Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==
Tampilkan postingan dengan label Taujih Rabbani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taujih Rabbani. Tampilkan semua postingan

Lalat dan Lebah

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Fir'adi Nasruddin

Allah berfirman,

» وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ , ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ «

“Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).’ Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. an-Nahl: 68-69).

Saudaraku,
Di antara bentuk akhlak terpuji yang kita yang seyogyanya kita punya sebagai seorang mukmin adalah semangat berkorban untuk orang lain dan memberi kepada orang yang membutuhkan. Berkorban untuk menularkan kebaikan bagi orang lain dan memberi untuk meringankan beban berat yang ada di pundak orang lain.

Kita berupaya untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan kepada orang lain. Kita diajarkan untuk mau menebarkan kebaikan kepada siapa saja dan di mana saja kita berada. Di mana pun kaki kita berpijak. Menjadi pribadi yang laksana lebah. Hinggap di tempat yang baik, menghisap yang paling baik, menyebarkan yang baik dan bermanfaat bagi manusia. Itulah akhlak kita, jati diri kita dan karakter yang seharusnya melekat pada diri kita.

Kita tidak diajarkan menjadi seperti lalat. Hinggap di tempat yang paling kotor, mengambil yang kotor dan menyebarkan yang kotor untuk merusak manusia.

Haram bin Hayyan r.a, ahli ibadah yang pernah menjadi pegawai Umar bin Khattab r.a berkata: ‘Tiada seorang hamba yang mendekatkan hatinya kepada Allah Ta’ala, melainkan Allah akan mendekatkan hati orang-orang mukmin kepadanya hingga ia mendapatkan kasih sayang mereka’.

Saudaraku,
Untuk mengetahui apakah kita telah mewujud menjadi manusia lebah atau lalat, salah satu ukurannya adalah kesaksian para tetangga yang telah berinteraksi dengan kita.

Muhammad bin Jahm rahimahullah, didatangi seseorang yang ingin membeli rumahnya dengan harga seratus ribu dirham, ia bertanya: ‘Berapa engkau akan membeli rumahku dengan tetangga Sa’id bin Ash?’, lalu ia melanjutkan ucapannya: ‘Berapa engkau memberikan harga tetanggaku, yang bila engkau meminta sesuatu darinya, ia akan memberi. Jika engkau diam ia akan menyapa dan menegurmu terlebih dahulu. Jika engkau berbuat jahat padanya, justru ia membalasmu dengan kebaikan. Jika engkau jauhi dan hindari, ia akan mendekat dan tetap lemah lembut kepadamu?’.

Ketika hal itu dikhabarkan kepada Sa’id, ia mengirimkan utusan dengan membawa 100 ribu dirham. ‘Tetaplah tinggal di rumahmu’, kata Sa’id.

Saudaraku,
Semangat memberi, berkorban dan memberi warna kebaikan tidak dibatasi waktu, profesi, jabatan dan tidak memilah-milah orang yang ingin kita bidik.

Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitabnya “hilyat al-auliya'” menceritakan tentang Abu Ja’far bin al-Baqir, suatu ketika ia memberikan wasiat kepada khalifah Umar bin Abdul Azis, penguasa yang adil dan sangat dicintai rakyatnya.

“Pergaulilah manusia dalam tiga tingkatan. Pertama; orang yang lebih tua usianya darimu, anggaplah ia sebagai orang tuamu. Kedua; orang yang sebaya denganmu, jadikanlah ia sebagai saudara kandungmu. Ketiga; orang yang lebih muda usianya darimu, posisikanlah ia sebagai anakmu. Maka berbaktilah kepada orang tuamu, sambungkanlah silaturrahim dengan saudaramu, dan kasihilah anakmu’.

Sekiranya kita mampu merealisasikan pesan Abu Ja’far al-Baqir ini dalam kehidupan, niscaya kita dikasihi oleh semua manusia. Orang tua, sebaya, lebih muda usia dan semua lapisan umat, semua menghadirkan kita dalam kehidupan mereka.

Namun pada saat kita salah dalam memposisikan manusia di hati kita, atau keliru dalam berinteraksi dengan mereka, pastilah kita dijauhi sesama. Arak-arakan mendung akan selalu menghiasi langit-langit hati kita.

Saudaraku,
Keindahan pekerti bukan sekadar parameter kesempurnaan iman kita, bahkan pekerti yang luhur memiliki korelasi dengan kemapanan ekonomi dan terbukanya pintu rezeki kita. Yahya bin Muadz rahimahullah berkata, ‘Akhlak yang baik adalah mutiara rezeki yang terpendam’.

Bila kita merasakan kran rezeki kita seperti tersumbat, cobalah kita buka salurannya dengan menampilkan pesona akhlak yang menyejukan mata insan yang melihatnya. Membuka jendela hati orang yang menatapnya. Membuat jatuh hati siapa yang ada di dekatnya. Mari kita jadikan akhlak sebagai bunga diri kita. Penghias pesona kita. Agar kita dipuji Zat yang di Atas sana dan dicintai makhluk yang hidup bersama kita.

Saudaraku,
Imanlah yang mampu mendorong kita untuk berbuat baik. Meski secara kasat, mungkin sia-sia, bahkan berupa beban atau kesulitan. Kebaikan harus ditebarkan pada siapa saja. Keadilan harus dinikmati siapa saja. Kezaliman harus dijauhkan dari siapa saja. Itulah sendi-sendi ajaran Islam yang diberikan pada kita.

Abdullah bin Umar r.a pernah ditanya salah seorang budaknya pada saat ia menyembelih seekor domba, “Apakah engkau akan menghadiahkan sebagian dagingnya untuk tetangga kita yang beragama yahudi?.”

Ia menjawab, “Ya, karena aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, “Jibril terus menerus berwasiat kepadaku agar kuberbuat baik terhadap tetangga, sehingga aku mengira bahwa tetangga itu mempunyai hak waris.” (HR. Bukhari, no. 6014 dan Muslim, no. 2624).

Saudaraku,
Apa rahasianya orang mudah memberi dan berkorban dengan apa yang dia punya?. Keimanan itulah jawabannya. Iman yang menggerakkan tubuh kita kita mengukir kebaikan dana mal shalih. Memberi tanpa berharap balasan. Berkorban tanpa meminta hadiah. Menyeru dan berusaha menebarkan kebaikan kepada siapa saja dan di mana saja, dan hanya mengharap balasan dari Allah Ta’ala.

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara’: 109).

Dengan iman, terasa begitu ringan kita mengeluarkan zakat, sedekah, derma dan bahkan jihad sekalipun. Walau berakhir dengan kematian. Karena dengan kaca mata iman yang kita sandang, surga dan neraka serta balasan di sisi-Nya terlihat begitu jelas dan dekat.

Saudaraku,
Jangan berhenti berbagi kebaikan untuk orang lain. Jangan pernah surut untuk melahirkan kebahagiaan bagi orang lain. Kapan dan di mana pun kita berada. Mungkin ada yang tidak sependapat dengan bentuk pengorbanan yang kita berikan pada orang lain. Karena mereka menganggap kita hanya menyulitkan diri sendiri. Ada juga yang menganggap upaya kita untuk membahagiakan orang lain, hanya membebani diri sendiri dan tiada gunanya.

