Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!
 
 
 Lengkapnya Klik DISINI 
 
 
"Sesungguhnya
 Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang 
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh". (q.s. Ash-Shaff: 4)
Dimulai dari kader berkualitas.
“Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”
Sebuah soliditas adalah 
keniscayaan dalam jamaah dakwah. Kita memerlukan energy untuk terus 
membangkitkan semangat dan menghadirkan sosok-sosok pilihan yang mampu 
memaknai peran tanpa kehilangan jatidiri sebagai aktifis pergerakan. 
Kader yang senantiasa tegas dan lantang dalam menyuarakan perubahan demi
 perubahan. Seperti Abu Ubaidah ibnul Jarrah yang tetap teguh menjaga 
kepribadian. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bersabda memuji 
Abu Ubaidah bin Al Jarrah, “Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan 
orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”
Bagaimana sosok Abu 
Ubaidah hingga mendapat pujian sebagai orang kepercayaan? Inilah rahasia
 super murabbi yang hendak kami sajikan. Beberapa episode penting dalam 
kehidupannya menjadi inspirasi bagi para murabbi untuk terus menempa 
diri menghadirkan prestasi demi prestasi dalam setiap episode tarbawi 
dan dalam setiap mihwar da’awi alias orbit dakwah.
Pada suatu hari Abu 
Ubaidah dan beberapa tokoh kaum Quraisy lainnya pergi ke rumah keluarga 
Al Arqam untuk bertemu secara langsung dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wa
 Sallam. Oleh beliau, mereka ditawari masuk Islam, dan diperkenalkan 
syari’at-syari’atnya. Dengan tekun dan tenang Abu Ubaidah mendengarkan 
apa yang disampaikan oleh beliau. Diam-diam ia mencuri pandang wajah 
beliau yang nampak sangat rupawan dan bercahaya. Jenggot yang tipis 
menambah ketampanan beliau. Dan ketika mata Abu Ubaidah beradu pandang 
dengan mata beliau yang sejuk, seketika ia langsung menunduk dan merasa 
malu sendiri.
Begitu selesai 
mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa 
sallam, Abu Ubaidah dan kawan-kawannya segera menyatakan beriman dengan 
suka rela dan atas kesadaran sendiri, setelah Allah Ta’ala berkenan 
membukakan hati mereka menerima Islam. Maka dalam waktu yang sama, Abu 
Ubaidah dan kawan-kawannya sudah menjadi orang muslim.
Yang menarik dari 
pribadinya adalah sikap-sikap bijaknya dalam mengatasi konflik. Mampu 
menyelesaikan masalah-masalah pelik dengan strategi yang sangat cantik 
dan unik.
Berjiiwa Besar dalam Perang Badar
Dalam perang Badar 
menghadapi konflik batin yang sangat berat. Dia menyaksikan dengan mata 
kepalanya sendiri, banyak para sahabat Nabi syahid di tangan ayahnya 
sendiri. Terjadi konflik batin, antara membela sahabatnya atau memerangi
 ayahnya. Dia harus mengambil keputusan. Dia harus bersikap tegas 
mengatasi konflik itu, dia harus memerangi dan membunuh ayahnya yang 
musyrik. Dia memenangkan keputusannya. Membunuh ayahnya. Dengan 
tangannya. Sungguh sebuah medan konflik yang telah diselesaikan dengan 
cantik.
Dia segera bisa 
mengambil keputusan yang tegas. Ia lebih mementingkan membela imannya 
kepada Allah dan mengutamakan akidahnya yang murni daripada menuruti 
perasaannya sebagai seorang anak terhadap ayahnya. Tanpa ragu-ragu, dia 
mendekati ayahnya. Segera melancarkan serangan yang mematikan ke tubuh 
ayahnya, sebelum didahului oleh temannya sesama pasukan muslim. Dan 
seketika ayahnya tewas di tangannya.
Momentum dalam Perang Uhud
Dalam perang Uhud. 
