Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Ketampanan Paras Berbalut Keelokan Pekerti

Fir'adi NasruddinAllah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا ۚقُلْ مَا عِنْدَ الَّهِ خَيْرٌ مِنَ الَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۚوَالَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11).

Saudaraku,

Ketika itu paceklik menyelimuti kota Madinah. Jum’at di suatu siang, cuaca terik membakar kulit menyapa kota Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Waktu Zuhur telah masuk, seperti biasa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan khutbah di hadapan para sahabatnya. Sementara para sahabat mendengarkannya dengan seksama, mengikuti alur ajaran dan nasihat yang disampaikan oleh sang guru besar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Tiba-tiba suasana menjadi gaduh. Satu persatu sahabat meninggalkan khutbah dan berebut untuk keluar dari masjid. Bahkan Jabir bin Abdillah sebagaimana tersebut dalam riwayat Muslim, ia berkata, “Tiada sahabat yang tetap setia mendengarkan khutbah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan hanya dua belas orang saja, aku (Jabir), Abu Bakar dan Umar termasuk dari mereka yang tetap berada dalam ruangan masjid.”

Tetapi beliau tetap meneruskan khutbahnya. Beliau memperingatkan para sahabatnya seraya bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sekiranya kalian satu persatu meninggalkan khutbah, sehingga tiada tersisa seorang pun yang tetap tinggal di tempat ini, niscaya kalian akan binasa terbakar api neraka.” (HR. Ibnu Hibban dan Abu Ya’la).

Di luar masjid, tabuhan rebana bergema. Apa pasal? keramaian di luar adalah merupakan sambutan meriah untuk seorang sahabat yang baru datang dari negeri Syam dengan membawa barang dagangannya. Mulai dari gandum, tepung dan segala keperluan sehari-hari. Dan memang Madinah hari-hari itu sedang dilanda kekeringan dan kekurangan makanan serta harga-harga yang melambung tinggi dikarenakan langkanya persediaan sembako. Dagangan itu adalah milik saudagar kaya dan pemilik wajah tampan di Madinah kala itu. Dia adalah Dihya bin Khalifah al-Kalbi. Sabahat mulia yang selalu disambut kedatangannya oleh keluarganya dengan tabuhan rebana, seperti disebutkan al-Qurthubi dalam tafsirnya “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”.

Saudaraku,

Peristiwa inilah yang menyebabkan turunnya ayat 11 dari surat al-Jumu’ah: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu yang sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dari pada permainan dan perniagaan,” dan Allah sebaik-baik pemberi rezki.”

Itulah Dihya al-Kalbi, seorang sahabat yang tercatat dalam sejarah sebagai saudagar kaya di samping saudagar terkenal lainnya; Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Namun nama Dihya memang jarang disebut, tidak sesering Utsman dan Abdurrahman bin Auf. Ketiganya adalah saudagar yang memiliki bisnis Internasional; ekspor-impor Madinah, Syam dan Yaman.

Untuk itulah bukan sekali Dihya mengadakan perjalanan ke luar negeri untuk menjalankan bisnisnya. Dihya selalu ingat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perjalanannya ke luar. Berkali-kali Dihya membawakan oleh-oleh khusus buat Nabi. Seperti yang dia tuturkan, “Aku baru datang dari Syam, aku membawakan oleh-oleh buat Nabi berupa buah, kacang, fustuk dan kue.”

Pada kesempatan lain Dihya membawakan sandal dan sepatu buat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan beliupun memakai sandal dan sepatu itu hingga rusak dan sampai tidak layak pakai lagi. Beliau menghargai pemberiannya dengan selalu memakai sandal dan sepatu tersebut. Bukan itu saja, bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menghadiahkan sesuatu untuk Dihya. Seperti budak Qibtiyah dari Rasulullah untuk Dihya.

Itulah praktek nyata dari anjuran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Saling bertukarlah hadiah karena ia akan mengukuhkan kasih sayang di antara kamu.” (HR. Bukhari dalam kitab “Al-Adab Al-Mufrad dan imam Malik).

Saudaraku,

Kesibukannya mengelola bisnis tidak menghalangi Dihya untuk berkontribusi terbaik bagi perjunagn Islam dan kaum muslimin. Dihya tidak pernah absen dari peperangan yang terjadi di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali perang Badar saja. Sementara sisanya ia selalu mengikutinya. Bahkan peperangan sengit saat menaklukkan Yahudi di benteng pertahanan mereka yang terakhir, yaitu di Khaibar tahun ke 7 H, juga diikuti oleh Dihya. Dalam peperangan itu Dihya mendapat bagian tawanan perang yaitu Shafiyah bin Huyay. Setelah Dihya mendapatkannya ada seorang sahabat yang mengatakan bahwa Shafiyah tidak layak diberikan untuk Dihya, tetapi hanya layak diberikan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka sebagai ganti dari kekecewaan Dihya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menukar seorang Shafiyah yang kemudian diperistri oleh beliau dengan tujuh orang budak.

Dengan demikian, Dihya adalah seorang saudagar sekaligus mujahid. Tentunya ini jarang terjadi. Karena saudagar biasanya identik dengan gelimang harta kekayaan, yang membuat seseorang takut mati. Dihya tahu bagaimana harus bersikap terhadap hartanya, sehingga hartanya tidak merusak keimanan dan jihadnya.

Saudaraku,

Selain memiliki harta yang berlimpah dan bisnis yang maju, Dihya juga diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kelebihan yang tidak dimiliki oleh sahabat lainnya, yaitu ketampanan wajah dan keelokan paras. Untuk itulah Jibril a.s sering meminjam wajahnya, jika datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bentuk menyerupai seorang laki-laki.

Para sahabat melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama Dihya. Mereka tidak tahu bahwa yang bersama beliau sejatinya adalah Jibril a.s dan bukan Dihya. Sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri mengakui ketampanan Dihya, “JIbril datang kepadaku dengan meminjam wajah Dihya al-Kalby, dan Dihya adalah seorang lelaki yang sangat tampan,” kata beliau.

Kedatangan Jibril a.s dengan wajah Dihya diketahui oleh sahabat dalam kesempatan yang berbeda-beda. Suatu saat Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata, “Ya Rasulullah, aku lihat engkau baru saja berbincang-bincang sambil berdiri bersama Dihya al-Kalbi.” Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Apakah memang demikian yang kamu lihat?,” “Ya,” jawab Aisyah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Yang baru saja kamu lihat adalah Jibril, dia menyampaikan salam untukmu.” Aisyah berkata, “Wa alaihis salam warahmatullah.”

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha juga pernah melihat Jibril ‘Alaihi Salam dalam bentuk Dihya. Ia menuturkan, “Suatu hari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbincang-bincang dengan seseorang.” Ketika orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghampiriku dan bertanya, “Tahukah kamu siapa yang baru saja bersamaku?,” aku menjawab, “Dihya al-Kalbi.” Aku tidak tahu kalau sebenarnya yang datang itu adalah Jibril Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali setelah aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita tentang obrolan kami kepada para sahabatnya.”

