Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

GAK USAH MIKIRIN MALAM MINGGU UNTUK PACARAN

gambar google
1. Pacaran
Naah ini yang paling aneh. Kenapa harus pacaran? Apakah yang namanya cinta harus didahului dengan pacaran? Kalo jantan dan memang tujuannya untuk menikah (sebagai laki-laki) datangi orang tuanya, langsung lamar! Islam tak pernah mengajarkan pacaran, sebab dalam aktivitas ini banyak sekali mudharat yang ada.

Ga usah dengerin kata-kata temen ga punya pacar ga gaul. Lebih baik dekat dengan Allah daripada dekat dengan pacar.

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Israa ‘ : 36)

2. Aktivitas Pacaran
Kalo yang gue tahu rada aneh juga sih. Kalo pacaran banyak “kewajiban” yang harus dilakukan. Harus nanyain kabar, nanyain lagi ngapain, nanyain udah makan belum, terus antar sana antar sini. Hahaha,, pikir untuk apa bro? Dia belum ada ikatan apa-apa sama lo.

Dia sama dengan saudara-saudara sesama Muslim yang lain, buat apa melakukan hal-hal tidak berguna seperti itu. Kita sama sekali belum punya kewajiban karena dia bukan siapa-siapa kita. Butuh perhatian? Rasanya perhatian orang tua dan sodara jauh lebih tulus dibanding pacar yang biasanya ada maunya.

3. Malam minggu
Ada apa dengan Pocong? Eh salah itu mah judul film. Ada apa dengan malam minggu? Nah ini yang gue bikin heran. Tiap malam minggu pasti para jombloers (istilah yang ga punya pacar) mengeluh tentang kejombloannya. Sebenarnya apa sih yang istimewa dengan malam minggu? Perasaan sama-sama aja deh dengan malam-malam lainnya.

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/s403x403/971636_594964227210386_2135956300_n.jpg
gambar google
Entah tradisi dari mana, katanya sih malam minggu waktu yang pas buat jalan bareng pacar, jalan-jalan ke mall gitu karena esoknya libur jadi “dimanfaatkan” gitu.

Menurut gue daripada malam minggu hambur-hamburin uang, mendingan pake buat hal yang lebih bermanfaat gitu, mengaji kek atau memperdalam agama. Atau mungkin piket malem di facebook (eh itu mah gue, halah). That’s better I think.

4. Putus - jomblo
Nah ini yang paling aneh. Abis pacaran kalo udah ga cocok ada istilah yang namanya putus. Kalo setahu gue yang namanya putus itu kabel telepon putus, atau layangan putus. Pacaran kok putus? Seperti udah ada ikatan aja.

Padahal dari yang namanya pacaran itu kan hubungan tanpa ikatan, kalo ga diiket mana mungkin putus, iya toh? Kalo udah putus ada yang namanya jomblo. Coba buka KTP mu sodara-sodara? Apakah di sana ada yang tertulis jomblo? Setahuku yang ada cuma dua, menikah dan belum menikah. Itulah status resmi, ga ada yang namanya jomblo.

5. Galau
Ini juga ga ngerti gue, siapa yang populerin istilah ini. Katanya galau itu sedang mikirin sesuatu yang ga jelas, sampai ga enak ngapa-ngapain. Hampir 90 persen galau gara-gara malam minggu pingin jalan dan ga punya pacar.

Let’s think abot this. Pernahkah kita galau karena: ..
a. Merasa jauh dengan ALLAH Subhanahu Wa Ta'aala..? Merasa berdosa karena melakukan banyak perbuatan maksiat, salah satunya pacaran?
b. Melihat teman-teman sebaya banyak yang meninggal, seakan diperingatkan dan takut belum punya cukup amal untuk menghadap-Nya?
c. Pingin banget shalat tahajud, tapi ga bangun-bangun? (kalo ga ada sms dari pacar aja galau, gini ga mungkin ya)
d. Kesiangan bangun jadi ga shalat subuh? (boro-boro shalat dzuhr kelewat aja masih bisa ketawa-ketawa)
e. Merasa hari demi hari tidak berguna karena lebih banyak maksiyat dibandingkan amalan?
f. Pingin shaum, tapi sahur susah banget bangun?

6. Kalo ga pacaran gimana bisa punya jodoh ..?!? ..
Menurut gue, kalo usia lo masih ingusan, hidup masih dibiayai orang tua, kuliah ga lulus-lulus lebih baik stop mikirin pacar! Lebih baik persiapkan diri, baik amalan yang diperbanyak ataupun ilmu dan masa depan pikirkan. Pacaran bisa membuang banyak waktu lo, banyak dosa pula. Kalo suka sama lawan jenis, belum mampu menikah simpan dalam hati dan perbanyaklah berpuasa.

“Wahai sekalian para pemuda barang siapa diantara kalian telah mampu menikah, hendaklah menikah karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Barang siapa yg belum mampu menikah hendaklah puasa karena puasa merupakan perisai baginya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Setau gue, kalo pas pacaran biasanya ada maunya. Pingin dibayarin makan, pingin ada yang perhatiin, pingin ada yang nanya udah makan belom, dsb. Tapi begitu sudah didapet semuanya, udah deh ga dipake lagi. Kita sendiri pasti dong pingin dapet istri/suami yang baik. Jadi ngapain ngurusin yang namanya Pacaran di malam Minggu ...

Ingat sahabatku semua ...

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...”
Aku Mencintaimu Karena Allah ...

Silahkan Klik "SUKA" dan "BAGIKAN", Jika dinilai baik & bermanfaat bagi sahabat semua. Semoga menjadi kebaikan Kita semua.

