Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!
Sang Kakak Sebagai Wisudawan Terbaik, Sang Adik Sebagai Doktor Termuda
Pada hari Selasa 29 september 2015 UIN Alauddin Makassar melaksanakan 
wisuda yang ke 75, saya hadir untuk mengikuti wisuda salah satu adik 
saya berhubung orang tua kami berhalangan hadir, di sebelah kiri saya 
ada orang tua wisudawan yang umur umurnya kurang lebih 60 tahun, dia 
menggunakan songkok haji, yang menarik perhatian saya adalah ketika sesi
 pengumuman wisudawan terbaik dipersilahkan maju ke depan untuk menerima
 penghargaan sebagai wisudawan terbaik di semua jenjang, tiba-tiba saya 
melihat orang tua di sebelah kiri saya tadi meneteskan air mata, bahkan 
terdengar bahwa dia sedang menangis, orang tua itu kemudian mengambil 
tissue untuk menghapus air matanya, saya kemudian bertanya kepada orang 
tua tersebut.
“Pak haji kenapa menangis?”
Dia menjawab 
dengan bahasa daerah (Bahasa Fattae, bahasa yang digunakan di daerah 
Kanang, salah satu daerah di Polman Sulbar) saya paham walaupun 
menggunakan bahasa Fattae karena mirip dengan bahasa Palopo, yang 
artinya kurang lebih: “anak saya tadi yang diumumkan namanya”,
Saya kemudian bertanya: “siapa nama anaknya pak Haji?”
Dia menjawab: “Gaffar”
Kemudian
 saya mencoba untuk mencari nama yang dia maksud Pak Haji tadi, sebab 
saya sedang asik balas sms, sehingga saya tidak mendengar dengan baik 
pengumuman wisudawan terbaik. Saya sms ke adik saya perihal nama yang 
disebutkan oleh pak Haji tadi.
Adik saya membalas Sms tersebut 
bahwa nama lengkap anak pak Haji tadi yaitu: Dr. Abdul Gaffar, S.Th.I., 
M.Th.I. sesuai yang tertera dalam buku alumni yang dibagikan kepada 
seluruh wisudawan. Saya sontak kagum melihat pak Haji yang saya yakini 
bahwa beliau adalah orang yang buta huruf, sebab bahasa Indonesia saja 
tidak bisa, apalagi membaca dan menulis.
Saya kemudian duduk 
tenang mengikuti seluruh rangkaian wisuda hari itu, setelah acara wisuda
 selesai, pak Haji kemudian berdiri dan berjalan dengan 
terpincang-pincang, saya mengikuti dan meminta untuk saya papa, tetapi 
beliau menolak dengan halus. Setelah kami berada di lantai dua, lokasi 
para wisudawan, salah seorang wisudawan datang mendekatinya bersama 
dengan ibunya, kemudian bersalaman dan mencium tangannya, kemudian saya 
bertanya kepada wisudawan yang datang tadi.
“kenal dengan pak haji ini?,
Dia menjawab “bapak saya pak?”
Saya
 kembali bertanya; “adiknya Gaffar ya?” saya bertanya demikian karena 
wisudawan yang datang tadi masih sangat muda, dalam benak saya dengan 
usia segini paling cepat baru selesai S2/ Masternya bahkan masih 
terlihat dari mukanya S1/sarjana, sebab tidak mungkin dia sudah Doktor 
dalam usia semuda ini.
Saya kemudian berkata kepada pak Haji; 
“beruntung sekali anda pak haji punya dua anak bersamaan wisudanya, satu
 doktor dan satu sarjana”
Pak haji itu kemudian menjawab; “doktor ngasanni” yang artinya kurang lebih “doktor semua”
Saya kemudian bertanya ke wisudawan tadi yang baru saja selesai mengangkat telepon.
“kita
 (kita dalam tradisi bahasa Makassar berarti kata penghargaan dan 
memuliakan sebagai pengganti anda atau kamu) doktor juga?”