Selain kedua istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini, ada juga beberapa orang sahabat yang sempat melihat Jibril a.s dalam bentuk wajah Dihya. Seperti yang terjadi menjelang keberangkatan para sahabat menuju perkampungan Bani Quraidzah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah baru saja ada orang yang lewat?,” para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah, yang baru saja lewat adalah Dihya bin Khalifah al-Kalbi, yang mengendarai kuda berwarna putih. Di atas kudanya ada pelana yang dilapisi oleh kain yang terbuat dari sutera.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Itu tadi adalah Jibril yang diutus untuk mendatangi kaum Yahudi bani Quraizhah untuk menggetarkan benteng-benteng mereka dan membuat mereka takut.”
Dihya dengan segala kesibukan dan kelebihannya itu, ternyata masih menyimpan keahlian berdiplomasi. Maka kepergiannya suatu kali ke Syam, bukan saja membawa barang dagangan. Tetapi ia mendapat tugas besar untuk menyampaikan surat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kaisar Romawi (Heraklius). Surat yang berisi ajakan untuk memeluk Islam kepada kaisar yang memerintah salah satu negara super power kala itu.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirim surat ke berbagai penguasa. Dan tentunya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mempunyai pandangan dan pilihan yang tepat terhadap para sahabat yang cocok untuk menyampaikan surat itu, dilihat dari berbagai sudut. Sudut kemampuan berdiplomasi, sudut penguasa yang akan dihadapi dan seterusnya. Dan untuk menghadapi tipe kaisar, memang Dihya-lah orang yang paling pantas untuk menjalankan tugas mulia ini. Ternyata kaisar mengakui kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kalaulah bukan karena gengsi sebagai seorang pemimpin besar, pastilah dia sudah mengikrarkan dua kalimat syahadat.

Dihya menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 45 H, ketika kaum muslimin saat itu dipimpin oleh khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a.

Saudaraku,

Mari kita urai buah pelajaran dan pengajaran yang dapat kita petik dari kisah sahabat yang dikenal dengan ketampanan wajahnya ini.

Pertama, walau Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sebagian sahabat memilih untuk hidup miskin (baca; sederhana), karena lebih cepat membuka jalan ke surga. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Orang-orang yang miskin itu lebih dahulu masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan jarak lima ratus tahun.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasa’i).
Tetapi bukan berarti kekayaan akan menutup jalan ke sana. Bahkan ada pintu-pintu surga yang harus dibuka dengan kekayaan. Seperti pintu infaq, sedekah dan zakat, hanya bisa dibuka dengan harta. Maka Dihya adalah sahabat yang lebih memilih jalan kekayaan untuk membuka pintu surga.

Kedua, iman dan kualitas amal shalih sebagai mahar mempersunting bidadari di surga. Tidak semua orang kaya akan masuk neraka dan tidak pula semua orang miskin dijamin masuk surga. Begitu pula sebaliknya. Yang harus kita hindari adalah kekayaan yang melalaikan atau kemiskinan yang menjerumuskan. “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kehormatan dan kekayaan,” demikianlah do’a Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam berbagai kesempatan, terdapat dalam shahih Muslim.

Ketiga, perhatian dan ketulusan cinta hendaknya kita berikan kepada para da’i di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Salah satu bukti perhatian dan ketulusan cinta kita kepada mereka adalah memberi buah tangan pada momen-momen tertentu, seperti sewaktu kita pulang dari bepergian.

Keempat, paras yang elok dan ketampanan wajah tidak akan berarti apapun, jika tidak dihiasi dengan keindahan akhlak. Bahkan wajah rupawan bisa melemparkan si empunya wajah ke dalam neraka, bila ia tidak sadar bahwa hal tersebut merupakan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kelima, menjadi orang istimewa di mata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak harus menjadi orang yang kesohor di hadapan publik. Tapi karya nyata, dan kontribusi maksimal yang dapat kita persembahkan untuk kemenangan Islam dan kaum muslimin itulah yang menjadi parameternya. Tentunya setelah iman yang mengagumkan.

Saudaraku,

Sanggupkah kita menjadi Dihya al-Kalbi di zaman kita ini?. Bukan ketampanan wajahnya. Tapi kesuksesan dunia yang menginspirasi keberuntungan di akherat sana. Semoga kita mampu memadukan dua kesuksesan tersebut. Amien. Wallahu a’lam bishawab..

Metro, 14 Januari 2016
Fir’adi Abu Ja’far

Lengkapnya Klik DISINI

Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Itu Bisa Ditoleransi

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

 khilafiyah
Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”. Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.

Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.

Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’

Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )

Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para salaf. Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي

“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)

Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.

Pendapat Ulama Bukan Dalil

Para ulama berkata:

أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها

“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Abu Hanifah berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal berkata:

لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

Imam Asy Syafi’i berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang  masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At Taimi berkata,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)

Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.

Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi

1. Qunut Subuh

Pendapat pertama: hukumnya sunnah.

Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

    Hadits Bara’ bin ‘Adzib:

    أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ، وَالْمَغْرِبِ

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib” (HR. Muslim 678)

    Hadits dari Muhammad bin Sirin:

    سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقِيلَ لَهُ: أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ؟ قَالَ: «بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا»

    “Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)

    Hadits Anas bin Maalik:

    قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ: عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)

    Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq (3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat subuh, selesai membaca surat beliau membaca doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’ (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)

    Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)

Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Daud Rahimahumullah.

Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

    Hadits Anas bin Maalik:

    قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ: عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)

    Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.

    Hadits Abu Hurairah:
    “Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ pada raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:

    اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ

    Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf “ (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)

    Hadits Abu Malik Al Asyja-’i

    عَنْ أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إنَّهَا بِدْعَةٌ } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

    “Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

    Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad shahih:

    سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال : ما شعرت ان احدا يفعله

    “Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)

    Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106).

    Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).

Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.

Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

 khilafiah

2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam
Pendapat pertama: haram

Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:

    Hadits Jabir bin Abdillah:

    أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ»

    “Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam’” (HR. Muslim, 2102)

    Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

    يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ، كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ، لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

    “Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR. Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.

Pendapat kedua: makruh
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:

    Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)

    Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium wangi surga bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah ciri kebanyakan mereka.

    Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam

    Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan  menyemir rambut dengan warna hitam

Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.

Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.

Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi

1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali
Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

    Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

    لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

    “Tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ 7555)

    Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

    أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَل بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَل مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

    “Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita berhak atas maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini tidak memiliki wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1840)

    Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

    لاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا

    “Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhis 3/157)

Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita tidak boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.

2. Bid’ahnya Doa Istiftah
Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

    Hadist dari Abu Hurairah:

    كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره

    “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)

    Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:

    بينما نحن نصلي مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذ قال رجل من القوم: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء “. قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ذلك

    “Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR. Muslim 2/99)

Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan banyak dalil syar’i. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam Malik. Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.

3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi

As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau pemahaman para salaf, kecuali hadits–hadits dha’if, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i yang fundamental, diantaranya:

    Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:

    أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

    “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)

    Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

    مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

    “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)

    Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan

    Para ulama bersepakat atas kaidah:

    لا قياس ف  إثبات العبادة

    “Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”.
    Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah aqidah. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.

    Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah

    Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini bukan ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.

    Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling dahulu memulainya. Karena merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling cinta terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

    Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan Maulid Nabi

    Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat merayakan Maulid Nabi

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi walaupun memang khilafiyah.

Wabillahi At Taufiq Was Sadaad

Lengkapnya Klik DISINI

Perilaku Anak ketika dekat Ibunya


Hasil gambar untuk GAMBAR anak anak 
MENGAPA ANAK-ANAK SUKA BERPERILAKU LEBIH BURUK KETIKA IBUNYA BERADA DI DEKATNYA? - Jawabnya akan membuat kita sedikit merasa berbeda tentang air mata (tangisan) dan amukan (tantrum). Akhirnya kita mendapatkan jawaban untuk pertanyaan ini, dan itu ternyata adalah sesuatu yang baik. Bagi seorang ibu sebaiknya tidak melewatkan ini. Alasan mengapa anak-anak ibu bersikap lebih buruk ketika para ibu mereka berada di sekitarnya? Ini sederhana. Jika anak anda bertindak lebih buruk di depan ibunya itu berarti bahwa anda (seorang ibu) sudah menjadi ibu yang baik, dan telah melakukan pekerjaan sebagai ibu dengan benar. Sebagai seorang ayah, saya tahu persis bagaimana anak-anak selalu dalam perilaku terbaiknya ketika mereka sedang bersama ayahnya. NAH.. drama dimulai ketika ibunya datang. Lalu mengapa mereka selalu bertindak lebih buruk di depan ibunya? Setelah kami membaca postingan menakjubkan dari Kate Surfs, kami sangat menyukainya, kami merasa begitu banyak yang ingin kami bagi dengan kalian semua. Jadi begini. Alasan mengapa anak-anak cerderung bersikap buruk ketika ibu mereka berada di sekitarnya. Ini sebuah teori yang indah, yang akan membuat kita semua merasa sedikit berbeda membuat kesimpulan tentang rengekan, air mata dan amukan, saya yakin: Karena ANDA-ANDA (para ibu) adalah tempat yang aman. ANDA adalah tempat mereka bisa datang dengan semua masalah mereka. Jika Anda tidak dapat membuat sesuatu yang lebih baik, maka siapa lagi yang bisa? (menurut mereka). Jika anak sudah berada dalam situasi yang tidak menyenangkan sepanjang hari, kemudian mereka melihat anda (ibu) datang, mereka tahu, akhirnya inilah waktu untuk melepaskan beban itu. Itu berarti melepaskan apapun, MERENGEK, MENAGIS, dll. Lelah setelah seharian dari tempat kerja, tapi itulah pekerjaan ibu. Berikan pada mereka ekspresi tanpa hambatan, dan jadilah tempat nyaman untuk pelepasan emosional baku mereka. Anda (ibu) belum sempat meluruskan kaki, jangan terkejut jika anda akan disambut di pintu dengan rengekan dan jeritan. Luar biasa, pada moment ini anda (ibu) telah menciptakan ruang yang cukup aman untuk anak-anak, dan membiarkan mereka memiliki izin menjadi ALAMI. Dan, dengan cara itu BENAR-BENAR-BENAR penting bagi anak-anak untuk menjadi alami dengan perasaan mereka, emosi mereka dan fungsi tubuh mereka. Ketika mereka tumbuh, kita pasti ingin anak-anak kita memiliki kecerdasan yang sangat berfungsi kan? dan tampa hambatan emosional yang berarti kan? JADI... anggaplah sikap buruk anak-anak itu sebagai pertanda baik. Semua karena anak-anak mencintai anda (ibu), mereka sudah menyimpannya selama seharian hanya untuk seorang ibu. CLEAR!

*Copas Fb
Lengkapnya Klik DISINI

“Aku Masih Bisa”

Hasil gambar untuk gambar jangan menyerah 
Jangan menyerah. Jangan berhenti. Jangan mengeluh. Sebaliknya, tanamkan dalam diri kita, “aku masih bisa!”. Dunia memang tak seindah mimpi (kecuali mimpi seram kali ya?). Tapi bukan berarti kita harus mengutuki nasib kita di dunia bila tak sesuai keinginan dan harapan kita. Jalani aja apa adanya. Sembari berusaha dan berdoa untuk menjadi lebih baik. Kesulitan hidup bukan untuk ditakuti, tapi untuk dihadapi. Kehilangan keberanian untuk hadapi hidup, justru saat itulah kita sudah kalah. Sekalah-kalahnya. Iya dong. Setiap orang yang tak berani hadapi kenyataan hidup, sejatinya sudah kalah di ronde pertama gerbang kehidupan. Kita lahir ke dunia ini sudah jadi pemenang dan tentunya Allah Ta’ala sudah memberikan kita bekal yang cukup untuk jalani kehidupan di dunia.

Apa yang bisa dibanggakan lagi dari seseorang yang sudah kehilangan motivasi dalam hidupnya? Kehilangan harta masih bisa dicari jika motivasi alias niat untuk mencarinya masih ada. Tapi jika sudah kehilangan motivasi dalam hidup? Maka yang terjadi adalah bisa kehilangan semuanya. Tetaplah jaga niat dalam berbuat. Motivasi terbesar sebagai muslim dalam mengerjakan amal shalih dan perbuatan lainnya adalah menggapai ridho Allah Ta’ala. Itu sebabnya, cara melakukannya juga wajib sesuai yang Allah Ta’ala ridhoi. Proses itu penting setelah niat dilakukan. Sebab, akan menentukan hasilnya. Jika proses yang dijalani keliru, hasilnya juga keliru. Benar prosesnya, maka hasilnya juga benar.

Coba kita lihat bayi yang baru lahir. Ia hanya bisa menangis. Mungkin kaget. Sebab, selama di dalam rahim ibunya dia merasa tenang. Tak banyak tantangan. Allah Ta’ala siapkan tubuhnya, membuatkan ‘software’ untuk berpikir dan berperasaannya, sehingga cukup untuk jalani kehidupan di dunia di luar rahim ibunya. Begitu seorang bayi lahir ke dunia dari rahim ibunya, dimulailah babak baru kehiduan yang akan ia jalani di dunia. Belantara yang belum ia kenal. Ada baik ada buruk. Arena yang berlapis-lapis ujiannya, tantangannya, rintangannya, kesenangannya, kesedihannya dan segalanya. Manusia harus mampu menghadapi semuanya dengan penuh kehati-hatian, waspada, cukup ilmu, cukup tenaga, wawasan, kemampuan mengolah pikir dan rasa, serta pandai memanfaatkan kesempatan agar bisa selamat dari ujian tersebut dan berhasil melaluinya dengan maksimal dan menjadikannya mulia. Agar kehidupan setelah dunia pun bisa diraih dengan mendapat tempat yang layak, yakni surga.