Itu semua karena mereka hanya memikirkan kepentingan dan manfaat sesaat. Dasar penilaian mereka adalah pamrih dunia yang didapat. Manfaat yang terserap. Kebahagiaan yang mengkilap.

Mereka lupa, bahwa masa depan di akherat jauh lebih penting. Kebahagiaan di sana jauh lebih memikat. Bidadari surga lebih membuat mata terperanjat. Sehingga tipu daya setan di dunia tidak mampu menjerat.

Saudaraku,
Pengalaman hidup yang mungkin pernah kita alami, bila kita jujur dan tulus kepada orang lain, mungkin orang malah akan menipu kita. Tapi tetaplah jujur dan tulus. Karena ketulusan dan kerelaan kita dalam menampilkan kejujuran tiada pernah sia-sia di sisi-Nya.

Jika kita mengalami ketenangan, kebahagiaan dan kejayaan, mungkin ada orang yang iri dan hasud dengan kita. Tapi tetaplah syukuri kebahagiaan kita. Kebaikan kita kemarin dan hari ini, gampang dan sering dilupakan oleh orang lain. Tapi teruslah dan tetaplah melakukan kebaikan. Karena inti masalahnya, ada diantara kita dengan Allah. Bukan antara kita dengan manusia, siapa pun jua orangnya. Keyakinan inilah yang harus selalu tertancap di dalam jiwa kita. Tetap hidup di dalam hati kita. Tetap subur dalam bathin kita yang paling dalam.

Saudaraku,
Mari kita berusaha selalu menjadi manusia lebah dan jangan pernah berpikir menjadi manusia lalat. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dan menerangi jalan-jalan kita menuju surga-Nya.
Di dunia kita berlelah-lelah dalam memberi manfaat dan kebaikan pada orang lain. Di sini kita berletih-letih dalam berjuang dan mengabdi kepada-Nya. Jangan sampai keletihan dan kelelahan itu kita rasakan di sana. Semoga keletihan kita berganti kebahagiaan di sana. Semoga kelelaha kita diganti dengan kesenangan yang abadi di sana. Amein. Wallahu a’lam bishawab. 

Lengkapnya Klik DISINI

Agar Semangat Menggapai Surga Tak Luntur

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Fir'adi Nasruddin

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan maupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41).

Saudaraku,
Ada kalanya semangat kita memudar untuk meraih surga, saat kita letih dan lelah dalam mendaki puncak ubudiyah. Ada saatnya kita ingin lebih lama beristirahat dari medan perjuangan, saat orang-orang yang satu perjuangan mulai menyerah dengan keadaan. Ada kalanya kita jenuh dengan pengorbanan yang kita berikan di jalan Allah, saat perjuangan belum menampakkan hasil yang kita rindukan.

Bila itu yang kita rasakan saudaraku,
Jangan biarkan semangat kita menjadi luntur untuk meraih bidadari di surga kelak. Jangan kita terlena dengan bisikan setan yang ingin menjauhkan kita dari kafilah para pembutu surga. Jangan kita terpedaya dengan bisikan syahwat kita untuk berhenti berjuang di jalan-Nya.

Beristighfarlah kepada Allah. Periksa kembali niatan kita dalam mengabdi dan berjuang di jalan-Nya. Bercerminlah dari orang-orang shalih terdahulu; sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, yang tidak pernah merasa gelisah dalam hidup mereka. Kegelisahan hati mereka justru muncul pada saat semangat mereka mengejar surga idaman menjadi terkubur.

Saudaraku,
Pernahkah kita membaca lembaran-lembaran hidup Abu Thalhah r.a al-Anshari? Mari kita belajar dari semangat sahabat agung ini. Abu Thalhah, begitulah sahabat Nabi s.a.w ini disebut dalam buku-buku sejarah dan tafsir. Bahkan nama aslinya; Zaid bin Sahl an-Najari nyaris tak terdengar di telinga kita.

Sahabat yang selalu berpenampilan sederhana dan bersahaja. Dia termasuk sahabat yang tidak memiliki fisik yang istimewa. Penampilannya sangat biasa. Kulitnya agak gelap dengan perawakan sedang saja. Walaupun namanya tidak popular, tapi ternyata menyimpan nilai-nilai perjuangan yang diabadikan harum oleh sejarah. Karena setiap kali kita mambaca ayat, “Berangkatlah (berjihad) dengan ringan ataupun berat hati,” dalam surat at-Taubah ayat: 41, namanya sering disebut oleh para ulama tafsir untuk menjadi sebuah contoh yang mengagumkan dalam menerapkan dan merealisasikan ayat tersebut.

Saudaraku,
Keberanian dan kepahlawanannya memperjuangkan Islam serta kecintaannya terhadap Rasulullah s.a.w, membuatnya tidak pernah absen dari jihad fi sabilillah. Sejak perang Badar hingga Rasulullah s.a.w wafat. Kisah kepahlawanannya pada perang Uhud tercacat indah dalam sejarah. Dia termasuk salah satu pasukan elit pemanah yang terkenal. Di mana busur-busur panah yang dilesakkan ke arah musuh, tak akan meleset dan bisa dipastikan mengenai sasarannya.

Ketika pasukan kuffar Quraisy mampu melumpuhkan serangan kaum muslimin hingga mereka kocar kacir, Abu Thalhah r.a justru mencari Rasulullah s.a.w. Karena dia tahu kondisinya sangat tidak menguntungkan. Dia amat mengkhawatirkan keadaan Rasulullah s.a.w.

Setelah dia berhasil mendekati Rasulullah s.a.w, dia berdiri di hadapan beliau untuk membentengi kekasih Allah s.w.t yang sedang diserbu anak panah dan tombak. Seolah-olah semua anak panah melesat mencari tubuh Nabi s.a.w.

“Ya Rasulallah, biarlah leherku terlebih dahulu sebelum panah-panah itu mengenai lehermu, dan nyawaku dulu sebelum nyawamu”. Kata Abu Thalhah sambil terus melesatkan anak panah dari busurnya dan sambil membusungkan dadanya menyambut anak panah dan tombak yang datang.

Keberanian yang mengagumkan. Pengorbanan yang luar biasa, atas nama cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Wajarlah jika Rasulullah dengan bangga berucap: “Suara Abu Thalhah dipasukan ini lebih menakutkan dari seratus orang laki-laki”.

Allahu Akbar…suaranya saja lebih menggetarkan dari seratus orang. Sungguh suatu pujian yang tulus, mengandung makna yang sangat dalam. Menunjukkan teramat mahalnya seorang Abu Thalhah karena keberaniannya dan kepiawiannya di kancah jihad fi sabilillah.

Dalam perang Hunain 8 H, yang juga membuat kaum muslimin tunggang langgang, lagi-lagi Abu Thalhah menunjukkan kelasnya sebagai mujahid pilihan. Kepiawian yang terbungkus dalam keberanian membuatnya dapat membunuh dua puluh orang musuh sekaligus. Allahu Akbar benar-benar mujahid sejati.