Ketika pasukan orang-orang musyrik menyiarkan kabar bohong bahwa Nabi 
saw telah terbunuh. Pasukan muslimin guncang. Putus asa. Kendor 
semangatnya. Menyaksikan hal ini Abu Ubaidah segera menghampiri Nabi saw
 yang sedang mendapat serangan yang sangat gencar. Bibirnya Nabi 
terluka. Gigi depannya retak. Pelipisnya memar. Wajah berlumuran darah. 
Luka. Tepat ketika di dekat Nabi, Abu Ubaidah melihat darah mengalir 
deras dari wajahnya yang elok.
Berkali-kali dia segera 
berupaya menyeka darah yang terus mengalir. Dia menanggalkan salah satu 
gigi depan Nabi yang sudah retak dengan cara menggigit. Menggunakan 
giginya. Tanpa peduli, sekuat tenaga dia tarik gigi depan beliau 
sehingga akhirnya tanggal. Tentu saja hal ini menimbulkan rasa sakit 
yang luar biasa pada beliau. Tak ayal, darah pun mengucur deras dari 
mulut Nabi. Tetapi dia merasa senang karena bisa mengurangi rasa sakit 
yang dialami oleh beliau. Itulah sisi lain Abu Ubaidah, berani mengambil
 resiko terberat agar Rasulullah selamat.
Berhasil dalam Perang Dzatus Salasil
Ketika Rasulullah saw 
mengutus Amru bin Ash dalam perang Dzatus Salasil, bersama 300 prajurit 
kaum muslimin. Tatkala mereka mendekati kabilah-kabilah tersebut, 
ternyata jumlah pasukan musuh amatlah besar. Amru bin Ash kemudian 
meminta tambahan pasukan kepada Rasulullah saw untuk memperkuat skuad 
pasukan kaum muslimin.
Rasulullah saw pun 
mengutus Abu Ubaidah ibnul Jarrah bersama 200 pasukan tambahan. Di dalam
 pasukan terdapat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasullah juga mengamanahkan 
panji kepemimpinan pasukan kepada Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan 
memerintahkan segera menyusul pasukan Amru bin Ash seraya berpesan agar 
mereka bersatu padu dan tidak berselisih paham.
Ketika Abu Ubaidah tiba 
bersama pasukannya dan hendak mengimami seluruh pasukan tersebut —karena
 panji-panji kepemimpinan pasukan sebelumnya diserahkan oleh Rasulullah 
saw kepadanya—, Amru bin Ash berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau 
datang kemari untuk menambah pasukan yang aku pimpin. Dan aku adalah 
komandan pasukan di sini.”
Bagaimanakah sikap Abu Ubaidah?
Abu Ubaidah mematuhi apa yang dikatakan oleh Amru bin Ash yang akhirnya memimpin pasukan kaum Muslimin dan meraih kemenangan.
Saudaraku, Abu Ubaidah 
mampu memahami esensi pesan Nabi dan tetap menahan diri. “Hendaklah 
kalian semua bersatu padu dan tidak berselisih paham.” Padahal jelas, 
Rasulullah menyerahkan panji-panji kepemimpinan pasukan kepadanya, 
mengapa dia tidak merebut kepemimpinan itu?
Mengapa dia mengalah? 
Mengapa dia rela dipimpin oleh Amru bin Ash? Mengapa? Justeru di situlah
 keunggulan integritasnya. Pemimpin sejati adalah yang siap memimpin 
dirinya sendiri dan lebih mengutamakan soliditas dengan menjaga hubungan
 daripada memenangkan situasi.
