Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==
Tampilkan postingan dengan label Taskif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taskif. Tampilkan semua postingan

Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?



Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Tahun Lahir Imam Mazhab dan Hadits
Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Malik tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tersahih? Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh2 tsb.

Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?
Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim?
Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka lebih awal lahir daripada Imam Hadits tsb.
Rasulullah SAW bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah

Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang berlagak jadi ahli hadits dgn menghakimi pendapat Imam Mazhab dgn Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, ya keblinger. Hasil “ijtihad” mereka pun berbeda-beda satu sama lain…

Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2 sahabat Nabi di Madinah. Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meski termasuk pakar hadits paling top, tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie. Ini adalah Imam Hadits yang mengikuti Mazhab Syafi’ie: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam as-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Hakim.

Lho apa kita tidak boleh mengikuti hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dsb? Ya boleh sebagai pelengkap. Tapi jika ada hadits yang bertentangan dengan ajaran Imam Mazhab, yang kita pakai adalah ajaran Imam Mazhab. Bukan hadits tsb. Wong para Imam Hadits saja kan mengikuti Mazhab Syafi’ie? Tidak pakai hadits mereka sendiri?


Menurut Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, banyak orang awam yang tersesat karena mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang penuh dengan rasa dengki dan benci. Menurut kelompok ini Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya. Itulah fitnah kaum akhir zaman terhadap ulama salaf asli.

Padahal Imam Mazhab tsb menguasai banyak hadits. Imam Malik merupakan penyusun Kitab Hadits Al Muwaththo. Dengan jarak hanya 3 level perawi hadits ke Nabi, jelas jauh lebih murni ketimbang Sahih Bukhari yang jaraknya ke Nabi bisa 6-7 level. Begitu pula Imam Ahmad yang menguasai 750.000 hadits lebih dikenal sebagai Ahli Hadits ketimbang Imam Mazhab.

Ada tulisan bagus dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, yaitu:

Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab


Di antaranya Ustad Ahmad menulis bahwa para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kenapa?

Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Sementara Imam Malik wafat sebelum Imam Bukhari lahir. Begitu pula saat Imam Syafi’ie wafat, Imam Bukhari baru berumur 8 tahun sementara Imam Muslim baru lahir. Tidak mungkin kan para Imam Mazhab tsb berpegang pada Kitab Hadits yang belum ada pada zamannya?

Kedua, menurut Ustad Ahmad, karena keempat imam mazhab itu merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka.

Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang lebih dekat ke Rasulullah SAW dibanding Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin keasliannya ketimbang di masa-masa berikutnya.

Dalam teknologi, makin ke depan makin maju. Komputer, laptop, HP, dsb makin lama makin canggih. Tapi kalau hadits Nabi, justru makin dekat ke Nabi makin murni. Jika menjauh dari zamannya, justru makin tidak murni, begitu tulis Ustad Ahmad Sarwat.

Keempat, justru Imam Bukhari dan Muslim malah bermazhab Syafi’ie. Karena hadits yang mereka kuasai jumlahnya tidak memadai untuk menjadi Imam Mazhab. Imam Ahmad berkata untuk jadi mujtahid, selain hafal Al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000 hadits. Nah hadits Sahih yang dibukukan Imam Bukhari cuma 7000-an. Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Tidak cukup.
Ada beberapa tokoh yang anti terhadap Mazhab Fiqih yang 4 itu kemudian mengarang-ngarang sebuah nama mazhab khayalan yang tidak pernah ada dalam sejarah, yaitu mazhab “Ahli Hadits”. Seolah2 jika tidak bermazhab Ahli Hadits berarti tidak pakai hadits. Meninggalkan hadits. Seolah2 para Imam Mazhab tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).

Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?

Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?

Imam Syafi’ie membahas masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal.

Cuma baru tahu suatu hadits itu shahih, pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari 23 langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.

Entah orientalis mana yang datang menyesatkan, tiba-tiba muncul generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai  bodoh  dalam ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar. Padahal cuma Al Qur’an yang dijamin kebenarannya. Hadits sahih secara sanad, belum tentu sahih secara matan. Meski banyak hadits yang mutawattir secara sanad, sedikit sekali hadits yang mutawattir secara matan. Artinya susunan kalimat atau katanya sama persis.
Orang-orang awam dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu tidak paham dengan hadits shahih,  lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.

Padahal para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.

Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.

Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.

Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.

Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Ahmad Sarwat, Lc., MA

Baca selengkapnya di:

Menurut Ustad Ahmad Sarwat Lc, MA,  Hadits di zaman Imam Bukhari yang hidup di abad 3 Hijriyah saja sudah cukup panjang jalurnya. Bisa 6-7 level perawi hingga ke Nabi. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma 3 level perawi. Secara logika sederhana, yang 3 level itu jelas lebih murni ketimbang yang 6 level.

Jika Imam Bukhari hidup zaman sekarang di abad 15 Hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Sudah tidak murni lagi. Beda 3 level saja bisa kurang murni. Apalagi yang beda 50 level.
Jadi Imam Bukhari dan Imam Muslim bukan satu2nya penentu hadits Sahih. Sebelum mereka pun ada jutaan ahli hadits yang bisa jadi lebih baik seperti Imam Malik dan Imam Ahmad karena jarak mereka ke Nabi lebih dekat. *Inspirasi Rabbani/sumber
Lengkapnya Klik DISINI

Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Itu Bisa Ditoleransi

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

 khilafiyah
Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”. Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.

Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.

Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’

Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )

Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para salaf. Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي

“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)

Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.

Pendapat Ulama Bukan Dalil

Para ulama berkata:

أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها

“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Abu Hanifah berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal berkata:

لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

Imam Asy Syafi’i berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang  masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At Taimi berkata,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)

Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.

Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi

1. Qunut Subuh

Pendapat pertama: hukumnya sunnah.

Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

    Hadits Bara’ bin ‘Adzib:

    أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ، وَالْمَغْرِبِ

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib” (HR. Muslim 678)

    Hadits dari Muhammad bin Sirin:

    سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقِيلَ لَهُ: أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ؟ قَالَ: «بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا»

    “Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)

    Hadits Anas bin Maalik:

    قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ: عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)

    Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq (3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat subuh, selesai membaca surat beliau membaca doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’ (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)

    Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)

Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Daud Rahimahumullah.

Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

    Hadits Anas bin Maalik:

    قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ: عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)

    Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.