Saudaraku,
Setelah Rasulullah s.a.w wafat, Abu Thalhah berpuasa Sunnah hampir sepanjang hari selama tiga puluh. Sungguh kecintaan jihad yang dipadukan dengan kecintaannya kepada ibadah.

Lebih dari itu Abu Thalhah juga dikenal dengan kedermawanannya. Ketika ayat 92 dari surah Ali Imran diturunkan, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”.

Maka Abu Thalhah bergegas menghadap Rasulullah untuk menginfakkan harta yang paling dicintainya, yaitu kebun kurma yang bernama Bairuha, yang berada di sebelah masjid Nabawi. Di mana Nabi s.a.w biasa berteduh di bawah rimbunan pepohonannya dan minum dari airnya yang jernih.

Saudaraku,
Sepeninggal Rasulullah s.a.w, ternyata semangat jihadnya tak pernah padam. Bahkan kerinduannya untuk meraih syahadah semakin menggelora memenuhi relung hatinya. Walau usia mulai merambat pelan namun pasti menuju senja. Semangat yang seakan tak memudar. Tak berhenti berjihad walau pergolakan suasana datang silih berganti. Jihad tetap dilanjutkan sampai pada masa khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Pada suatu hari Utsman bin Affan r.a mengumumkan akan memberangkatkan pasukan untuk berjihad dengan menyeberangi lautan. Abu Thalhah r.a kala itu sedang asyik menikmati ayat per ayat dari surah at-Taubah. Hingga sampailah dia pada ayat, “Berangkatlah berjihad dalam keadaan ringan ataupun berat hati”. Ayat ke 41.

Abu Thalhah r.a sudah mulai menginjak usia tujuh puluh tahun. Setelah mentadaburi ayat ini ia berjalan pelan mencari anak-anaknya. Dia ingin menyampaiakan suatu perasaan yang hingga usia senja ini tidak pernah padam. Ingin mati syahid.

“Wahai anak-anakku, aku melihat bahwa Tuhanku memerintahkan aku untuk berangkat berjihad. Baik masa aku muda dahulu maupun sudah tua seperti sekarang ini. Maka persiapkanlah perbekalan untukku agar aku bisa mengikuti jihad.”

Anak-anaknya berkata: “Ayah telah berjihad dalam rentang waktu yang lama. Berjihad bersama Nabi hingga beliau wafat. Berjihad bersama Abu Bakar dan Umar hingga keduanya dipanggil Allah. Maka biarlah kami saja yang berangkat jihad menggantikanmu.”

“Ambilkan persiapan perangku”, kata Abu Thalhah dengan nada meninggi. Akhirnya tiada pilihan lain bagi anak-anaknya kecuali mengambilkan panah dan kudanya. Diapun menaiki kudanya dengan panah menggantung dibelakang punggungnya. Tentunya dia sudah tidak setegap dulu. Saat ini duduk diatas kuda pun sudah tidak bisa tegak, tetapi semangat meraih syahidnya tetap tegap seperti beberapa puluh tahun yang silam.

Pasukan diberangkatkan menyeberangi lautan. Dan ternyata Allah berkenan mengabulkan permohonannya. Dia meraih syahadah, ketika kapal itu berada di tengah lautan. Pasukan kaum muslimin yang tengah mengarungi lautan luas itu belum melihat daratan untuk memakamkan jasad Abu Thalhah.

Kapal terus berlayar, sudah berhari-hari. Namun tak kunjung tampak daratan. Baru pada hari kesembilan daratan mulai terlihat oleh mata. Ternyata dalam hitungan hari kesembilan, jasad Abu Thalhah belum membusuk sama sekali. Tidak ada yang berubah seperti layaknya mayat biasa. Karena ini adalah kematian termulia dan bukan kematian biasa.

Di daratan pulau itulah jenazah Abu Thalhah dimakamkan. Mujahid agung ini tidak dimakamkan di taman makam pahlawan dan tidak diadakan acara pemakaman khusus. Tetapi ia dikuburkan di jazirah yang tidak diketahui namanya. Orang tidak mengenal jazirah itu, sebagaimana orang juga tidak mengenal namanya.

Saudaraku,
Ada beberapa buah nasihat dan pelajaran berharga yang dapat kira petik dari perjalanan hidup Abu Thalhah:

Abu Thalhah adalah cermin kehidupan kita, yang barangkali kita masih lebih beruntung karena kita masih muda dan kuat. Tetapi Abu Thalhah ingin menyampaikan pesannya kepada kita, generasi sesudahnya bahwa perjuangan meraih surga dan jihad di jalan-Nya tak mengenal usia.

Berjuang dengan orang-orang besar bukan berarti kita akan menjadi besar seperti mereka yang besar. Justru di sinilah tersimpan keikhlasan sejati. Di saat Abu Thalhah berjuang dengan Rasulullah s.a.w, tak sekalipun dia absen dari jihad. Kemudian dilanjutkan jihad pada masa Abu Bakar dan Umar. Tapi Abu Thalhah harus mengakhiri hidupnya di sebuah jazirah yang jauh dari kenangan manusia. Bahkan namanyapun tidak seharum nama-nama mujahid lain seperti Khalid bin Walid misalnya.

Perjuangan dan ibadah tidak mengenal usia. Maka perjuangan ini tak boleh dihentikan oleh siapapun, apapun dan keadaan yang bagaimanapun jua. Dan tentunya tiada pension dalam perjuangan dan pengorbanan menggapai surga.

Dan karena jihad harus diukir diatas keikhlasan, maka jihad harus dijauhkan dari segala warna keterjerumusan, dikarenakan kesenangan sesaat berupa pujian manusia dan kenangan sejarah.

Popularitas tidak dilarang, tapi yang dilarang jika hal tersebut menjadi tujuan utama yang akan menutupi keikhlasan kita. Wallahu A’lam bishawab.

Saudaraku,
Mari kita pupuk semangat kita dalam berubudiyah, berjuang dan berkorban di jalan-Nya, walau pun tidak sekuat semangat Abu Thalhah, mudah-mudahan semangatnya dapat kita warisi dari sahabat agung ini.

Bagi yang merasa lelah dan letih dalam berjuang. Bagi yang semangatnya memudar menggapai surga. Bagi yang mengharapkan pamrih duniawi dari perjuangan dan dakwahnya. Bagi yang mudah berputus asa dari rahmat-Nya. Belajarlah dari sosok Abu Thalhah. Yang mengirim pesan kepada kita, “Usia boleh uzur, tapi semangat berjuang tak boleh luntur. Wallahu A’lam bishawab

Lengkapnya Klik DISINI

Taujih Ust. Rahmat Abdullah (Alm) : Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwwah

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW :  

"Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai."
 (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari).

Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha'ata limakhluqin fi ma'shiati'l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).
Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus' shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).
Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : 

"Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila `hati saling bertaut dalam ikatan aqidah', ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).
Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah
Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. 

"Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).
Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.
Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana.

"Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da'wah telah mengelupas. Kala itu jarang da'i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da'wati" : Isteriku atau da'wahku ?".
Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : 

"Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da'wah. Apa pantas sesudah da'wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da'wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da'wah tersebut sudah menikmati berkah da'wah.
Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da'wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da'wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa'). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11).
Ia berjanji pada dirinya : 

"Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da'wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". 
Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah.
Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da'wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim"(dhianha/abadijayanews)
Lengkapnya Klik DISINI

Tiada Seyuman Bagi Para Pendengki

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Fir'adi Nasruddin
» لاَ رَاحَةَ لِحَسُوْدٍ وَلاَ إِخَاءَ لِمُمِلٍّ وَلاَ مُحِبَّ لِسَيِّءِ الْخُلُقِ «

“Tiada istirahat bagi jiwa yang dengki. Tiada kata persaudaraan bagi jiwa yang bosan (kecewa) dan tiada cinta bagi orang yang berakhlak tercela.” (Perkataan Ali bin Abi Thalib r.a, dikutip oleh Shalih Ahmad al-Syami dalam kitab Mawa’izh as-shahabah).

Saudaraku,
Jika kita biarkan hati kita dialiri kedengkian, perasaan iri hati atas keberhasilan dan kesuksesan orang lain dalam masalah duniawi, itu artinya kita telah membiarkan diri kita terjatuh pada kebinasaan; dunia maupun akherat. Jiwa kita didera kegelisahan berkepanjangan, kegalauan yang tak kunjung surut, kecemasan terus menerus dan bahkan tensinya naik setiap detiknya. Kita akan terombang ambing dalam kehampaan, kegelapan bathin, kelelahan jiwa, yang sejatinya kita ciptakan sendiri. Bukan dari orang lain.

Dengan kata lain, hasad akan merenggut kebahagiaan kita dalam hidup. Menghilangkan keceriaan di wajah. Menyirnakan senyuman dari bibir kita. Jika kita biarkan hasad tumbuh di jiwa kita, berarti kita menghadirkan tangisan tanpa air mata. Mengundang penyakit yang akan menggerogoti jiwa. Ketenangan menjauh, menerbangkan kedamaian dan kenyamanan menghilang dari hidup seiring bergantinya musim kemarau dengan musim penghujan.

Untuk itu saudaraku,
Jika kita melihat orang lain mendapatkan keluasan rezki. Dimudahkan untuk menemukan pasangan hidup yang seiring sejalan. Allah karuniakan anak-anak yang mungil dan manis. Terbentang untuknya medan bisnis yang menjanjikan. Popularitas dan elektabilitas yang terus meroket. Terbuka jalannya untuk menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Metro.

Idealnya yang kita lakukan adalah mendo’akan keberkahan untuknya dan kita membantunya taat kepada Allah serta mensyukuri nikmat pemberian-Nya. Bukan mengadakan propaganda negatif. Kampanye hitam. Apatah lagi memfitnahnya.

Orang yang menyimpan hasad dalam dirinya, maka ia akan mendapati langit kehidupannya senantiasa mendung dan berawan. Jiwa menjadi gelap dan pekat. Kesangaran wajah. Tindakan ngawur dan jauh dari berkah.

Saudaraku,
Ikatan bathin yang kuat. Persahabatan hakiki terwujud. Persaudaraan iman menjelma sebagai bentuk keta’atan kita kepada Allah s.w.t. Ia tidak dibangun di atas dasar kepentingan duniawi sesaat. Bukan pula diikat karena profesi, jabatan, rupa menarik, kepentingan, poilitik, bisnis dan yang senada dengan itu.

Jika iman yang menjadi asasnya dalam berukhuwah, maka persaudaraan akan terus langgeng hingga ke akherat sana. Ia tiada lapuk diguyur air hujan dan tak lekang disapa sengatan panas matahari. Ia tetap terpatri di jiwa, walau harus dipisahkan oleh jarak dan waktu. Ia tak berubah seiring pergantian musim dan beranjaknya usia.

Saat seseorang hadir di kala memerlukan bantuan kita. Ia merapat di saat kita sehat, lapang, berkecukupan, memiliki jabatan strategis, calon kuat memenangi Pilkada dan yang seirama dengan itu. Sementara ia menghilang dan menjauh dari kita di saat kita sakit, pailit, sempit, berduka, miskin, kalah dalam Pilkada dan seterusnya. Berarti ukhuwah yang terjalin hanya semu belaka. Yang akan membuat kita merana di dunia fana ini.

Oleh karena itu jika kebosanan menyapa persaudaraan dan ukhuwah imaniyah, kita perlu mengevaluasi perjalanan ukhuwah dan persaudaraan iman kita. Pasti di sana ada yang error. Mungkin niat yang tak lagi tulus dalam bersahabat. Atau barangkali iman kita yang sedang mengalami masalah. Dan yang pasti, kita sedang akrab dengan dosa dan kesalahan.

Jika kita menginginkan kesempurnaan dalam diri seseorang yang kita menjalinkan persaudaan iman dengannya, maka kita tidak akan pernah berdampingan dengan seorang pun. Karena kekurangan, kelemahan diri, kekeliruan dan kesalahan adalah tabiat manusia.

Seorang da’i dari Siria (Mustafa Siba’i) pernah menasihati kita, “Kita bukanlah kafilah malaikat, yang tak pernah melakukan dosa dan kesalahan. Tapi kita bukan pula kafilah setan, yang selalu melakukan kesalahan dan dosa. Kita adalah kafilah manusia. Ada sifat-sifat malaikat yang kita miliki, tapi dominan sifat-sifat setan yang ikuti. Jika engkau mengharapkan memiliki sahabat tanpa salah dan dosa, maka engkau tak akan pernah mendapatkan sahabat dalam hidup ini. Ia akan hidup menyendiri tanpa sahabat.”

“Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar, serta tidak akan pernah mati kebaikannya,” demikian kata Sayyid Qutub dalam tafsirnya ‘fi zhilal al-Qur’an’.

Saudaraku,
Salah satu cara untuk meraih cinta Allah s.w.t dan ridha manusia adalah berbudi pekerti yang luhur. Karena tabiat dasar yang dimiliki manusia adalah senang melihat keelokan perangai dan keindahan pekerti orang-orang yang berada di dekatnya.

Hanya dengan budi pekerti yang luhur, kita dapat menarik hati orang lain. Artinya kecintaan orang terhadap kita, tak bisa ditukar dengan lembaran-lembaran real, dolar dan rupiah. Tidak pula dibeli dengan lempengan emas dan butiran mutiara. Tetapi ia hanya dapat kira raih dengan menampilkan budi pekerti mulia.

Untuk itu, kasar dalam berinteraksi terhadap sesama. Hilangnya rasa amanah. Sirnanya sebuah kelembutan hati. Sikap mendua dan banyak berbasa basi. Sulit memaafkan kekhilafan orang lain. Identik dengan kebohongan dan dusta. Dan yang seirama dengan itu. Yang demikian itu menjadikan manusia menjauh dari kehidupan kita.