Melejit dalam Berbagai Situasi Sulit
Ketika Rasulullah wafat,
 terjadi krisis kepemimpinan yang sangat sulit, menyulut konflik dan 
hampir-hampir memecah belah umat. Kaum muhajirin memilih Abu Bakar, kaum
 Anshar lebih memilih Sa’ad bin Mu’adz. Di tengah konflik inilah muncul 
nama Abu Ubaidah. Dia yang dipersaudarakan oleh Nabi dengan Sa’ad bin 
Mu’adz, tokoh puncak kaum Anshor. Sebenarnya ini sebuah pilihan yang 
tepat untuk perekat umat. Ini ‘kan kesempatan emas untuk berbuat, 
memberikan kontribusi penuh manfaat. Namun Abu Ubaidah melihat sesuatu 
yang oleh orang lain tidak terlihat. Dia bertindak cepat, lalu berseru 
dengan tawadhu,”Bagaimana kalian bisa mencalonkan aku, sementara di 
tengah-tengah kalian ada seseorang yang lebih hebat?”
Dia merasa Abu Bakar 
pilihan yang lebih tepat. Akhirnya Abu Ubaidah segera mengambil tangan 
Abu Bakar untuk berbaiat padanya, diikuti oleh Umar. Umat pun 
terselamatkan dari perpecahan. Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. 
Alhamdulillah.
Episode demi episode 
dilalui Abu Ubaidah penuh dengan pilihan-pilihan sulit. Saat berperang 
melawan Romawi di bawah pimpinan Heraklius, dalam kondisi terdesak dia 
mengutus kurir menemui sang khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq di Madinah 
untuk meminta pertimbangan. Khalifah mengirimkan pasukan tambahan dalam 
jumlah yang sangat besar untuk membantu pasukan yang sudah ada, seraya 
menginstruksikan:
“Aku mengangkat Khalid 
bin Al Walid sebagai panglima untuk menghadapi pasukan Romawi di Syiria.
 Dan aku harap kamu jangan menentangnya. Tetapi ta’atilah dia, patuhilah
 perintahnya. Aku memang sengaja memilihnya sebagai panglima, meskipun 
aku tahu kamu lebih baik daripadanya. Tetapi aku yakin dia memiliki 
kelihaian perang yang tidak kamu miliki. Mudah-mudahan Allah selalu 
menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.”
Abu Ubaidah menerima 
perintah khalifah dengan lapang dada. Rela sepenuhnya. Dia sambut Khalid
 bin Walid dengan suka cita. Dia serahkan tampuk kepemimpinan kepadanya 
dengan sikap hormat. Khalid tahu, Abu Ubaidah seorang komandan yang 
cerdas, berpengalaman, dan pemberani. Dia menunjuk Abu Ubaidah sebagai 
komandan pasukan kavaleri. Lalu pasukan berangkat. Mengepung Damaskus. 
Khalid bin Walid bergerak ke pintu gerbang kota sebelah timur, Abu 
Ubaidah bergerak ke pintu gerbang daerah Jabiyah. Komandan-komandan yang
 lain bergerak ke gerbang masing-masing.
Kekuatan pasukan kaum 
muslimin berhasil mengepung kota yang sangat kuat tersebut dari segala 
penjuru. Karena terus didesak, penduduk kota Damaskus berusaha melakukan
 perlawanan dengan sangat gigih untuk mempertahankan kota mereka yang 
tercinta. Di tengah keadaan yang sangat genting tersebut, ketika pasukan
 kaum muslimin bertempur habis-habisan dengan pasukan Romawi, Umar bin 
Khattab ra menemui Abu Ubaidah. Membawa kabar, Abu Bakar telah wafat. 
Umar juga hendak memecat panglima Khalid bin Al Walid, mengembalikan 
kepemimpinan kepada Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah 
menyembunyikan berita duka agar tidak terdengar oleh pasukan kaum 
muslimin yang sedang gigih bertempur di bawah komando panglima Khalid 
bin Walid melawan pasukan Romawi. Dia khawatir berita kematian sang 
khalifah Abu Bakar membuat suasana gempar sehingga kekuatan jadi buyar. 
