“Berangkatlah kamu baik dalam 
keadaan ringan maupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di 
jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu 
mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41).
Saudaraku,
Ada kalanya semangat kita memudar untuk meraih surga, saat kita letih dan lelah dalam mendaki puncak ubudiyah. Ada saatnya kita ingin lebih lama beristirahat dari medan perjuangan, saat orang-orang yang satu perjuangan mulai menyerah dengan keadaan. Ada kalanya kita jenuh dengan pengorbanan yang kita berikan di jalan Allah, saat perjuangan belum menampakkan hasil yang kita rindukan.
Ada kalanya semangat kita memudar untuk meraih surga, saat kita letih dan lelah dalam mendaki puncak ubudiyah. Ada saatnya kita ingin lebih lama beristirahat dari medan perjuangan, saat orang-orang yang satu perjuangan mulai menyerah dengan keadaan. Ada kalanya kita jenuh dengan pengorbanan yang kita berikan di jalan Allah, saat perjuangan belum menampakkan hasil yang kita rindukan.
Bila itu yang kita rasakan saudaraku,
Jangan biarkan semangat kita menjadi luntur untuk meraih bidadari di surga kelak. Jangan kita terlena dengan bisikan setan yang ingin menjauhkan kita dari kafilah para pembutu surga. Jangan kita terpedaya dengan bisikan syahwat kita untuk berhenti berjuang di jalan-Nya.
Jangan biarkan semangat kita menjadi luntur untuk meraih bidadari di surga kelak. Jangan kita terlena dengan bisikan setan yang ingin menjauhkan kita dari kafilah para pembutu surga. Jangan kita terpedaya dengan bisikan syahwat kita untuk berhenti berjuang di jalan-Nya.
Beristighfarlah kepada Allah. Periksa 
kembali niatan kita dalam mengabdi dan berjuang di jalan-Nya. 
Bercerminlah dari orang-orang shalih terdahulu; sahabat, tabi’in dan 
tabi’ tabi’in, yang tidak pernah merasa gelisah dalam hidup mereka. 
Kegelisahan hati mereka justru muncul pada saat semangat mereka mengejar
 surga idaman menjadi terkubur.
Saudaraku,
Pernahkah kita membaca lembaran-lembaran hidup Abu Thalhah r.a al-Anshari? Mari kita belajar dari semangat sahabat agung ini. Abu Thalhah, begitulah sahabat Nabi s.a.w ini disebut dalam buku-buku sejarah dan tafsir. Bahkan nama aslinya; Zaid bin Sahl an-Najari nyaris tak terdengar di telinga kita.
Pernahkah kita membaca lembaran-lembaran hidup Abu Thalhah r.a al-Anshari? Mari kita belajar dari semangat sahabat agung ini. Abu Thalhah, begitulah sahabat Nabi s.a.w ini disebut dalam buku-buku sejarah dan tafsir. Bahkan nama aslinya; Zaid bin Sahl an-Najari nyaris tak terdengar di telinga kita.
Sahabat yang selalu berpenampilan 
sederhana dan bersahaja. Dia termasuk sahabat yang tidak memiliki fisik 
yang istimewa. Penampilannya sangat biasa. Kulitnya agak gelap dengan 
perawakan sedang saja. Walaupun namanya tidak popular, tapi ternyata 
menyimpan nilai-nilai perjuangan yang diabadikan harum oleh sejarah. 
Karena setiap kali kita mambaca ayat, “Berangkatlah (berjihad) dengan 
ringan ataupun berat hati,” dalam surat at-Taubah ayat: 41, namanya 
sering disebut oleh para ulama tafsir untuk menjadi sebuah contoh yang 
mengagumkan dalam menerapkan dan merealisasikan ayat tersebut.
Saudaraku,
Keberanian dan kepahlawanannya memperjuangkan Islam serta kecintaannya terhadap Rasulullah s.a.w, membuatnya tidak pernah absen dari jihad fi sabilillah. Sejak perang Badar hingga Rasulullah s.a.w wafat. Kisah kepahlawanannya pada perang Uhud tercacat indah dalam sejarah. Dia termasuk salah satu pasukan elit pemanah yang terkenal. Di mana busur-busur panah yang dilesakkan ke arah musuh, tak akan meleset dan bisa dipastikan mengenai sasarannya.
Keberanian dan kepahlawanannya memperjuangkan Islam serta kecintaannya terhadap Rasulullah s.a.w, membuatnya tidak pernah absen dari jihad fi sabilillah. Sejak perang Badar hingga Rasulullah s.a.w wafat. Kisah kepahlawanannya pada perang Uhud tercacat indah dalam sejarah. Dia termasuk salah satu pasukan elit pemanah yang terkenal. Di mana busur-busur panah yang dilesakkan ke arah musuh, tak akan meleset dan bisa dipastikan mengenai sasarannya.