    Hadits Abu Hurairah:
    “Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ pada raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:

    اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ

    Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf “ (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)

    Hadits Abu Malik Al Asyja-’i

    عَنْ أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إنَّهَا بِدْعَةٌ } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

    “Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

    Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad shahih:

    سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال : ما شعرت ان احدا يفعله

    “Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)

    Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106).

    Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).

Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.

Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

 khilafiah

2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam
Pendapat pertama: haram

Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:

    Hadits Jabir bin Abdillah:

    أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ»

    “Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam’” (HR. Muslim, 2102)

    Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

    يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ، كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ، لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

    “Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR. Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.

Pendapat kedua: makruh
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:

    Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)

    Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium wangi surga bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah ciri kebanyakan mereka.

    Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam

    Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan  menyemir rambut dengan warna hitam

Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.

Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.

Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi

1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali
Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

    Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

    لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

    “Tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ 7555)

    Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

    أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَل بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَل مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

    “Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita berhak atas maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini tidak memiliki wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1840)

    Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

    لاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا

    “Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhis 3/157)

Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita tidak boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.

2. Bid’ahnya Doa Istiftah
Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

    Hadist dari Abu Hurairah:

    كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره

    “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)

    Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:

    بينما نحن نصلي مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذ قال رجل من القوم: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء “. قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ذلك

    “Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR. Muslim 2/99)

Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan banyak dalil syar’i. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam Malik. Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.

3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi

As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau pemahaman para salaf, kecuali hadits–hadits dha’if, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i yang fundamental, diantaranya:

    Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:

    أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

    “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)

    Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

    مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

    “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)

    Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan

    Para ulama bersepakat atas kaidah:

    لا قياس ف  إثبات العبادة

    “Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”.
    Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah aqidah. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.

    Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah

    Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini bukan ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.

    Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling dahulu memulainya. Karena merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling cinta terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

    Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan Maulid Nabi

    Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat merayakan Maulid Nabi

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi walaupun memang khilafiyah.

Wabillahi At Taufiq Was Sadaad

Lengkapnya Klik DISINI

Pelajaran Tentang Jihad Siyasi dari Sirah Perjanjian Hudaibiya


Oleh: H.Khozin Abu Faqih, Lc.

Pada bulan Dzul Hijjah tahun 6 Hijriah, Rasulullah saw. bersama isteri beliau Ummu Salamah dan sekitar 1400 shahabat berangkat menuju ke Makkah untuk melakukan Umrah. Mereka tidak membawa senjata, kecuali yang biasa dibawa oleh para musafir, yaitu pedang yang berada di sarungnya. Juga membawa binatang sembelihan “Al-Hadyu” untuk meyakinkan masyarakat, bahwa kaum muslimin benar-benar ingin melakukan Umrah.

Ketika tercium berita bahwa kaum musyrikin hendak menghadang kaum muslimin, maka beliau mengutus Utsman bin Affan untuk menjelaskan kepada para pemuka Quraisy tentang tujuan kedatangan kaum muslimin ke Makkah. Akan tetapi, tersiar berita bahwa Utsman terbunuh, maka Rasulullah saw. membai’at para shahabat di bawah pohon. Bai’at itu dikenal dengan nama Bai’atur Ridlwan.

Quraisy yang mengetahui kondisi tersebut, segera mengutus Suhail bin Amr untuk membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian damai inilah yang dikenal dengan nama “Shulhu Hudaibiyah.” Perdamaian ini memberi banyak pelajaran kepada para aktivis dakwah di sepanjang masa, antara lain sebagai berikut.
  1. Sikap akomodatif jauh lebih bermanfaat daripada konfrontatif, di mana sebelum perdamaian ditandatangani, Rasulullah saw. menyatakan dengan sumpah,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللَّهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا

“Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka meminta sesuatu hal yang menyebabkan mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt., kecuali aku akan memberikan sesuatu tersebut.” (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Baari bahwa yang dimaksud “Mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt.” adalah meninggalkan perang di tanah Haram. Sedangkan, dalam riwayat Ibnu Ishaq dinyatakan, “Mereka meminta kepadaku sesuatu yang dapat meyambung kekerabatan.” Pernyataan itu menegaskan bahwa beliau lebih memilih perdamaian daripada perang.
  1. Menghapuskan beberapa hal yang tidak subtansial secara administratif, demi tercapainya perdamaian dan kebersamaan.
“…Maka Rasulullah saw. memanggil juru tulis (dalam riwayat lain Ali bin Abi Thalib ra.), kemudian bersabda, “Tulislah ‘bismillahir rahmanir rahim’.” Suhail (delegasi Quraisy) berkata, “Adapun Ar-Rahman, maka demi Allah aku tidak mengenalnya. Oleh karena itu, tulislah, Bismika Allahumma, sebagaimana yang kamu tulis.” Para shahabat berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menulis, kecuali Bismillahir rahmanir rahim.” Nabi saw. bersabda, “Tulislah, Bismika Allahumma.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, “Ini yang telah diputuskan oleh Muhammad Rasulullah.” Suhail berkata, “Demi Allah, kalau kami mengetahui bahwa kamu Rasul Allah, maka kami tidak akan menghalang-halangimu dari baitullah dan tidak akan memerangimu. Tulislah, ‘Muhammad bin Abdillah’.” Nabi saw. bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar Rasul Allah, meski kalian mendustakan aku. Tulislah, ‘Muhammad bin Abdillah’.” (HR. Bukhari)

Az-Zuhri mengatakan, “Inilah yang dimaksud oleh ucapan Rasulullah saw., ‘Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka meminta sesuatu hal yang menyebabkan mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt., kecuali aku akan memberikan sesuatu tersebut’.” (HR. Bukhari)

Penggalan sirah ini menggambarkan bahwa Rasulullah saw. rela menghapus tulisan Nama Allah Ar-Rahman dari teks perjanjian, demi tercapainya kesepatakan. Beliau juga menghapus tulisan Rasulullah saw. dan menggantinya dengan nama asli, Muhammad bin Abdillah, demi terwujudnya perdamaian. Karena penghapusan tulisan tersebut tidak mempengaruhi keyakinan kaum muslimin dan tidak mereduksi keimanan mereka sedikit pun. Ini hanya urusan administrasi antara kaum muslimin dan kaum Quraisy, serta strategi perjuangan. Bukan subtansi aqidah dan keimanan.
  1. Tidak hanya memandang kepentingan jangka pendek, tetapi memandang kepentingan dakwah ke depan yang lebih luas. Meski untuk itu harus mengorbankan sebagian kepentingan jangka pendek.
Ketika butir perjanjian keempat tengah dibahas, “Jika ada orang Quraisy yang melarikan diri ke Muhammad, tanpa seizin walinya, maka Muhammad mengembalikannya kepada Quraisy. Sebaliknya, jika pengikut Muhammad melarikan diri ke Quraisy, maka mereka tidak perlu mengembalikannya kepada Muhammad.” Saat itu datanglah Abu Jandal bin Suhail dengan menyeret belenggu yang mengikatnya. Ia berjalan dari ujung Makkah, lalu melemparkan diri di tengah kaum muslimin. Melihat itu, Suhail berkata, “Ini orang pertama yang aku tuntut untuk dikembalikan.”
Rasulullah saw. menjawab, “Kita belum menyepakati butir perjanjian.”