Bahkan surat Umar untuk pemecatan Khalid bin Al Walid dia tahan, mencari
 waktu yang tepat benar. Sebab, mereka tengah menghadapi pasukan yang 
sangat tangguh. Bahkan keadaan pasukan kaum muslimin sedang terdesak. 
Abu Ubaidah tetap tegar dan tidak mau menyerah. Dia terus berjuang 
habis-habisan. Dia merasa jika terus menerus mengepung kota Damaskus 
yang sangat kuat, bisa menguras kekuatan pasukan kaum muslimin, 
melemahkan semangat mereka, dan menimbulkan kebosanan. Akhirnya dia 
mencari jalan keluar. Menawarkan gencatan kepada penduduk kota Damaskus.
 Namun dalam waktu yang bersamaan Khalid bin Al Walid baru saja berhasil
 mendobrak pintu gerbang kota sebelah timur sehingga dapat memasuki kota
 tersebut dengan leluasa.
Abu Ubaidah dan Khalid 
bin Al Walid lalu bertemu. Mereka terlibat perdebatan sengit tentang apa
 yang harus dilakukan terhadap kota Damaskus, apakah ditaklukkan dengan 
kekerasan atau memilih jalan damai, gencatan senjata?
Abu Ubaidah bersikukuh 
menempuh jalan damai dengan penduduk Damaskus, sehingga Khalid bin Walid
 pun luluh. Mengalah demi menghormati Abu Ubaidah yang terlanjur telah 
mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Damaskus. Khalid bin Al 
Walid tunduk patuh kepada Abu Ubaidah setelah mengetahui bahwa dirinya 
sudah dipecat sebagai panglima oleh Umar bin Khattab, khalifah yang 
baru.
Belajar Keulungan dari Abu Ubaidah
Mari kita belajar dari 
salah seorang dari Sepuluh Orang yang Dijamin Surga, dialah Abu Ubaidah 
ibnul Jarrah. Seluruh mozaik kehidupannya perlu kita telisik dengan unik
 karena sosoknya mencerminkan kader pengokoh soliditas jamaah terutama 
di saat sulit, dalam berbagai medan konflik dapat dilalui dengan cantik.
 Kalau surga merindukannya tentunya ini pula yang menjadi obsesi kita.
Pertama, cepat merespon 
kebaikan demi kebaikan sejak pertama kali bergabung bersama Islam. 
Prestasi keislamannya dan berbagai peran unggulannya munculnya dari 
tarbiyah yang paripurna. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang 
bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (q.s. An-Nahl: 128)
Kedua, memiliki visi 
yang kuat dalam berjamaah. Yakni keterikatan dia pada jamaah karena 
ikatan visi, ikatan aqidah, keimanan, dakwah dan ukhuwah bukan karena 
ikatan kepentingan berupa jabatan, gengsi popularitas maupun kenikmatan 
duniawi yang sesaat. Medan konflik peran dan konflik batin mampu dilalui
 dengan sangat manis karena orientasi rabbani benar-benar menghunjam 
dalam diri.
Ketiga, mampu mengelola 
perbedaan menjadi kekuatan dan mensinergikannya menjadi jalan kemenangan
 demi kemenangan meski kemenangan tersebut bukan diatas namakan pada 
dirinya. Dia mampu menahan diri untuk tidak begitu menyampaikan 
berita-berita penting di saat-saat genting agar tidak menimbulkan 
konflik yang meruncing. Seorang murabbi dan para pemimpin dakwah mesti 
memiliki kecerdasan praktis seperti ini. Yakni kecerdasan untuk 
mengetahui apa yang harus dikatakan kepada orang tertentu, mengetahui 
kapan mengatakannya, tahu bagaimana mengatakannya untuk mendapatkan 
hasil yang maksimal. (Robert Sternberg – dalam buku OUTLIERS Malcolm 
Gladwell)
Keempat, organisasi 
adalah system dan sarana bukan tujuan. Dalam menjaga soliditas jamaah 
dakwah Abu Ubaidah sangat peka merasakan betapa pentingnya menjaga 
soliditas team dan keberlangsungan system karena adanya tujuan-tujuan 
agung dakwah yang hendak diraih bersama.