Ketika pasukan kuffar Quraisy mampu 
melumpuhkan serangan kaum muslimin hingga mereka kocar kacir, Abu 
Thalhah r.a justru mencari Rasulullah s.a.w. Karena dia tahu kondisinya 
sangat tidak menguntungkan. Dia amat mengkhawatirkan keadaan Rasulullah 
s.a.w.
Setelah dia berhasil mendekati Rasulullah s.a.w, dia berdiri di hadapan beliau untuk membentengi kekasih Allah s.w.t yang sedang diserbu anak panah dan tombak. Seolah-olah semua anak panah melesat mencari tubuh Nabi s.a.w.
“Ya Rasulallah, biarlah leherku terlebih
 dahulu sebelum panah-panah itu mengenai lehermu, dan nyawaku dulu 
sebelum nyawamu”. Kata Abu Thalhah sambil terus melesatkan anak panah 
dari busurnya dan sambil membusungkan dadanya menyambut anak panah dan 
tombak yang datang.
Keberanian yang mengagumkan. Pengorbanan
 yang luar biasa, atas nama cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Wajarlah 
jika Rasulullah dengan bangga berucap: “Suara Abu Thalhah dipasukan ini 
lebih menakutkan dari seratus orang laki-laki”.
Allahu Akbar…suaranya saja lebih menggetarkan dari seratus orang. Sungguh suatu pujian yang tulus, mengandung makna yang sangat dalam. Menunjukkan teramat mahalnya seorang Abu Thalhah karena keberaniannya dan kepiawiannya di kancah jihad fi sabilillah.
Dalam perang Hunain 8 H, yang juga 
membuat kaum muslimin tunggang langgang, lagi-lagi Abu Thalhah 
menunjukkan kelasnya sebagai mujahid pilihan. Kepiawian yang terbungkus 
dalam keberanian membuatnya dapat membunuh dua puluh orang musuh 
sekaligus. Allahu Akbar benar-benar mujahid sejati.
Saudaraku,
Setelah Rasulullah s.a.w wafat, Abu Thalhah berpuasa Sunnah hampir sepanjang hari selama tiga puluh. Sungguh kecintaan jihad yang dipadukan dengan kecintaannya kepada ibadah.
Setelah Rasulullah s.a.w wafat, Abu Thalhah berpuasa Sunnah hampir sepanjang hari selama tiga puluh. Sungguh kecintaan jihad yang dipadukan dengan kecintaannya kepada ibadah.
Lebih dari itu Abu Thalhah juga dikenal 
dengan kedermawanannya. Ketika ayat 92 dari surah Ali Imran diturunkan, 
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
 kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”.
Maka Abu Thalhah bergegas menghadap 
Rasulullah untuk menginfakkan harta yang paling dicintainya, yaitu kebun
 kurma yang bernama Bairuha, yang berada di sebelah masjid Nabawi. Di 
mana Nabi s.a.w biasa berteduh di bawah rimbunan pepohonannya dan minum 
dari airnya yang jernih.
Saudaraku,
Sepeninggal Rasulullah s.a.w, ternyata semangat jihadnya tak pernah padam. Bahkan kerinduannya untuk meraih syahadah semakin menggelora memenuhi relung hatinya. Walau usia mulai merambat pelan namun pasti menuju senja. Semangat yang seakan tak memudar. Tak berhenti berjihad walau pergolakan suasana datang silih berganti. Jihad tetap dilanjutkan sampai pada masa khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Sepeninggal Rasulullah s.a.w, ternyata semangat jihadnya tak pernah padam. Bahkan kerinduannya untuk meraih syahadah semakin menggelora memenuhi relung hatinya. Walau usia mulai merambat pelan namun pasti menuju senja. Semangat yang seakan tak memudar. Tak berhenti berjihad walau pergolakan suasana datang silih berganti. Jihad tetap dilanjutkan sampai pada masa khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Pada suatu hari Utsman bin Affan r.a 
mengumumkan akan memberangkatkan pasukan untuk berjihad dengan 
menyeberangi lautan. Abu Thalhah r.a kala itu sedang asyik menikmati 
ayat per ayat dari surah at-Taubah. Hingga sampailah dia pada ayat, 
“Berangkatlah berjihad dalam keadaan ringan ataupun berat hati”. Ayat ke
 41.
Abu Thalhah r.a sudah mulai menginjak 
usia tujuh puluh tahun. Setelah mentadaburi ayat ini ia berjalan pelan 
mencari anak-anaknya. Dia ingin menyampaiakan suatu perasaan yang hingga
 usia senja ini tidak pernah padam. Ingin mati syahid.
“Wahai anak-anakku, aku melihat bahwa 
Tuhanku memerintahkan aku untuk berangkat berjihad. Baik masa aku muda 
dahulu maupun sudah tua seperti sekarang ini. Maka persiapkanlah 
perbekalan untukku agar aku bisa mengikuti jihad.”