Lengkapnya Klik DISINI

Kalian Adalah Umat Terbaik

http://www.hasanalbanna.com/harokah/wp-content/uploads/2012/01/Hasan-Al-Banna.jpg
Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.
Kita memulai dengan cara yang paling baik. Ikhwan yang mulia, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi: assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Ketika para pendahulu Anda membawa dakwah kebenaran ke Timur dan ke Barat, sampai akhirnya dengan perjuangan mereka, Islam berjaya dan panji-panjinya dikibarkan, hal itu bukanlah lantaran banyaknya jumlah, kuatnya tekad, banyaknya harta, besarnya postur tubuh mereka, atau karena mereka memiliki keistimewaan dalam ilmu pengetahuan tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Rahasia kemenangan itu adalah karena mereka mempunyai keimanan mendalam yang merasuk hingga relung hati, mereka saling mencintai karena Allah, saling mengasihi berdasarkan ketaatan kepada-Nya, serta bersatu padu di atas dakwah. Jadilah mereka ibarat benteng dari besi.
Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam wafat, sedangkan jumlah sahabat beliau tidak lebih dari tujuh puluh ribu orang. Ilmu pengetahuan dan kreativitas mereka tidak lebih baik daripada musuh. Mereka berperang sementara pedang mereka dibungkus sobekan kain, karena tidak memiliki sarung yang terbuat dari besi atau kulit. Satu-satunya modal yang mereka punyai adalah bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam.
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan)yang menyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian!’, maka kami pun beriman.” (QS. Ali Imran: 193)
Mereka meyakini bahwa itu adalah kebaikan, sedangkan selainnya adalah keburukan. Ia adalah cahaya sedangkan selainnya adalah kegelapan. “Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang.” (QS. Ibrahim: 1)
Ikhwan sekalian, saya percaya bahwa di mana ada orang-orang muslim, di situ ada kebaikan, sekalipun zaman dan manusia telah rusak; meskipun kebatilan dan pendukung-pendukungnya merajalela. Karena itu, hendaklah Anda semua berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama dan sunah nabi —semoga shalawat dan salam Allah dilimpahkan kepada beliau—. Pantulkanlah cahaya ini kepada diri Anda, sehingga tidak ada yang keluar dari diri Anda selain kebaikan dan Anda tidak mengumpulkan di sekeliling Anda selain hati yang penuh dengan cinta, kasih sayang, kelemahlembutan, kebaikan, dan kemuliaan. Ajaklah manusia kepada ketinggian dan kesempurnaan, tidak dengan ucapan saja, tetapi dengan perbuatan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, perbuatan yang sesuai dengan agama Anda yang lurus dan sejarah Anda yang agung.
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Ikhwan sekalian, hendaklah kebaikan menjadi bekal bagi Anda semua, sekaligus hendaklah Anda menjadi pembela dan simbolnya. Islam akan melapangkan jalan bagi manusia yang demikian ini dan menutup bagi setan jalan kejahatan, makar, kebencian, dan kedengkian. Jika kaum muslimin berpegang teguh kepada agama mereka, niscaya mereka bisa bersatu padu dalam satu barisan ibarat bangunan yang kokoh dan niscaya mereka bisa berjalan menuju tujuan mereka yang mulia dengan langkah-langkah yang mantap dan cepat. Alangkah indahnya andaikata kaum muslimin menjadi sebagaimana yang diperintahkan Tuhan kepada mereka. “Keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29)
Ikhwan semua, hendaklah Anda semua menjadi orang-orang yang mengasihi setiap muslim. Ajarkan kepada setiap muslim bagaimana mencintai, bertoleransi, mengabaikan perkara-perkara kecil, serta bagaimana menghindari prasangka buruk, perkataan yang melukai, dan kedustaan yang tercela. Ikhwan semua, tutuplah celah-celah ini agar tidak dilalui oleh setan, jadikanlah kaum muslimin ibarat besi, yang padat, kuat, dan padu.
Dekadensi moral dan kekacauan sosial yang muncul lantaran keberadaan imperialis di negeri kita serta lantaran tindakannya yang merusak moral, menghidupkan nafsu syahwat, dan memikat orang-orang yang berpikiran tidak “waras” agar memperhatikan urusan-urusan kecil supaya terpalingkan dari kebaikan dan kehidupan yang terhormat lagi mulia, telah merasuki masyarakat kita dalam gambaran sedemikian rupa yang tidak mungkin bisa dihadapi, kecuali dengan gerakan untuk berpegang teguh kepada agama, keteladanan yang baik, serta penyebaran cinta dan persaudaraan di kalangan kaum muslimin. Jika Anda melihat orang yang mencela Anda, maka berdoalah agar ia mendapat hidayah dan kebaikan. Pujilah Allah bahwa Dia telah memberikan nikmat kehormatan, kebersihan, dan cinta kebaikan untuk manusia, kepada Anda.
Ikhwan sekalian, dakwah tidak akan tegak kecuali dengan dua hal.
Pertama, iman yang mendalam kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menggantungkan diri kepada-Nya dalam segala hal, dan berpegang teguh kepada aqidah yang suci dengan segala manifestasinya berupa akhlak mulia, keteguhan dalam kebenaran, kesabaran menghadapi penderitaan, dan ketegaran dalam memikul kesulitan.
“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63)
“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)
Kedua, kecintaan karena Allah yang kuat, yang menjadikan Anda semua satu hati, sehingga Anda  berjalan ke arah tujuan dalam keadaan mendapatkan pertolongan. Jagalah lidah, bersihkan hati, bersabarlah terhadap gangguan, jangan takut kepada topan kedustaan dan banjir kebohongan. Jadilah Anda semua sebagaimana firman Allah, “Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah Yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)
Ikhwan semua, ketahuilah bahwa kondisi negara saat ini merupakan batu ujian bagi keteguhannya, cobaan bagi kesatuannya, dan ancaman bagi nasibnya. Itu semua menjadikan setiap warga Mesir berkewajiban untuk melupakan dirinya sendiri dan berkonsentrasi untuk satu agenda, yaitu memperbaiki diri, memberi petunjuk kepada orang lain, dan bersiap siaga untuk menghadapi suatu hari kemenangan yang mungkin sudah dekat. Jangan sampai ia terjerumus dalam arus rendah, yaitu arus perselisihan yang menyesatkan dan hina.
Amma ba’du. Ikhwan semua, dalam menjelaskan makna-makna ayat, kita telah sampai pada firman Allah. “Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Saya telah menjelaskan bahwa dalam ayat ini terkandung makna tantangan dan bahwa tantangan itu ada beberapa tahapan. Pertama, orang-orang yang sombong itu ditantang untuk mendatangkan kitab seperti Al-Qur’an, mereka tidak mampu. Kemudian mereka ditantang untuk mendatangkan sepuluh surat sebagaimana surat yang ada dalam Al-Qur’an, mereka tidak mampu. Akhirnya mereka ditantang untuk mendatangkan satu surat yang setara dengan satu surat Al-Qur’an, mereka pun menyerah. Mereka selanjutnya lebih memilih perang dan mati daripada melayani tantangan ini.
Siapakah mereka itu? Mereka adalah orang-orang yang fasih, ahli balaghah, pakar retorika, dan jago berbicara. Al-Qur’an dan Allah menantang mereka melalui lisan Rasul-Nya shalallahu ‘alayhi wa sallam untuk melakukan apa yang merupakan sifat paling membanggakan bagi mereka dan “menyerang mereka di benteng mereka yang paling kokoh”, sehingga mereka tersungkur menyerah dan benteng-benteng pertahanan mereka pun runtuh.
Wahai Akhi, saya telah menjelaskan bukti kemukjizatan Al-Qur’an melalui dua jalan, yaitu melalui bukti sejarah dan melalui bukti ilmiah. Saya juga telah mengemukakan contoh-contoh mengenai itu. Sekarang kita akan mengalihkan pembicaraan tentang prinsip penetapan balasan.
Balasan senantiasa menjadi stimulan yang mendorong untuk melakukan perbuatan baik. Anda bisa melihat para orang tua, penguasa, dan pendidik memberikan iming-iming hadiah ketika mereka menganjurkan agar berbuat baik dan menjauhi kejahatan, kerendahan, dan kemaksiatan.
Balasan itu ada dua macam. Yang pertama adalah balasan untuk orang-orang yang beriman, shalih, dan membenarkan ajaran Rasul, yaitu surga yang seluas langit dan bumi, yang di dalamnya terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terdetik dalam hati manusia. Wahai Akhi, kita harus percaya bahwa balasan baik yang diberikan kepada orang-orang beriman di surga adalah meliputi kenikmatan ruhani dan kenikmatan materi. “Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 17)
Adapun balasan bagi orang-orang kafir adalah siksa di neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu. Penjelasan mengenai siksa ini bisa diperoleh dengan gamblang dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab.” (QS. An-Nisa’: 56)
Jadi, Allah subhanahu wa ta’ala memperlakukan orang yang berbuat baik dengan kebaikannya dan orang yang berbuat jahat dengan kejahatannya.
Tambahan pahala bagi orang yang berbuat baik akan mendorongnya untuk meningkatkan perbuatan baiknya. Sedangkan pembalasan pelaku kejahatan dengan kejahatan yang setara akan mendorongnya untuk menghentikan perbuatan jahat dan menyadari kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala. Penulisan satu nilai kebaikan bagi siapa yang berniat melakukan kejahatan tetapi tidak jadi melakukannya serta tidak dituliskannya satu kejahatan kecuali setelah ia benar-benar dilaksanakan, juga menegaskan makna ini.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya.
sumber : hasanalbanna.com
Lengkapnya Klik DISINI

Sistem Demokrasi Prinsipnya adalah Haram

Sistem Demokrasi Prinsipnya adalah Haram
Isu demokrasi ini merupakan salah satu hal yang tengah diperbincangkan di dunia Islam dan banyak sekali perdebatan mengenainya akhir-akhir ini, disamping juga adanya orang yang memutlakkan pendapatnya bahwa Islam itu identik dengan sistem demokrasi, bahkan mereka beranggapan bahwa menentang demokrasi itu adalah suatu hal yang syâdz, maka hal ini perlu dikritisi dan dijelaskan. Syaikh Abdul Majid Ar Raimi dan Syaikh ‘Abdul Âkhir Hammâd Al Ghunaimî menjelaskan beberapa hal berikut ini.