Sobat, kalo saat ini kita menghadapi berbagai macam ujian dan rintangan dalam hidup dan dakwah, jangan menyerah. Katakan bahwa “aku masih bisa!”. Jangan kalah sama bayi. Dulu kita juga pernah jadi bayi. Bayi yang normal dan sehat pasti akan tumbuh dan berkembang. Tadinya belum bisa tengkurap sendiri. Ia mencobanya. Gagal. Coba lagi. Terus begitu hingga akhirnya bisa dengan mudah tengkurap. Kemudian ia belajar untuk balik ke posisi terlentang. Gagal. Coba lagi. Terus dan begitu hingga berhasil. Selanjutnya, ketika ia merasa sudah bisa dua posisi itu, ia mencoba untuk merangkak. Proses yang sama, yakni mencoba dan gagal. Terus begitu hingga berhasil. Setelah bisa merangkak, ia akan mencoba duduk. Itu pun dengan proses yang hampir sama, trial and error. Tapi karena terus mencoba akhirnya berhasil duduk. Setelah duduk ia mencoba untuk berdiri. Ia mulai menaiki tempat yang agak tinggi. Mulai berani manjat untuk mencari pegangan agar mampu mengangkat berat tubuhnya. Meja, kursi, dan apa saja yang lebih tinggi dari tubuhnya dijabanin demi bisa berdiri. Setelah berhasil, ia mencoba melangkahkan kaki. Tapi karena ia berani untuk mengambil risiko, meskipun jatuh saat mencoba berjalan, tak segan mencoba lagi. Proses itu berulang kali dijajalnya, hingga akhirnya berhasil berjalan. Kalo udah bisa jalan, lari bukan halangan. Kadang reflek kalo udah ngerasa lancar melangkah.

Kita sudah dewasa. Kemampuan dasar kita sudah lengkap. Memang, waktu bayi juga bukan berarti kita bisa dengan sendirinya. Nggak juga. Waktu bayi kita perlu bantuan orang di sekitar kita. Kita waktu bayi dan bayi lainnya diarahkan dan dilatih untuk bisa melakukan berbagai gerakan. Aspek motoriknya dilatih sedemikian rupa hingga akhirnya bisa berbagai keterampilan. Selain itu diajarkan juga etika atau adab. Dari hari ke hari dan dari pekan ke pekan, bulan demi bulan, dan bertahun-tahun kita jalani hidup pastinya makin “mateng” dengan pengalaman. Makin banyak wawasan. Entah berapa ratus cerita yang bisa direkam dan dikenang kembali. Kita menjadi orang yang sebenarnya bisa menjalani kehidupan ini. Lengkap dengan segala risikonya.

Ya, siap menjalani kehidupan berarti berani mengambil risiko yang akan muncul dari jalan yang kita pilih. Allah Ta’ala sudah menyiapkan bahwa kita mampu melakukannya sesuai kapasitas kemampuan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita. Itu sebabnya, nggak ada alasan kan untuk mengeluh terus menerus? Hehehe.. kalo sekali atau dua kali mengeluh nggak apa-apa. Manusiawi kok. Tapi ingat lho, jangan keterusan. Ayo segera bangkit. Cari tahu penyebab kegagalanmu, dan temukan jalan keluar untuk mengatasinya. Kita insya Allah terlatih untuk hadapi tantangan. Tubuh kita sudah mulai kuat untuk hadapi tekanan fisik. Pikir dan rasa kita juga sudah terbiasa menghadapi kenyataan hidup: sedih-gembira; kecewa-bahagia; menang-kalah; benci-cinta; rindu-dendam; berani-takut; dan segala rasa lainnya.

Jangan menyerah dan jangan sampe mengeluh terus menerus tanpa berbuat untuk mengubah kondisi. Anak ngaji dan aktivis dakwah juga manusia. Pasti mengalami masa-masa sulit. Kekurangan materi, dijauhi orang terdekat karena kita dianggap berubah setelah ngaji, orang tua bercerai, jamaah dakwah rame-rame menolak kehadiran kita, umat menolak dakwah kita, dan seabrek masalah yang membuat kita sedih. Tapi yakinlah, kita masih bisa untuk mengatasinya. Percayalah. Selama Allah Ta’ala bersama kita, dan kita yakin Dia akan menolong, tak ada alasan untuk cemas apalagi putus asa. Alah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad [47]: 7)

Sobat, perlu kita renungkan juga adalah usia kita yang mulai beranjak dewasa, semoga juga diiringi dengan pikiran dan perasaan sebagai orang dewasa. Jangan sampe deh body-nya udah dewasa tapi pikirannya masih kayak bocah. Biasanya sih, sudah sedewasa ini kita tentunya banyak mendapat pelajaran hidup langsung. Orang tua tentu punya waktu lebih banyak merasakan asam-garam kehidupan. Tapi yang terpenting, hidup kita tetap berguna meski umur tak sampai panjang. Tua itu pasti, tapi dewasa adalah pilihan. Banyak kok orang tua tapi pikiran dan perasaannya nggak pernah dewasa. Hidupnya masih aja kayak anak-anak. Ngumbar nafsu dan amarah tak terkendali. Sementara keimanan dan takwanya makin kendor. Lha, kacau banget kan? Tua-tua keladi tuh. Makin tua makin menjadi-jadi—jeleknya. Itu kalo dalam ungkapan bahasa Sunda, “Huntu geus ungger, tapi kalakuan angger” (gigi sih udah pada lepas, tapi kelakuan masih aja nggak berubah—jeleknya). Maksudnya udah tua tapi tetap aja nggak berubah. Umumnya orang udah tua itu salah satu tandanya giginya udah pada ompong.

Sebagai muslim, kita nggak hanya memikirkan kehidupan diri sendiri, lho. Kita juga harus memikirkan orang lain. Mulai dari orang terdekat di antara kita (keluarga dan teman), juga seluruh kaum muslimin. Memikirkan untuk mengajak mereka kepada kebaikan dan menegakkan kebenaran Islam. Tentu saja, upaya untuk mewujudkannya perlu semangat, motivasi dan tujuan yang benar dan jelas agar hasil yang didapat bisa memberikan manfaat dan barokah untuk semuanya. Selain itu, dalam menegakkan kebenaran ini, kita harus ekstra sabar, Bro. Allah Ta’ala menjelaskan dalam firmamNya (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah [2]: 153)

So, tetap tenang, sabar, syukur, dan terus berjuang tanpa lelah. Hadapi risiko, jangan mengeluh dan jangan menyerah. Masih bisa kok untuk bertahan dan mencari solusi. Asalkan tetap jaga niat, tetap istiqomah, dan maksimalkan ikhtiarnya serta iringi dengan doa tulus berharap keridhoan Allah Ta’ala dan kebaikan yang akan didapat agar menjadi barokah untuk semuanya. Meski ada cobaan pahit dan rintangan berat menghalang, tetaplah melaju. Lagian kenapa sih cobaan ini terasa begitu pahit? Ya, karena surga begitu manis! [O. Solihin ]sumber

Lengkapnya Klik DISINI

Memperluas Jaringan Lembaga Dakwah

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Ilustrasi (inet)Pada setiap lembaga dakwah memperluas jaringan merupakan suatu keniscayaan. Kita mengetahui bahwa jaringan akan membantu gerakan kebaikan menjadi lebih massif dan efektif. Kita juga memahami bahwa lembaga dakwah memiliki kekurangan yang bisa dilengkapi oleh lembaga lain, maka dari itu posisi mempertemukan dua institusi antara institusi dakwah dan institusi yang berkaitan dengan nya menjadi hal penting untuk kita fokuskan agar kebaikan bisa diterima dengan baik oleh objek dakwah.
Selama ini lembaga dakwah dengan berbagai jenjang klasifikasi sudah memiliki jaringan nya masing-masing, setidaknya lembaga dakwah mempunyai relasi regional dan nasional dengan FSLDK Indonesia atau setingkat fakultas. Jika belum bergabung dengan forum ini, maka disarankan untuk segera bergabung, hehe kebangetan kalo belum gabung.

