada kelas tiga Ibtidaiyah hingga kelas satu Tsanawiyah namun ijazahnya bersifat informal, sehingga ia juga mengikuti pendidikan tingkat atas di luar Pondok Pesantren Sidogiri, namun tidak tamat dan akhirnya pindah ke Madrasah Aliyah Pergis Campalagian Kabupaten Polewali Mandar dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2006, ia melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi dengan memilih jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan lulus pada tahun 2010 dengan predikat summa cumlaude karena ia dapat menyelesaikan pendidikannya dalam tiga tahun sembilan bulan dengan judul skripsi dalam Bahasa Arab “al-Faqr wa ‘Ilajuh fi Tasawwur al-Qur’an”. Di tengah-tengah pendidikannya di S1, ia sempat menjabat sebagai Ketua BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat periode 2009-2010.

Pada tahun 2010, ia melanjutkan pendidikan di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dengan memilih konsentrasi yang berbeda dengan konsentrasi S1. Konsentrasi yang dipilihnya adalah Syariah/Hukum Islam padahal strata satunya adalah Tafsir Hadis, namun ia dapat menyelesaikannya pada tahun 2012 dengan judul tesis “Implementasi Maqashid al-Mukallaf terhadap Pelaksanaan Hukum Islam” dalam jangka waktu satu tahun sepuluh bulan dengan rata-rata 3,75. Sebetulnya melanjutkan ke jenjang S2 bukan merupakan keinginannya, akan tetapi kedua kakaknya (Ka’ Muhdin dan Ka’ Gaffar) memberikan saran agar lanjut, dan mereka berdua siap membantu biaya yang dibutuhkan selama proses kuliah.

Pada tahun 2012, ia kemudian melanjutkan pendidikannya pada program doktor dengan memilih konsentrasi Syariah/Hukum Islam dan lulus apada tahun 2015 dengan masa studi 3 tahun 6 hari dengan IPK 3,98. Pada awal masuk di S3 dengan usia 25 tahun, membuat sebagian teman-teman kelas meremehkan dan tidak berharap banyak, bahkan sering dianggap sebagai mahasiswa S1, akan tetapi ia mampu membuktikan ketika tampil sebagai pemakalah.

Di samping sebagai mahasiswa pascasarjana, sejak tahun 2012, ia menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar hingga 2015 dan pada tahun 2014, ia mengikuti seleksi penerimaan pegawai negeri sipil sebagai dosen bidang fikih muamalah dan Alhamdulillah dinyatakan lulus di STAIN Pare-pare. Ia juga telah menulis sebuh buku yang diterbitkan oleh Alauddin University Press dengan judul “Implimentasi Maqashid al-Mukallaf terhadap Pelaksanaan Hukum Islam: Solusi Aplikatif Menuju Fatwa Komprehensif” tahun 2014.

Selama menjalani perkuliahan S1-S2-S3 tentulah tidak selamanya mulus. Ada berbagai hambatan dan rintangan yang menemani perjalanan kuliahnya. Ada saja masalah yang menganggu dan mencoba menghalangi untuk bisa lulus tepat waktu. Masalah biaya salah satu kendala yang paling sering menggangu, sebab sangat berat untuk minta uang ke orang tua ketika ada kebutuhan, sebab ia sadar betul bahwa orang tuanya hanya seorang petani Gula (anak pa’golla). Ketika S1 Jumlah uang yang dikirim sangat pas-pas an untuk biaya hidup+biaya beli buku, sehingga tidak ada waktu hidup mewah dan berfoya-foya. Ketika teman-temannya pergi ke Mall dan gonta-ganti HP, ia tetap konsisten dengan hidup apa adanya. Hambatan masalah biaya sudah mulai teratasi setelah melanjutkan studi di S2 dan S3 karena kakaknya Muhdin dan Abdul Gaffar banyak membantu. Menurutnya salah satu hambatan lain yang paling sering ditemui oleh mahasiswa ketika kuliah adalah godaan lawan jenis, sehingga dia punya prinsip dan janji kepada kedua orang tuanya yaitu “promosi dulu, baru respsi” selesaikan kuliah sampai meraih gelar doktor dulu, baru pikirkan menikah.

