"Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh". (q.s. Ash-Shaff: 4)
Dimulai dari kader berkualitas.
“Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”
Sebuah soliditas adalah
keniscayaan dalam jamaah dakwah. Kita memerlukan energy untuk terus
membangkitkan semangat dan menghadirkan sosok-sosok pilihan yang mampu
memaknai peran tanpa kehilangan jatidiri sebagai aktifis pergerakan.
Kader yang senantiasa tegas dan lantang dalam menyuarakan perubahan demi
perubahan. Seperti Abu Ubaidah ibnul Jarrah yang tetap teguh menjaga
kepribadian. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bersabda memuji
Abu Ubaidah bin Al Jarrah, “Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan
orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”
Bagaimana sosok Abu
Ubaidah hingga mendapat pujian sebagai orang kepercayaan? Inilah rahasia
super murabbi yang hendak kami sajikan. Beberapa episode penting dalam
kehidupannya menjadi inspirasi bagi para murabbi untuk terus menempa
diri menghadirkan prestasi demi prestasi dalam setiap episode tarbawi
dan dalam setiap mihwar da’awi alias orbit dakwah.
Pada suatu hari Abu
Ubaidah dan beberapa tokoh kaum Quraisy lainnya pergi ke rumah keluarga
Al Arqam untuk bertemu secara langsung dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wa
Sallam. Oleh beliau, mereka ditawari masuk Islam, dan diperkenalkan
syari’at-syari’atnya. Dengan tekun dan tenang Abu Ubaidah mendengarkan
apa yang disampaikan oleh beliau. Diam-diam ia mencuri pandang wajah
beliau yang nampak sangat rupawan dan bercahaya. Jenggot yang tipis
menambah ketampanan beliau. Dan ketika mata Abu Ubaidah beradu pandang
dengan mata beliau yang sejuk, seketika ia langsung menunduk dan merasa
malu sendiri.
Begitu selesai
mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, Abu Ubaidah dan kawan-kawannya segera menyatakan beriman dengan
suka rela dan atas kesadaran sendiri, setelah Allah Ta’ala berkenan
membukakan hati mereka menerima Islam. Maka dalam waktu yang sama, Abu
Ubaidah dan kawan-kawannya sudah menjadi orang muslim.
Yang menarik dari
pribadinya adalah sikap-sikap bijaknya dalam mengatasi konflik. Mampu
menyelesaikan masalah-masalah pelik dengan strategi yang sangat cantik
dan unik.
Berjiiwa Besar dalam Perang Badar
Dalam perang Badar
menghadapi konflik batin yang sangat berat. Dia menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri, banyak para sahabat Nabi syahid di tangan ayahnya
sendiri. Terjadi konflik batin, antara membela sahabatnya atau memerangi
ayahnya. Dia harus mengambil keputusan. Dia harus bersikap tegas
mengatasi konflik itu, dia harus memerangi dan membunuh ayahnya yang
musyrik. Dia memenangkan keputusannya. Membunuh ayahnya. Dengan
tangannya. Sungguh sebuah medan konflik yang telah diselesaikan dengan
cantik.
Dia segera bisa
mengambil keputusan yang tegas. Ia lebih mementingkan membela imannya
kepada Allah dan mengutamakan akidahnya yang murni daripada menuruti
perasaannya sebagai seorang anak terhadap ayahnya. Tanpa ragu-ragu, dia
mendekati ayahnya. Segera melancarkan serangan yang mematikan ke tubuh
ayahnya, sebelum didahului oleh temannya sesama pasukan muslim. Dan
seketika ayahnya tewas di tangannya.
Momentum dalam Perang Uhud
Dalam perang Uhud.
Ketika pasukan orang-orang musyrik menyiarkan kabar bohong bahwa Nabi
saw telah terbunuh. Pasukan muslimin guncang. Putus asa. Kendor
semangatnya. Menyaksikan hal ini Abu Ubaidah segera menghampiri Nabi saw
yang sedang mendapat serangan yang sangat gencar. Bibirnya Nabi
terluka. Gigi depannya retak. Pelipisnya memar. Wajah berlumuran darah.
Luka. Tepat ketika di dekat Nabi, Abu Ubaidah melihat darah mengalir
deras dari wajahnya yang elok.
Berkali-kali dia segera
berupaya menyeka darah yang terus mengalir. Dia menanggalkan salah satu
gigi depan Nabi yang sudah retak dengan cara menggigit. Menggunakan
giginya. Tanpa peduli, sekuat tenaga dia tarik gigi depan beliau
sehingga akhirnya tanggal. Tentu saja hal ini menimbulkan rasa sakit
yang luar biasa pada beliau. Tak ayal, darah pun mengucur deras dari
mulut Nabi. Tetapi dia merasa senang karena bisa mengurangi rasa sakit
yang dialami oleh beliau. Itulah sisi lain Abu Ubaidah, berani mengambil
resiko terberat agar Rasulullah selamat.
