 
 
Apa yang bisa dibanggakan lagi dari seseorang yang sudah kehilangan 
motivasi dalam hidupnya? Kehilangan harta masih bisa dicari jika 
motivasi alias niat untuk mencarinya masih ada. Tapi jika sudah 
kehilangan motivasi dalam hidup? Maka yang terjadi adalah bisa 
kehilangan semuanya. Tetaplah jaga niat dalam berbuat. Motivasi terbesar
 sebagai muslim dalam mengerjakan amal shalih dan perbuatan lainnya 
adalah menggapai ridho Allah Ta’ala. Itu sebabnya, cara melakukannya 
juga wajib sesuai yang Allah Ta’ala ridhoi. Proses itu penting setelah 
niat dilakukan. Sebab, akan menentukan hasilnya. Jika proses yang 
dijalani keliru, hasilnya juga keliru. Benar prosesnya, maka hasilnya 
juga benar.
Coba kita lihat bayi yang baru lahir. Ia hanya bisa menangis. Mungkin
 kaget. Sebab, selama di dalam rahim ibunya dia merasa tenang. Tak 
banyak tantangan. Allah Ta’ala siapkan tubuhnya, membuatkan ‘software’ 
untuk berpikir dan berperasaannya, sehingga cukup untuk jalani kehidupan
 di dunia di luar rahim ibunya. Begitu seorang bayi lahir ke dunia dari 
rahim ibunya, dimulailah babak baru kehiduan yang akan ia jalani di 
dunia. Belantara yang belum ia kenal. Ada baik ada buruk. Arena yang 
berlapis-lapis ujiannya, tantangannya, rintangannya, kesenangannya, 
kesedihannya dan segalanya. Manusia harus mampu menghadapi semuanya 
dengan penuh kehati-hatian, waspada, cukup ilmu, cukup tenaga, wawasan, 
kemampuan mengolah pikir dan rasa, serta pandai memanfaatkan kesempatan 
agar bisa selamat dari ujian tersebut dan berhasil melaluinya dengan 
maksimal dan menjadikannya mulia. Agar kehidupan setelah dunia pun bisa 
diraih dengan mendapat tempat yang layak, yakni surga.
Sobat, kalo saat ini kita menghadapi berbagai macam ujian 
dan rintangan dalam hidup dan dakwah, jangan menyerah. Katakan bahwa 
“aku masih bisa!”. Jangan kalah sama bayi. Dulu kita juga pernah jadi 
bayi. Bayi yang normal dan sehat pasti akan tumbuh dan berkembang. 
Tadinya belum bisa tengkurap sendiri. Ia mencobanya. Gagal. Coba lagi. 
Terus begitu hingga akhirnya bisa dengan mudah tengkurap. Kemudian ia 
belajar untuk balik ke posisi terlentang. Gagal. Coba lagi. Terus dan 
begitu hingga berhasil. Selanjutnya, ketika ia merasa sudah bisa dua 
posisi itu, ia mencoba untuk merangkak. Proses yang sama, yakni mencoba 
dan gagal. Terus begitu hingga berhasil. Setelah bisa merangkak, ia akan
 mencoba duduk. Itu pun dengan proses yang hampir sama, trial and error.
 Tapi karena terus mencoba akhirnya berhasil duduk. Setelah duduk ia 
mencoba untuk berdiri. Ia mulai menaiki tempat yang agak tinggi. Mulai 
berani manjat untuk mencari pegangan agar mampu mengangkat berat 
tubuhnya. Meja, kursi, dan apa saja yang lebih tinggi dari tubuhnya 
dijabanin demi bisa berdiri. Setelah berhasil, ia mencoba melangkahkan 
kaki. Tapi karena ia berani untuk mengambil risiko, meskipun jatuh saat 
mencoba berjalan, tak segan mencoba lagi. Proses itu berulang kali 
dijajalnya, hingga akhirnya berhasil berjalan. Kalo udah bisa jalan, 
lari bukan halangan. Kadang reflek kalo udah ngerasa lancar melangkah.
Kita sudah dewasa. Kemampuan dasar kita sudah lengkap. Memang, waktu 
bayi juga bukan berarti kita bisa dengan sendirinya. Nggak juga. Waktu 
bayi kita perlu bantuan orang di sekitar kita. Kita waktu bayi dan bayi 
lainnya diarahkan dan dilatih untuk bisa melakukan berbagai gerakan. 
Aspek motoriknya dilatih sedemikian rupa hingga akhirnya bisa berbagai 
keterampilan. Selain itu diajarkan juga etika atau adab. Dari hari ke 
hari dan dari pekan ke pekan, bulan demi bulan, dan bertahun-tahun kita 
jalani hidup pastinya makin “mateng” dengan pengalaman. Makin banyak 
wawasan. Entah berapa ratus cerita yang bisa direkam dan dikenang 
kembali. Kita menjadi orang yang sebenarnya bisa menjalani kehidupan 
ini. Lengkap dengan segala risikonya.
