» إِذَا جَاءَ 
نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ , وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ 
اللَّهِ أَفْوَاجًا , فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ 
كَانَ تَوَّابًا «
“Apabila telah datang pertolongan Allah 
dan kemenangan dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan 
berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah
 ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (qs. 
AN-Nashr: 1-3).
Saudaraku,
Pada bulan Ramadhan tahun 8 H, sejarah 
mencatat dengan tinta emas. Di mana kaum muslimin dengan gemilang telah 
menggemakan futuhnya kota Mekkah. Yang sebelumnya hanya sekedar menjadi 
mimpi pada fase perjuangan Rasul dan sahabat.
Terlihat wajah Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam tertunduk di atas untanya dan air matapun menggenang 
di kelopak matanya lalu menetes membasahi pipinya yang putih bersih. 
Bibirnya terus tak terputus memuji keagungan-Nya. Tiada kesan takkabur 
pada wajahnya yang sejuk, justru tampak simat ketawadhu’an dari tatapan 
matanya yang bening.
Selanjutnya beliau tersungkur sujud 
kehadirat-Nya, gemercik tangisannya terdengar begitu jelas dan tatkala 
beliau memasuki kediaman Ummu Hani’ beliau melakukan shalat dua raka’at 
sebagai ungkapan rasa syukur atas segala karunia. Itulah shalat al-fath,
 yang berarti shalat untuk kemenangan besar yang baru saja Allah 
hadirkan.
Ibnul-Qayyim memberikan komentar terhadap apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada peristiwa ini,
“Itulah perilaku pemimpin Islam ketika 
berhasil menaklukan suatu negeri atau disapa dengan kemenangan hendaknya
 mengiringinya dengan shalat al-fath (kemenangan) sebagai bentuk 
pelaksanaan sunnah mengikuti petunjuk panutan umat; Rasulullah 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Saudaraku,
Dalam realitas kehidupan, sering kala 
kita disapa kemenangan, kesuksesan dalam meraih cita dan cinta. Karir 
yang terus meroket, popularitas semakin memuncak, harta yang bertebaran 
di mana-mana, wanita cantik jelita yang menemani perjalanan hidup, dan 
yang seirama dengan itu. Pandangan mata kitapun seolah-olah tersilaukan 
oleh gemerlapnya dunia, tatapan mata bathin kita seakan-akan tertutupi 
awan hitam kelam yang menggelapkan pandangan, dan kitapun melupakan 
hakikat diri kita sebagai seorang hamba yang mempunyai tugas suci untuk 
mengabdi kepada-Nya semata.
Kemenangan dan kesuksesan yang kita raih
 justru dirayakan dengan hal-hal yang mendatangkan maksiat dan murka 
Allah, penuh dengan kesombongan, foya-foya dan pembaziran harta. 
Sementara di sampingnya ada tangisan si fakir dan miskin yang belum juga
 mengering karena lilitan kelaparan dan beratnya beban hidup serta 
penderitaan panjang yang mendera kehidupan.
Senandung pujian atas nikmat-Nya, gema 
lagu kesyukuran atas segala karunia dan rahmat-Nya, serta membasahi 
lisan dengan percikan istighfar dan deraian air mata keinsyafan 
mengharapkan ampunan-Nya adalah moralitas sebuah kemenangan yang sering 
kita lupakan.
Allah s.w.t memberikan arahan kepada 
kita, jika kita diselimuti kemenangan, “Apabila telah datang pertolongan
 Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan 
berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu dan 
mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. an-Nashr: 1-3).
Ketiga pondasi inilah yang menjadi dasar
 bangunan kebahagiaan kita. Ibnul Qayyim dengan sangat halus berbisik di
 telinga kita, “Tetap memuji-Nya bila musibah menimpa, bersyukur bila 
memperoleh nikmat dunia dan memohon ampunan dari segala dosa dan 
kelalaian.”
Saudaraku,
Mari bercermin dari kepribadian 
orang-orang shalih di masa lalu, tentang mensikapi kemudahan, 
kelapangan, keceriaan hidup dan kebahagiaan yang membuncah, sehingga 
hati kita semakin subur dengan syukur. Pikiran kita terpupuk dengan 
dekapan tafakkur.
Pada suatu saat Ibnu Umar Radhiyallahu 
‘Anh meneguk segelas air segar sembari meneteskan air mata, ketika ia 
ditanya prihal penyebab tangisannya tersebut, maka ia menjawab,
“Aku teringat air dingin dan segar 
ketika aku menginginkannya pada hari kiamat, aku sangat khawatir bila 
kelak diajukan kepadaku sebuah ayat, “Dan dihalangi antara mereka dengan
 apa yang mereka ingini sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang 
yang serupa dengan mereka pada masa dahulu, sesungguhnya mereka dahulu 
di dunia dalam keraguan yang mendalam.” (QS. Saba’: 54).
Hasan Basri jika hendak minum air bersih
 ia berucap, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan air ini tawar lagi 
segar, Dia tidak menjadikannya asin lagi getir karena dosa-dosa yang 
telah kami perbuat.”
Saudaraku,
Demikianlah para pendahulu kita, betapa 
besar rasa takut dan syukur mereka kepada Allah Ta’ala, karena 
kemenangan dan kesuksesan yang tidak disikapi dengan baik dan benar 
adalah merupakan awal dari kekalahan, kelelahan dan kehancuran.
Demikian pula kucuran nikmat yang salah 
dalam perwujudan makna syukur akan berakibat pada malapetaka dahsyat 
yang mengungkung kehidupan kita.
Kita memohon kepada Allah agar Dia 
berkenan mema’afkan kelalaian dan kekhilafan kita pada hari-hari yang 
telah berlalu, semoga Dia menolong kita dengan rahmat dan kasih 
sayang-Nya dan menuntun kita ke jalan yang terang dan lurus. Menjauhkan 
kita dari gelap pandangan yang dapat menjadikan kita lemah dan selalu 
berbuat dosa.
Kita memohon kepada-Nya agar Dia 
berkenan menganugerahkan rizki yang luas dan halal, hati yang sentiasa 
bersyukur, berjiwa sabar dan memiliki lisan yang selalu berdzikir 
kepada-Nya. Karena Dialah Maha pemberi karunia lagi pemurah serta kasih 
sayang terhadap hamba-Nya.
Saudaraku,
Mari kita menengok ke belakang untuk melihat berbagai nikmat, kejayaan, dan kesuksesan yang telah Allah hadirkan dalam hidup kita. Sudahkah kita iringi dengan senandung pujian, dan nyanyian istighfar?. Jika tidak, berarti kita telah menukarnya menjadi kemenangan semu dan kejayaan palsu.
Mari kita menengok ke belakang untuk melihat berbagai nikmat, kejayaan, dan kesuksesan yang telah Allah hadirkan dalam hidup kita. Sudahkah kita iringi dengan senandung pujian, dan nyanyian istighfar?. Jika tidak, berarti kita telah menukarnya menjadi kemenangan semu dan kejayaan palsu.
Wallahu a’lam bishawab.
Metro, 21 Januari 2016
Fir’adi Abu Ja’far
Fir’adi Abu Ja’far
hasanalbanna.com
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..