Saya sangat terharu dan bangga melihat kedua orang tuanya bahkan saya meneteskan air mata melihat kesederhanaan orang tuanya dan keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya. Semoga ini semua dapat dijadikan sebagai motivasi untuk merubah nasib keluarga kita dengan pendidikan. Paling menarik dari kisa mereka berdua ternyata mereka bersamaan masuk S3 program doktor, bersamaan terangkat sebagai dosen CPNS sang kakak di IAIN Kendari, dan sang adik di STAIN PAREPARE, bersamaan selesainya yaitu hari seni, 07 sepetember 2015 hanya beda jam, nilainya sama persis, dan wisudanya juga bersamaan.

Lengkapnya Klik DISINI

KISAH HIDUP CHOW YUN FAT ( Sangat Inspiratif !!! )

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Saat usianya 15 tahun, ayahnya sakit keras tak kunjung sembuh. Dia harus bekerja sebagai bellboy di sebuah hotel mewah. Tugasnya angkat tas dan barang tamu.

Seorang beri dia tips $1 dan terlihat oleh pimpinan. Dia pun dipanggil dan dipecat. Dia mengemis untuk tetap dipekerjakan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tapi ditolak.

Hal tersebut membuatnya terpukul. Dia tidak mau pulang karena takut ibunya tahu. Saat itu ayahnya sudah meninggal. Kenangan saat menjadi bellboy terus diingatnya.
Dia melihat Rolls-Royce hitam terparkir di depan sebuah dealer. Dia mendatanginya dan ingin tahu apa yang ada di dalamnya. Lalu ia membuka pintu tersebut untuk mencoba duduk dan membayangkan sedang mengendarai mobil tersebut.
"Apa Yang Kamu Lakukan" Bentak Bos dealer tersebut.

"Tutup kembali pintu mobil itu. Orang seperti kamu tidak akan pernah merasakan duduk di dalam Rolls-Royce."

Hinaan tersebut sangat membekas dalam hatinya. Dia selalu mengingatnya. Benarkah dia tidak akan pernah dapat duduk di dalam Rolls-Royce? Setelah beberapa kali mencoba pekerjaan lain, dia akhirnya diterima di TVB.

Ia berperan utama di film The Bund pada tahun 1980an. Film ini sukses luar biasa dan karirnya melesat sebagai salah satu bintang paling sukses di Hongkong. Setelah itu film demi film pun dibintanginya.

Bahkan terakhir dia juga bermain di film-film Hollywood. Dia adalah Chow Yun Fat. Kini dia menjadi sangat kaya dan telah membeli 5 mobil mewah.

Dia berkata "Saya selalu mengajak ibu saya jalan-jalan keliling Hongkong dengan Rolls-royce itu"
Namun mobilnya satu per satu dijual karena merasa tidak nyaman memiliki banyak mobil.

"Pemborosan" katanya. "Saya sebenarnya lebih suka naik bis" ujarnya. Dia mewarisi sifat ibunya yang sedarhana dan tak mau bermewah mewah.

Ambisi membeli mobil itu, hanyalah karena ingin membuktikan pada bos dealer mobil yang mengatakan bahwa dia tidak bisa memiliki Rolls-Royce.

"Dulu saya rendah diri. Sekarang saya bisa katakan, kemewahan apa yang orang lain miliki pernah saya miliki" Katanya.