Suhail mengatakan, “Kalau begitu, demi Allah, aku tidak akan menuntut apa pun kepadamu untuk selamanya.”

Rasulullah saw. berkata, “Kalau begitu, izinkan dia untukku.”

Suhail berkata, “Aku tidak akan memberi izin padanya untukmu.” Kemudian Suhail memukul wajah Abu Jandal dan menarik kerah bajunya, untuk dikembalikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Jandal berteriak dengan keras, “Wahai kaum muslimin, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrikin, agar mereka menyiksaku karena agamaku?”

Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan mohonlah pahala dari Allah. Sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang yang tertindas sepertimu. Kami telah mengikat perdamaian dengan mereka, dan kami tidak akan menghianatinya.”
  1. Rasulullah saw. membatalkan keinginannya dan keinginan para shahabat untuk Umrah, meski persiapan untuk itu telah maksimal. Bahkan para shahabat sudah siap bertempur hingga titik darah penghabisan. Ini semua dilakukan oleh Rasulullah saw. demi menjaga perdamaian dan menghindari pertempuran.
Pada awalnya para shahabat tercengang dengan keputusan Rasulullah saw., namun, ketercengangan mereka bukan karena kepentingan pribadi, tetapi karena semangat keagamaan dan kemaslahatan bagi dakwah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Umar bin Khathab ra., “Maka aku menemui Rasulullah saw. dan bertanya, ‘Bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?’

Beliau menjawab, ‘Benar.’

Aku bertanya, ‘Bukankah kita berada di pihak yang benar dan musuh kita di pihak yang batil?’
Beliau menjawab, ‘Benar.’

Aku berkata, ‘Lalu mengapa kita menimpakan kehinaan pada agama kita?’

Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku ini Rasul Allah; aku tidak akan durhaka kepada-Nya dan Dia akan menolong-ku.’

Aku bertanya, ‘Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan datang ke Baitullah dan berthawaf?’

Beliau menjawab, ‘Benar, tetapi apakah aku mengatakan padamu bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini?’

Aku menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kamu akan datang ke Baitullah dan thawaf di sekitarnya’.”

Bahkan kekagetan mereka benar-benar luar biasa, sehingga ketika diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk menyembelih binatang sembelihan dan mencukur rambut, tidak ada yang menyambut, sampai akhirnya dicontohkan oleh beliau sendiri. Kemudian, mereka berlomba meniru beliau. Kekagetan mereka itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

Pertama, mereka telah bersiap maksimal untuk melakukan Umrah dan Rasulullah saw. melakukan mobilisasi besar-besaran, sehingga tidak ada yang tertinggal di Madinah, kecuali yang mendapat tugas, kaum wanita, anak-anak, dan kaum munafikin.

Kedua, ketika ada ancaman perang, mereka telah berjanji setia untuk membela Islam, hingga titik darah penghabisan. Sebagaimana dalam Bai’atul Ridlwan.

Ketiga, isi perjanjian damai seolah-olah merugikan kaum muslimin, bahkan menghinakan mereka.
Meski demikian, ketika sudah menjadi keputusan, maka mereka kembali normal dan menerima kebijakan, hingga Allah swt. menurunkan ketenangan kepada hati mereka dan mengkaruniakan kemenangan besar kepada mereka.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Fath: 1-4)

Perdamaian Hudaibiyah ini merupakan kemenangan nyata dan pengantar kemenangan-kemenangan besar setelahnya. Di antara bentuk kemenangan perdamaian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, kemenangan dakwah. Karena dengan perdamaian ini manusia mendapatkan rasa aman, sehingga orang lebih rasional. Maka Islam lebih berpeluang mengisi akal fikiran dan hati manusia, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah kaum muslimin bertambah secara spektakuler. Ibnu Hisyam menyatakan bahwa pada saat Hudaibiyah Rasulullah saw. berangkat bersama 1400 shahabat, sedang dalam fathu makkah dua tahun setelahnya beliau berangkat bersama 10.000 pasukan. Di antara yang masuk Islam di masa itu adalah Khalid bin Walid ra. dan Amr bin Ash ra. Az-Zuhri mengatakan, “Islam belum pernah mendapatkan kemenangan yang melebihi kemenangan tersebut.

Kedua, optimalisasi potensi kaum muslimin untuk meluaskan territorial dakwah. Sebab perjanjian itu dapat mengurangi tekanan dan ancaman kekuatan musuh (terutama Quraisy), sehingga kaum muslimin dapat lebih leluasa membebaskan Jazirah Arab dari sisa-sisa Yahudi yang selalu berkhianat. Pada tahun 7 Hijrah terjadilah perang Khaibar, di mana kaum muslimin mendapatkan rampasan perang besar. Rampasan itu hanya diberikan kepada kaum muslimin yang ikut perjanjian Hudaibiyah.

Ketiga, pengakuan eksistensi kekuasaan Islam. Ustadz Muhammad ‘Izzah Darwazah mengatakan dalam sirahnya, “Tidak diragukan bahwa perjanjian damai yang dinamai oleh Al-Qur’an kemenangan yang agung ini, benar-benar berhak mendapatkan nama tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa peristiwa itu merupakan fase penentu dalam sirah nabawiyah, sejarah Islam dan kekuatannya, atau dengan kata lain peristiwa terbesar sepanjang sejarah. Sebab Quraisy mengakui Nabi, Islam, serta eksistensi dan kekuatan keduanya. Mereka juga menganggap Nabi dan Islam sebagai rival yang sebanding.”