Dia 
menjawab: “iya, Alhamdulillah promosinya bersamaan harinya dengan kakak 
kemarin”, saya makin terkagum-kagum melihat keberhasilan kedua orang tua
 ini dalam mendidik anaknya, sebab orang yang buta huruf dapat 
melahirkan dua anak doktor sekaligus, istri dari pak haji walaupun bisa 
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dia juga buta huruf. Tak lama 
berselang kami berdiri di luar lokasi wisuda, salah seorang wisudawan 
datang menghampiri kami dan langsung mencium tangan kedua orang tua 
tadi.
Wisudawan yang datang tadi ternyata Abdul Gaffar, saya 
kemudian meminta mereka untuk mencari lokasi di mana bisa bercerita dan 
berbagi tips bersama mereka.
Akhirnya kami sepakat untuk masuk ke ruang wisuda yang sudah mulai kosong.
Dalam perbincangan itu saya mendapati banyak hal positif terkait dengan perjalanan hidup keluarga mereka.
Profesi
 kedua orang tua mereka adalah petani gula merah (pa’ golla), keduanya 
orang tua yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah alias buta huruf. 
Anaknya delapan bersaudara semuanya bergelar sarjana kecuali satu orang,
 bahkan salah satunya sebagai pejabat Kemenag Sulbar.
Salah satu 
prinsip orang tuanya dalam membiayai anaknya adalah harus dilandasi 
dengan kejujuran artinya tidak pernah memberikan makan dan biaya dari 
harta yang haram kepada anaknya.
Bapaknya merasa orang yang paling
 bodoh di Kanang (salah satu daerah di Polman Sulbar), sehinggan beliau 
tidak mau kalau anak-anaknya mengikuti jejaknya sebagai orang yang bodoh
 pula.
Ketika saya bertanya kepada kedua doktor bersaudara 
tersebut kakaknya menjelaskan bahwa yang mendorongnya untuk melajukan 
pendidikan lebih tinggi karena mereka mau berubah nasib keluarga mereka 
dan membuktikan bahwa dengan keterbatasan ekonomi tidak menghalangi 
untuk meraih cita-cita.
Saya kemudian bertanya kepada mereka 
berdua untuk berbagi tips dalam meraih doktor sang kakak sebagai lulusan
 terbaik dan adik sebagai doktor termuda di UIN Alauddin Makassar bahkan
 tidak banyak di Indonesia, dia kemudian bercerita dari awal sekolah 
sampai doktor yang saya ringkas dalam sebuah tulisan:
Kakak Lulusan Terbaik
Pantang menyerah dalam menuntut ilmu (selalu menjadi terbaik dalam semua jenjang pendidikan yang ia ikuti)
Saya mondok pada saat berusia 8 tahun tepatnya hari Selasa tgl. 1 
Agustus 1989. Lalu tinggal bersama KH. Abd Latif Busyra dan keluarganya.
 Setiap hari diantar ke sekolah SDN 007 Parappe hingga kelas 4 SD. Pada 
saat kelas 5 SD, mulai mandiri dan masak dan mencuci sendiri, terkadang 
kiriman terlambat sehingga makan seadanya seperti makan nasi dengan 
kepiting empang yang konon tidak boleh dimakan, kadang makan nasi cukup 
dengan kelapa yang telah diparut lalu diberi garam dan bahkan terkadang 
makan nasi dengan hanya berteman garam saja atau sekalian buat bubur. 
Kalau lauknya ikan kering maka itu sudah sangat enak. Untuk mendapatkan 
uang jajan maka terkadang menjual kerupuk yang diberi gula atau menjual 
es lilin di sekolah SD. Pengalaman ini dirasakan hingga kelas 2 MTs.
Keterbatasan
 biaya tidak menghalangi saya untuk belajar, sehingga saat masih duduk 
di kelas 5 SD, saya sudah mulai membaca kitab kuning yakni Syarah 
al-Jurumiyah, bahkan pernah Kyai menyuruh menghafal kitab Matan Rahbiyah
 dan akhirnya saya bisa menghafalnya semalam dengan cara merendam kaki 
di ember agar tidak tidur dan pada pagi harinya saya hadapkan hafalan 
Matan Rahbiyah kepada Kyai.