Sikap yang Syar’î Terhadap Demokrasi

Tatkala Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah ditanya tentang pasukan Tatar (Mongol), beliau menjelaskan bahwa hukum kepada mereka dibangun di atas dua pondasi, yaitu : pertama, mengetahui perihal/keadaan mereka, dan kedua, mengetahui hukum Allah terhadap orang semisal mereka. (Majmû’ Fatâwâ 28:554)

Sejatinya, metode yang ditempuh oleh Syaikhul Islâm ini adalah metode yang wajib kita tiru di dalam semua keadaan disertai dengan pemaparan hukum syar’î tentangnya. Oleh karena itu, kita juga mengatakan di dalam permasalahan yang tengah kita bahas ini, bahwa kita harus mengetahui tentang seluk beluk demokrasi, baik konsep dan praktisnya, kemudian berangkat dari hal ini kita dapat mengetahui hukum Allah tentangnya dari nash-nash syari’at yang lurus.

Pengertian Demokrasi

Sesungguhnya, suatu hal yang telah diketahui oleh setiap pelajar pemula yang mempelajari studi pemikiran politik, bahwa demokrasi itu berasal dari derivasi dua kata Yunani, yaitu Demos yang berarti rakyat (arab : asy sya’b) dan Kratas yang berarti kekuasaan (arab : as sulthah). Jadi arti demokrasi adalah yang berwenang/memiliki kekuasaan untuk menentukan suatu hukum adalah rakyat.

Bangsa yang pertama kali menerapkan demokrasi adalah bangsa Greek (Yunani) yang mereka menyebutnya dengan pemerintahan kota (sipil) yang dilaksanakan di kota Athena dan Sparta, dimana setiap individu masyarakat dari kalangan laki-laki turut berperan serta di dalam menentukan hukum terhadap segala sesuatu, seperti di dalam pemilihan penguasa, membuat undang-undang dan lain sebagainya. inilah bentuk sistem demokrasi yang pertama, yaitu berjalan secara langsung dimana setiap individu dapat turut serta secara langsung di dalam menelorkan sebuah hukum atau peraturan, tanpa perlu memilih dewan perwakilan untuk mewakili mereka.

Bentuk sistem demokrasi ini telah berakhir dalam waktu singkat, seiring dengan berakhirnya pemerintahan kota di Athena dan Sparta. Akan tetapi ide dan pemikiran demokrasi masih tetap terjaga di memori sejarah sampai abad renaissance (kebangkitan) di Eropa, khususnya pasca revolusi Perancis, dimana bangsa Eropa mulai melakukan perombakan dan perubahan dari keadaannya yang berada di bawah cengkeraman kerajaan dan kezhaliman gereja. Perubahan tersebut adalah dengan mulainya mereka mengekstraksi sistem demokrasi dari perbendaharaan sejarah. Hal ini oleh sebab mereka tidak memiliki konsep agama yang benar sehingga mereka dapat berhukum dengannya.

Kemudian mulailah dilakukan beberapa revisi terhadap bentuk demokrasi yang pertama, sehingga menjadi sistem demokrasi yang tidak langsung. Maksudnya, rakyat harus memilih dewan perwakilan untuk mewakilinya di dalam menentukan hukum dan pembuatan undang-undang/legislasi. Kemudian ada juga (yang dalam perkembangannya) menjadi sistem demokrasi semi-langsung, artinya rakyat tetap memilih dewan perwakilan untuk mewakili aspirasinya, namun selain itu dirinya masih memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya terhadap kebijakan penguasa melalui referendum publik atau yang semisalnya.

Konsekuensinya adalah, eksisnya partai-partai politik yang saling berkompetisi untuk meraih kemenangan dengan cara menggalang suara terbanyak, agar dapat mencapai kursi kekuasaan. Selain itu juga diperkenalkan sejumlah jaminan dan hak-hak yang menjamin kebebasan setiap individu, diantaranya adalah hak politik di dalam memberikan suara, mencalonkan diri di dalam majelis parlemen, kantor publik dan selainnya. Namun, substansi dari demokrasi adalah tetap, sebagaimana demokrasi merupakan derivat dari bahasa aslinya, yaitu rakyatlah yang membuat undang-undang dan legislasi, baik secara langsung maupun tidak.

Ketetapan di dalam sistem perundangan demokrasi, selaras dengan apa yang ditetapkan oleh para pengamat politik bahwa seharusnya dewan perwakilan itu dianggap sebagai representasi kehendak rakyat, akan tetapi sering kali hal ini tidak dapat terjadi, atau seperti dalam uraian al-Ustâdz Abul A’la al-Maudûdî tetang pemilu di negara barat :

“Pemilu ini tidak akan sukses, kecuali dengan menipu manusia, memperdaya akal dan hati mereka dengan harta, pengetahuan, kecerdasan dan propaganda palsu… kemudian mereka yang sukses terpilih, berubah menjadi tuhan-tuhan bagi mereka, yang mensyariatkan undang-undang sekehendak mereka, bukan untuk kemaslahatan orang banyak, namun untuk kepentingan pribadi dan keuntungan partainya. Ini sungguh merupakan penyakit akut yang menjangkiti negara Amerika, Inggris dan seluruh negeri yang hari ini menyebutnya sebagai surga demokrasi.” (Nazhariyah al-Islâm as-Siyasiyah hal. 18).

Masalah Tasyrî’ (Legislasi/Perundang-undangan)

Esensi dari demokrasi menurut kami adalah : memberikan hak tasyrî’ (legislasi) kepada manusia dan manusia berhak membuat hukum bagi diri mereka sendiri menurut kehendak dan keinginan mereka. Kemampuan untuk membuat legislasi ini menurut kami adalah pasti ada di dalam seluruh bentuk sistem demokrasi.

Masalah legislasi ini merupakan substansi perbedaan antara Islam dengan demokrasi. Islam secara tegas dan terang-terangan menyatakan bahwa hak legislasi itu adalah murni hak Allah semata. Yang haram adalah apa yang diharamkan Allah dan yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah. Masalah ini bukanlah permasalahan furû’ (cabang) sebagaimana diduga oleh sebagian orang, namun masalah ini adalah masalah yang berkaitan dengan pokok aqidah. Bagi orang yang masih memperdebatkan masalah ini, silakan merenungi firman Allah Azza wa Jalla berikut :  “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS asy-Syûrâ : 21)

Dan firman-Nya : “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS an-Nisâ` : 60)

Dan firman-Nya Ta’âlâ : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidaklah dikatakan beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisâ` : 65)

Syaikh Muhammad bin Ibrâhîim rahimahullâhu berkata tentang ayat ini di dalam Risâlah Tahkîmu al-Qowânîna :

“Allah Subhânahu telah meniadakan keimanan seseorang yang tidak mau berhukum dengan nabi terhadap perkara yang mereka perselisihkan dengan penafian yang ditekankan (nafyan mu`akkadan) dengan pengulangan yang disertai dengan sumpah.” (Risâlah Tahkîmu al-Qowânîna hal. 5)

Ibnu Katsîr rahimahullâhu menukilkan sebuah konsensus (ijmâ’) atas kafirnya orang yang menjadikan bagi dirinya syariat selain syariat Allah. Beliau berkata ketika membicarakan tentang hukum al-Yasa yang diterapkan oleh Jengis Khân untuk menghukumi para pengikutnya :

“Barangsiapa yang meninggalkan syariat yang diturunkan kepada Muhammad bin ‘Abdillâh penutup para nabi, dan berhukum dengan selain syariat beliau dari syariat-syariat kafir yang telah di-mansûkh (dihapus hukumnya dengan Islam) maka ia telah kafir. Lantas bagaimana kiranya dengan orang yang berhukum dengan al-Yasa dan lebih mendahulukannya (ketimbang syariat Nabi)? Barangsiapa yang melakukan hal ini maka telah kafir dengan kesepakatan (ijmâ’) kaum Muslimin.” (al-Bidâyah wah Nihâyah 13:128)

Berbilangnya Partai (Multi Partai)

Poin kedua dari demokrasi yang kita tolak adalah fenomena multi partai, yaitu leluasanya dan bolehnya siapa saja yang berkeinginan untuk mendirikan partai. Walaupun poin pertama sebelumnya sudah cukup untuk meruntuhkan bangunan demokrasi -oleh sebab poin pertama tersebut termasuk ranah aqidah-, hanya saja poin kedua tentang multi partai ini tidak boleh dilupakan begitu saja ketika berbicara tentang demokrasi. Kita mengetahui bahwa pembentukan partai-partai ini merupakan sifat mendasar dari sistem demokrasi barat. Kecuali, pada bentuk demokrasi secara langsung yang telah berakhir dan tidak ada wujudnya, melainkan pada sejumlah propinsi di Swiss dan sejumlah kota kecil di New-England Amerika. (Lihat buku Musykilât fî al-‘Ulûmi as-Siyâsiyah karya DR. Ahmad Jamâl Zhâhir II:40).

Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq, karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap pemeluk agama, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, “Sesungguhnya sistem demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan yang telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu,” sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan (ironisnya) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan:  ”Sesungguhnya demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik.”

Kesetaraan (al-Musâwâh)

Termasuk perkara yang sudah ma’rûf di dalam sistem demokrasi barat adalah, warga satu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa ada perbedaan antara orang yang satu dengan lainnya oleh sebab warna kulit, suku ataupun aqidah. Hal inilah yang bertentangan dengan Islam, sebab Islam adalah agama yang adil secara mutlak, tidak menganggap semua manusia itu setara dan sama secara total dan mutlak. Ada banyak hukum-hukum yang bersifat qoth’î (pasti) di dalam Islam yang tidak menyamakan antara muslim dengan non muslim. Allah Ta’âlâ berfirman :

Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)”? (QS al-Qolâm : 35)

Ayat ini tidak khusus membicarakan perkara akhirat sebagaimana yang difahami oleh sebagian orang. Namun, sesungguhnya ayat ini –walaupun siyâq (konteks) permbicaraannya mengenai akhirat- namun lafazhnya umum, yaitu Allah tidak menjadikan kaum muslimin itu seperti kaum mujrimîn (pendosa) baik di dunia maupun di akhirat. Masih banyak hukum-hukum yang menyatakan ketidaksamaan antara kaum muslimin dengan non muslim. Tidakkah Anda mengetahui bahwa seorang muslim pria boleh menikahi wanita ahli kitab sementara pria ahli kitab tidak boleh menikahi wanita muslimah. Di dalam hadits yang shahih dikatakan, “seorang muslim tidak boleh dibunuh oleh sebab seorang kafir” (HR Bukhârî : 111, at-Turmudzî : 1412, an-Nasâ`î VIII:23, dan Ibnu Mâjah : 2658 dari ‘Alî secara marfû’).

Saya akan berikan satu contoh di sini yang berkaitan dengan masalah yang sedang kita diskusikan. Yaitu, di dalam sistem demokrasi, setiap warga negara berhak untuk mencalonkan diri menjadi presiden selama memenuhi beberapa persyaratan, dimana agama tidak termasuk persyaratan tersebut. Di Mesir, Undang-Undang pasal 30 menyatakan, bahwa “persyaratan orang yang mencalonkan diri di dalam pemilu sebagai presiden, haruslah berkewarganegaraan Mesir dan berasal dari kedua orang tua yang juga dari Mesir”. Tidak ada persyaratan dia haruslah seorang yang beragama Islam. Berdasarkan pasal tersebut, bisa jadi seorang Yahudi atau Nasrani terpilih menjadi presiden Mesir, selama kedua orang tuanya adalah berasal dari Mesir. Senegal, pernah dipimpin oleh seorang Nasrani, (Leopold Sedar) Senghor (سنجور), padahal Senegal adalah negeri Islam. Kaum muslimin di Eritria dipimpin oleh seorang Nasrani, Isaias Afewerki ( أفورقي أسياسي). Dan semua hal ini berada di bawah slogan demokrasi.

Adapun di dalam sistem Islam, suatu hal yang sudah kita ketahui bersama dan tidak perlu lagi dijelaskan, bahwa tidak boleh negeri Islam dipimpin oleh non muslim. Dalil-dalil syar’î tentang hal ini begitu jelasnya. Allah Ta’âlâ berfirman :

Taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS an-Nisâ` : 59)
Yang dimaksud dengan Ulil Amri haruslah dari kalangan kita sendiri, yaitu kaum muslimin. Bahkan sudah merupakan suatu ijmâ’ (kesepakatan) ummat tentang hal ini, dan kami tidak mengira ada seorangpun yang memperdebatkannya. Sayangnya, kami temukan masih ada saja orang yang memperdebatkan masalah ini.

Sistem demokrasi tidak membedakan antara orang yang alim dengan orang yang jahil, antara orang yang mukmin dengan orang kafir, dan antara laki-laki dengan perempuan, karena mereka semuanya memiliki hak suara yang sama, tanpa dilihat kelebihannya dari sisi syar’i. padahal Allah Ta’ala berfirman:  ”Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Surat Az-Zumar: 9)  Dan Allah Ta’ala berfirman:  ”Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasiq? Mereka tidaklah sama.” (Surat As-Sajdah: 18)  Dan Allah Ta’ala berfirman:  ”Maka apakah Kami patut menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu berbuat demikian, bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Surat Al-Qalam: 35-36)  Dan Allah Ta’ala berfirman:  ”Dan anak laki-laki (yang ia nadzarkan itu) tidaklah seperti anak perempuan (yang ia lahirkan).” (Surat Ali Imran: 38)

(Diberlakukannya sistem demokrasi) berarti menafikan peran ulama dan menghilangkan kedudukan mereka di mata masyarakat padahal merekalah yang memiliki ilmu dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, karena mereka sudah tidak lagi ditaati dan dijadikan sebagai pemimpin lantaran kebijaksanaan hukum berada di tangan mayoritas.

Kebebasan (al-Hurriyât)

Ini adalah poin terakhir yang akan kami diskusikan berkenaan dengan hukum demokrasi di dalam Islam. Kami melihat bahwa demokrasi barat membuka kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat, bahkan hampir-hampir tak terkendalikan. Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama ‘kebebasan’ dalam maknanya yang shahih, yang meletakkan kontrol secara optimal di dalam pelaksanaan kebebasan tersebut. Inilah hal yang tidak diridhai oleh aktivis pro demokrasi.

Saya berikan satu contoh di sini, yaitu kebebasan dalam berkeyakinan di dalam sistem demokrasi, bahwa seseorang berhak untuk memperoleh kebebasan dalam berkeyakinan, dan berhak untuk merubah aqidahnya dan menanggalkan agamanya kepada agama baru atau kepada atheisme (tidak beragama). Adapun kebebasan berkeyakinan di dalam Islam berbeda bentuknya. Seorang Nasrani contohnya, diperbolehkan untuk menetap di negeri Islam dan ia tetap boleh berpegang dengan agamanya dalam keadaan dilindungi jiwa dan hartanya, dengan syarat ia mau untuk memenuhi kewajiban undang-undang Islami yang menaunginya.

Adapun seorang muslim, tidak boleh dia merubah agamanya kemudian murtad menjadi seorang Nasrani –misalnya- dengan slogan kebebasan berkeyakinan. Barang siapa melakukan hal ini, maka hukumnya telah ma’rûf di dalam syariat, yaitu ia diminta untuk bertaubat atau diberi hukuman mati. Kami dapati ada seorang penyeru sekulerisme di Mesir, menyerukan untuk melakukan tindakan revolusioner (pemberontakan) hanya karena permasalahan ini –yaitu permasalahan riddah (kemurtadan)-. Mereka beranggapan bahwa hal ini merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan, sampai-sampai salah seorang dari mereka (yaitu ‘Abdus Sattar ath-Thawîlah, penulis haluan kiri di dalam bukunya “Umarâ` wal Irhâb” hal. 34) menganggap permasalahan untuk merubah agama wajib untuk disamaratakan bagi seluruh rakyat dan menolak hak bagi kaum Qibthî (kristen koptik) untuk mengganti keyakinannya sedangkan di sisi lain menolak hak ini bagi muslim.

Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme (menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi yang populer, “Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja ia mau,” juga di bawah semboyan “menjaga kebebasan individu.”