Kaum Badui dan kaum munafiqin pun semakin segan dan takut dengan kekuasaan kaum muslimin. Sebab pada saat berangkat Umrah, mereka menyangka bahwa Muhammad saw. dan shahabatnya tidak akan pulang ke Madinah dengan selamat. Ternyata, mereka kembali ke Madinah dengan mendapat pengakuan dari Quraisy.

Keempat, kematangan kaum muslimin. Sebab dengan peristiwa Hudaibiyah, para shahabat semakin tsiqah dengan pimpinannya, semakin mantab dengan fikrahnya, dan semakin yakin dengan kebersamaan Allah swt. bersama mereka. Kematangan itu tergambar di bai’atur ridlwan dan tergambar secara jelas di penghujung Surat Al-Fath,

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)

Lengkapnya Klik DISINI

Hizbut Tahrir Mesra Dengan Syiah?

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Seiring revolusi di belahan Timur Tengah sana, isu Syiah kembali menyeruak. Pertempuran yang terjadi di dunia Arab, khususnya Suriah, memperlihatkan adanya gesekan antara dua kubu; Sunni dan Syiah. Pergesekan ini terus menjalar luas. Terlebih ketika turut campurnya beberapa negara ke kancah perang. Dalam kasus Suriah dan Irak, Iran secara terbuka mengirimkan pasukannya dan milisi Syiah untuk masuk kesana. Pun demikian dengan Arab Saudi. Saudi pun mengirimkan jet-jet tempur ke Yaman untuk menyerang suku Houtsi yang berbasis Syiah. Tak ayal, pengaruh pergesekan ini semakin meluas karena baik Saudi (Sunni) atau Iran (Syiah) mempunyai pengaruh dan pendukungnya masing-masing di berbagai wilayah dunia. 
 
Beberapa waktu lalu pun, Indonesia ramai terkompori masalah ini. Muncul berbagai berita dan spekulasi terkait Sunni & Syiah yang cukup panas aromanya. Kubu Sunni "radikal" memandang bahwa Syiah memiliki hidden agenda dalam pemerintahan Indonesia. Mengingat ada salah satu tokoh Syiah yang duduk di parlemen. Kubu Syiah pun tak kalah gertak, beberapa yang terkenal radikal dan kontroversial, malah siap melakukan pertempuran dengan Sunni. Bahkan jualan mereka didukung oleh kelompok-kelompok liberal yang selama ini memang kerap berhadapan dengan kelompok Sunni "radikal". 
 
Terlepas dari itu, ada suatu fakta menarik yang sayang untuk dilewatkan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah ormas yang dikenal berpaham Sunni, menjadi sorotan beberapa kelompok Sunni "radikal" karena dipandang memiliki hubungan dengan Syiah, khususnya Syiah Iran. Hal tersebut dikarenakan adanya isu tentang penawaran Khilafah kepada Imam Khomeini pasca Revolusi Iran. Akan tetapi keterkaitan dengan Syiah ini dibantah oleh Juru Bicara HTI di sela-sela kegiatan Halaqoh Islam dan Peradaban yang digelar di Gedung Asrama Haji Yogyakarta (11/4/2015).[1] Menurut Jubit HTI, Hizbut Tahrir (HT) kala itu justru mengkritik Khomeini dan Rancangan Konstitusi Iran yang kemudian kritik tersebut dibukukan dalam kitab berjudul Naqdh Masyru’ ad-Dustur al-Irani yang terbit 7 Syawal 1399 H (30 Agustus 1979).[2] Bagi HT, perbedaan HT dengan Syiah adalah pada tataran ushul dan furu'.
 
Fakta ini menjadi menarik karena ada beberapa hal yang justru bertolak belakang dengan penjelasan juru bicara HT dan juga beberapa anggota HT lain terkait Syiah dan Khomeini. Hal-hal yang menyebabkan sebagian pihak akhirnya menyatakan bahwa HT tidak jujur dalam penyikap mereka terhadap Syiah. Entah karena ketidakpahaman mereka akan Syiah atau memang dibalik itu semua ada kemesraan diantara Syiah dengan HT -yang menyatakan dirinya partai politik-. Adapun beberapa hal tersebut adalah: 
 
1. ANGGOTA HT ADA YANG BERALIRAN SYIAH 
 
Besar kemungkinan anggota HT beraliran Syiah di lapangan banyak, khususnya untuk daerah Timur Tengah. Hal ini didasari oleh pernyataan DR. Muhammad Muhsin Radly, anggota HT Irak, dalam tesisnya yang berjudul "Hizbut Tahrir: Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fii Iqamati Daulah Khilafah”.[3] Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa pengikut madzhab Jafari (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) banyak yang bergabung menjadi anggota HT Irak, di antara mereka yang terkenal adalah: Muhammad Hadi Abdullah as-Subaiti, dan Arif al-Bashri." (hal - 98). Selain itu, di Libanon pun banyak tersebar anggota HT dan pendukung HT (hal - 113). Salah satu nama yang mencuat di HT Libanon adalah dr. Mohammad Jaber [4] yang memangku jabatan sebagai salah satu ketua HT di Libanon.
dr. Mohammad Jaber bersama Mahan Abedin, peneliti IDSA di Nabatieh
Dokter kelahiran 50-an dari Nabatieh (Lebanon Selatan) ini menyelesaikan pendidikan kedokteran di Jerman Barat sebelum kembali ke Lebanon pada tahun 1985. Dia sudah bergabung dengan HT sejak tahun 1974 dan menjabat jabatan di HT Libanon pada tahun 2006. Mohammad Jaber mengakui sendiri langsung dalam sebuah wawancara yang dilakukan Mahan Abedin, Peneliti Institute for Defence Studies and Analysis New Delhi, bahwa HT tidak mementingkan untuk melampirkan identitas sektarian dan perbedaan di dalam Islam. Oleh karenanya, dia kemudian mengakui bahwa dirinya lahir dari keluarga Syiah dan dia sendiri bermazhab Jafary [5] (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah). 
 