Terlebih, budi pekerti yang menawan akan menjadi sebab kedekatan kita dengan Rasulullah s.a.w di surge kelak. “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kamu dan yang paling dekat majlisnya dariku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidi, no. 2018).

Jika Uwais al-Qarni dilempari batu oleh anak-anak kecil, maka dia berkata, “Wahai saudara-saudaraku, jika memang tidak ada pilihan yang lain, maka bolehlah kalian melempari aku, tetapi dengan batu yang lebih kecil, agar betisku tidak berdarah sehingga menghalangiku untuk melaksanakan shalat.”

Adalah Ibrahim bin Ardham pernah keluar di tengah lembah. Di sana, dia berjumpa dengan seorang prajurit perang. Kemudian dia bertanya, ”Di manakah tempat yang baik?.”

Maka Ibrahim menunjuk ke arah kuburan. Tentara itu langsung memukul Ibrahim karena geram. Namun, ketika ada seseorang yang memberi tahu bahwa orang yang dipukulnya itu adalah Ibrahim bin Adham, maka tentara tersebut memeluk tangan dan kaki Ibrahim, karena menyesali perbuatannya. Ibrahim berkata: “Ketika kepalaku dipukul, aku memohon surga kepada Allah untuk orang ini. Aku tahu bahwa aku diberi pahala karena pukulannya. Aku tidak ingin mendapatkan kebaikan karena orang itu, sedangkan dia mendapatkan akibat yang buruk dariku.”

Tanpa menampilkan budi pekerti luhur, maka memiliki kekasih dan sahabat sejati hanya sekadar ibarat panggang jauh dari api. Yang tak akan terwujud di alam realita kehidupan kita. Bagaikan fatamorgana. Menjadi mimpi di siang hari.

Saudaraku,
Jika kita ingin meneruskan perjalanan hidup menuju Allah dengan tersenyum, banyak sahabat setia menemani kita, dan dicintai banyak orang. Hendaknya kita melepaskan diri kita dari hasad dan iri hati. Melandasi persaudaraan dan persahabatan di atas pondasi iman. Dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji. Semoga kita mampu mewujudkannya. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

Metro, 03 Desember 2015
Fir’adi Abu Ja’far
Lengkapnya Klik DISINI

Kemenangan Semu

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Fir'adi Nasruddin

» إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ , وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا , فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا «

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (qs. AN-Nashr: 1-3).

Saudaraku,
Pada bulan Ramadhan tahun 8 H, sejarah mencatat dengan tinta emas. Di mana kaum muslimin dengan gemilang telah menggemakan futuhnya kota Mekkah. Yang sebelumnya hanya sekedar menjadi mimpi pada fase perjuangan Rasul dan sahabat.

Terlihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertunduk di atas untanya dan air matapun menggenang di kelopak matanya lalu menetes membasahi pipinya yang putih bersih. Bibirnya terus tak terputus memuji keagungan-Nya. Tiada kesan takkabur pada wajahnya yang sejuk, justru tampak simat ketawadhu’an dari tatapan matanya yang bening.

Selanjutnya beliau tersungkur sujud kehadirat-Nya, gemercik tangisannya terdengar begitu jelas dan tatkala beliau memasuki kediaman Ummu Hani’ beliau melakukan shalat dua raka’at sebagai ungkapan rasa syukur atas segala karunia. Itulah shalat al-fath, yang berarti shalat untuk kemenangan besar yang baru saja Allah hadirkan.

Ibnul-Qayyim memberikan komentar terhadap apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada peristiwa ini,

“Itulah perilaku pemimpin Islam ketika berhasil menaklukan suatu negeri atau disapa dengan kemenangan hendaknya mengiringinya dengan shalat al-fath (kemenangan) sebagai bentuk pelaksanaan sunnah mengikuti petunjuk panutan umat; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Saudaraku,
Dalam realitas kehidupan, sering kala kita disapa kemenangan, kesuksesan dalam meraih cita dan cinta. Karir yang terus meroket, popularitas semakin memuncak, harta yang bertebaran di mana-mana, wanita cantik jelita yang menemani perjalanan hidup, dan yang seirama dengan itu. Pandangan mata kitapun seolah-olah tersilaukan oleh gemerlapnya dunia, tatapan mata bathin kita seakan-akan tertutupi awan hitam kelam yang menggelapkan pandangan, dan kitapun melupakan hakikat diri kita sebagai seorang hamba yang mempunyai tugas suci untuk mengabdi kepada-Nya semata.

Kemenangan dan kesuksesan yang kita raih justru dirayakan dengan hal-hal yang mendatangkan maksiat dan murka Allah, penuh dengan kesombongan, foya-foya dan pembaziran harta. Sementara di sampingnya ada tangisan si fakir dan miskin yang belum juga mengering karena lilitan kelaparan dan beratnya beban hidup serta penderitaan panjang yang mendera kehidupan.

Senandung pujian atas nikmat-Nya, gema lagu kesyukuran atas segala karunia dan rahmat-Nya, serta membasahi lisan dengan percikan istighfar dan deraian air mata keinsyafan mengharapkan ampunan-Nya adalah moralitas sebuah kemenangan yang sering kita lupakan.

Allah s.w.t memberikan arahan kepada kita, jika kita diselimuti kemenangan, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. an-Nashr: 1-3).

Ketiga pondasi inilah yang menjadi dasar bangunan kebahagiaan kita. Ibnul Qayyim dengan sangat halus berbisik di telinga kita, “Tetap memuji-Nya bila musibah menimpa, bersyukur bila memperoleh nikmat dunia dan memohon ampunan dari segala dosa dan kelalaian.”

Saudaraku,
Mari bercermin dari kepribadian orang-orang shalih di masa lalu, tentang mensikapi kemudahan, kelapangan, keceriaan hidup dan kebahagiaan yang membuncah, sehingga hati kita semakin subur dengan syukur. Pikiran kita terpupuk dengan dekapan tafakkur.

Pada suatu saat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh meneguk segelas air segar sembari meneteskan air mata, ketika ia ditanya prihal penyebab tangisannya tersebut, maka ia menjawab,

“Aku teringat air dingin dan segar ketika aku menginginkannya pada hari kiamat, aku sangat khawatir bila kelak diajukan kepadaku sebuah ayat, “Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu, sesungguhnya mereka dahulu di dunia dalam keraguan yang mendalam.” (QS. Saba’: 54).

Hasan Basri jika hendak minum air bersih ia berucap, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan air ini tawar lagi segar, Dia tidak menjadikannya asin lagi getir karena dosa-dosa yang telah kami perbuat.”

Saudaraku,
Demikianlah para pendahulu kita, betapa besar rasa takut dan syukur mereka kepada Allah Ta’ala, karena kemenangan dan kesuksesan yang tidak disikapi dengan baik dan benar adalah merupakan awal dari kekalahan, kelelahan dan kehancuran.

Demikian pula kucuran nikmat yang salah dalam perwujudan makna syukur akan berakibat pada malapetaka dahsyat yang mengungkung kehidupan kita.