Pada saat kelas 2 MTs, saya 
diberhentikan dari Pondok Pesantren Salafiyah Parappe karena suatu hal, 
tetapi peristiwa itu yang membuat saya bisa menginjakkan kaki ke Jawa. 
Setelah berhenti di Pondok, saya akhirnya membantu orang tua di empang 
selama 2 bulan. Sebenarnya saya diajak melanjutkan di Pondok Pesantren 
Mangkoso atau Kaballangan tapi akhirnya bisa melanjutkan di Pondok 
Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur berkat H. Husain (seorang 
penduduk Kanang yang sangat senang melihat anak-anak mondok di 
pesantren) yang rela meminjamkan uang 500 ribu sebagai bekal ke Jawa. 
Saat itulah saya berangkat ke Jawa diantar oleh alumni dari Sidogiri 
bernama Ust. Hadisman.
Saat di Sidogiripun, saya harus berusaha 
untuk menghemat karena uang yang dibawa tidak banyak, terlebih lagi 
kalau habis maka harus berkirim surat ke kampung (maklum tidak ada 
telpon saat itu). Jika berkirim surat, paling cepat suratnya sampai 
sekitar 1 minggu, kemudian orang tua mengirim uang melalui wesel di POS 
dan sampai ke pondok biasanya 1 minggu juga lalu diumumkan di papan 
pengumuman.
Saat menunggu kiriman datang, setiap hari saya rajin 
membaca dan melihat papan pengumuman siapa tahu kiriman sudah datang. 
Jika kiriman terlambat, saya hanya makan ubi jalar rebus yang harganya 
saat itu 50 rupiah 1 buah di pagi hari, siang hari dan malam hari. Jika 
kiriman masih juga terlambat maka langkah terakhir yang dilakukan puasa 
supaya uangnya cukup hingga kiriman datang. Saya tidak berani juga 
meminjam uang karena takut tidak bisa membayar.
Kehidupan ini saya
 jalani selama mondok di Pesantren Sidogiri selama kurang lebih 9 tahun,
 mulai dari tahun 1996 hingga 2004 dengan suka duka, terlebih lagi saat 
adik saya M Ali Rusdi juga ikut mondok di Sidogiri sekitar 3 tahun 
sebelum saya berhenti mondok. Saat saya meminta izin kepada orang tua 
untuk membawa serta adik mondok, orang tua keberatan karena takut tidak 
bisa membiayai kami berdua. Akhirnya saya sampaikan biarlah dicoba satu 
tahun. Jika memang tidak sanggung membiayai kami, saya rela berhenti 
mondok yang penting adik saya mondok dengan alasan saya sudah lama 
merasakan pondok. Tapi pada akhirnya orang tua tetap membiayai kami 
berdua hingga selesai.
Pada tahun 2005, saya sebenarnya tidak 
ingin kuliah di Makassar atau di Indonesia secara umum. Saya hanya ingin
 kuliah saat itu di al-Azhar Mesir, namun karena ijazah saya sudah 
menganggur 3 tahun lebih (lulus 2002) akhirnya saya memutuskan untuk 
tidak kuliah. Saat pulang ke kampung, semua keluarga membujuk saya agar 
tetap kuliah meski hanya di Makassar, dan keluarga yang paling ngotot 
saat itu adalah kakak yang bernama Muhdin (saat ini Ka.Kanwil) tapi 
tetap saja saya tidak bergeming dan akhirnya pada satu momen, ibu saya 
menghampiri dan menangis tanpa berkata apa-apa. Saat itu juga saya 
berangkat ke Makassar dan memutuskan untuk kuliah di Jurusan Tafsir 
Hadis karena takut durhaka terhadap ibu.
Sebenarnya, saya tidak 
pernah berpikir mau jadi apa saat itu, yang terlintas dalam pikiran saya
 bukan ingin menjadi guru atau yang lain tetapi hanya ingin mendapatkan 
ilmu. Saat mau memilih jurusan, salah seorang kelurga yang bernama Ust. 