2. PENAWARAN KHOMEINI MENJADI KHALIFAH 
 
Beberapa anggota HT apabila dikonfirmasi terkait hal ini akan mengatakan bahwa tidak benar HT mengirimkan perwakilannya untuk menawarkan Khalifah kepada Khomeini tahun 1979.[6]Dalam pertemuan tersebut, HT hanya menjelaskan dan menawarkan pada Khomeini tentang kesalahannya dan jauhnya dia dari kebenaran dengan mengesampingkan penerapan Islam secara sempurna. HT juga menyampaikan kepadanya tentang kewajiban mengangkat seorang kepala Negara yang akan bertindak sebagai khalifah bagi seluruh umat Islam. Hal tersebut menurut anggota HT belum pernah dilakukan oleh pihak lain.[7]
 
Karena tidak menerima tanggapan dari Khomeini selama berbulan-bulan, HT akhirnya menerbitkan Naqdh Masyru’ ad-Dustur al-Irani (Kritik terhadap Undang-Undang Dasar Iran) yang terbit 7 Syawal 1399 H (30 Agustus 1979).[8] Kritik tersebut coba diberikan langsung pada Khomeini oleh delegasi HT namun tidak berhasil bertemu Khomeini lagi. 
 
Ada beberapa catatan yang berbeda terkait hal diatas dengan apa yang disampaikan dr. Mohammad Jaber. Menurut Jaber, pertemuan dengan Khomeini tidak hanya dilakukan pada tahun 1979 saja namun dilakukan juga beberapa bulan sebelum kemenangan revolusi Iran. Pertama delegasi HT (terdiri dari dr. Mohammad Jaber, amir HT Eropa, dan pendamping amir HT Eropa) mengirim terlebih dahulu surat untuk bertemu lalu akhirnya dapat bertemu pertama kali pada bulan Oktober 1978. Selanjutnya pertemuan kedua pada Desember 1978 dan terakhir Februari 1979. Delegasi menekankan pada Khomeini agar mau mendirikan negara Islam yang mendunia (Khilafah). Bahkan jika Negara tersebut nantinya akan didominasi oleh penganut Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah). HT akan siap membantu dengan catatan tetap bentuknya Khilafah untuk seluruh kaum muslimin.[9]
 
Adanya informasi tadi dengan jelas menampakan bahwa HT memang menawarkan Khomeini sebagai Khalifah. Karena HT meminta Khomeini untuk mendirikan Khilafah dan kalaupun dikuasai Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) maka tidak mengapa. Kenapa disimpulkan demikian? Karena pemimpin Revolusi Iran sekaligus pemimpin spiritual Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) saat itu adalah Khomeini. Pada saat itu pun Khomeini tidak diminta untuk beralih menjadi Sunni. Hal ini diperkuat dengan pernyataan kesiapan HT untuk membantu Khomeini apabila Khilafah nantinya dikuasai Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah). Sehingga akan tidak mungkin apabila Khalifahnya adalah HT Eropa atau amir HT. Karena kedua orang tadi bukan penganut Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah). 
 
Bantahan HT tidak menawarkan Khomeini sebagai Khalifah pun tertolak sendirinya dengan apa yang pernah dirilis HT sendiri di majalah Al Khilafah No. 18, Jum’at, 2 Januari 1410 H (1989), dan majalah Al Wa’ie, Nomor 75 halaman 23 (1993). Dalam majalah Al Khilafah dengan artikel berjudul “Hizbut Tahrir wal ‘Imam’ Khomeini”, dikatakan “Kami mengusulkan agar Khomeini menjadi khalifah umat ini”. Sedangkan dalam Al Wa’ie, Nomor 75 halaman 23 (1993) dikatakan bahwa persoalan sunni-syiah ini terjadi karena ada orang-orang yang berada di belakang perpecahan ini (yang mempunyai maksud tertentu). Oleh karenanya HT harus memerangi orang-orang itu, sebab tidak ada perbedaan antara keduanya, dan siapa saja yang melakukan perbedaan itu maka akan HT lawan”. 
 
Bagi HT sendiri, kemungkinan seorang Syiah menjadi Khalifah bukanlah sebuah keniscayaan, sebab dalam buku pelatihan ideologis-politik berjudul “Dasar-Dasar Islam” (1953), dengan jelas diyatakan bahwa penganut Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) adalah kaum Mukminin yang memiliki hak untuk berperan secara aktif di dalam Negara Islam, termasuk aksesi ke Kantor Politik-Keagamaan yang tertinggi, yaitu Khalifah.[10
 
3. MENGAGUNGKAN KHOMEINI 
 
Bagi dr. Mohammed Jaber, Khomeini merupakan pemimpin besar Islam dan tulus. Khomeini memiliki pengaruh politik dan hukum dalam tatanan global. Dia juga telah berhasil mengubah jalan dan beberapa konsep yang mendasar terkait hubungan internasional. Menurutnya, pendapat ini adalah pendapat pribadinya akan tetapi pendapat ini disebar di para pemimpin HT dan anggota HT di seluruh dunia.[11]
 
Bukan hanya dr. Mohammed Jaber saja yang memuji Khomeini, tokoh HT lain pun ikut memuji-muji Khomeini. Adalah Muhammad Mis’ari yang menyebarkan selebaran di London pada Kamis 22 Syawwal 1415 H / 23 Maret 1995 M. Isi dari selebaran tersebut salah satunya memuji Khomeini dengan mengatakan bahwa Khomeini adalah seorang pemimpin bersejarah yang agung dan jenius. Selain itu, dia mencaci sebagian ulama dan menganggap Syiah sebagai saudara.[12]
 
4. KERJASAMA DENGAN HIZBULLAH 
 
Hubungan HT dengan Hizbullah secara struktural memang tidak. Kedua kelompok nampaknya pernah menjalin komunikasi. Entah resmi atau tidak. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan dr. Mohammed Jaber yang memuji Hizbullah sebagai kelompok perlawanan dan politik Islam yang tulus. Adalah sebuah kewajiban syar'i, menurut dr. Mohammed Jaber, untuk mendukung perjuangan Hizbullah.[13] Meskipun demikian, HT menyatakan bahwa mereka tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan politik Hizbullah.