Berhasil dalam Perang Dzatus Salasil
Ketika Rasulullah saw
mengutus Amru bin Ash dalam perang Dzatus Salasil, bersama 300 prajurit
kaum muslimin. Tatkala mereka mendekati kabilah-kabilah tersebut,
ternyata jumlah pasukan musuh amatlah besar. Amru bin Ash kemudian
meminta tambahan pasukan kepada Rasulullah saw untuk memperkuat skuad
pasukan kaum muslimin.
Rasulullah saw pun
mengutus Abu Ubaidah ibnul Jarrah bersama 200 pasukan tambahan. Di dalam
pasukan terdapat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasullah juga mengamanahkan
panji kepemimpinan pasukan kepada Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan
memerintahkan segera menyusul pasukan Amru bin Ash seraya berpesan agar
mereka bersatu padu dan tidak berselisih paham.
Ketika Abu Ubaidah tiba
bersama pasukannya dan hendak mengimami seluruh pasukan tersebut —karena
panji-panji kepemimpinan pasukan sebelumnya diserahkan oleh Rasulullah
saw kepadanya—, Amru bin Ash berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau
datang kemari untuk menambah pasukan yang aku pimpin. Dan aku adalah
komandan pasukan di sini.”
Bagaimanakah sikap Abu Ubaidah?
Abu Ubaidah mematuhi apa yang dikatakan oleh Amru bin Ash yang akhirnya memimpin pasukan kaum Muslimin dan meraih kemenangan.
Saudaraku, Abu Ubaidah
mampu memahami esensi pesan Nabi dan tetap menahan diri. “Hendaklah
kalian semua bersatu padu dan tidak berselisih paham.” Padahal jelas,
Rasulullah menyerahkan panji-panji kepemimpinan pasukan kepadanya,
mengapa dia tidak merebut kepemimpinan itu?
Mengapa dia mengalah?
Mengapa dia rela dipimpin oleh Amru bin Ash? Mengapa? Justeru di situlah
keunggulan integritasnya. Pemimpin sejati adalah yang siap memimpin
dirinya sendiri dan lebih mengutamakan soliditas dengan menjaga hubungan
daripada memenangkan situasi.
Melejit dalam Berbagai Situasi Sulit
Ketika Rasulullah wafat,
terjadi krisis kepemimpinan yang sangat sulit, menyulut konflik dan
hampir-hampir memecah belah umat. Kaum muhajirin memilih Abu Bakar, kaum
Anshar lebih memilih Sa’ad bin Mu’adz. Di tengah konflik inilah muncul
nama Abu Ubaidah. Dia yang dipersaudarakan oleh Nabi dengan Sa’ad bin
Mu’adz, tokoh puncak kaum Anshor. Sebenarnya ini sebuah pilihan yang
tepat untuk perekat umat. Ini ‘kan kesempatan emas untuk berbuat,
memberikan kontribusi penuh manfaat. Namun Abu Ubaidah melihat sesuatu
yang oleh orang lain tidak terlihat. Dia bertindak cepat, lalu berseru
dengan tawadhu,”Bagaimana kalian bisa mencalonkan aku, sementara di
tengah-tengah kalian ada seseorang yang lebih hebat?”
Dia merasa Abu Bakar
pilihan yang lebih tepat. Akhirnya Abu Ubaidah segera mengambil tangan
Abu Bakar untuk berbaiat padanya, diikuti oleh Umar. Umat pun
terselamatkan dari perpecahan. Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah.
Alhamdulillah.
Episode demi episode
dilalui Abu Ubaidah penuh dengan pilihan-pilihan sulit. Saat berperang
melawan Romawi di bawah pimpinan Heraklius, dalam kondisi terdesak dia
mengutus kurir menemui sang khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq di Madinah
untuk meminta pertimbangan. Khalifah mengirimkan pasukan tambahan dalam
jumlah yang sangat besar untuk membantu pasukan yang sudah ada, seraya
menginstruksikan:
“Aku mengangkat Khalid
bin Al Walid sebagai panglima untuk menghadapi pasukan Romawi di Syiria.
Dan aku harap kamu jangan menentangnya. Tetapi ta’atilah dia, patuhilah
perintahnya. Aku memang sengaja memilihnya sebagai panglima, meskipun
aku tahu kamu lebih baik daripadanya. Tetapi aku yakin dia memiliki
kelihaian perang yang tidak kamu miliki. Mudah-mudahan Allah selalu
menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.”