Di bawah naungan sistem demokrasi berbagai bid’ah dan kesesatan dengan berbagai macam pola tumbuh subur dan orang-orang yang menyerukannya dari berbagai thoriqot dan firqoh seperti Syiah, Rafidlah, Sufiah, Mu’tazilah, Kebatinan, dan lain-lainnya pun bermunculan. Bahkan di bawah naungan sistem ini mereka mendapatkan dukungan dan dorongan dari orang-orang munafik yang berada di dalamnya dan juga dari kekuatan-kekuatan yang terselubung dari pihak luar. Dan Allah tetap memiliki urusan terhadap makhluk-makhluk ciptaan-Nya.  Sebaliknya bertubi-tubi tuduhan dan dakwaan yang ditujukan kepada para aktivis dakwah dengan menjelekkan citra mereka di mata masyarakat umum sehingga mereka dijuluki sebagai pencari kedudukan, harta dan jabatan, dan mereka juga dijuluki sebagai penjilat dan masih banyak lagi julukan-julukan dusta lainnya sebagai akibat diberlakukannya asas bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat serta menghujat harga diri orang lain.

Kesimpulan

Kalaupun ada kemaslahatan yang dapat dipetik dari berkiprah dalam demokrasi dan pemilihan umum, kemaslahatan ini masih bersifat parsial dan masih samar jika dibandingkan dengan sebagian kerusakan besar yang ditimbulkannya apalagi jika dibandingkan dengan keseluruhannya. Dan orang yang mengamati secara obyektif atas sebagian yang telah disebutkan akan menjadi jelas baginya ketimpangan sistem thoghut ini dan jauhnya dari dienullah.

Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa sistem demokrasi yang memiliki ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas adalah sistem yang bathil dan haram diterapkan pada kaum Muslimin, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Pembahasan akan kita lanjutkan dengan membandingkan antara Musyawarah dan Demokrasi. Insya Allah.

Lengkapnya Klik DISINI

Mewaspadai Virus Tamayyu’

socialInteraksi sosial adalah keniscayaan dalam berdakwah. Menjadi tuntutan bagi para da’i untuk terjun di tengah-tengah masyarakat, melakukan kontak dan komunikasi dengan sebanyak mungkin manusia.

Melalui interaksi sosial tersebut diharapkan akan banyak individu atau masyarakat yang merasa tertarik dan mau melaksanakan nilai-nilai yang diajarkan oleh para da’i, sehingga sikap, tindakan, dan tingkah laku individu dan masyarakat tersebut terwarnai oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Ada satu hal yang harus diwaspadai oleh para da’i dalam melakukan interaksi sosial, terlebih lagi jika kontak dan komunikasi sosial tersebut dilakukan dalam lingkungan masyarakat yang memiliki  karakter, budaya, nilai, ideologi, dan agama yang berbeda, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mereka perjuangkan. Dalam kondisi seperti itu para da’i harus berhati-hati dan menjaga diri dari serangan virus tamayyu’ (pencairan), yakni kondisi dimana seorang da’i malah terpengaruh oleh gaya, pemikiran, kebiasaan, budaya, ideologi yang dimiliki oleh individu atau masyarakat yang didakwahinya; lalu secara lambat laun mulai meninggalkan idealisme yang dianutnya. Naudzubillahi min dzalik…

Tamayyu’ Khuluqi

Tamayyu’ yang pertama kali muncul biasanya adalah tamayyu khuluqi, pencairan akhlak. Ditandai dengan munculnya sikap tasahul (menggampangkan/menyepelekan suatu pelanggaran). Dimulai dari hal-hal yang sederhana, misalnya:
  1. Melakukan isyraf (berlebih-lebihan) dalam makan dan minum.
  2. Berlebih-lebihan dalam gaya berpakaian.
  3. Menyepelekan rambu-rambu hijab.
  4. Berlebih-lebihan dalam menikmati musik, nyanyian, dan tontonan.
  5. Longgar atau tidak berhati-hati dalam mu’amalah maaliyah
  6. Terlalu banyak tertawa dan bergurau.
Sampai akhirnya munculah sikap ibahiyah (permissive/segala hal boleh) tanpa sungguh-sumgguh memperhatikan rambu-rambu syariat.

Tamayyu’ ‘Ubudiyyah

Jika tamayyu’ khuluqi tersebut tidak segera diobati, maka yang akan terjadi selanjutnya adalahtamayyu’ ‘ubudiyyah, pencairan amal ibadah. Ditandai dengan menyepelekan amalan-amalan sunnah atau bahkan amalan-amalan wajib. Misalnya:
  1. Malas qiyamu lail.
  2. Meremehkan shalat-shalat sunnah rawatib.
  3. Semakin jarang shalat berjama’ah di masjid.
  4. Sering melaksanakan shalat wajib tidak tepat waktu.
  5. Sering terlambat melaksanakan shalat shubuh.
  6. Malas melakukan shaum-shaum sunnah
  7. Sedikit menyebut nama Allah/ wirid dan dzikir.
  8. Sedikit membaca al-Qur’an.
Tamayyu’ Fikriyyah

Berikutnya dari tamayyu’ ‘ubudiyah akan  merembet kepada tamayyu’ fikriyyah, pencairan ideologiDiantaranya ditandai dengan hilangnya ciri khas fikrah Islami dari seorang da’i. Bahkan pemahamannya terhadap fikrah islami tersebut semakin lemah dan luntur. Warna pemikirannya menjadi tidak jelas, apakah ia seorang abnaul harakah islamiyah, ataukah seorang liberalis, sosialis, atau nasionalis? Dari pembicaraannya tidak dapat diketahui lagi apakah ia meyakini Islam sebagai satu-satunya jawaban yang benar dan bersih  terhadap persoalan manusia, ataukah menurutnya ada jawaban yang lain? Tidak jelas apakah ia meyakini Islam sebagai sistem yang sempurna dan lengkap ataukah tidak?

Tamayyu’ Aqidiyah

Tamayyu’ yang terparah adalah tamayyu’ aqidiyah, pencairan aqidah. Sebuah kondisi dimana seseorang sudah benar-benar jauh menyimpang, karena tidak lagi memahami Islam sebagai satu-satunya kebenaran yang mesti dianut seluruh manusia. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…” (Q.S. Ali Imran: 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran: 85)

Virus tamayyu’ ini dapat dihindari jika para da’i memiliki imunitas dan senantiasa meningkatkan kualitas dirinya.

Naudzubillahi min dzalik…wa la haula wala quwwata illa bi-Llaah…

Lengkapnya Klik DISINI

Melatih Jiwa (Riyadhah)

Melatih Jiwa (Riyadhah)
Salah satu di antara persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in ialah riyadhah, yang artinya melatih jiwa pada kebenaran dan keikhlasan.

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Riyadhah artinya melatih jiwa untuk menerima kebenaran.”
Hal ini bisa mengandung dua pengertian:

Pertama, melatihnya untuk menerima kebenaran, jika kebenaran ini disodorkan kepadanya, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan mau-pun kehendaknya. Apabila kebenaran ini ditawarkan kepadanya, maka dia langsung menerimanya.
Kedua, menerima kebenaran dari orang yang menawarkan kepadanya. Firman Allah,”Dan, orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zumar: 33).

Kebenaranmu saja tidak cukup, tapi harus ada kebenaranmu dan pembenaranmu terhadap orang-orang yang benar. Sebab sebenarnya banyak orang yang benar, tetapi mereka tidak mau membenarkan karena takabur, dengki atau sebab lainnya.

Riyadhah ini ada tiga tingkatan:

1. Riyadhah-nya orang awam
Yaitu mendidik akhlak dengan ilmu,  membersihkan amal dengan keikhlasan dan memperbanyak hak dalam mu’amalah.

Mendidik akhlak dengan ilmu artinya menata dan membersihkan akhlak sesuai dengan pranata ilmu, sehingga seorang hamba tidak bererak, zhahir maupun batinnya kecuali dengan pranata ilmu, sehingga semua gerakannya itu selalu ditimbang dengan timbangan syariat.

Membersihkan amal dengan keikhlasan artinya membebaskan semua amal dari pendorong untuk kepentingan selain Allah yang mengotori-nya. Ini merupakan istilah lain dari menyatukan kehendak.