Ya, siap menjalani kehidupan berarti berani mengambil risiko yang 
akan muncul dari jalan yang kita pilih. Allah Ta’ala sudah menyiapkan 
bahwa kita mampu melakukannya sesuai kapasitas kemampuan yang Allah 
Ta’ala berikan kepada kita. Itu sebabnya, nggak ada alasan kan untuk 
mengeluh terus menerus? Hehehe.. kalo sekali atau dua kali mengeluh 
nggak apa-apa. Manusiawi kok. Tapi ingat lho, jangan keterusan. Ayo 
segera bangkit. Cari tahu penyebab kegagalanmu, dan temukan jalan keluar
 untuk mengatasinya. Kita insya Allah terlatih untuk hadapi tantangan. 
Tubuh kita sudah mulai kuat untuk hadapi tekanan fisik. Pikir dan rasa 
kita juga sudah terbiasa menghadapi kenyataan hidup: sedih-gembira; 
kecewa-bahagia; menang-kalah; benci-cinta; rindu-dendam; berani-takut; 
dan segala rasa lainnya.
Jangan menyerah dan jangan sampe mengeluh terus menerus tanpa berbuat
 untuk mengubah kondisi. Anak ngaji dan aktivis dakwah juga manusia. 
Pasti mengalami masa-masa sulit. Kekurangan materi, dijauhi orang 
terdekat karena kita dianggap berubah setelah ngaji, orang tua bercerai,
 jamaah dakwah rame-rame menolak kehadiran kita, umat menolak dakwah 
kita, dan seabrek masalah yang membuat kita sedih. Tapi yakinlah, kita 
masih bisa untuk mengatasinya. Percayalah. Selama Allah Ta’ala bersama 
kita, dan kita yakin Dia akan menolong, tak ada alasan untuk cemas 
apalagi putus asa. Alah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad [47]: 7)
Sobat, perlu kita renungkan juga adalah usia kita yang 
mulai beranjak dewasa, semoga juga diiringi dengan pikiran dan perasaan 
sebagai orang dewasa. Jangan sampe deh body-nya udah dewasa tapi 
pikirannya masih kayak bocah. Biasanya sih, sudah sedewasa ini kita 
tentunya banyak mendapat pelajaran hidup langsung. Orang tua tentu punya
 waktu lebih banyak merasakan asam-garam kehidupan. Tapi yang 
terpenting, hidup kita tetap berguna meski umur tak sampai panjang. Tua 
itu pasti, tapi dewasa adalah pilihan. Banyak kok orang tua tapi pikiran
 dan perasaannya nggak pernah dewasa. Hidupnya masih aja kayak 
anak-anak. Ngumbar nafsu dan amarah tak terkendali. Sementara keimanan 
dan takwanya makin kendor. Lha, kacau banget kan? Tua-tua keladi tuh. 
Makin tua makin menjadi-jadi—jeleknya. Itu kalo dalam ungkapan bahasa 
Sunda, “Huntu geus ungger, tapi kalakuan angger” (gigi sih udah
 pada lepas, tapi kelakuan masih aja nggak berubah—jeleknya). Maksudnya 
udah tua tapi tetap aja nggak berubah. Umumnya orang udah tua itu salah 
satu tandanya giginya udah pada ompong.
Sebagai muslim, kita nggak hanya memikirkan kehidupan diri sendiri, 
lho. Kita juga harus memikirkan orang lain. Mulai dari orang terdekat di
 antara kita (keluarga dan teman), juga seluruh kaum muslimin. 
Memikirkan untuk mengajak mereka kepada kebaikan dan menegakkan 
kebenaran Islam. Tentu saja, upaya untuk mewujudkannya perlu semangat, 
motivasi dan tujuan yang benar dan jelas agar hasil yang didapat bisa 
memberikan manfaat dan barokah untuk semuanya. Selain itu, dalam 
menegakkan kebenaran ini, kita harus ekstra sabar, Bro. Allah Ta’ala 
menjelaskan dalam firmamNya (yang artinya): “Hai orang-orang yang 
beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya 
Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah [2]: 153)
So, tetap tenang, sabar, syukur, dan terus berjuang tanpa 
lelah. Hadapi risiko, jangan mengeluh dan jangan menyerah. Masih bisa 
kok untuk bertahan dan mencari solusi. Asalkan tetap jaga niat, tetap 
istiqomah, dan maksimalkan ikhtiarnya serta iringi dengan doa tulus 
berharap keridhoan Allah Ta’ala dan kebaikan yang akan didapat agar 
menjadi barokah untuk semuanya. Meski ada cobaan pahit dan rintangan 
berat menghalang, tetaplah melaju. Lagian kenapa sih cobaan ini terasa 
begitu pahit? Ya, karena surga begitu manis! [O. Solihin ]sumber
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..