Abu Ubaidah menerima
perintah khalifah dengan lapang dada. Rela sepenuhnya. Dia sambut Khalid
bin Walid dengan suka cita. Dia serahkan tampuk kepemimpinan kepadanya
dengan sikap hormat. Khalid tahu, Abu Ubaidah seorang komandan yang
cerdas, berpengalaman, dan pemberani. Dia menunjuk Abu Ubaidah sebagai
komandan pasukan kavaleri. Lalu pasukan berangkat. Mengepung Damaskus.
Khalid bin Walid bergerak ke pintu gerbang kota sebelah timur, Abu
Ubaidah bergerak ke pintu gerbang daerah Jabiyah. Komandan-komandan yang
lain bergerak ke gerbang masing-masing.
Kekuatan pasukan kaum
muslimin berhasil mengepung kota yang sangat kuat tersebut dari segala
penjuru. Karena terus didesak, penduduk kota Damaskus berusaha melakukan
perlawanan dengan sangat gigih untuk mempertahankan kota mereka yang
tercinta. Di tengah keadaan yang sangat genting tersebut, ketika pasukan
kaum muslimin bertempur habis-habisan dengan pasukan Romawi, Umar bin
Khattab ra menemui Abu Ubaidah. Membawa kabar, Abu Bakar telah wafat.
Umar juga hendak memecat panglima Khalid bin Al Walid, mengembalikan
kepemimpinan kepada Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah
menyembunyikan berita duka agar tidak terdengar oleh pasukan kaum
muslimin yang sedang gigih bertempur di bawah komando panglima Khalid
bin Walid melawan pasukan Romawi. Dia khawatir berita kematian sang
khalifah Abu Bakar membuat suasana gempar sehingga kekuatan jadi buyar.
Bahkan surat Umar untuk pemecatan Khalid bin Al Walid dia tahan, mencari
waktu yang tepat benar. Sebab, mereka tengah menghadapi pasukan yang
sangat tangguh. Bahkan keadaan pasukan kaum muslimin sedang terdesak.
Abu Ubaidah tetap tegar dan tidak mau menyerah. Dia terus berjuang
habis-habisan. Dia merasa jika terus menerus mengepung kota Damaskus
yang sangat kuat, bisa menguras kekuatan pasukan kaum muslimin,
melemahkan semangat mereka, dan menimbulkan kebosanan. Akhirnya dia
mencari jalan keluar. Menawarkan gencatan kepada penduduk kota Damaskus.
Namun dalam waktu yang bersamaan Khalid bin Al Walid baru saja berhasil
mendobrak pintu gerbang kota sebelah timur sehingga dapat memasuki kota
tersebut dengan leluasa.
Abu Ubaidah dan Khalid
bin Al Walid lalu bertemu. Mereka terlibat perdebatan sengit tentang apa
yang harus dilakukan terhadap kota Damaskus, apakah ditaklukkan dengan
kekerasan atau memilih jalan damai, gencatan senjata?
Abu Ubaidah bersikukuh
menempuh jalan damai dengan penduduk Damaskus, sehingga Khalid bin Walid
pun luluh. Mengalah demi menghormati Abu Ubaidah yang terlanjur telah
mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Damaskus. Khalid bin Al
Walid tunduk patuh kepada Abu Ubaidah setelah mengetahui bahwa dirinya
sudah dipecat sebagai panglima oleh Umar bin Khattab, khalifah yang
baru.
Belajar Keulungan dari Abu Ubaidah
Mari kita belajar dari
salah seorang dari Sepuluh Orang yang Dijamin Surga, dialah Abu Ubaidah
ibnul Jarrah. Seluruh mozaik kehidupannya perlu kita telisik dengan unik
karena sosoknya mencerminkan kader pengokoh soliditas jamaah terutama
di saat sulit, dalam berbagai medan konflik dapat dilalui dengan cantik.
Kalau surga merindukannya tentunya ini pula yang menjadi obsesi kita.
Pertama, cepat merespon
kebaikan demi kebaikan sejak pertama kali bergabung bersama Islam.
Prestasi keislamannya dan berbagai peran unggulannya munculnya dari
tarbiyah yang paripurna. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (q.s. An-Nahl: 128)
Kedua, memiliki visi
yang kuat dalam berjamaah. Yakni keterikatan dia pada jamaah karena
ikatan visi, ikatan aqidah, keimanan, dakwah dan ukhuwah bukan karena
ikatan kepentingan berupa jabatan, gengsi popularitas maupun kenikmatan
duniawi yang sesaat. Medan konflik peran dan konflik batin mampu dilalui
dengan sangat manis karena orientasi rabbani benar-benar menghunjam
dalam diri.