Memperbanyak hak dalam mu’amalah artinya memberikan hak Allah dan hak hamba secara sempurna seperti yang diperintahkan. Jika tiga perkara ini dirasakan berat, maka pelaksanaannya merupakan riyadhah. Apabila sudah terbiasa, maka ia akan menjadi akhlak dan perilaku.

2. Riyadhah-nya orang-orang khusus
Yaitu dengan mencegah perpisahan, tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewatinya dan membiarkan ilmu mengalir terus. Mencegah perpisahan artinya memotong sesuatu yang memisahkan hatimu dari Allah secara keseluruhan, menghadap kepada-Nya secara utuh, hadir bersama-Nya dengan segenap hati dan tidak menoleh kepada selain-Nya.

Tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewati artinya tidak menganggap ilmu yang dimiliki sudah cukup dan baik, tetap mencari tambahan, merasa khawatir andaikata kedudukan dirinya justru menjadi penghambat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Yang sudah ada harus di jaga, dan seluruh kekuatannya harus digunakan untuk mencapai tingkat-an dan tahapan yang lebih tinggi lagi. Siapa yang tidak mempunyai tekad untuk maju terus, berarti dia sedang mundur tanpa disadarinya. Sebab tabiatnya tidak mengenal istilah berhenti di tempat.

Yang ada adalah maju ke depan ataukah mundur ke belakang. Orang yang benar-benar melaku-kan perjalanan tidak akan menoleh ke belakang dan tidak ingin mende-ngar panggilan kecuali yang datang dari arah depan dan bukan dari arah belakang.

Membiarkan ilmu mengalir terus artinya pergi bersama orang yang mengajak untuk mencari ilmu, kemana pun perginya dia ikut di belakangnya, ke mana pun berlari, dia tetap mengikuti. Hakikatnya adalah pasrah kepada ilmu dan tidak menentangnya, rasa maupun keadaan.

Teruslah berjalan bersama ilmu ke mana pun ia pergi. Tapi yang wajib dilakukan adalah mempersatukan ilmu dengan keadaan dan membuatnya menga-tur keadaan serta tidak berbenturan.

Tentu saja semua ini sulit dilakukan kecuali orang-orang yang benarbenar memiliki tekad yang kuat dan benar, karena itulah yang demiki-an ini disebut riyadhah (latihan). Selagi jiwa dilatih terus dan dibiasakan, maka lama-kelamaan akan berubah menjadi akhlak.

3. Riyadhah-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus
Ialah dengan membebaskan kesaksian, naik ke tingkat penyatuan, menolak penentangan dan memutuskan segala bentuk penukaran. Membebaskan kesaksian mengandung dua pengertian: Membebaskannya agar tidak menoleh ke yang lain, dan membebaskannya agar tidak perlu melihatnya. Sedangkan naik ke tingkat penyatuan artinya mening-galkan makna-makna perpisahan lalu beralih ke penyatuan dzat. Meno-lak penentangan artinya apa yang bertentangan dengan salah satu ke-hendaknya atau kehendak Allah. Memutuskan segala bentuk penukaran artinya membebaskan mu’amalah dari kehendak untuk mendapatkan pengganti atau imbalan. Dengan kata lain, menjadikan Allah sebagai sesembahan, sekalipun yang menyembah- Nya tidak mendapat imbalan apa-apa, karena memang menurut Dzat-Nya Allah layak untuk disembah dan tidak perlu menuntut atau meminta imbalan dari-Nya.

Namun ada yang berpendapat, memperhatikan imbalan ini sangat penting bagi orang yang beramal. Jadi yang menjadi permasalahan adalah perhatian terhadap imbalan ini dan kejelasannya. Orang yang mencintaisecara tulus dan tidak peduli terhadap imbalan, ternyata justru mengharapkan imbalan yang lebih besar dan dia mengejarnya. Imbalan yang lebih besar ini adalah kedekatan dengan Allah, melakukan perjalanan hingga sampai di sisi-Nya, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal selainNya, menikmati cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Ini semuamerupakan imbalan yang diharapkan orang-orang yang khususmengharapkannya dan sekaligus merupakan tujuan mereka. Tidak ada yang tercela dalam hal ini. Bahkan ibadah mereka yang paling sempurna ialah jika perhatian mereka terhadap imbalan ini semakin besar.

Memang meminta imbalan yang berkisar di kalangan makhluk, berupa kedudukan, harta, kekuasaan, tempat tinggal dan hal-hal lain yang serupa dengan ini merupakan sikap yang tercela. Terlebih lagi jika memang hanya itulah tuntutannya.

Tapi jika tuntutan mereka adalah Dzat Yang Mahaagung, kedekatan dengan-Nya, kenikmatan cinta dan kerinduan bersua dengan-Nya, maka tidak ada yang tercela dalam ubudiyah ini dan tidak ada yang dianggap kurang. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus kepada-Nya, karena Firdaus itu merupakan pertengahan surga dan surga yang paling tinggi. Di atasnya ada ‘Arsy Allah Yang Maha Pengasih, dan dari sana sungai-sungai surga memancar.”
Sebagaimana yang diketahui, surga Firdaus ini adalah tempat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Memohon agar termasuk golongan mereka bukanlah sesuatu yang tercela dalam ubudiyah.


Lengkapnya Klik DISINI

Jangan Lupakan Target Akhir Dakwah Kita

Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
hilmi-aminuddin

Target akhir dakwah kita adalah nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk) dan li I’laai kalimatillah (meninggikan kalimah Allah), hatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Jangan lupakan target akhir ini.

Amal khoiri yang pendekatannya kesejahteraan, jangan dianggap sebagaighayah (target akhir), itu sasaran antara saja. Memang dia suatu anjuran dari Allah, tapi dia sasaran antara dari segi dakwah, diharapkan melalui ihsan kita menghasilkan penyikapan dan sambutan yang khoir. Hal jazaul ihsan illal ihsan,tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. Tapi ihsan kita, operasi mewujudkan kesejahteraan itu jangan dianggap tujuan akhir. Negara-negara Eropa itu adalah Negara yang sejahtera hidupnya. Tapi 50% penduduknya atheis.Bagi kita, jadi camat, bupati, walikota, gubernur atau presiden, itu sasaran antara. Akhirnyahatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Wa kalimatullah hiyal ulya (dan kalimat Allah itulah yang tinggi).

Jadi, amal tsaqafi, orang jadi bertsaqafah; amal khairi, orang jadi sejahtera; itu hanyalah sasaran-sasaran antara kita. Sebab kalau orientasi masyarakat madani itu hanya terdidik, dan sejahtera seperti di Eropa, banyak yang mulhid, atheis walaupun terdidik dan sejahtera. Walaupun bukan atheis terorganisir seperti komunis, style masyarakat sebagai individu itu atheis. Bahkan memandang keagamaan itu merupakan bagian dari budaya.

Di Jepang juga masyarakatnya sangat sejahtera. Tapi bagi mereka agama itu kultur yang terserah selera, boleh berganti kapan saja. Orang Jepang saat lahir umumnya disambut dengan upacara-upacara Budha. Ketika nanti menikah dirayakan dengan upacara Kristen dan ketika meninggal dengan upacara Sinto. Kata ikhwah yang pernah bermukim di Jepang, pernah ada sensus keagamaan, ternyata pemeluk agama di Jepang itu tiga kali lipat dari jumlah penduduk. Jadi mereka sebenarnya sejahtera dan terdidik. Secara fisik, materi, mereka terlihat bahagia. Tapi yabqa ala dhalalah (tetap dalam kesesatan).

Nah kita sebagai partai dakwah tidak begitu. Maksud saya, kalau kita sudah bisa mentau’iyah(menyadarkan), menjadi terbuka, bebas, demokratis, mentatsqif, menjadi terdidik, atau menyejahterakan sekalipun, perjalanan kita masih tetap jauh. Sebab sesudah itu, bagaimana mereka bisa kita konsolidasikan, bisa kita koordinasikan, kita mobilisasikan, litakuuna kalimatulladziina kafaru sulfa wa kalimatullahi hiyal ‘ulya. Ini penting untuk selalu diingatkan dan dicamkan. Apalagi di masa-masa musyarokah (partisipasi politik) ini.

