Oleh: H.Khozin Abu Faqih, Lc.
Pada bulan Dzul Hijjah tahun 6 Hijriah, Rasulullah saw. bersama 
isteri beliau Ummu Salamah dan sekitar 1400 shahabat berangkat menuju ke
 Makkah untuk melakukan Umrah. Mereka tidak membawa senjata, kecuali 
yang biasa dibawa oleh para musafir, yaitu pedang yang berada di 
sarungnya. Juga membawa binatang sembelihan “Al-Hadyu” untuk meyakinkan 
masyarakat, bahwa kaum muslimin benar-benar ingin melakukan Umrah.
Ketika tercium berita bahwa kaum musyrikin hendak menghadang kaum 
muslimin, maka beliau mengutus Utsman bin Affan untuk menjelaskan kepada
 para pemuka Quraisy tentang tujuan kedatangan kaum muslimin ke Makkah. 
Akan tetapi, tersiar berita bahwa Utsman terbunuh, maka Rasulullah saw. 
membai’at para shahabat di bawah pohon. Bai’at itu dikenal dengan nama Bai’atur Ridlwan.
Quraisy yang mengetahui kondisi tersebut, segera mengutus Suhail bin 
Amr untuk membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian 
damai inilah yang dikenal dengan nama “Shulhu Hudaibiyah.” Perdamaian ini memberi banyak pelajaran kepada para aktivis dakwah di sepanjang masa, antara lain sebagai berikut.
- Sikap akomodatif jauh lebih bermanfaat daripada konfrontatif, di mana sebelum perdamaian ditandatangani, Rasulullah saw. menyatakan dengan sumpah,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللَّهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا
“Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka meminta sesuatu
 hal yang menyebabkan mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt., kecuali 
aku akan memberikan sesuatu tersebut.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Baari bahwa yang dimaksud “Mereka
 mengagungkan kemuliaan Allah swt.” adalah meninggalkan perang di tanah 
Haram. Sedangkan, dalam riwayat Ibnu Ishaq dinyatakan, “Mereka meminta 
kepadaku sesuatu yang dapat meyambung kekerabatan.” Pernyataan itu 
menegaskan bahwa beliau lebih memilih perdamaian daripada perang.
- Menghapuskan beberapa hal yang tidak subtansial secara administratif, demi tercapainya perdamaian dan kebersamaan.
“…Maka Rasulullah saw. memanggil juru tulis (dalam riwayat lain Ali bin Abi Thalib ra.), kemudian bersabda, “Tulislah ‘bismillahir rahmanir rahim’.” Suhail (delegasi Quraisy) berkata, “Adapun Ar-Rahman, maka demi Allah aku tidak mengenalnya. Oleh karena itu, tulislah, Bismika Allahumma, sebagaimana yang kamu tulis.” Para shahabat berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menulis, kecuali Bismillahir rahmanir rahim.” Nabi saw. bersabda, “Tulislah, Bismika Allahumma.”
 Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, “Ini yang telah diputuskan oleh 
Muhammad Rasulullah.” Suhail berkata, “Demi Allah, kalau kami mengetahui
 bahwa kamu Rasul Allah, maka kami tidak akan menghalang-halangimu dari 
baitullah dan tidak akan memerangimu. Tulislah, ‘Muhammad bin 
Abdillah’.” Nabi saw. bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku 
benar-benar Rasul Allah, meski kalian mendustakan aku. Tulislah, 
‘Muhammad bin Abdillah’.” (HR. Bukhari)
Az-Zuhri mengatakan, “Inilah yang dimaksud oleh ucapan Rasulullah 
saw., ‘Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka meminta 
sesuatu hal yang menyebabkan mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt., 
kecuali aku akan memberikan sesuatu tersebut’.” (HR. Bukhari)
Penggalan sirah ini menggambarkan bahwa Rasulullah saw. rela menghapus tulisan Nama Allah Ar-Rahman dari
 teks perjanjian, demi tercapainya kesepatakan. Beliau juga menghapus 
tulisan Rasulullah saw. dan menggantinya dengan nama asli, Muhammad bin 
Abdillah, demi terwujudnya perdamaian. Karena penghapusan tulisan 
tersebut tidak mempengaruhi keyakinan kaum muslimin dan tidak mereduksi 
keimanan mereka sedikit pun. Ini hanya urusan administrasi antara kaum 
muslimin dan kaum Quraisy, serta strategi perjuangan. Bukan subtansi 
aqidah dan keimanan.