Moral Cerita : Perlakuan orang lain yang menyakitkan jangan jadikan dendam tapi motivasi untuk meraih sukses dan tidak menjadi sombong

"Indahnya Berbagi"

Share Artikel ini bila menurut anda bisa menginspirasi untuk orang lain !!!
----------------------------------------------------------------------------------------------

Lengkapnya Klik DISINI

Asep Penjual Gorengan, Sekarang Jadi Gubernur

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

 
Ada seorang anak SD yang tinggal bersama neneknya. Namanya Asep. Setiap berangkat sekolah, ia berjualan gorengan. Ia tidak malu berjualan gorengan untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya. Terkadang, ia berangkat ke sekolah sambil nyeker (tanpa alas kaki) karena keterbatasan (ekonomi) keluarganya. Di luar waktu sekolah, Asep mengisi waktu luangnya dengan belajar. Ia terkenal kutu buku. Sering sekali ia membaca buku dengan semangat di atas pohon, padahal di bawah dekat pohon itu ada kuburan. Saat suasana mulai gelap, barulah ia turun dari pohon tersebut. Ia juga sering mengaji Al-Qur’an di masjid.

Selain ilmu umum di sekolah, ia pun senang belajar ilmu-ilmu agama Islam. Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, Asep bisa melanjutkan sekolah sampai SMA. Pada saat SMA, minat dan semangatnya terkait agama menyebabkan Asep aktif di rohis (kerohanian Islam). Keilmuan Asep di bidang agama pun mulai diakui oleh masyarakat. Di usianya yang masih sangat muda, ia sudah sering menjadi ustadz muda yang diminta berceramah dari satu kampung ke kampong lainnya.

Suatu ketika, Asep sedang menyampaikan ceramahnya dengan bahasa yang sistematis dan jelas. Para hadirin terpesona dengan penjelasan Asep yang sederhana dan mudah dipahami. Ada seorang wanita yang matanya sembap, air mata pun mengalir. Ia bersyukur kepada Allah karena Asep diberi karunia ilmu agama dan dipercaya oleh masyarakat. Ternyata, wanita tersebut adalah ibunda Asep yang ikut hadir. Setelah SMA, Asep diterima kuliah di IPB. Namun, dengan berat hati ia tidak melanjutkan kuliah karena memprioritaskan adikadiknya yang masih sekolah dan perlu biaya yang banyak. Ia pun sempat diterima di IAIN Sunan Gunung Djati (sekarang UIN Sunang Gunung Djati). Dengan keterbatasan ekonomi keluarganya, Asep berusaha mencari beasiswa.

Alhamdulillah, pada saat itu ada pengumuman penerimaan mahasiswa baru Universitas Muhammad Ibnu Sa‘ud Saudi Arabia cabang Asia Tenggara. Asep mendaftar dan lulus dengan beasiswa penuh untuk belajar bahasa Arab dan ilmu syariah di universitas tersebut. Asep belajar dengan tekun sehingga berhasil lulus kuliah. Setelah lulus, Asep terus aktif dalam dunia dakwah. Ia pun dikenal oleh masyarakat sebagai salah seorang da‘I yang juga aktif dalam bidang pendidikan dan politik.

Nah, Asep yang dulu penjual gorengan itu sekarang ada di rumah kita,” pungkas Bu Netty Prasetiyani sambil tersenyum mengakhiri cerita kepada anak-anaknya. “Oh, jadi Asep penjual gorengan itu Bapak, ya?’ Itulah ungkapan yang muncul dari anak-anak saat pertama kali mendengar cerita ‘Asep Penjual Gorengan’,” tambah Bu Netty.

Kami tidak menyangka bahwa ternyata kisah “Asep Penjual Gorengan” itu adalah kisah nyata Gubernur Jawa Barat saat masih kecil, di daerah Sukabumi. Ternyata, Asep itu adalah panggilan Pak Ahmad Heryawan waktu kecil. Saya baru ingat bahwa Universitas Muhammad Ibnu Sa‘ud cabang Asia Tenggara itu bernama LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang bertempat di Jakarta dan merupakan kampus tempat Pak Ahmad Heryawan dahulu berkuliah dan menimba ilmu bahasa Arab dan keislaman.

Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......