Suddin Bani (salah seorang dosen UIN Alauddin Makassar) memberikan 
masukan dan pilihan kepada saya dengan mengatakan “Kalau mau jadi guru 
masuklah di Tarbiyah,
 kalau mau jadi ulama fikih masuk di Syariah, kalau mau jadi pemikir 
masuk di Ushuluddin Jurusan Filsafat, tapi kalau mau dapat ilmu masuklah
 di Tafsir Hadis”. Akhirnya saya memilih Tafsir Hadis dengan harapan 
bisa mendapatkan ilmu.
Ada satu peristiwa yang tidak bisa saya 
lupakan yaitu saat mendaftar di bagian akademik rektorat, salah seorang 
staf berkata kepada saya “Dek, beraninya kita ambil jurusan Tafsir Hadis
 dengan nilai seperti ini (saat itu, nilai ijazah aliyah saya memang 
rendah)”, saya kemudian menjawab “Biar bu, saya coba dulu kalau tidak 
sanggup, saya akan berhenti”.
Singkat cerita saya masuk di Tafsir 
Hadis tepatnya pada tanggal 1 September 2005. Tidak lama berselang, ada 
kabar gembira dari Kemenag Pusat bahwa UIN Alauddin diberi amanah 
menjadi salah satu pelaksana Program Khusus Tafsir Hadis di Indonesia. 
Akhirnya saya mendaftar dan ikut tes Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. 
Saya masih ingat bahasa Arab saya mendapatkan nilai 90 tapi bahasa 
Inggris saya dapat nilai 40 (nilai terendah). Namun saya dinyatakan 
lulus dan masuk dalam urutan 4 besar.
Akhirnya saya sadar bahwa 
keinginan untuk kuliah di luar negeri tidak terkabul karena Allah sudah 
mengaturnya bahwa di Makassar ternyata ada beasiswa yang lebih 
menjanjikan yakni Program Khusus Tafsir Hadis. Saya yakin bahwa beasiswa
 itu erat kaitannya dengan kepatuhan dan doa ibu yang mengharapkan saya 
kuliah di Makassar.
Sejak itulah, saya mulai menuntut ilmu tanpa 
memikirkan biaya karena di samping SPP dibayarkan, kami juga 
difasilitasi dengan asrama kampus. Pada tahun 2009 tepatnya tanggal 23 
Juni 2009 saya bisa menyelesaikan S1 dengan nilai 3,97 dengan predikat 
Summa Cumlaude, karena dapat menyelesaikan pendidikan kurang dari 4 
tahun, skripsi dalam bahasa asing (bahasa Arab) dan dipersentasikan 
dengan bahasa Arab pula.
Pada bulan berikutnya saya melanjutkan 
kuliah S2 dan mendapatkan beasiswa 20 besar karena lulus tes pada urutan
 12. Saya bisa menyelesaikan S2 dalam jangka 1 tahun 11 bulan dengan 
predikat Cumlaude dengan IPK 4,00. Pada tahun 2012, saya nekat untuk 
melanjutkan S3 tanpa berfikir dapat beasiswa atau tidak tapi akhirnya 
dalam perjalanan kuliah tersebut, saya dua kali mendapat beasiswa BBP 
dari Kemenag Pusat dan dapat menyelesaikan S3 dalam jangka 3 tahun 6 
hari dengan IPK 3,98.
Sang Adik Sebagai Doktor Termuda
Doktor di Usia 28 Tahun (Anak Pa’gollah -pembuat gula merah- jadi Doktor)
Sebab
 waktu yang sangat terbatas sehingga dia memberikan biografi perjalan 
pendidikannya yang telah ditulis oleh temannya kepada saya, melalui 
email.