- Tidak hanya memandang kepentingan jangka pendek, tetapi memandang kepentingan dakwah ke depan yang lebih luas. Meski untuk itu harus mengorbankan sebagian kepentingan jangka pendek.
Ketika butir perjanjian keempat tengah dibahas, “Jika ada orang 
Quraisy yang melarikan diri ke Muhammad, tanpa seizin walinya, maka 
Muhammad mengembalikannya kepada Quraisy. Sebaliknya, jika pengikut 
Muhammad melarikan diri ke Quraisy, maka mereka tidak perlu 
mengembalikannya kepada Muhammad.” Saat itu datanglah Abu Jandal bin 
Suhail dengan menyeret belenggu yang mengikatnya. Ia berjalan dari ujung
 Makkah, lalu melemparkan diri di tengah kaum muslimin. Melihat itu, 
Suhail berkata, “Ini orang pertama yang aku tuntut untuk dikembalikan.”
Rasulullah saw. menjawab, “Kita belum menyepakati butir perjanjian.”
Suhail mengatakan, “Kalau begitu, demi Allah, aku tidak akan menuntut apa pun kepadamu untuk selamanya.”
Rasulullah saw. berkata, “Kalau begitu, izinkan dia untukku.”
Suhail berkata, “Aku tidak akan memberi izin padanya untukmu.” 
Kemudian Suhail memukul wajah Abu Jandal dan menarik kerah bajunya, 
untuk dikembalikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Jandal berteriak 
dengan keras, “Wahai kaum muslimin, apakah aku akan dikembalikan kepada 
kaum musyrikin, agar mereka menyiksaku karena agamaku?”
Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan mohonlah
 pahala dari Allah. Sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar 
kepadamu dan orang-orang yang tertindas sepertimu. Kami telah mengikat 
perdamaian dengan mereka, dan kami tidak akan menghianatinya.”
- Rasulullah saw. membatalkan keinginannya dan keinginan para shahabat untuk Umrah, meski persiapan untuk itu telah maksimal. Bahkan para shahabat sudah siap bertempur hingga titik darah penghabisan. Ini semua dilakukan oleh Rasulullah saw. demi menjaga perdamaian dan menghindari pertempuran.
Pada awalnya para shahabat tercengang dengan keputusan Rasulullah 
saw., namun, ketercengangan mereka bukan karena kepentingan pribadi, 
tetapi karena semangat keagamaan dan kemaslahatan bagi dakwah. 
Sebagaimana diriwayatkan oleh Umar bin Khathab ra., “Maka aku menemui 
Rasulullah saw. dan bertanya, ‘Bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?’
Beliau menjawab, ‘Benar.’
Aku bertanya, ‘Bukankah kita berada di pihak yang benar dan musuh kita di pihak yang batil?’
Beliau menjawab, ‘Benar.’
Aku berkata, ‘Lalu mengapa kita menimpakan kehinaan pada agama kita?’
Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku ini Rasul Allah; aku tidak akan durhaka kepada-Nya dan Dia akan menolong-ku.’
Aku bertanya, ‘Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan datang ke Baitullah dan berthawaf?’
Beliau menjawab, ‘Benar, tetapi apakah aku mengatakan padamu bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini?’
Aku menjawab, ‘Tidak.’
Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kamu akan datang ke Baitullah dan thawaf di sekitarnya’.”
Bahkan kekagetan mereka benar-benar luar biasa, sehingga ketika 
diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk menyembelih binatang sembelihan
 dan mencukur rambut, tidak ada yang menyambut, sampai akhirnya 
dicontohkan oleh beliau sendiri. Kemudian, mereka berlomba meniru 
beliau. Kekagetan mereka itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain 
sebagai berikut.
Pertama, mereka telah bersiap maksimal untuk melakukan Umrah
 dan Rasulullah saw. melakukan mobilisasi besar-besaran, sehingga tidak 
ada yang tertinggal di Madinah, kecuali yang mendapat tugas, kaum 
wanita, anak-anak, dan kaum munafikin.