Kita memohon kepada Allah agar Dia berkenan mema’afkan kelalaian dan kekhilafan kita pada hari-hari yang telah berlalu, semoga Dia menolong kita dengan rahmat dan kasih sayang-Nya dan menuntun kita ke jalan yang terang dan lurus. Menjauhkan kita dari gelap pandangan yang dapat menjadikan kita lemah dan selalu berbuat dosa.

Kita memohon kepada-Nya agar Dia berkenan menganugerahkan rizki yang luas dan halal, hati yang sentiasa bersyukur, berjiwa sabar dan memiliki lisan yang selalu berdzikir kepada-Nya. Karena Dialah Maha pemberi karunia lagi pemurah serta kasih sayang terhadap hamba-Nya.

Saudaraku,
Mari kita menengok ke belakang untuk melihat berbagai nikmat, kejayaan, dan kesuksesan yang telah Allah hadirkan dalam hidup kita. Sudahkah kita iringi dengan senandung pujian, dan nyanyian istighfar?. Jika tidak, berarti kita telah menukarnya menjadi kemenangan semu dan kejayaan palsu. 

Wallahu a’lam bishawab.
Metro, 21 Januari 2016
Fir’adi Abu Ja’far

hasanalbanna.com
Lengkapnya Klik DISINI

Pentingnya Kredibilitas Keilmuan

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

thinkDalam rubrik tanya jawab di sebuah media online berbahasa arab, seorang aktivis dakwah menanyakan sebuah fenomena yang menurutnya telah terjadi perubahan dalam sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah sehingga membuat banyak kader dakwah tidak tsiqoh lagi kepada mereka. Dalam jawabannya yang panjang lebar, pengasuh rubrik tersebut menyelipkan sebuah pertanyaan untuk membantu penanya merenung dan menemukan jawaban dengan mengajaknya melihat masalah tersebut dari sudut pandang berbeda; “Apakah ketidaktsiqohan kader tersebut disebabkan karena para qiyadah yang sudah berubah atau disebabkan kapasitas keilmuan para kader yang terbatas dan tidak mampu memahami sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah?”

Pertanyaan balik yang dilontarkan pengasuh rubrik tersebut mengajarkan kepada kita semua untuk melihat, menilai dan mencermati suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Melihat dan menilai suatu masalah dari berbagai sisi, tentu akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dibandingkan bila kita melihatnya hanya dari satu sisi. Demikian halnya ketika kita melihatnya dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu tentu akan menghasilkan penilaian yang berbeda dibandingkan bila kita melihatnya hanya dengan satu disiplin ilmu saja. Karenanya untuk bisa memahami perkembangan dan kebijakan dakwah pada era jahriyah jamahiriyah, dan agar mampu mengelola dakwah yang telah memasuki mihwar muassasi ini, memerlukan kedalaman ilmu dan peningkatan kapasitas keilmuan. Karena keterbatasan kapasitas keilmuan atau ketidak-mampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang hanya akan membuat kita terkungkung dengan asumsi-asumsi atau kesimpulan yang menyesatkan.

Ketika ada berita bahwa Tim Pemenangan Pilkada salah satu daerah melakukan kerjasama dengan seorang non muslim, ada seorang kader yang sangat gelisah dan menulis protes keras di sebuah majalah dengan mengatakan:

“Tak satu pun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan menolaknya dengan mengatakan, “Aku tak akan pernah meminta bantuan kepada musyrik.” Kenapa sensitivitas terhadap halal dan haram ini terus melemah?”.

Menyimpulkan bahwa tidak ada satupun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima bantuan dari kaum kafir adalah kesimpulan yang sangat naif. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal-hal berikut?
  1. Bersama Abu Bakar, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta bantuan seorang musyrik dari Bani Ad Diil untuk menjadi penunjuk jalan saat mereka hijrah menuju Madinah dan orang itu pun memberikan dua kuda tunggangannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar. (Lihat: Shahih Bukhori, Jilid 8, hal 280-282)
  2. Pada peristiwa Hudaibiyah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan seorang kafir dari Khuza’ah untuk memata-matai apa yang dilakukan orang-orang Quraisy. (Lihat: Zadul Ma’ad, jilid 2, hal. 127)
  3. Pada saat perang Hunain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan tenaga salah satu tokoh kafir Quraisy yang bernama Shofwan bin Umayyah dan meminjam sejumlah baju perang (bantuan harta) kepadanya. (Lihat: Nashbu Royah, jilid 3, hal. 377 dan Zadul Ma’ad, jilid 2, hal. 190)
Terlepas dari adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat oleh sebagian ulama sehingga diperbolehkan menerima atau meminta bantuan kepada orang non muslim, yang jelas masih banyak lagi dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menerima dan meminta bantuan kepada orang kafir dan bertentangan dengan kesimpulan saudara kita diatas.

Oleh karenanya hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta bantuan kepada orang musyrik tidak bisa dilihat dari sisi tekstualnya saja, tapi harus dilihat juga dari konstektualnya atau asbabul wurudnya. Dalam riwayat Imam Al Hakim disebutkan bahwa orang musyrik tersebut adalah bagian dari pasukan kaum Yahudi Bani Qoinuqa’ yang menjadi sahabat tokoh munafik Abdullah bin Ubay sehingga sangat mungkin penolakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut disebabkan adanya kekhawatiran akan terjadi pengkhianatan dan mereka berbalik menyerang kaum muslimin. (Lihat: Syarhu as Sair al Kabir, jilid 4, hal. 1423).

Untuk dapat memahami perkembangan dakwah dan problematikannya saat ini, menuntut adanya kredibilitas keilmuan. Kredibilitas tersebut tidak cukup hanya mengandalkan keilmuan yang bersumber dari literatur saja, tetapi juga keilmuan yang didapat dari interaksi langsung dengan realita dakwah, keilmuan yang berasal dari interaksi langsung dengan dinamika kehidupan.

Seorang kader yang berkiprah langsung dalam dunia dakwah siyasiyah akan sangat memahami betapa sangat strategisnya kekuatan politik untuk melakukan perubahan dalam masyarakat dan karenanya harus terlibat dalam proses politik meskipun keterlibatan tersebut baru sebagai sarana belajar, tentunya dengan kesadaran penuh akan kemungkinan adanya dampak negatif yang mungkin mempengaruhi perilaku dan kepribadian seorang kader yang berinteraksi dengan dunia yang bergetah itu.

Sebaliknya, bagi kader yang melihat dunia dakwah siyasiyah dari kejauhan, akan cenderung menyoroti sisi kemubadziran proses poilitik yang memerlukan biaya mahal, cenderung hanya melihat dari sisi dampak negatif yang mungkin timbul, dan karenanya mengajak kita meninggalkan dunia politik, cenderung mengikuti pikiran pribadinya dan menyeru agar kita tidak memaksakan diri terlibat dalam dunia pemilu atau pilkada, meskipun kebijakan tersebut diambil melalui proses syuro yang panjang. Ketika menyampaikan seruan tersebut mungkin tidak lagi mau menimbang-nimbang madhorot yang timbul bila orang-orang shalih ini tidak mau memasuki dunia abu-abu tersebut. Maka, agar kita mampu menimbang masalah ini dengan timbangan yang benar, penting bagi kita untuk menyimak hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut, Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan (dampak negatif) mereka, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka. (HR Tirmidzi, Ibnu Majah).