Ketiga, mampu mengelola
perbedaan menjadi kekuatan dan mensinergikannya menjadi jalan kemenangan
demi kemenangan meski kemenangan tersebut bukan diatas namakan pada
dirinya. Dia mampu menahan diri untuk tidak begitu menyampaikan
berita-berita penting di saat-saat genting agar tidak menimbulkan
konflik yang meruncing. Seorang murabbi dan para pemimpin dakwah mesti
memiliki kecerdasan praktis seperti ini. Yakni kecerdasan untuk
mengetahui apa yang harus dikatakan kepada orang tertentu, mengetahui
kapan mengatakannya, tahu bagaimana mengatakannya untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. (Robert Sternberg – dalam buku OUTLIERS Malcolm
Gladwell)
Keempat, organisasi
adalah system dan sarana bukan tujuan. Dalam menjaga soliditas jamaah
dakwah Abu Ubaidah sangat peka merasakan betapa pentingnya menjaga
soliditas team dan keberlangsungan system karena adanya tujuan-tujuan
agung dakwah yang hendak diraih bersama.
Kelima, Selalu
berorientasi memberi. Bila setiap kader memiliki jiwa seperti Abu
Ubaidah kita akan merasakan atmosfer tarbiyah dan aura dakwah begitu
melimpah ruah karena para ikhwah adalah barisan orang-orang yang sadar
untuk memberikan kontribusi dalam perjuangan. Dan ini bisa dibangun dari
lima pilar kesadaran berorganisasi atau berjamaah dalam kemenyeluruhan
dakwah Islamiyah, yakni :
1. Individu bagian dari FUNGSI pencapaian TUJUAN.
2. Semangat MEMBERI mengalahkan semangat MENERIMA.
3. SIAP menjadi TENTARA KREATIF dalam bingkai KESETIAAN dan KETAATAN.
4. Berorientasi pada KARYA bukan POSISI
5. BEKERJASAMA walaupun BERBEDA
(M. Anis Matta, Dari GERAKAN ke NEGARA)
Bukan Menuntut tapi Memulai…
Soliditas itu dimulai
dan dibangun dari dalam diri setiap kader dakwah, murabbi dan murabbiyah
secara sadar. Sebab kebanyakan orang keluar dari organisasi –menurut
Azim Premji Milyuner Muslim dari India—bukan karena tidak cinta kepada
organisasinya namun karena manajemen yang buruk. Nah, kader-kader dakwah
yang clear, care and competence mesti menjadi pelopor kebaikan dalam
diri dengan mampu menjaga quwwatush shilah billah yang terimplementasi
dalam ranah ukhuwah dari tataran dasar salamatush shadr hingga puncak
itsar.
Inilah cara sehat untuk
sehat. Kita sehat kalau berpikir untuk memberi manfaat kepada orang lain
dan kita mudah lelah dan sakit bila hanya memikirkan kepentingan diri
sendiri. Saat kita memberikan yang terbaik, sesungguhnya kebaikan itu
akan kembali kepada kita juga.
Saudaraku, mari kita
membentuk diri dengan spirit keulungan seorang murabbi sejati. Super
murabbi didikan Rasulullah. Abu Ubaidah yang mampu mengelola konflik
demi konflik dengan apik. Bukan untuk kebesaran dirinya tapi untuk
kemenangan bersama. Kemenangan besar. Itulah yang mensurgakan perannya,
yang mengangkat kebesaran jiwanya. Keunggulan dalam ketawadhu’an.
Ketegasan dalam kesabaran.
Dibutuhkan kesabaran
yang super seperti Abu Ubaidah untuk bisa meraih kemenangan yang besar.
Kesabaran untuk kebesaran. Itulah cara mengelola sikap optimisme agar
menjiwa, mendarahdaging, mensumsum tulang dalam berpikir menang.
Kemenangan di alam jiwa, kemenangan di alam nyata.
Begitulah hidup. Lebih
bermakna bila fokus pada kualitas tanpa meremehkan kuantitas. Adapun
bila kualitas bergabung dengan kuantitas tentu akan menjadi kekuatan
super dahsyat. Seperti kejeniusan pikiran seorang pemimpin, bersarang
dalam hati yang ikhlas, tegak di atas fisik yang kuat, dan tampak dalam
kemuliaan akhlak.
Semoga kita bisa
mewujudkannya… dan itu dimulai dari dalam diri setiap ikhwah,
kader-kader dakwah dan tarbiyah. Ya Ayyuhalladziinaa aamanuu
intanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.
—–
Solikhin Abu Izzudin
dari Buku Super Murabbi
Sumber :
http://www.pkskelapadua.com/2014/05/membangun-soliditas-dengan-kader.html
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..