Kedua, ketika ada ancaman perang, mereka telah berjanji 
setia untuk membela Islam, hingga titik darah penghabisan. Sebagaimana 
dalam Bai’atul Ridlwan.
Ketiga, isi perjanjian damai seolah-olah merugikan kaum muslimin, bahkan menghinakan mereka.
Meski demikian, ketika sudah menjadi keputusan, maka mereka kembali 
normal dan menerima kebijakan, hingga Allah swt. menurunkan ketenangan 
kepada hati mereka dan mengkaruniakan kemenangan besar kepada mereka.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, 
supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu 
dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin
 kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan 
pertolongan yang kuat (banyak). Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan
 ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di 
samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah 
tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha 
Bijaksana.” (Al-Fath: 1-4)
Perdamaian Hudaibiyah ini merupakan kemenangan nyata dan pengantar 
kemenangan-kemenangan besar setelahnya. Di antara bentuk kemenangan 
perdamaian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, kemenangan dakwah. Karena dengan 
perdamaian ini manusia mendapatkan rasa aman, sehingga orang lebih 
rasional. Maka Islam lebih berpeluang mengisi akal fikiran dan hati 
manusia, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah kaum muslimin 
bertambah secara spektakuler. Ibnu Hisyam menyatakan bahwa pada saat 
Hudaibiyah Rasulullah saw. berangkat bersama 1400 shahabat, sedang dalam
 fathu makkah dua tahun setelahnya beliau berangkat bersama 
10.000 pasukan. Di antara yang masuk Islam di masa itu adalah Khalid bin
 Walid ra. dan Amr bin Ash ra. Az-Zuhri mengatakan, “Islam belum pernah 
mendapatkan kemenangan yang melebihi kemenangan tersebut.
Kedua, optimalisasi potensi kaum muslimin 
untuk meluaskan territorial dakwah. Sebab perjanjian itu dapat 
mengurangi tekanan dan ancaman kekuatan musuh (terutama Quraisy), 
sehingga kaum muslimin dapat lebih leluasa membebaskan Jazirah Arab dari
 sisa-sisa Yahudi yang selalu berkhianat. Pada tahun 7 Hijrah terjadilah
 perang Khaibar, di mana kaum muslimin mendapatkan rampasan perang 
besar. Rampasan itu hanya diberikan kepada kaum muslimin yang ikut 
perjanjian Hudaibiyah.
Ketiga, pengakuan eksistensi kekuasaan 
Islam. Ustadz Muhammad ‘Izzah Darwazah mengatakan dalam sirahnya, “Tidak
 diragukan bahwa perjanjian damai yang dinamai oleh Al-Qur’an kemenangan
 yang agung ini, benar-benar berhak mendapatkan nama tersebut. Bahkan 
dapat dikatakan bahwa peristiwa itu merupakan fase penentu dalam sirah 
nabawiyah, sejarah Islam dan kekuatannya, atau dengan kata lain 
peristiwa terbesar sepanjang sejarah. Sebab Quraisy mengakui Nabi, 
Islam, serta eksistensi dan kekuatan keduanya. Mereka juga menganggap 
Nabi dan Islam sebagai rival yang sebanding.”
Kaum Badui dan kaum munafiqin pun semakin segan dan takut dengan 
kekuasaan kaum muslimin. Sebab pada saat berangkat Umrah, mereka 
menyangka bahwa Muhammad saw. dan shahabatnya tidak akan pulang ke 
Madinah dengan selamat. Ternyata, mereka kembali ke Madinah dengan 
mendapat pengakuan dari Quraisy.
Keempat, kematangan kaum muslimin. Sebab dengan peristiwa Hudaibiyah, para shahabat semakin tsiqah
 dengan pimpinannya, semakin mantab dengan fikrahnya, dan semakin yakin 
dengan kebersamaan Allah swt. bersama mereka. Kematangan itu tergambar 
di bai’atur ridlwan dan tergambar secara jelas di penghujung Surat 
Al-Fath,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan
 dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang 
sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah 
dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas 
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat 
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya 
maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan
 tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati 
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang 
kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada 
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara 
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..