Dr. M. Ali Rusdi Bedong, S.Th.I., M.H.I., Lahir di Kanang 
Polmas, 18 April 1987, anak ketujuh dari delapan bersaudara, pasangan 
dari H. Bedong dan Hj. Harisah, saudara kandungnya: Nurdiah, Muhdin, 
S.Ag, M.Pd.I, (Kakanwil Kemenag Sulbar) Abdul Majid, S.Pd.I, Dr. Abdul 
Gaffar, M.Th.I. (Dosen IAIN Kendari), Mustamin, S.Pd.I, Rusnaeni, 
S.Pd.I, St. Munawwarah, S.Pd.I. Alamat rumah Jalan Mangondang-Kanang 
Desa Batetangnga Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar Provinsi 
Sulawesi Barat. Salah satu moto dan prinsip hidupnya, yaitu : “Di dunia 
ini tidak ada orang yang bodoh yang ada adalah orang yang tidak mempu 
menentukan skala prioritas dalam hidupnya”.
Sejak usia 6 tahun 
sampai usia 28 tahun, ia tidak pernah jeda dalam menuntut ilmu mulai 
dari TK-SD-MTs-MA-S1-S2-S3 ditempuh selama 23 tahun tanpa jeda, sejak 
kecil ia tidak pernah membayangkan dapat mendapat gelar doktor di usia 
yang relatif muda seperti saat ini. Terlebih lagi bila melihat latar 
belakang kedua orang tuanya yang tidak pernah sekolah dan buta huruf, 
bahkan ayahnya hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa Fattae (bahasa 
daerah orang Kanang). Akan tetapi kedua orang tuanya memiliki tekad yang
 kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya, sehingga sangat marah bila 
melihat ada anaknya tidak berangkat ke sekolah, sebab ayah memiliki 
prinsip: “biarlah saya orang yang paling bodoh di kampung ini (Kanang), 
tapi jangan sampai ada anak-anak yang mengikuti jejak saya.”
Ketika
 menempuh pendidikan pada SDN No. 012 Kanang, ia hidup sebagaimana anak 
pada normalnya yaitu bermain dan sesekali membantu orang tua, pada saat 
kelas enam SD, ia bersama teman-temannya bermain sepak bola di sebuah 
lapangan kecil, ia mengalami cedera patah tulang pada kaki yang membuat 
harus dirawat di rumah selama kurang lebih tiga bulan, pada titik inilah
 ia merasa putus asa, karena ia tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak 
berdaya, sebab cita-cita sederhananya dulu, cukup jadi petani coklat 
atau menggarap sawah saja sudah cukup, peristiwa itu pula membangkitkan 
keinginan untuk sekolah sampai ke perguruan tinggi menjadi impiannya, 
setalah lulus SD pada tahun 2000. Selanjutnya sekolah menengah pertama 
di tempuh di Madrasah Tsanawiyah al-Ihsan DDI Kanang dan lulus pada 
tahun 2003.
Setalah menyelesaikan pendidikan tingkat pertama, ia 
melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri Kabupaten Pasuruan 
Provinsi Jawa Timur, tahun 2003-2005 dan diterima pada kelas tiga 
Ibtidaiyah hingga kelas satu Tsanawiyah namun ijazahnya bersifat 
informal, sehingga ia juga mengikuti pendidikan tingkat atas di luar 
Pondok Pesantren Sidogiri, namun tidak tamat dan akhirnya pindah ke 
Madrasah Aliyah Pergis Campalagian Kabupaten Polewali Mandar dan lulus 
pada tahun 2006.
Pada tahun 2006, ia melanjutkan pendidikannya di 
perguruan tinggi dengan memilih jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
 dan Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan lulus pada 
tahun 2010 dengan predikat 
summa cumlaude karena ia dapat 
menyelesaikan pendidikannya dalam tiga tahun sembilan bulan dengan judul
 skripsi dalam Bahasa Arab “al-Faqr wa ‘Ilajuh fi Tasawwur al-Qur’an”. 
Di tengah-tengah pendidikannya di S1, ia sempat menjabat sebagai Ketua 
BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat periode 2009-2010.