Satu aspek penting analisis jaringan adalah bahwa analisis ini menjauhkan sosiolog dari studi tentang kelompok dan kategori sosial dan mengarahkannya untuk mempelajari ikatan dikalangan dan antar aktor yang “tak terikat secara kuat dan tak sepenuhnya memenuhi persyaratan kelompok“. (Wellman, 1983:169). Contohnya telah di ungkapkan dalam karya Granoveter (1973:1983) tentang “ikatan yang kuat dan lemah” Granoveter membedakan antara ikatan yang kuat, misalnya hubungan antara seorang dan teman karibnya, ikatan yang lemah, misalnya hubungan antara seorang dan kenalannya. Berbeda dengan para sosiolog yang menganggap hubungan yang lemah itu tidak penting, Granoveter menjelaskan bahwa ikatan yang lemah bisa menjadi sangat penting. Contoh, ikatan yang lemah antara dua aktor dapat membantu sebagai jembatan antara dua kelompok yang kuat ikatan internalnya. Tanpa adanya ikatan yang lemah seperti itu, kedua kelompok mungkin akan terisolasi secara total dan dapat berakibat system sosial semakin terfragmentasi. Tanpa ikatan yang lemah, seorang individu dapat merasa dirinya terisolasi dalam kelompok yang ikatannya sangat kuat dan akan kekurangan informasi tentang apa yang terjadi di kelompok lain maupun dalam masyarakat luas.

Mungkin salah satu kriteria aktivis dakwah yang dicalonkan menjadi Ketua/Pengurus Inti/Pengurus Harian adalah bagaimana sosok dia bisa diterima oleh publik. Penerimaan publik menjadi poin penting juga di luar poin lainnya seperti pemahaman agama, kapasitas kepemimpinan, mengenal medan dakwah, kapasitas finansial dan dukungan keluarga, dan sebagainya. Saya pernah mendapat bocoran dari salah satu peserta musyawarah suksesi ketua FSI (harusnya ga boleh dibocorin ini, hehe) bahwa saya dipilih menjadi ketua FSI karena memiliki penerimaan publik yang cukup baik. Yaa mungkin orang internal dan eksternal melihat saya orangnya supel dan asyik aja. Padahal calon ketua FSI lainnya, pemahaman dakwahnya bagus, ganteng, tajir pula, hehe kurang apa coba (kurang nikah kali ya, #piss). seperti yang dibilang Granoveter, bisa dibilang peserta musyawarah suksesi melihat saya memiliki ikatan lemah dan kuat.

Ikatan lemah yang dimaksud di sini adalah saya memiliki kenalan mahasiswa, minimal seangkatan di FISIP, setiap jurusan (kecuali Sosiologi) saya memiliki kenalan minimal 5-10 orang lah. Kenal tapi tidak dekat. Ikatan lemah ini juga memiliki fungsi yang sangat penting menghubungkan saya atau FSI kepada individu atau lembaga lain yang bisa berkolaborasi bersama. Ikatan kuat, saya tafsirkan pada pengenalan medan FISIP dan FSI. Memang secara track record di SMA, saya pernah di Sie Rohani Islam (SRI) SMAN 13 Jakarta sebagai staf pembinaan, ketua komisi aspirasi dan humas MPK, dan Sekretaris PRAGALAS (Pramuka Gaya 13). Ketika masuk FSI tahun pertama, menjadi staf pembinaan juga, lalu tahun kedua jadi Ketua FSI. Berada di lingkungan FSI, tidak membuat saya ‘canggung’ atau culture shock terhadap budaya internal FSI, tetapi dengan pengalaman yang pernah dienyam di SMA, adaptasi sih pun sangat cepat. Saya kenal hampir seluruh pengurus FSI yang jumlahnya 98 dan mengikuti hampir semua acara yang diselenggarakan FSI. So, secara individu saya memiliki ikatan yang kuat di FSI dan ini dilihat oleh para peserta musyawarah.

Ikatan lemah dan kuat ini harus dikelola dengan baik oleh ketua/pengurus LD agar bisa menjalin hubungan dengan institusi lain karena kita tidak tahu yang akan memberikan jaringan institusi kepada kita, apakah dari lingkungan terdekat atau lingkungan terjauh. Hal yang bisa dilakukan LD, pertama melist jaringan apa saja yang dibutuhkan, misalnya media, tokoh nasional, lembaga pemerintahan, lembaga kemahasiswaan, pejabat kampus, ormas, LSM, BUMN, lembaga kemanusiaan, lembaga internasional, dan sebagainya. Kedua, daftar prioritas jaringan sesuai dengan agenda dakwah selama 5 tahun ke depan. Ketiga, cari info dari orang terdekat atau ‘dekat biasa aja’, datangi sasaran institusi dan maintenance sebaik-baiknya. Keempat, jalin kerjasama melakukan agenda kebaikan.
Yuk Mulai Perluas Jaringan!
Salah satu tujuan didirikannya Salam UI (MMS, 2008:11) adalah Kolektif, maksudnya mengembangkan dan meningkatkan ukhuwah islamiyah yang dikenal dalam salah satu amal islami, sebagai sebuah bentuk amalan yang dapat mewujudkan terciptanya persatuan dan kesatuan, yang dalam hal ini dapat pula dijadikan sarana untuk terciptanya integrasi mahasiswa muslim di Universitas Indonesia. Selain Salam UI menghimpun mahasiswa muslim se UI dan bagi mereka yang sudah memiliki identitas pengurus, maka tugas mereka sesudah menyatukan mahasiswa muslim adalah meningkatkan ukhuwah Islamiyah kepada individu, kelompok, dan institusi lain.