Bila ada kader yang gelisah dan bingung dalam memahami perkembangan dakwah dan sepak terjang aktivisnya, gelisah karena ijtihad, qiyas dan maslahat dijadikan dasar dalam mengambil sikap atau kebijakan dakwah dan mengatakan: “Terkadang untuk menjustifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah kaidah-kaidah fiqh secara berani dan tidak proporsional…. Sementara di zaman sekarang, anak-anak muda menjawab dengan berani terhadap masalah apa saja yang diajukan kepada mereka dengan dalih ijtihad dan maslahat”, ternyata kegelisahan dan kebingungan yang diungkapkan dengan kata-kata yang sama telah dinukil oleh Muhammad Ahmad Ar Rosyid dalam bukunya Manhajiyatul Ifta’ wal Ijtihad”. Namun beliau menepis kebingungan tersebut setelah menemukan ungkapan Imam Ali Bin Abi Tholib,

( كلُّ قَوْمٍ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَصْلَحَةٍ مِنْ أَنْفُسِهِمْ : يُزْرُونَ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ ، ويُعرَفُ الْحَقُّ بِالْمُقَايَسَةِ عِنْدَ ذَوِي الْأَلْبَابِ )
“Setiap kaum, merekalah yang paling mengetahui urusan mereka dan paling memahami apa yang bisa memberikan maslahah kepada diri mereka, mereka berhak mencibir orang lain yang tidak memahami mereka, kebenaran dapat diketahui dengan qiyas bagi mereka yang memiliki akal” (Lihat: I’lamul Muwaqqi’in, 1/203)

Ali bin Abi Thalib telah menjelaskan dengan gamblang bahwa menggunakan qiyas dan maslahat dalam mengambil kebijakan politik, kebijakan dakwah dan muamalah merupakan manhaj yang benar. Hal ini akan menghilangkan keraguan dalam berijtihad dan bahkan mendorong untuk berani berijtihad, tentunya dalam masalah-masalah fiqh dakwah, politik dan muamalah.
Dari pemaparan masalah diatas ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi,
  1. Pentingnya meningkatkan kredibilitas dan kapasitas keilmuan untuk bisa memahami, menyikapi bahkan mengelola dakwah di mihwar muassasi. Peningkatan kredibilitas dan kapasitas keilmuan bukan hanya dengan menguasai ilmu alat yang didapat dari belajar dan membaca buku, tetapi juga dengan berinteraksi langsung dengan realita kehidupan sehingga kita dapat memahami dan menyikapi suatu fenomena atau problema dakwah dengan benar, dapat mengelola kerja-kerja dakwah ini dengan produktifitas yang tinggi.
  2. Kredibilitas keilmuan menuntut adanya kredibilitas dan integritas personal. Kredibilitas dan integritas personal inilah yang akan menghadirkan keikhlasan dalam berbicara dan bertindak, dalam mengkritik dan menilai, mendorong kita menjadi orang yang adil dan obyektif meskipun terhadap diri sendiri, memacu kita untuk dapat memberikan kontribusi riil yang sebesar-besarnya demi perbaikan dan pengembangan dakwah ini dan bukan sekedar berbicara, menilai dan mengkritik. Kalaulah harus menilai dan mengkritik, kita tahu kapan, dimana dan bagaimana cara mengkritik yang benar. Apalagi bila yang dikritik itu adalah sebuah kebijakan yang dihasilkan melalui syuro. Bagaimanapun hasil syuro itu lebih baik dan lebih berkah dari pada pendapat dan pikiran pribadi.
  3. Kredibilitas keilmuan menuntut kita senantiasa memiliki pandangan positif terhadap perbedaan dan keragaman (sunnatu tanawwu’), apapun perbedaan dan keragaman tersebut. Dengan adanya sunnatu tanawwu’ kehidupan ini akan semakin dinamis. Kekurangan yang terjadi pada suadara kita berarti peluang ibadah. Allah memberi peluang kita untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Kekritisan saudara kita akan menjadikan kehidupan ini menjadi seimbang. Hanya saja kekritisan tersebut tidak boleh menjadi faktor yang mempengaruhi soliditas kehidupan berjama’ah ini, atau bahkan menjadi pintu masuknya pihak-pihak yang ingin memporak-porandakan keutuhan shaf kita.

Wallahu a’lam..
Sumber: Seri Taujihat Pekanan Kader PKS


Lengkapnya Klik DISINI

Kata-Kata Nasehat Dari Ustadz Rahmat Abdullah

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!


nasehat rahmat abdullah tentang ukhuwah islamiyahMungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : "Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha'ata limakhluqin fi ma'shiati'l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).

Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus' shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).

Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : "Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila `hati saling bertaut dalam ikatan aqidah', ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).

Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.

Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da'wah telah mengelupas. Kala itu jarang da'i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da'wati" : Isteriku atau da'wahku ?".

Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da'wah. Apa pantas sesudah da'wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da'wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da'wah tersebut sudah menikmati berkah da'wah.

Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da'wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da'wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa'). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da'wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da'wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim".

Di Titik Lemah Ujian Datang

Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A'raf Ayat 163 : "Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka". Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma'ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.

Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda'wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da'wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.

Seorang masyaikh da'wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif berda'wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda'wah, da'wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Syaikh tersebut.

Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum'at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da'wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.

Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma'iyatullah

Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi kewajiban da'wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da'wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da'wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da'wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari kekayaan ALLAH ?

Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa', syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan. Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda'wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da'wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.

Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya' mungkin– dimasa ujian – akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya `selamat' dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.

Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.

Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da'wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? "Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.

Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da'wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".

Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar

Kelengkapan Amal Jama'i tempat kita `menyumbangkan' karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama'i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da'wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : `Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17).

ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da'wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna – menunggu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.

Saling mendo'akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi'Llah.
Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu. sumber
Lengkapnya Klik DISINI

MENYIKAPI CERCAAN DAN HINAAN....

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Sesungguhnya kita akan mendapat pahala di karanakan kesabaran kita menghadapi cercaan dan hinaan itu.dan cercaan mereka itu pada dasarnya petanda bahwa kita memiliki harga dan drajat.

Sebab manusia tidak akan memandang bangkai anjing dan orang-orang yg tak berharga pastilah tak akan pernah terkena sasaran pendengki.

Artinya..manakala cercaan dan hinaan yg kita semakin pedas, maka semakin tinggi pula harga dan derajat kita.

"Mereka sekali-kali tidak akan dapat menbuat mudharat kepada kamu,selain dari gangguan -gangguan celaan saja.(Q.S ALI-IMRAN:111).

"DAN jangan lah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)mereka dan jangan la kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan"(QS AN -nahl :127).