Anggota Hizbut Tahrir Inggris aksi bersama pendukung Hizbullah di depan pagar Kedutaan besar Arab Saudi memprotes serangan Israel ke Gaza (2009)
Hubungan ini nampak ketika diselenggarakannya acara Al Quds Day [14] di jalanan kota London yang rutin setiap tahun. Acara ini memang bukan acara HT dan Hizbullah, namun ini adalah acara lintas golongan, agama, dan kelompok. Beberapa kelompok yang terlibat di dalamnya adalah British Muslim Initiative, Crescent International, Friends of Al-Aqsa, Islamic Forum Europe, Islamic Human Rights Commission, Islamic Student Association UK, Islamic Centre of England, Innovative Minds, International Muslims Organization, Lebanese Communities, Muslim Association of Britain, Neturei Karta, Palestine Return Centre, Palestine Internationalist, Respect Party, Stop the War and the 1990 Trust. Beberapa tokoh HT tercatat pernah mengisi acara ini berbarengan dengan tokoh-tokoh lainnya. Antara lain Majid Nawaz (2006), Taji Mustafa [15] (2008)
Taji Mustafa dalam acara Al Quds Day 2010 bersama organisasi lintas agama dan kelompok di London (4/10/2010)
5. PERNYATAAN TIDAK SEMUA SYIAH KAFIR/SESAT 
 
HT kerap mengatakan bahwa HT dengan Syiah berbeda. Mereka memiliki perbedaan pada tataran ushul dan furu', atau dengan kata lain berbeda dari segi pondasi dan bangunan. Seperti yang disampaikan dalam pertemuan MIUMI Pusat & HTI di Alqur'an Learning Center (AQL) Tebet Jakarta Selatan (24/4/2015).[16] Singkatnya, HT memandang bahwa tidak semua Syiah sesat atau kafir. Syiah ada yang sudah masuk kafir, ada yang sesat, namun sebagian lagi ada yang masih muslim misalnya sebagian Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) atau Syiah Zaidiyyah, khususnya yang di Yaman. 
 
Terkait Syiah Zaidiyyah, aliran ini dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin, bapaknya, merupakan sosok yang cinta kepada para sahabat seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan beliau menilai kalangan yang senantiasa mencaci maki para sahabat merupakan kalangan yang melecehkan Islam dan bukan bagian dari Islam (Kafir). Pemahaman ayahnya tersebut diikuti oleh anaknya, Zaid bin Ali. Hingga karena kealimannya, muncullah pengikut yang menamakan diri mereka sebagai Syi’ah Zaidiyah. 
 
Dalam perkembangannya Zaidiyyah disebut memiliki kemiripan dengan Mu’tazilah karena kerap berinteraksi dengan murid-murid Washil bin Atha’. Sedangkan dalam masalah fikih mereka memiliki kemiripan dengan madzhab Hanafi karena sering terjadi interaksi antara murid-murid Abu Hanifah di Irak dengan Zaid bin Ali. Hanya saja, untuk perkara tauhid, Zaidiyyah berbeda dengan mazhab Hanafi dan pandangan sunni lainnya. Beberapa hal terkait akidah yang berbeda dengan sunni adalah; 1) Tidak meyakini bahwa orang-orang yang beriman dapat melihat Allah di akhirat, 2) Allah tidak menciptakan maksiat, 3) Kalam adalah makhluk, bukan bagian dari sifat-sifat Allah, 4) Mengingkari adanya syafaah bagi umat Rasulullah yang menjadi ahli maksiat, 5) Orang yang lebih berhak setelah kepemimpinan Rasulullah adalah Ali dan kelaurganya. Pengangkat Abu Bakar adalah kesalahan. Namun demikian, Zaidiyah tidak sampai mengkafirkan para sahabat akibat “kesalahan” ini, 6) Dibolehkan dan dibenarkan bahkan wajib melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Muslim yang zalim (ket: pernah terjadi pada abad ke 8 (bani Umayyah), masa terakhir Utsmaniyyah tahun 1915). 
 
Karena pemikiran Syiah Zaidiyyah seperti diataslah, Imam Asy-Syaukani akhirnya tertobat dan memilih kembali ke ahlu sunnah Wal jamaah. Meskipun selama itu beliau kerap dikenal dan dikatakan sebagai ulama syiah (baca: Syiah Zaidiyyah). Sebagai bentuk pertobatannya, Imam Asy-Syaukani menyusun kitab yang cukup terkenal dengan judul As-Sail Al-Jurar Al-Mutadaffiq 'ala Hada,iq Al-Azhar. Isi kitab tersebut mengkritik seluruh pemikiran dan pendapat kelompok Syiah Zaidiyyah, serta menelanjangi kebohongan-kebohongannya dan penyimpangan-penyimpangannya dari pemahaman As-Sunnah yang dipahami Salaf As Shalih. 
 
Dan bukan hanya Imam As Syaukani saja yang menentang Syiah Zaidiyyah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdhatul Ulama pun menolaknya dan menyatakan mazhab Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) dan Zaidiyah tidak sah diikuti umat Islam dan tidak boleh dipegang pendapatnya sebab mereka adalah ahli bid’ah. Pihak MUI pun telah mengeluarkan resmi buku terkait hal tersebut.[17]
Buku Resmi Panduan Majelis Ulama Indonesia terkait penyimpangan Syiah
Yang perlu dipahami adalah Syiah Zaidiyyah saat ini keberadaan mereka hanya tersisa di Yaman, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syiah Houtsi. Mereka telah banyak menyelesihi pendahulunya, bahkan pada dekade terakhir ini gencar memerangi Ahlu Sunnah dan berusaha merebut dan berkuasa di pemerintahan Yaman. Pergeseran Syiah Zaidiyyah ini banyak bermula dari merapatnya ulama-ulama Syiah Zaidiyyah pasca revolusi Iran yaitu pada tahun 1979 ke Khomeini.[18] Sehingga secara akidah dan politik mereka telah melebur dan membaur menjadi warna yang sama, sebab Syiah Zaidiyah tersebut menjadi berpegang pada kitab yang sama dari kitab yang menjadi rujukan Syiah Itsna Asy'ariyah/Imamiyah. 
 
Terlepas dari itu, kalau pun toh Syiah Zaidiyah (Houtsi) hari ini masih dianggap muslim dan lebih dekat dengan Ahlu Sunnah, maka pembelaan pada Syiah Zaidiyyah yang masih ada di Yaman ini pun menjadi blunder apabila dikaitkan dengan seruan HT tentang persatuan Sunni-Syiah.[19] Mengapa? Sebab kalaulah yang dikatakan Syiah masih muslim itu Syiah Zaidiyyah yang di Yaman, lantas kenapa seruan Sunni dan Syiah bersatu dalam nanungan Khilafah justru dikeluarkan di Irak yang notabene lebih banyak Syiah Nushairiyyah di bagian barat dan sebagian Rafidhah di sebelah timur Irak. Kalau pun mau mengeluarkan seruan tersebut harusnya dikeluarkan oleh HT wilayah Yaman. 
 