Jika merujuk visi umum Salam UI, yakni Perekat Umat, bagaimana tumbuhnya kultur komunikasi, silaturahim, dan kerjasama antar sesama mahasiswa muslim di UI dan institusi lain, yang proaktif, bersahabat, dan berorientasi pada manfaat (MMS, 2008: 12). Pada setiap biro pada bidang eksternal Salam UI memiliki fungsi dalam merekatkan umat pada tingkat universitas, nasional, bahkan internasional. Dengan LD membangun silaturahim dan kerjasama, maka institusi dan masyarakat beranggapan bahwa LD merupakan institusi yang terbuka, tidak eksklusif. Hal ini menjadi peluang LD merekatkan umat dengan gerakan komunikasi dan kerjasama yang dilakukan demi kebaikan umat. Maka dari itu, jaringan Salam UI sampai internasional. Setidaknya jaringan LD perlu diperluas minimal se nasional. Beberapa jaringan Salam UI yang sudah dibangun, FSDLK, PKPU, ACT, BASARNAS, Partai Politik Islam (PPP, PKB, PBB, PKS, PAN), ASPAC Palestine, KNRP, Dakwatuna, Tarbawi, Republika, BSMI, INSIST, ITJ, Pejuang Shubuh, IYG (International Youth Gathering, PMI UM (Persatuan Mahasiswa Muslim Universiti Malaya), PKPIM (Persatuan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia), HARUM (Pertubuhan Ikatan Kekeluargaan Rumpun Nusantara), NTU MS (Nanyang Technological University Muslim Society), CYMK (Creative Young Muslim Kakis), TSAI (Thailand Student Association in Indonesia), WAMY (World Assembly of Muslim Youth), dan sebagainya (takut kepanjangan,hehe).

Dengan memulai komunikasi dan silaturahim, akan memunculkan peluang-peluang kerjasama yang mungkin sebenarnya belum terpikirkan. Sebagai contohnya, Salam UI bekerja sama dengan institusi pengungsi rohingya. Salam UI mendatangkan para pengungsi dan produk lokal rohingya ke kampus dan mereka bisa sharing bagaimana kondisi sebenarnya para pengungsi. Mahasiswa muslim pun bisa bersimpati atas apa yang dirasakan pengungsi Rohingya. Kerjasama dengan ITJ dan INSIST dengan sekolah pemikiran Islam, mendatangkan Parpol Islam demi koalisi pemilu presiden dan wakil presiden 2014, gerakan shalat shubuh berjamaah bersama pejuang shubuh, kerjasama dengan BSMI terkait bencana alam Sinabung, dan lain-lain (takut kepanjangan lagi, hehe).

Dalam membuka peluang-peluang kerjasama dengan institusi lain, tidak ‘ujug-ujug’ datang. LD sebagai institusi dakwah harus juga memiliki standar yang bagus dalam mengelola/manajemen organisasinya. Seperti ciri masyarakat madani (MMS, 2008:15-16­),

Dalam masyarakat yang plural, tidak hanya aturan yang dibutuhkan, namun juga pengaturan. Pluralitas tanpa institusionalisasi yang baik berarti kekacauan. Dalam kemadanian, institusi penting untuk memiliki kredibilitas yang baik. Pola pendekatan yang jujur dan dialogis adalah prasyarat kredibilitas publik terhadap institusi.

Ada kata kunci di sini, yaitu pengaturan, kredibilitas, jujur dan dialogis. Pengaturan dan kredibilitas LD menjadi poin yang dipertaruhkan dalam membina institusi lain. Kenyataannya, Institusi lain dalam membina pun terkadang selektif memilih. Institusi yang cukup terkenal dan memiliki kredibilitas yang baik, membuat institusi lain pun tertarik untuk berinteraksi. Jujur dan dialogis merupakan sifat dan metode agar tidak eksklusif dan terbuka dengan ide-ide baru yang masuk dari hasil interaksi antar individu, kelompok, dan institusi lain. So, jika LD kita sudah bisa dibilang oke, sok atuh beranikan diri untuk perluas jaringan, setelah itu perluas efek dakwah kalian. (dakwatuna.com/hdn)

 


Lengkapnya Klik DISINI

Pelajaran Tentang Jihad Siyasi dari Sirah Perjanjian Hudaibiya


Oleh: H.Khozin Abu Faqih, Lc.

Pada bulan Dzul Hijjah tahun 6 Hijriah, Rasulullah saw. bersama isteri beliau Ummu Salamah dan sekitar 1400 shahabat berangkat menuju ke Makkah untuk melakukan Umrah. Mereka tidak membawa senjata, kecuali yang biasa dibawa oleh para musafir, yaitu pedang yang berada di sarungnya. Juga membawa binatang sembelihan “Al-Hadyu” untuk meyakinkan masyarakat, bahwa kaum muslimin benar-benar ingin melakukan Umrah.

Ketika tercium berita bahwa kaum musyrikin hendak menghadang kaum muslimin, maka beliau mengutus Utsman bin Affan untuk menjelaskan kepada para pemuka Quraisy tentang tujuan kedatangan kaum muslimin ke Makkah. Akan tetapi, tersiar berita bahwa Utsman terbunuh, maka Rasulullah saw. membai’at para shahabat di bawah pohon. Bai’at itu dikenal dengan nama Bai’atur Ridlwan.

Quraisy yang mengetahui kondisi tersebut, segera mengutus Suhail bin Amr untuk membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian damai inilah yang dikenal dengan nama “Shulhu Hudaibiyah.” Perdamaian ini memberi banyak pelajaran kepada para aktivis dakwah di sepanjang masa, antara lain sebagai berikut.
  1. Sikap akomodatif jauh lebih bermanfaat daripada konfrontatif, di mana sebelum perdamaian ditandatangani, Rasulullah saw. menyatakan dengan sumpah,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللَّهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا

“Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka meminta sesuatu hal yang menyebabkan mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt., kecuali aku akan memberikan sesuatu tersebut.” (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Baari bahwa yang dimaksud “Mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt.” adalah meninggalkan perang di tanah Haram. Sedangkan, dalam riwayat Ibnu Ishaq dinyatakan, “Mereka meminta kepadaku sesuatu yang dapat meyambung kekerabatan.” Pernyataan itu menegaskan bahwa beliau lebih memilih perdamaian daripada perang.
  1. Menghapuskan beberapa hal yang tidak subtansial secara administratif, demi tercapainya perdamaian dan kebersamaan.
“…Maka Rasulullah saw. memanggil juru tulis (dalam riwayat lain Ali bin Abi Thalib ra.), kemudian bersabda, “Tulislah ‘bismillahir rahmanir rahim’.” Suhail (delegasi Quraisy) berkata, “Adapun Ar-Rahman, maka demi Allah aku tidak mengenalnya. Oleh karena itu, tulislah, Bismika Allahumma, sebagaimana yang kamu tulis.” Para shahabat berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menulis, kecuali Bismillahir rahmanir rahim.” Nabi saw. bersabda, “Tulislah, Bismika Allahumma.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, “Ini yang telah diputuskan oleh Muhammad Rasulullah.” Suhail berkata, “Demi Allah, kalau kami mengetahui bahwa kamu Rasul Allah, maka kami tidak akan menghalang-halangimu dari baitullah dan tidak akan memerangimu. Tulislah, ‘Muhammad bin Abdillah’.” Nabi saw. bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar Rasul Allah, meski kalian mendustakan aku. Tulislah, ‘Muhammad bin Abdillah’.” (HR. Bukhari)

Az-Zuhri mengatakan, “Inilah yang dimaksud oleh ucapan Rasulullah saw., ‘Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka meminta sesuatu hal yang menyebabkan mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt., kecuali aku akan memberikan sesuatu tersebut’.” (HR. Bukhari)