"Dan janganlah kamu hiraukqn gangguan -gangguan mereka dan bertawakalllah kepada ALLAH,dan cukup ALLAH sebagai pelindung (QS, AL-AHZAB:69).

Karena pendengki tidak akan pernah mengakui kebenaran yang kita lakukan.
Apapun kebaikan yang kita perbuat,dimata pendengki itu adalah suatu yg sangat menyakitkan baginya dan dia akan berusaha bagaimanapun juga untuk mencari cela bagaimana cara menghina,mencerca dan menjatukan harga diri/kehormatan kita di depan orang banyak (umum).

Sebelum dia berhasil menghasut orang -orang maka belum ada kepuasan dalam diri pendengki bahkan boleh dikatakan walaupun dia sudah berhasil menghasut orang-orang tetap aja tidak akan pernah ada kepuasan dalam diri si pendengki.

Karena hatinya penuh dengan bara demdam yang akan memakan jiwa dan raganya sendiri tampa disadari.

Seperti kata para penyair:
"Niscaya terhadap orang orang mulia itu selalu ada yg mendengki dan takkan kau jumpai orang -orang hina itu di dengki".

"Aku berjumpa dengan orang bodoh yang mencelaku kutinggalkan ia seraya berkata "aku tidak peduli" jika orang bodoh bicara, jangan kau timpali sebab sebaik - baik jawaban baginya adalah DIAM SERIBU BAHASA".

~Sastrawan barat mengatakan:
"Lakukan apa yang kau pandang benar dan palingkan punggungmu dari semua celaan dan kritikan yang tak berharga".

Ada beberapa hal yang perlu kita renungkan dan kita coba:

1. Jangan pernah menbalas cercaan atau olok-olokkan yang melukai hati kita !
Karena kesabaran kita dalam menghadapi semua itulah yang akan dengan sendirinya mengubur kehinaan.
- kesabaran sumber kemuliaan
- diam adalah sumber kekuatan untuk mengalahkan musuh.
- memaafkan adalah sumber dan tenaga untuk mencapai pahala dan Kemuliaan.

2.Ingatlah ! Separoh dari orang yang pernah mencercah atau menghina atau Mengkritik kita itu akan melupakan cercaan mereka, seperti tidak sadar dengan apa yang mereka lontarkan dan selebih nya tidak mengerti apa dan mengapa dia mencerca kita.

Maka dari itu jangan pernah cercaan mereka-mereka kita masukan kedalam hati dan jangan pula berusaha menbalas apa yang mereka katakan itu.

Sebab....tidak ada bedanya kita dengan mereka bila kita membalasnya..........

Semoga bermanfaat........

Lengkapnya Klik DISINI

BUAT PERINGATAN DIRI SAYA DAN SAUDARA-SAUDARA SEMUA.

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Cerita yg menyayat Hati : Percakapan Jururawat dan Pasien Rumah Sakit
Pasien "Abang jururawat, seneng ya kerja di rumah sakit ? Sdh lama ya kerja di sini ?"
Jururawat:→ "lumayanlah. ada suka dan dukanya Tapi, selama 5 tahun kerja di sini, dapat banyak pengalaman yang berkesan yang orang luar sana takkan mengetahuinya
Pasien : "Apa yang menyenangkan ? Perawat2nya cantik2 ya ?"
Jururawat: →"Bukan. Itu biasa saja. Ada yang lagi yg lebih mengesankan
Pasien: "Wah, apa itu?"
Jururawat →"Di sini setiap hari saya lihat pasien meninggal dunia. Kerja saya ngurusi kencing dan berak mereka, bersihkan mereka sampai ke urusan jenazah.
→ Apa yang saya lihat sepanjang saya bekerja di RS ini, betapa ramainya di antara mereka yang sudah meninggal..sebelum meninggal meminta-minta apakah ada dari keluarga ahli waris atau jururawat yg bawa kitab al-Quran.
→ Ada yang gak bisa baca alQuran, ada yang suruh kami bacakan. Ada juga yang tidak sempat sentuh al-Quran, tak sempat baca al-Quran, Allah telah mengambil nyawa mereka.

Saat dibacakan al-Quran pada mereka, berlinanganlah air mata mereka.
→Saya lihat betapa orang-orang yang berada di saat2 akhir kehidupannya, sebagian besar ingin sekali menyentuh al-Quran. Kalau bisa, maunya mati dengan peluk al-Quran. Pengalaman-pengalaman yang saya lalui di sini buat hati ini insaf.sadar ttg satu hal yang sangat penting."
Pasien: "Hm. Apa dia?"

jururawat: →"Apa yang kita biasa pegang ketika kita masih sehat, apa yang kita biasa baca dan belai ketika masih hidup....itu jugalah yang kita akan dapat pegang dan sentuh di akhir hayat.

Jika kita selalu pegang handphone di tangan setiap waktu ..sholat tdk tepat waktu ..sepanjang waktu memegang HP dan sibuk gadget... mungkin pula di akhir hayat kita nanti...itu pula yg kita kerjakan.

Dapatkah kita sentuh dan pegang al-Quran? Sedangkan tangan kita tak biasa pegang al-Quran, sehari sekali pun susah membuka al-Quran apalagi membaca atau mentadabburinya. yaa.. Allah ar Rahman ..ar Rahim..

Sungguh, kita sdh tak perlu handphone atau gadget di akhir nyawa kita..kita sangat memerlukan al-Quran...barulah kita sadar saat itu bhw waktu yg kita milki sdh terbuang begitu saja...... ohh...Allah..Allah..."

Pasien "(meneteskan air mata..)..mas Jururawat tolong bacakan saya al-Quran...saya tak bisa baca alQuran..saya buta tajwid... "

Jururawat itu tersenyum. Dikeluarkan al-Quran mini dari kantong bajunya. lalu dia membacakan alQuran pada pasien itu

✔Hampir 9 dari 10 pasien yang beragama islam yang berada di Rumah sakit itu kebanyakannya memperlihatkan wajah penuh kesedihan serta menyesal, menyesal dan menyesal tdk ambil kesempatan untuk membaca Quran ketika sehat dan lapang ?

✔Wajah2 ketakutan dan seram bila ambang maut mendekati ? naudzubillah
...Saya sbg penulis cerita ini tersadar pula akan waktu yg sdh ter sia2kan ..juga pembaca.yang membaca posting ini belum terlambat dan pintu taubat luas terbuka untuk kita memulakan ...aamiin.

Imam Al Ghazali berkata:
Yang singkat itu - "waktu"
Yang menipu itu - "dunia"
Yang dekat itu - "kematian"
Yang besar itu - "hawa nafsu"
Yang berat itu - "amanah"
Yang sulit itu - "ikhlas"
Yang mudah itu - "berbuat dosa"
Yang susah itu - "sabar"
Yang lupa itu - "bersyukur"
Yang membakar amal itu - "mengumpat"
Yang ke neraka itu - "lidah"
Yang berharga itu - "iman"
Yang mententeramkan hati itu - "teman sejati"
Yang ditunggu Allah itu -"taubat"

Copas
Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......