Syi'ah sendiri secara keseluruhan, dari awal lahir hingga berakhirnya Khilafah tahun 1924, senantiasa diperangi oleh para dinasti kekhilafahan. Tidak dipungkiri, memang ada upaya dari Khalifah untuk menyatukan sunni dan syiah. Itu pun dalam konteks mendakwahi mereka untuk pindah dari Syiah ke sunni, bukan dibiarkan tetap Syiah. Usaha ini pernah dilakukan tahun 74 H. Umat Islam yang menyokong persatuan ini akhirnya disebut Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah. Namun opsi ini ditolak oleh kaum Syiah sendiri. Oleh karena itu, meskipun sempat menguasai wilayah dan pemerintahan, Syiah akhirnya selalu diburu untuk didakwahi agar beralih pada Islam atau diperangi. Khalifah Jafar al Mansur (Bani Abbasiyah) dan Salahuddin al Ayyubi menjadi salah satu bukti atas hal tersebut. Mereka melakukan itu karena paham bagaimana akidah dan tabiat Syiah yang tidak mau bersatu. Kasus kejatuhan Abbasiyah ke tangan Tartar hingga lahir Daulah Syiah Fathimiyah, kasus penghadangan kapal dagang Khilafah masuk Nusantara, kasus pelolosan Portugis masuk Nusantara, hingga masuk kerjasama Syiah dengan Mustafa Kamal Attaturk untuk membendung membendung Khilafah Utsmaniyyah menjadi beberap bukti dari penyimpangan yang kerap dilakukan Syiah.
 
6. MAZHAB JAFARY ADALAH MAZHAB ISLAM 
 
Kembali ke dr. Mohammad Jaber, dia menyatakan dirinya adalah seorang yang bermazhab Jafariy. Mazhab yang menurutnya dan sebagian besar anggota HT masih dalam lingkup Islam. Yang karenanya maka sah-sah saja Jaber menjadi anggota HT bahkan menjadi tokoh sentral di HT Libanon. Namun seperti apakah mazhab Jafari itu? 
 
Mazhab Jafary dikenal juga sebagai mazhab Dua Belas Imam /Istna al asy ariyah/Rafidah. Namnya dinisbatkan kepada Imam ke-6 kaum Syiah, yaitu Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ulama terkenalnya abad ini adalah Khomeini. Perlu diketahui, Imam Jafar tidak pernah menuliskan kitab. Berbeda dengan 4 imam besar lainnya seperti; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Imam Malik merupakan murid langsung Imam Jafar. Imam Malik menulis berbagai kitab fiqh tapi tidak dinamakan fiqh Jafary. Karena Imam Malik memiliki metode tersendiri atas fiqhnya yang kemudian lahirlah nama mazhab Maliki. 
 
Akibat ketiadaan kitab yang langsung ditulis oleh Imam Jafar, kaum Syiah penganut mazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) akhirnya mencari-cari kitab rujukan. Karena tidak ada satu pun murid Imam Jafar yang menulis kitab (kecuali Imam Malik), akhirnya mereka mendapatkan rujukan pula yaitu kitab Furu’ Al Kafi Al Kulainy (Kitab rujukan tertua). Namun kitab ini ditulis 180 tahun setelah Imam Ja’far wafat. Kitab lain yang dijadikan rujukan adalah kitab Man La Yadurruhul Faqih karya Muhammad bin Ali bin Babawaihy Al Qummy yang ditulis 230 tahun setelah Imam Jafar wafat. Atau 50 tahun kemudian setelah kitab Furu’ Al Kafi Al Kulainy. Atau sekitar 4 generasi. Karena jauhnya jarak periwayat dan penulis kitab, akhirnya banyak ditemukan sanad-sanad yang terputus dan tidak jelas sambungannya ke Imam Jafar. Ulama Syi'ah ternama, Syarif Al Murtadlo di dalam kitabnya Rosail Syarif Al Murtadlo juz 3 hal 310 menjelaskan bahwa kebanyakan fiqh (Syiah) bahkan keseluruhanya tidak terlepas dari berpedoman kepada madzhab yg terhenti, diriwayatkan dari jalur lain dan ada kalanya keduanya darinya. 
 
Kalaulah kemudian mazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) mau ini dimasukan ke dalam Islam sebenarnya sah-sah saja. Tidak ada larangan selama memang tidak menjadi masalah bagi umat Islam itu sendiri. Namun sebelum jauh menyatakannya masuk ke dalam khazanah Islam, ada baiknya dilihat terlebih dahulu bagaimana fiqh Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) ini sebenarnya. Beberapa fiqh yang menarik yang ada dalam mazhab Jafari (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) adalah; kebolehan nikah mut'ah, shalat dalam sehari semalam ada 50 kali, gerakan shalat yang berbeda [20], mengucapkan “aamiin” setelah al Fatihah dalam shalat maka batal shalatnya, bersedekap ketika shalat maka batal shalat, mengakui Ali merupakan khalifah dan pemimpin umat Islam setelah Rasulullah dengan alasan perintah dari Allah di sebuah tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum” yang akhirnya lahirlah Hari Raya Idul Dhadir, dll. Lalu bagaimana hubungannya dengan HT? Maka apabila kemudian ada seorang anggota HT menyatakan dirinya bukan Syi'ah namun Muslim dengan bermazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah), maka apakah contoh-contoh fikh diatas tidak cukup mengatakan bahwa anggota tersebut sejatinya bukan anggota HT. Sebab dari contoh fiqh yang sedikit itu saja sudah dapat dipastikan akan bertentangan dengan apa yang diadopsi HT. Kalau misalnya sebenarnya maksud dia adalah "dulu" dia bekas penganut mazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) dan sekarang sudah berubah menjadi sunni, apa urgensinya mengaku-ngaku sebagai Syiah atau mengaku bermazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah)? Kenapa tidak menyatakan diri dengan kalimat "Saya muslim, tapi dulunya saya Syiah" atau "Saya telah tobat dari Syiah Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah), sekarang saya muslim"? Kenapa konsep Syiah terus dibawa-bawa dan digunakan? Apakah karena Syiah memang didalam tubuh HT dibolehkan? Kalau kemudian dijawab boleh atau muter-muter tidak jelas lagi, maka jangan salahkan orang semakin yakin bahwa HT memang mesra dengan Syiah. Itu pun kalau tidak mau dikatakan HT disusupi Syiah. Atau yang lebih ekstrim lagi adalah HT adalah Syiah itu sendiri. Wallahu’alam
 