Penggalan sirah ini menggambarkan bahwa Rasulullah saw. rela menghapus tulisan Nama Allah Ar-Rahman dari teks perjanjian, demi tercapainya kesepatakan. Beliau juga menghapus tulisan Rasulullah saw. dan menggantinya dengan nama asli, Muhammad bin Abdillah, demi terwujudnya perdamaian. Karena penghapusan tulisan tersebut tidak mempengaruhi keyakinan kaum muslimin dan tidak mereduksi keimanan mereka sedikit pun. Ini hanya urusan administrasi antara kaum muslimin dan kaum Quraisy, serta strategi perjuangan. Bukan subtansi aqidah dan keimanan.
  1. Tidak hanya memandang kepentingan jangka pendek, tetapi memandang kepentingan dakwah ke depan yang lebih luas. Meski untuk itu harus mengorbankan sebagian kepentingan jangka pendek.
Ketika butir perjanjian keempat tengah dibahas, “Jika ada orang Quraisy yang melarikan diri ke Muhammad, tanpa seizin walinya, maka Muhammad mengembalikannya kepada Quraisy. Sebaliknya, jika pengikut Muhammad melarikan diri ke Quraisy, maka mereka tidak perlu mengembalikannya kepada Muhammad.” Saat itu datanglah Abu Jandal bin Suhail dengan menyeret belenggu yang mengikatnya. Ia berjalan dari ujung Makkah, lalu melemparkan diri di tengah kaum muslimin. Melihat itu, Suhail berkata, “Ini orang pertama yang aku tuntut untuk dikembalikan.”
Rasulullah saw. menjawab, “Kita belum menyepakati butir perjanjian.”

Suhail mengatakan, “Kalau begitu, demi Allah, aku tidak akan menuntut apa pun kepadamu untuk selamanya.”

Rasulullah saw. berkata, “Kalau begitu, izinkan dia untukku.”

Suhail berkata, “Aku tidak akan memberi izin padanya untukmu.” Kemudian Suhail memukul wajah Abu Jandal dan menarik kerah bajunya, untuk dikembalikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Jandal berteriak dengan keras, “Wahai kaum muslimin, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrikin, agar mereka menyiksaku karena agamaku?”

Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan mohonlah pahala dari Allah. Sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang yang tertindas sepertimu. Kami telah mengikat perdamaian dengan mereka, dan kami tidak akan menghianatinya.”
  1. Rasulullah saw. membatalkan keinginannya dan keinginan para shahabat untuk Umrah, meski persiapan untuk itu telah maksimal. Bahkan para shahabat sudah siap bertempur hingga titik darah penghabisan. Ini semua dilakukan oleh Rasulullah saw. demi menjaga perdamaian dan menghindari pertempuran.
Pada awalnya para shahabat tercengang dengan keputusan Rasulullah saw., namun, ketercengangan mereka bukan karena kepentingan pribadi, tetapi karena semangat keagamaan dan kemaslahatan bagi dakwah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Umar bin Khathab ra., “Maka aku menemui Rasulullah saw. dan bertanya, ‘Bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?’

Beliau menjawab, ‘Benar.’

Aku bertanya, ‘Bukankah kita berada di pihak yang benar dan musuh kita di pihak yang batil?’
Beliau menjawab, ‘Benar.’

Aku berkata, ‘Lalu mengapa kita menimpakan kehinaan pada agama kita?’

Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku ini Rasul Allah; aku tidak akan durhaka kepada-Nya dan Dia akan menolong-ku.’

Aku bertanya, ‘Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan datang ke Baitullah dan berthawaf?’

Beliau menjawab, ‘Benar, tetapi apakah aku mengatakan padamu bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini?’

Aku menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kamu akan datang ke Baitullah dan thawaf di sekitarnya’.”

Bahkan kekagetan mereka benar-benar luar biasa, sehingga ketika diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk menyembelih binatang sembelihan dan mencukur rambut, tidak ada yang menyambut, sampai akhirnya dicontohkan oleh beliau sendiri. Kemudian, mereka berlomba meniru beliau. Kekagetan mereka itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

Pertama, mereka telah bersiap maksimal untuk melakukan Umrah dan Rasulullah saw. melakukan mobilisasi besar-besaran, sehingga tidak ada yang tertinggal di Madinah, kecuali yang mendapat tugas, kaum wanita, anak-anak, dan kaum munafikin.

Kedua, ketika ada ancaman perang, mereka telah berjanji setia untuk membela Islam, hingga titik darah penghabisan. Sebagaimana dalam Bai’atul Ridlwan.

Ketiga, isi perjanjian damai seolah-olah merugikan kaum muslimin, bahkan menghinakan mereka.
Meski demikian, ketika sudah menjadi keputusan, maka mereka kembali normal dan menerima kebijakan, hingga Allah swt. menurunkan ketenangan kepada hati mereka dan mengkaruniakan kemenangan besar kepada mereka.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Fath: 1-4)

Perdamaian Hudaibiyah ini merupakan kemenangan nyata dan pengantar kemenangan-kemenangan besar setelahnya. Di antara bentuk kemenangan perdamaian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, kemenangan dakwah. Karena dengan perdamaian ini manusia mendapatkan rasa aman, sehingga orang lebih rasional. Maka Islam lebih berpeluang mengisi akal fikiran dan hati manusia, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah kaum muslimin bertambah secara spektakuler. Ibnu Hisyam menyatakan bahwa pada saat Hudaibiyah Rasulullah saw. berangkat bersama 1400 shahabat, sedang dalam fathu makkah dua tahun setelahnya beliau berangkat bersama 10.000 pasukan. Di antara yang masuk Islam di masa itu adalah Khalid bin Walid ra. dan Amr bin Ash ra. Az-Zuhri mengatakan, “Islam belum pernah mendapatkan kemenangan yang melebihi kemenangan tersebut.

Kedua, optimalisasi potensi kaum muslimin untuk meluaskan territorial dakwah. Sebab perjanjian itu dapat mengurangi tekanan dan ancaman kekuatan musuh (terutama Quraisy), sehingga kaum muslimin dapat lebih leluasa membebaskan Jazirah Arab dari sisa-sisa Yahudi yang selalu berkhianat. Pada tahun 7 Hijrah terjadilah perang Khaibar, di mana kaum muslimin mendapatkan rampasan perang besar. Rampasan itu hanya diberikan kepada kaum muslimin yang ikut perjanjian Hudaibiyah.

Ketiga, pengakuan eksistensi kekuasaan Islam. Ustadz Muhammad ‘Izzah Darwazah mengatakan dalam sirahnya, “Tidak diragukan bahwa perjanjian damai yang dinamai oleh Al-Qur’an kemenangan yang agung ini, benar-benar berhak mendapatkan nama tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa peristiwa itu merupakan fase penentu dalam sirah nabawiyah, sejarah Islam dan kekuatannya, atau dengan kata lain peristiwa terbesar sepanjang sejarah. Sebab Quraisy mengakui Nabi, Islam, serta eksistensi dan kekuatan keduanya. Mereka juga menganggap Nabi dan Islam sebagai rival yang sebanding.”

