Ada seorang akh bertanya kepada saya tentang “kiat sukses memikat hati.”
Saya katakan, “Kita percaya bahwa
manusia itu sama. Ini tercermin ketika kaum Muslimin berada dalam
masjid. Yang miskin duduk ber-dampingan dengan yang kaya, yang lemah
berdam-pingan dengan yang kuat, tukang sapu dan tukang sampah sama
seperti kebanyakan manusia lain dalam masjid. Tetapi sayang, hal ini
tidak diaplikasikan di luar masjid. Apakah ketika Anda lewat di jalanan
dan bertemu salah seorang tukang sapu, Anda mengucapkan salam padanya?”
“Tidak,” jawabnya.
Saya katakan, “Itu karena Anda tidak
peduli kepada-nya. Sungguh, Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
melarang perbuatan demikian melalui sabdanya, ‘Janganlah kalian
menganggap remeh suatu kebaikan walau itu hanya sekedar bermuka ceria
ketika bertemu saudaramu.’ Bila Anda melakukan hal itu, lalu Anda
ucapkan salam padanya, baik kenal maupun tidak, berarti Anda telah
menghargai dinnya dan memberinya rasa optimis dalam menatap kehidupan,
karena sebelumnya ia merasa dari golongan terasing dalam masyarakat. Ia
merasa tidak seorang pun yang mau memalingkan wajah ke arahnya, tidak
seorang pun yang menghargainya atau sekedar mengajaknya berbi-cara
dengan baik. Bila Anda ucapkan salam kepadanya di suatu hari, maka ia
akan menantimu lewat di jalan itu, hanya untuk mendapatkan salam darimu.
Ketahuilah, telah banyak orang yang mengabaikan sesuatu yang selama im
ia cari-cari dan dambakan.”
Pada hakikatnya tukang sapu dan tukang
sampah yang bekerja sebagai petugas mengumpulkan sampah dari rumah ke
rumah dan dari jalanan ke jalanan, berhak mendapat penghargaan. Karena
kita merasa terbantu dengan pekerjaan yang sulit dan kotor ini.
Oleh karena itu, negara berkewajiban
memberikan gaji yang berlipat atau memberinya tunjangan biaya kesehatan.
Karena pada hakikatnya ia lebih mudah terserang banyak penyakit, yang
disebabkan oleh seringnya berhubungan dengan kotoran-kotoran itu. Jika
kita memahami tujuan da’wah, yaitu da’wah pembenahan, guna mewujudkan
masyarakat islami, maka tidak akan terlewat dari pikiran kita untuk
memahami kenyataan ini, yang dapat menyatukan hati dan menjernihkan
akhlak.
Pada suatu hari saya berada di Masjid
Kurmuz, Iskandaria, membicarakan tentang hal ini bersama bebe-rapa
ikhwah. Ketika saya selesai berbicara, tiba-tiba saya dihampiri seorang
pemuda, seraya mengatakan, “Saya sangat terkesan dengan pembahasan ini.”
Setelah saya tanya, ternyata ia bekerja sebagai tukang kebersihan dan
tukang sapu. Lalu saya katakan, “Bukankah kannas (tukang sapu) itu
kan-nas (sama seperti manusia lain)?'” Sungguh, ini kata-kata spontan
belaka, yang kebetulan saja berlaku.