Kelima, Selalu 
berorientasi memberi. Bila setiap kader memiliki jiwa seperti Abu 
Ubaidah kita akan merasakan atmosfer tarbiyah dan aura dakwah begitu 
melimpah ruah karena para ikhwah adalah barisan orang-orang yang sadar 
untuk memberikan kontribusi dalam perjuangan. Dan ini bisa dibangun dari
 lima pilar kesadaran berorganisasi atau berjamaah dalam kemenyeluruhan 
dakwah Islamiyah, yakni :
1. Individu bagian dari FUNGSI pencapaian TUJUAN.
2. Semangat MEMBERI mengalahkan semangat MENERIMA.
3. SIAP menjadi TENTARA KREATIF dalam bingkai KESETIAAN dan KETAATAN.
4. Berorientasi pada KARYA bukan POSISI
5. BEKERJASAMA walaupun BERBEDA
(M. Anis Matta, Dari GERAKAN ke NEGARA)
Bukan Menuntut tapi Memulai…
Soliditas itu dimulai 
dan dibangun dari dalam diri setiap kader dakwah, murabbi dan murabbiyah
 secara sadar. Sebab kebanyakan orang keluar dari organisasi –menurut 
Azim Premji Milyuner Muslim dari India—bukan karena tidak cinta kepada 
organisasinya namun karena manajemen yang buruk. Nah, kader-kader dakwah
 yang clear, care and competence mesti menjadi pelopor kebaikan dalam 
diri dengan mampu menjaga quwwatush shilah billah yang terimplementasi 
dalam ranah ukhuwah dari tataran dasar salamatush shadr hingga puncak 
itsar.
Inilah cara sehat untuk 
sehat. Kita sehat kalau berpikir untuk memberi manfaat kepada orang lain
 dan kita mudah lelah dan sakit bila hanya memikirkan kepentingan diri 
sendiri. Saat kita memberikan yang terbaik, sesungguhnya kebaikan itu 
akan kembali kepada kita juga.
Saudaraku, mari kita 
membentuk diri dengan spirit keulungan seorang murabbi sejati. Super 
murabbi didikan Rasulullah. Abu Ubaidah yang mampu mengelola konflik 
demi konflik dengan apik. Bukan untuk kebesaran dirinya tapi untuk 
kemenangan bersama. Kemenangan besar. Itulah yang mensurgakan perannya, 
yang mengangkat kebesaran jiwanya. Keunggulan dalam ketawadhu’an. 
Ketegasan dalam kesabaran.
Dibutuhkan kesabaran 
yang super seperti Abu Ubaidah untuk bisa meraih kemenangan yang besar. 
Kesabaran untuk kebesaran. Itulah cara mengelola sikap optimisme agar 
menjiwa, mendarahdaging, mensumsum tulang dalam berpikir menang. 
Kemenangan di alam jiwa, kemenangan di alam nyata.
Begitulah hidup. Lebih 
bermakna bila fokus pada kualitas tanpa meremehkan kuantitas. Adapun 
bila kualitas bergabung dengan kuantitas tentu akan menjadi kekuatan 
super dahsyat. Seperti kejeniusan pikiran seorang pemimpin, bersarang 
dalam hati yang ikhlas, tegak di atas fisik yang kuat, dan tampak dalam 
kemuliaan akhlak.
Semoga kita bisa 
mewujudkannya… dan itu dimulai dari dalam diri setiap ikhwah, 
kader-kader dakwah dan tarbiyah. Ya Ayyuhalladziinaa aamanuu 
intanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.
—–
Solikhin Abu Izzudin
dari Buku Super Murabbi
Sumber :
http://www.pkskelapadua.com/2014/05/membangun-soliditas-dengan-kader.html 
 
 
 