Jangan merasa sukses menjadi pemimpin  Pemda itu ukurannya sekedar telah membangun sekolah sekian, madrasah sekian, kesejahteraan, pertanian subur; sementara hidayah tercecer. Makanya keterpaduan langkah-langkah yang sifatnya tarfih (kesejahteraan), atau tatsqif(mencerdaskan bangsa) harus sejajar dengan upaya-upaya mendekatkan orang pada hidayah Allah. Harus begitu.

Ini saya ingatkan karena ketika kita di masyarakat dituntut di sektor kesejahteraan, di sektor kebijakan, di sektor pendidikan, di sektor kesehatan; maka harus secara menyatu terpadu dengan nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk Islam), nayrul fikrah (menyebarkan gagasan Islam), wa nasyrul harakah (penyebaran gerakan dakwah). Agar mereka akhirnya bergerak bersama-sama li I’lai kalimatillah. [  ]sumber
Lengkapnya Klik DISINI

Menjadikan Rumah Sebagai Surga

Kehangatan keluarga adalah daya tarik besar bagi banyak orang untuk pulang ke rumah. Belum jauh melangkah pun rasa rindu sudah muncul. Rumahku adalah surgaku. Lalu bagaimana menciptakan rumah yang selalu menyenangkan buat semua anggota keluarga? 
  • Motivasi yang benar
Dasar atau motivasi awal dalam membentuk sebuah keluarga sudah pasti akan mempengaruhi warna atau jalannya kehidupan rumah tangga untuk seterusnya. Bila motivasi awal membentuk rumah tangga berdasar kebutuhan materi, maka sepanjang perjalanan rumah tangga itu dipastikan akan terus berputar dan berpusat pada urusan  materi saja. Karena itulah perlu dipastikan adanya motivasi yang benar untuk berumah tangga.

Motivasi terbaik dalam membangun sebuah keluarga adalah sebagai sebuah bentuk ibadah atau pengabdian kepada Allah. “Jadi bukan sekadar memenuhi kebutuhan materi atau kebutuhan biologis semata. Allah mengungkap tujuan pernikahan sebagai upaya memenuhi kebutuhan spiritual dan kebutuhan moral, yang dalam bahasa Qurannya dikatakan untuk mewujudkan mawaddah wa rahmah, cinta dan kasih,” kata DR H M Idris Abdul Shomad, MA, dosen Fakultas Dakwah pada Universitas Islam Negeri Jakarta.
Lebih luas lagi, membentuk keluarga adalah sebuah upaya membangun peradaban. Sebuah peradaban yang besar dan mulia tentu dibangun atas keluarga-keluarga yang terbina dengan baik.  

Semua motivasi mulia itu akan menjadikan seluruh kegiatan rumah berputar dan berpusat pada upaya untuk membina seluruh anggota keluarga berdasarkan nilai-nilai Islam. Ibadah harian yang terkontrol, tutur kata yang santun, saling menghormati dan menyayangi, saling menasehati dalam kebenaran adalah sebagian nilai Islam yang menjadi warna bagi keluarga semacam ini. 
  • Saling memahami
Setiap anggota semestinya paham atau mengerti tugas-tugas anggota keluarga lainnya, khususnya tugas-tugas di luar rumah. “Saya melihat yang harus dibangun untuk seluruh anggota keluarga adalah kesamaan pemahaman mengenai apa yang dilakukan oleh suami atau istri, misalnya profesinya apa, tugas dakwahnya seperti apa,” kata Ustadz Idris Abdul Shomad. Tak sebatas suami istri, pemahaman inipun harus juga dimiliki oleh anak dan anggota keluarga lainnya, seperti ipar atau mertua yang mungkin tinggal dalam rumah tersebut.
Dengan mengerti apa dan bagaimana kegiatan masing-masing anggota keluarga tentu tak ada lagi kesalahpahaman, misalnya tak ada lagi curiga bila suami atau istri pulang terlambat. Untuk mencapai saling pengertian ini, menurut Ustadz Idris, harus diikuti pula dengan kesabaran, kelapangan dada dan kejujuran.

Bila saling pengertian (tafahum) sudah tercipta, maka yang akan tercipta kemudian adalah saling membantu (ta’awun). Istri akan membantu semua keperluan suami yang akan bekerja atau berdakwah. Para ipar akan menjaga anak-anak, sementara orangtuanya pergi berdakwah, misalnya.
  • Komunikasi yang lancar
Satu ukuran yang untuk menyebut sebuah keluarga harmonis adalah terbukanya saluran komunikasi, sehingga ungkapan hati, pendapat, setiap anggota keluarga bisa didengar anggota keluarga lainnya. “Semakin sedikit komunikasi, berarti keluarga itu menjadi keluarga empty (kosong). Hanya rumah saja, orangnya entah kemana. Itu yang dilihat sebagai keluarga tidak harmonis,” ungkap Erna Karim, dosen Sosiologi di FISIP UI, Depok. 

Sebenarnya teknologi komunikasi yang berkembang saat ini – semisal handphone – seharusnya bisa dimanfaatkan anggota keluarga yang masing-masing punya kesibukan untuk berkomunikasi satu sama lain. Kesibukan ini sendiri, menurut Erna Karim memang suatu hal yang lumrah, karena setiap anggota keluarga pastinya punya peran sebagai manusia yang harus ditunaikannya di dunia untuk kemudian dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Yang penting, jangan sampai kesibukan itu sampai meniadakan waktu untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya.
  • Wajah-wajah menyenangkan dan suara-suara yang baik
Menciptakan surga di rumah bisa juga berarti menghadirkan wajah surga ke dalam rumah kita. Surga dalam Al Quran digambarkan sebagai tempat amat sangat menyenangkan dengan segala kenikmatan di dalamnya. Kata-kata yang terlontar di surga hanyalah kata-kata berisi kebaikan. Wajah-wajah yang ada di surga pun adalah wajah-wajah yang menyenangkan. Bercermin dari situ, maka sudah sewajarnya kita pun harus mampu menghadirkan hal itu dalam rumah kita.

Bila rumah penuh kata-kata kasar, saling membentak atau memaki, tentu hanya rasa marah dan tertekan saja kita rasakan. Bandingkan bila kata-kata yang santun yang terdengar dalam rumah. Tentu akan lebih menyejukkan, bukan? Memang bukan perkara mudah untuk mengubah kebiasaan. Ini perlu komitmen dan latihan – terutama buat anak-anak – untuk selalu berkata baik.

Wajah menyenangkan bisa juga diartikan wajah yang penuh senyum. Tentu senyum tulus yang tak dibuat-buat. Memang tak mudah menghadirkan senyum saat hati susah atau badan lelah. Namun ternyata senyum tak hanya membuat orang yang melihat menjadi senang dan nyaman, lebih dari itu senyum juga membuat diri sendiri lebih baik.

Berbagai penelitian di luar negeri, salah satunya yang dilakukan Matthew Ansfield, psikolog di Lawrence University in Appleton, Wisconsin, AS, menunjukkan bahwa “menampilkan wajah bahagia” akan membuat seseorang merasa lebih baik. Pada penelitian ini pria dan wanita diminta menonton film lucu dan film mengerikan. Ternyata saat menonton film yang mengerikan pun orang tanpa sadar memasang senyum di wajahnya untuk membuat perasaan mereka lebih baik dalam situasi tak menyenangkan itu.
  • Kebersihan dan kerapihan rumah
Walaupun amat menyenangkan bila bisa tinggal di rumah yang bagus, besar dan berperabot lengkap, tapi tak semua orang mampu memiliki rumah semacam itu. Bahkan lebih banyak yang tidak mampu dibanding yang mampu. Juga sangat banyak orang yang tak memiliki rumah sendiri dan terpaksa menyewa atau mengontrak rumah seadanya, atau bahkan tinggal di rumah orangtua atau kerabat lainnya.