Kaum Badui dan kaum munafiqin pun semakin segan dan takut dengan kekuasaan kaum muslimin. Sebab pada saat berangkat Umrah, mereka menyangka bahwa Muhammad saw. dan shahabatnya tidak akan pulang ke Madinah dengan selamat. Ternyata, mereka kembali ke Madinah dengan mendapat pengakuan dari Quraisy.

Keempat, kematangan kaum muslimin. Sebab dengan peristiwa Hudaibiyah, para shahabat semakin tsiqah dengan pimpinannya, semakin mantab dengan fikrahnya, dan semakin yakin dengan kebersamaan Allah swt. bersama mereka. Kematangan itu tergambar di bai’atur ridlwan dan tergambar secara jelas di penghujung Surat Al-Fath,

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)

Lengkapnya Klik DISINI

Anak itu Butuh Alasan dan Penjelasan

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!

Hasil gambar untuk gambar ilustrasi anak mainOleh : Miarti
Pembaca setia. Ada beberapa fitrah anak yang wajib untuk kita pahami dan renungi.  
  • Anak itu memiliki rasa ingn tahu yang tinggi, maka sangat wajar jika mereka banyak mengkritisi.
  • Bagian dari fitrah anak adalah selalu Maka sangat wajar jika mereka butuh banyak jawaban.
  • Anak itu berada pada sebuah masa dimana hal-hal konkrit harus serba tervisualisasi. Maka sangat wajar jika mereka banyak menuntut hal-hal yang logis.
Tetapi pada faktanya, sering kita terlalu pragmatis dalam menyikapi sikap atau keinginan anak yang cenderung memaksa dan nyaris tak bisa ditunda kehendaknya. Sehingga yang sering muncul dari mulut kita adalah kalimat-kalimat penekanan, kaliamt ironisme (mengiyakan atau menyetujui dengan keterpaksaaan), atau bahkan kalimat sarkasme yang disertai celaan atau hujatan seperti; dasar anak nakal.

Pembaca setia…! Ketika kita telah berazzam untuk menjadi orang tua yang cerdas dan bijaksana, maka jangan sampai dan jangan pernah pelit berkomunikasi dengan anak. Ingat, 70 % kehidupan manusia itu komunikasi. Demikian pula dalam hal pengasuhan anak. Dan Anda harus yakin bahwa kendali moral buah hati Anda adalah komunikasi. 

Oleh karena itu, mulailah sediakan stok redaksi kalimat sebanyak mungkin untuk dapat memberikan jawaban dan penjelasan terbaik sehingga buah hati Anda puas dan tidak berulah negatif akibat ketidakpuasannya. Selanjutnya, perhatikan beberapa rambu-rambunya supaya Anda tidak terjebak dalam percobaan.
  • Gunakan kata sederhana yang spesifik
  • Jelaskan sesuatu yang membuat ketidakjelasan pada anak
  • Jelaskan arti fungsi dan prosedur tindakan
  • Jangan menyakiti atau mengancam
  • Perhatikan kesan yang akan muncul. Jangan sampai menggunakan gaya pemeriksa, gaya penyindir, gaya hakim atau gaya sok tahu.
Sebagai contoh, Anda boleh mencerna beberapa konteks di bawah ini.
  1. Si 2 tahun penasaran ingin main pisau
Jika buah hati Anda kedaapatan tengah bermain pisau, gunting dan atau benda tajam lainnya serta cenderung sulit untuk melepas benda tersebut. Kewajiban orang tua adalah sesegera mungkin meraih benda tessebut. Tetapi yang harus diperhatikan adalah bagaimana anak dapat melepaskan benda berbahaya tersebut dengan kepahaman. Oleh karena itu, katakanadan jelaskan dengan verbal bahwa pisau itu TAJAM. Nah, jika kalimat pertama tidak berhasil, upayakan terus mencari alasan selogis mungkin. Pilihannya pun variatif;
  • “Sayang…! Pisau itu bahaya Nak… Bukan untuk main-main. Simpan ya…!”
  • “Sayang…! Bisa bikin tangan kita berdarah lho… Tidak dimiankan ya…!”
  1. Si 4 tahun memaksa minta main game computer
Ingat, keinginan yang tinggi terhadap main game computer tidak bisa dilarang dengan keras. Jika Anda melarangnya terlalu kaku dan tanpa penjalasan yang memahamkan, maka dia akan sangat “lapar” terhadap permainan tersebut, sekalipun di rumhnya tak bisa ia dapatkan dengan sekehendak hati. Dan anak yang “kelaparan game” itu akan mencari jalan keluar walaupun bagaimana caranya. Bahkan numpang main game di rumah orang pun akan sangat mungkin ditempuhnya. Oleh karena itu, bijaklah Anda memberi rules (aturan) yang membuat buah hati Anda paham dan memiliki kendali. Jadi, kalimat yang cenderung efektif kurang lebih seperti ini ;
  • “Kakak…! Kakak boleh kok main game. Mama nggak larang. Tapi maaf ya, Kakak ingat dengan waktu. Tidak sampai lupa makan, lupa tugas, lupa sholat.”
  • “Kakak…! Komputer di rumah kita bukan hanya untuk main game. Mama sama Papa juga perlu untuk mengerjakan tugas. Jadi, bagaimana kalau kita jadwal?”
  • “Kaka…! Terlalu banyak main game itu bikin mata kita rusak. Yang lebih parah, otak kita juga bisa rusak lho…! Nggak lama-lama ya main game-nya. Khawatir Kakak jadi nggak pinter lagi.”
  1. Si 5 tahun berperilaku tidak sopan di rumah orang
Ingat pembaca…! Setiap anak yang terlahir, siapapun itu, tidak mengerti dan tidak paham terhadap apa yang disebut sopan santun, tata karma, etika, adab atau apapun istilahnya. Tetapi sesungguhnya, mereka dapat dikenalkan dan dipermanis attitude-nya dengan kebiasaan berperilaku sopan. Jika suatu saat buah hati Anda sedang memainkan atau bahkan sampai merusak barang di rumah orang, maka Anda wajib mengingatkan. Redaksi kalimatnya pun banyak pilihan.
  • “Sayang…! Bisa lebih baik ya…!”
  • “Itu bukan untuk mainan, Nak. Hati-hati ya…!”
  • “Tidak berlebihan ya…! Kalau mau apa-apa minta izin yang baik”
Pembaca setia. Allah SWT telah mengingatkan kita dalam firman-Nya; “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imron : 104). Maka begitu banyak PR besar yang harus kita tuntaskan. Dan memahami positif parenting adalah kemestian. Oleh kareana itu, tidak ada hal yang kecil untuk mewujudkan sesuatu yang besar. Maka sekalipun hanya seni berbicara, meski hanya nada suara yang tertata dan terpola, meski hanya bahasa tubuh, meski hanya kemampuan mendengar, meski hanya kemampuan memahami dan menyelami emosi anak, semuanya adalah upaya besar yang perlu kita tempuh dengan ikhlas, terbiasa dan istiqomah. Allohu ‘alam bish showab. Semoga menginspirasi…!

Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......