Anak-anaknya berkata: “Ayah telah 
berjihad dalam rentang waktu yang lama. Berjihad bersama Nabi hingga 
beliau wafat. Berjihad bersama Abu Bakar dan Umar hingga keduanya 
dipanggil Allah. Maka biarlah kami saja yang berangkat jihad 
menggantikanmu.”
“Ambilkan persiapan perangku”, kata Abu 
Thalhah dengan nada meninggi. Akhirnya tiada pilihan lain bagi 
anak-anaknya kecuali mengambilkan panah dan kudanya. Diapun menaiki 
kudanya dengan panah menggantung dibelakang punggungnya. Tentunya dia 
sudah tidak setegap dulu. Saat ini duduk diatas kuda pun sudah tidak 
bisa tegak, tetapi semangat meraih syahidnya tetap tegap seperti 
beberapa puluh tahun yang silam.
Pasukan diberangkatkan menyeberangi 
lautan. Dan ternyata Allah berkenan mengabulkan permohonannya. Dia 
meraih syahadah, ketika kapal itu berada di tengah lautan. Pasukan kaum 
muslimin yang tengah mengarungi lautan luas itu belum melihat daratan 
untuk memakamkan jasad Abu Thalhah.
Kapal terus berlayar, sudah 
berhari-hari. Namun tak kunjung tampak daratan. Baru pada hari 
kesembilan daratan mulai terlihat oleh mata. Ternyata dalam hitungan 
hari kesembilan, jasad Abu Thalhah belum membusuk sama sekali. Tidak ada
 yang berubah seperti layaknya mayat biasa. Karena ini adalah kematian 
termulia dan bukan kematian biasa.
Di daratan pulau itulah jenazah Abu 
Thalhah dimakamkan. Mujahid agung ini tidak dimakamkan di taman makam 
pahlawan dan tidak diadakan acara pemakaman khusus. Tetapi ia dikuburkan
 di jazirah yang tidak diketahui namanya. Orang tidak mengenal jazirah 
itu, sebagaimana orang juga tidak mengenal namanya.
Saudaraku,
Ada beberapa buah nasihat dan pelajaran berharga yang dapat kira petik dari perjalanan hidup Abu Thalhah:
Ada beberapa buah nasihat dan pelajaran berharga yang dapat kira petik dari perjalanan hidup Abu Thalhah:
Abu Thalhah adalah cermin kehidupan 
kita, yang barangkali kita masih lebih beruntung karena kita masih muda 
dan kuat. Tetapi Abu Thalhah ingin menyampaikan pesannya kepada kita, 
generasi sesudahnya bahwa perjuangan meraih surga dan jihad di jalan-Nya
 tak mengenal usia.
Berjuang dengan orang-orang besar bukan 
berarti kita akan menjadi besar seperti mereka yang besar. Justru di 
sinilah tersimpan keikhlasan sejati. Di saat Abu Thalhah berjuang dengan
 Rasulullah s.a.w, tak sekalipun dia absen dari jihad. Kemudian 
dilanjutkan jihad pada masa Abu Bakar dan Umar. Tapi Abu Thalhah harus 
mengakhiri hidupnya di sebuah jazirah yang jauh dari kenangan manusia. 
Bahkan namanyapun tidak seharum nama-nama mujahid lain seperti Khalid 
bin Walid misalnya.
Perjuangan dan ibadah tidak mengenal 
usia. Maka perjuangan ini tak boleh dihentikan oleh siapapun, apapun dan
 keadaan yang bagaimanapun jua. Dan tentunya tiada pension dalam 
perjuangan dan pengorbanan menggapai surga.
Dan karena jihad harus diukir diatas 
keikhlasan, maka jihad harus dijauhkan dari segala warna keterjerumusan,
 dikarenakan kesenangan sesaat berupa pujian manusia dan kenangan 
sejarah.
Popularitas tidak dilarang, tapi yang 
dilarang jika hal tersebut menjadi tujuan utama yang akan menutupi 
keikhlasan kita. Wallahu A’lam bishawab.
Saudaraku,
Mari kita pupuk semangat kita dalam berubudiyah, berjuang dan berkorban di jalan-Nya, walau pun tidak sekuat semangat Abu Thalhah, mudah-mudahan semangatnya dapat kita warisi dari sahabat agung ini.
Mari kita pupuk semangat kita dalam berubudiyah, berjuang dan berkorban di jalan-Nya, walau pun tidak sekuat semangat Abu Thalhah, mudah-mudahan semangatnya dapat kita warisi dari sahabat agung ini.
Bagi yang merasa lelah dan letih dalam 
berjuang. Bagi yang semangatnya memudar menggapai surga. Bagi yang 
mengharapkan pamrih duniawi dari perjuangan dan dakwahnya. Bagi yang 
mudah berputus asa dari rahmat-Nya. Belajarlah dari sosok Abu Thalhah. 
Yang mengirim pesan kepada kita, “Usia boleh uzur, tapi semangat 
berjuang tak boleh luntur. Wallahu A’lam bishawab
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..