Referensi:
8. religion.info, Op.cit.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Mereka Adalah Teroris, Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh, Pustaka Qaulan Sadida Cetakan ke 2, Dzulqa’dah 1426 H.
13. religion.info, Op.cit.
17. Buku panduan MUI, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, hal 33-34
 
nemu disini :
https://www.facebook.com/notes/adi-sanjaya/hizbut-tahrir-mesra-dengan-syiah/254881064891987 

Lengkapnya Klik DISINI

Intima Kepada Gerakan Dakwah

Membangun JamaahSiapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Ikhwati fillah…

Jika kita memperhatikan perjalanan hidup kita, kita akan menemukan bahwa Allah Ta’ala telah memberikan kita nikmat dan karunia yang tidak terhingga kepada kita. Dimulai ketika kita terlahir dalam keluarga muslim dan hingga sekarang Allah Ta’ala masih memberikan kita nikmat iman dan Islam.

Berapa banyak manusia yang terlahir dalam lingkungan keluarga non-muslim hingga dewasa bahkan sampai ajal menjemput, mereka tetap tidak mendapatkan fitrah penciptaannya, yaitu Islam seperti disebutkan dalam hadits “kullu mauluudin yuuladu ‘alal fithrah” (tiap bayi dilahirkan atas fitrah Islam). Bukankah ini karunia besar yang patut kita syukuri?

Allah Ta’ala mencela dan mengancam orang yang tidak mensyukuri nikmat dengan siksa yang pedih nanti di akhirat,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’”. (Ibrahim:7)

Kelimpahan nikmat dan kebaikan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Mulk:1)

Al-Quran mengungkapkan keberlimpahan kebaikan Allah Ta’ala dengan ungkapan “tabaarak” yang arti sebenarnya adalah Maha Pemberi kebaikan yang berlimpah dan tak terhingga. Pengertian ini dapat kita lihat di ayat lain yang menyebutkan,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا

Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat menghitungnya. (Ibrahim:34)
Hal di atas cukup untuk menjadi alasan pribadi bagi seorang muslim untuk bersyukur dan membela Islam. Dalam tinjauan yang lebih luas lagi, Islam bukan hanya agama pribadi, tetapi juga sebuah arus dan ideologi yang harus diperjuangkan agar nilai-nilainya berjalan di muka bumi. Untuk tujuan ini, maka intima atau berafiliasi kepada Islam dan perjuangan dakwah Islam menjadi suatu keharusan sebagai wujud dari rasa syukur manusia kepada Allah Ta’ala.

Islam adalah ideologi dan risalah Allah Ta’ala yang harus sampai kepada seluruh manusia atau menjadi rahmat bagi semesta. Tugas besar ini memerlukan orang-orang yang memiliki komitmen dan loyalitas serta keterikatan yang kuat kepada Islam. Pembelaan dan keberpihakan kita kepada Islam merupakan wujud intima kita kepada Islam dan gerakan dakwah. Ekspresi kesyukuran kita atas semua nikmat ini harus benar-benar terwujud.

Ikhwati fillah…..

Intima kepada Islam bukan berarti mengungkung manusia, mengikat manusia dan merasa tidak merdeka. Sisi lain dari pemahaman intima yang dapat diwujudkan adalah seperti yang dikatakan Imam Syafi’i dalam suatu sya’irnya,

الحُرُّ مَنْ رَاعَى وِدَادَ لحَظَةٍ                أَو انْتَمَى لمِنَ أَفَادَهُ لَفْظَة
”Orang yang merdeka adalah orang menjaga (merawat) kasih sayang (ukhuwah) yang hanya sebentar atau orang yang berafiliasi kepada orang yang telah memberikan manfaat meski hanya satu kata.”

Dakwah dan tarbiyah telah memberikan sesuatu yang banyak kepada kita. Kita bukan hanya menerima ukhuwah sesaat dari ikhwah lainnya, bahkan bertahun-tahun kita telah hidup menjalin ukhuwah. Ilmu dan nilai yang bermanfaat buat kehidupan telah banyak kita dapatkan dari murabbi kita, dari qiyadah kita dan ikhwah sejawat kita. Jadi kita telah banyak berhutang kepada dakwah dan pelaku dakwah itu sendiri, apalagi kepada Allah, sumber segala kebaikan.

Dengan banyaknya kebaikan yang kita dapatkan dari dakwah dan tarbiyah, maka kita belum dapat dikatakan merdeka jika kita tidak dapat berterima kasih kepada para dai, murabbi, qiyadah, mas’ul kita yang telah menunaikan hak ukhuwah kepada kita. Bukan hanya “lafzhah,” beberapa menit, tetapi bertahun-tahun kita merasakan kebaikan ukhuwah tersebut.

Manfaat yang kita dapatkan dari perkataan murabbi kita bukan hanya “lafzhah” sepatah dua patah, tetapi ribuan kata dalam bentuk arahan, taujih, materi dan berbagai pelajaran telah kita dapatkan, bahkan sebagian kita ada yang membukukan materi yang mereka dapatkan.

Sudah sepantasnya dan tanpa ragu-ragu, kita harus memberikan kontribusi kita kepada dakwah dan gerakan dakwah ini sebagai wujud dan bukti intima kita kepada Islam.

Misi dakwah telah dibebankan kepada para dai. Mereka adalah manusia. Kepada merekalah kita menunjukkan intima Islam kita. Kepada murabbi, kepada naqib, kepada mas’ul, kepada qiyadah dan kepada mereka yang urusan kita menjadi tanggungannya kita bekerja sama dan beramal jamai.

Ketaatan kita kepada qiyadah dan mas’ul merupakan cerminan intima kita kepada gerakan dakwah, karena Allah memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin.

Jika nikmat keislaman kita syukuri dengan berwala kepada Allah, Rasul dan pemimpin Islam, maka nikmat berukhuwah dapat kita syukuri dengan senantiasa berafiliasi kepada gerakan dakwah dalam kerja dan ketaatan kepada kebijakan dakwah.

Wallahu a’lam

Sumber: Taujihat Usbu’iyah No. 69 1429 H
http://www.al-intima.com/harakatuna/intima-kepada-gerakan-dakwah

Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......