Pada tahun
 2010, ia melanjutkan pendidikan di Pascasarjana Universitas Islam 
Negeri Alauddin Makassar dengan memilih konsentrasi yang berbeda dengan 
konsentrasi S1. Konsentrasi yang dipilihnya adalah Syariah/Hukum Islam 
padahal strata satunya adalah Tafsir Hadis, namun ia dapat 
menyelesaikannya pada tahun 2012 dengan judul tesis “Implementasi 
Maqashid al-Mukallaf terhadap Pelaksanaan Hukum Islam” dalam jangka 
waktu satu tahun sepuluh bulan dengan rata-rata 3,75. Sebetulnya 
melanjutkan ke jenjang S2 bukan merupakan keinginannya, akan tetapi 
kedua kakaknya (Ka’ Muhdin dan Ka’ Gaffar) memberikan saran agar lanjut,
 dan mereka berdua siap membantu biaya yang dibutuhkan selama proses 
kuliah.
Pada tahun 2012, ia kemudian melanjutkan pendidikannya 
pada program doktor dengan memilih konsentrasi Syariah/Hukum Islam dan 
lulus apada tahun 2015 dengan masa studi 3 tahun 6 hari dengan IPK 3,98.
 Pada awal masuk di S3 dengan usia 25 tahun, membuat sebagian 
teman-teman kelas meremehkan dan tidak berharap banyak, bahkan sering 
dianggap sebagai mahasiswa S1, akan tetapi ia mampu membuktikan ketika 
tampil sebagai pemakalah.
Di samping sebagai mahasiswa 
pascasarjana, sejak tahun 2012, ia menjadi dosen luar biasa pada 
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar hingga 2015 dan 
pada tahun 2014, ia mengikuti seleksi penerimaan pegawai negeri sipil 
sebagai dosen bidang fikih muamalah dan Alhamdulillah dinyatakan lulus 
di STAIN Pare-pare. Ia juga telah menulis sebuh buku yang diterbitkan 
oleh Alauddin University Press dengan judul “Implimentasi Maqashid 
al-Mukallaf terhadap Pelaksanaan Hukum Islam: Solusi Aplikatif Menuju 
Fatwa Komprehensif” tahun 2014.
Selama menjalani perkuliahan 
S1-S2-S3 tentulah tidak selamanya mulus. Ada berbagai hambatan dan 
rintangan yang menemani perjalanan kuliahnya. Ada saja masalah yang 
menganggu dan mencoba menghalangi untuk bisa lulus tepat waktu. Masalah 
biaya salah satu kendala yang paling sering menggangu, sebab sangat 
berat untuk minta uang ke orang tua ketika ada kebutuhan, sebab ia sadar
 betul bahwa orang tuanya hanya seorang petani Gula (anak pa’golla). 
Ketika S1 Jumlah uang yang dikirim sangat pas-pas an untuk biaya 
hidup+biaya beli buku, sehingga tidak ada waktu hidup mewah dan 
berfoya-foya. Ketika teman-temannya pergi ke Mall dan gonta-ganti HP, ia
 tetap konsisten dengan hidup apa adanya. Hambatan masalah biaya sudah 
mulai teratasi setelah melanjutkan studi di S2 dan S3 karena kakaknya 
Muhdin dan Abdul Gaffar banyak membantu. Menurutnya salah satu hambatan 
lain yang paling sering ditemui oleh mahasiswa ketika kuliah adalah 
godaan lawan jenis, sehingga dia punya prinsip dan janji kepada kedua 
orang tuanya yaitu “promosi dulu, baru respsi” selesaikan kuliah sampai 
meraih gelar doktor dulu, baru pikirkan menikah.
Saya sangat 
terharu dan bangga melihat kedua orang tuanya bahkan saya meneteskan air
 mata melihat kesederhanaan orang tuanya dan keberhasilannya dalam 
mendidik anak-anaknya. Semoga ini semua dapat dijadikan sebagai motivasi
 untuk merubah nasib keluarga kita dengan pendidikan. Paling menarik 
dari kisa mereka berdua ternyata mereka bersamaan masuk S3 program 
doktor, bersamaan terangkat sebagai dosen CPNS sang kakak di IAIN 
Kendari, dan sang adik di STAIN PAREPARE, bersamaan selesainya yaitu 
hari seni, 07 sepetember 2015 hanya beda jam, nilainya sama persis, dan 
wisudanya juga bersamaan.
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..