Realita ini tentu tak lantas menjadikan orang tak bisa menjadikan rumah sebagai surga baginya. Selain faktor-faktor moral dan spiritual yang sudah dijabarkan sebelumnya, faktor-faktor fisikpun perlu juga diperhatikan untuk menciptakan rumah sebagai surga.

Yang pertama, adalah soal kebersihan. Rumah yang selalu bersih – lantai dan jendela  yang rutin dibersihkan, perabot yang tak berdebu – walau sempit tetap menimbulkan rasa nyaman. Apalagi bila ditambahkan pewangi ruangan. Selain kondisi psikis yang nyaman, kebersihan sudah barang tentu mempengaruhi juga kualitas kesehatan keluarga.

Yang kedua adalah kerapihan. Bayangkan, apa yang kita rasakan saat melihat rumah berantakan. Rasanya sumpek dan tertekan. Memang kondisi ideal agar rumah selalu rapih tak selalu bisa kita wujudkan, apalagi bila anak-anak masih kecil dengan mainan yang selalu berantakan. Namun paling tidak, kita punya sistem untuk membuat rumah terlihat rapih. Misalnya dengan menyediakan tempat-tempat penyimpanan yang sistematis, seperti rak-rak khusus untuk buku atau kotak besar sebagai tempat mainan anak.

Untuk ruangan yang sempit pun ada strategi agar rumah terlihat rapih dan lebih luas. Yaitu dengan hanya sedikit menggunakan perabot besar dalam ruangan. Semua hal ini tentu bisa dipelajari dari banyak sumber yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Karena surga yang kita ciptakan adalah tergantung usaha kita sendiri.

Lengkapnya Klik DISINI

Sejarah Singkat Pengangkatan Khulafaur Rasyidin

Menurut Said Hawwa sebagaimana dikutip oleh Muhammad Herry, hanya ada satu prosedur legal pengangkatan khalifah, yaitu dengan pemilihan yang dilakukan oleh para tokoh yang mewakili umat (ahlul halli wal ‘aqdi) dan kesanggupan yang dinyatakan oleh orang-orang yang dipilih untuk menjadi khalifah. Inilah yang disebut kontrak sosial. Dan kontrak sosial tidak akan sempurna kecuali dengan al-ijab (penyerahan tanggung jawab) dan al-qabul (penerimaan tanggung jawab).

Ilustrasi (aishagrace.wordpress.com)
Ilustrasi
Al-ijab dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi yang merupakan proses pemilihan khalifah. Sedangkan al-qabul datang dari pihak orang yang terpilih untuk menjadi khalifah.

Inilah yang terjadi di zaman Khulafa Rasyidin, zaman setelah wafatnya Rasulullah saw… Untuk itu marilah kita telusuri secara singkat sejarah terpilihnya empat khalifah pasca Nabi Muhammad saw.

Abu Bakar ash-Shiddiq RA

Pasca meninggalnya Rasulullah SAW, kaum Anshar (penduduk asli Madinah), berkumpul di Saqifah bani Saa’idah. Bukan sekadar berkumpul, tapi mereka sedang mendulang dukungan kepada Sa’ad bin Ubaidah RA sebagai pimpinan, menggantikan Nabi. Peristiwa tersebut didengar oleh Umar bin Khaththab. Umar lalu memberitahukan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Lalu, Umar dan Abu Bakar mengajak Abu Ubaidah RA menuju ke Saqifah bani Saa’idah.

Sesampainya di sana, jumlah umat semakin banyak, dan di depan umat itulah Abu Bakar berpidato agar umat memilih Umar atau Abu Ubaidah. Tapi keduanya menolaknya. Bahkan Umar dan Abu Ubaidah bersepakat untuk membaiat Abu Bakar. Belum juga mereka menjabat tangan Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad yang berasal dari kaum Anshar, menjabat tangan Abu Bakar dan langsung membaiatnya. Dari sini lalu khalayak membaiat Abu Bakar, baik dari kalangan Anshar, Muhajirin, dan tokoh Islam lainnya. Abu Bakar tidak lagi sanggup menolak amanah yang diberikan umat kepadanya.

Umar bin Khaththab RA

Tatkala Abu Bakar ash-Shiddiq merasakan ajalnya sudah dekat, ia mengundang para sahabat untuk membahas siapa penggantinya. Abu Bakar juga menulis surat yang ditujukan kepada khalayak, yang menjelaskan atas apa pilihannya itu. Abu Bakar menjatuhkan pilihannya kepada Umar bin Khaththab. “Tapi, kepada para sahabat, Abu Bakar berkata, ‘Saya menjatuhkan pilihan kepada Umar, tapi Umar bebas menentukan sikap’.”

Rupanya, umat juga bersetuju dengan Abu Bakar. Lalu, kepada Umar, Abu Bakar berpesan, “Sepeninggalku nanti, aku mengangkatmu sebagai penggantiku…” ucap Abu Bakar pada Umar bin Khaththab.

“Aku sama sekali tak memerlukan jabatan khalifah itu,” Umar menolak.
Tapi, atas desakan Abu Bakar dan dengan argumentasi yang membawa misi Ilahi, Umar luluh dan menerimanya. Sepeninggal Abu Bakar, ketika Umar dilantik jadi khalifah, ia justru menangis. Orang-orang pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis menerima jabatan ini?”

“Aku ini keras, banyak orang yang takut padaku. Kalau aku nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan?”

Tiba-tiba, muncullah seorang Arab Badui dengan menghunus pedangnya, seraya berkata, “Aku, akulah yang mengingatkanmu dengan pedang ini.”

“Alhamdulillah,” puji Umar pada Ilahi, karena masih ada orang yang mau dan berani mengingatkannya bila ia melakukan kesalahan.

Utsman bin Affan RA

Sebagaimana tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Umar tidak mau menunjuk penggantinya. Kepada para sahabat, dia berpesan, “Hendaklah kalian meminta pertimbangan pada sekelompok orang yang oleh Rasulullah SAW pernah disebut sebagai calon penghuni surga. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib RA, Utsman bin Affan RA, Abdurrahman bin Auf RA, Zubair bin al-Awwam RA, Sa’ad bin Abi Waqqash RA dan Thalhah bin Sa’ad Ubaidillah RA.

Hendaklah engkau memilih salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin. Dan bila sudah terpilih, maka dukunglah dan bantulah pemimpin itu dengan baik.”

Ketika Umar meninggal dunia, para sahabat berkumpul di rumah Aisyah RA, kecuali Thalhah yang sedang berada di luar kota. Mereka pun bermusyawarah, siapa sebaiknya yang patut menggantikan Umar. Di tengah membicarakan mekanismenya, Abdurrahman angkat bicara, “Siapa di antara kalian yang mengundurkan diri dari pencalonan ini, maka dia berhak menentukan siapa pengganti Khalifah Umar.” Tak seorang pun yang berkomentar. Maka, Abdurrahman berinisiatif mengundurkan diri. Yang lain berjanji akan tetap bersama Abdurrahman, dan menerima apa yang akan diputuskannya.

Meski sudah mendapat mandat dari para calon ahli surga, Abdurrahman tak mau gegabah untuk memutuskan siapa yang mesti dipilih sebagai khalifah. Selama tiga hari tiga malam Abdurrahman mendatangi berbagai komponen masyarakat untuk didengar aspirasinya.

Pada hari ketiga, barulah Abdurrahman memutuskan Utsman sebagai pengganti Umar. Abdurrahman membaiat Utsman, diikuti oleh para sahabat lainnya, termasuk mereka yang disebut-sebut oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.

Ali bin Abi Thalib RA

Akhir hayat Utsman juga sama dengan yang dialami oleh Umar bin Khaththab, dibunuh oleh seseorang yang tak menyukai Islam terus berjaya. Sepeninggal Utsman, Ali didatangi oleh kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka bersepakat untuk membaiat Ali. Tapi Ali menolaknya, karena ia memang tidak berambisi untuk menduduki jabatan duniawi. Tak ada pilihan, tak ada tokoh sekaliber dia. Umat pun terus mendesak. Akhirnya Ali luluh, dan berucap, “Baiklah, kalau begitu kita lakukan di masjid saja.” Dan Ali, dibaiat di dalam masjid.

Wallahu a’lam.
Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......