Isu demokrasi ini merupakan salah satu hal yang tengah
diperbincangkan di dunia Islam dan banyak sekali perdebatan mengenainya
akhir-akhir ini, disamping juga adanya orang yang memutlakkan
pendapatnya bahwa Islam itu identik dengan sistem demokrasi, bahkan
mereka beranggapan bahwa menentang demokrasi itu adalah suatu hal yang syâdz,
maka hal ini perlu dikritisi dan dijelaskan. Syaikh Abdul Majid Ar
Raimi dan Syaikh ‘Abdul Âkhir Hammâd Al Ghunaimî menjelaskan beberapa
hal berikut ini.
Sikap yang Syar’î Terhadap Demokrasi
Tatkala Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah ditanya tentang pasukan Tatar
(Mongol), beliau menjelaskan bahwa hukum kepada mereka dibangun di atas
dua pondasi, yaitu : pertama, mengetahui perihal/keadaan mereka, dan
kedua, mengetahui hukum Allah terhadap orang semisal mereka. (Majmû’ Fatâwâ 28:554)
Sejatinya, metode yang ditempuh oleh Syaikhul Islâm ini adalah metode
yang wajib kita tiru di dalam semua keadaan disertai dengan pemaparan
hukum syar’î tentangnya. Oleh karena itu, kita juga mengatakan di dalam
permasalahan yang tengah kita bahas ini, bahwa kita harus mengetahui
tentang seluk beluk demokrasi, baik konsep dan praktisnya, kemudian
berangkat dari hal ini kita dapat mengetahui hukum Allah tentangnya dari
nash-nash syari’at yang lurus.
Pengertian Demokrasi
Sesungguhnya, suatu hal yang telah diketahui oleh setiap pelajar
pemula yang mempelajari studi pemikiran politik, bahwa demokrasi itu
berasal dari derivasi dua kata Yunani, yaitu Demos yang berarti rakyat (arab : asy sya’b) dan Kratas yang berarti kekuasaan (arab : as sulthah). Jadi arti demokrasi adalah yang berwenang/memiliki kekuasaan untuk menentukan suatu hukum adalah rakyat.
Bangsa yang pertama kali menerapkan demokrasi adalah bangsa Greek
(Yunani) yang mereka menyebutnya dengan pemerintahan kota (sipil) yang
dilaksanakan di kota Athena dan Sparta, dimana setiap individu
masyarakat dari kalangan laki-laki turut berperan serta di dalam
menentukan hukum terhadap segala sesuatu, seperti di dalam pemilihan
penguasa, membuat undang-undang dan lain sebagainya. inilah bentuk
sistem demokrasi yang pertama, yaitu berjalan secara langsung dimana
setiap individu dapat turut serta secara langsung di dalam menelorkan
sebuah hukum atau peraturan, tanpa perlu memilih dewan perwakilan untuk
mewakili mereka.
Bentuk sistem demokrasi ini telah berakhir dalam waktu singkat,
seiring dengan berakhirnya pemerintahan kota di Athena dan Sparta. Akan
tetapi ide dan pemikiran demokrasi masih tetap terjaga di memori sejarah
sampai abad renaissance (kebangkitan) di Eropa, khususnya pasca
revolusi Perancis, dimana bangsa Eropa mulai melakukan perombakan dan
perubahan dari keadaannya yang berada di bawah cengkeraman kerajaan dan
kezhaliman gereja. Perubahan tersebut adalah dengan mulainya mereka
mengekstraksi sistem demokrasi dari perbendaharaan sejarah. Hal ini oleh
sebab mereka tidak memiliki konsep agama yang benar sehingga mereka
dapat berhukum dengannya.
Kemudian mulailah dilakukan beberapa revisi terhadap bentuk demokrasi
yang pertama, sehingga menjadi sistem demokrasi yang tidak langsung.
Maksudnya, rakyat harus memilih dewan perwakilan untuk mewakilinya di
dalam menentukan hukum dan pembuatan undang-undang/legislasi. Kemudian
ada juga (yang dalam perkembangannya) menjadi sistem demokrasi
semi-langsung, artinya rakyat tetap memilih dewan perwakilan untuk
mewakili aspirasinya, namun selain itu dirinya masih memiliki hak untuk
menyalurkan aspirasinya terhadap kebijakan penguasa melalui referendum
publik atau yang semisalnya.
Konsekuensinya adalah, eksisnya partai-partai politik yang saling
berkompetisi untuk meraih kemenangan dengan cara menggalang suara
terbanyak, agar dapat mencapai kursi kekuasaan. Selain itu juga
diperkenalkan sejumlah jaminan dan hak-hak yang menjamin kebebasan
setiap individu, diantaranya adalah hak politik di dalam memberikan
suara, mencalonkan diri di dalam majelis parlemen, kantor publik dan
selainnya. Namun, substansi dari demokrasi adalah tetap, sebagaimana
demokrasi merupakan derivat dari bahasa aslinya, yaitu rakyatlah yang
membuat undang-undang dan legislasi, baik secara langsung maupun tidak.
Ketetapan di dalam sistem perundangan demokrasi, selaras dengan apa
yang ditetapkan oleh para pengamat politik bahwa seharusnya dewan
perwakilan itu dianggap sebagai representasi kehendak rakyat, akan
tetapi sering kali hal ini tidak dapat terjadi, atau seperti dalam
uraian al-Ustâdz Abul A’la al-Maudûdî tetang pemilu di negara barat :
“Pemilu ini tidak akan sukses, kecuali dengan menipu manusia,
memperdaya akal dan hati mereka dengan harta, pengetahuan, kecerdasan
dan propaganda palsu… kemudian mereka yang sukses terpilih, berubah
menjadi tuhan-tuhan bagi mereka, yang mensyariatkan undang-undang
sekehendak mereka, bukan untuk kemaslahatan orang banyak, namun untuk
kepentingan pribadi dan keuntungan partainya. Ini sungguh merupakan
penyakit akut yang menjangkiti negara Amerika, Inggris dan seluruh
negeri yang hari ini menyebutnya sebagai surga demokrasi.” (Nazhariyah al-Islâm as-Siyasiyah hal. 18).
Masalah Tasyrî’ (Legislasi/Perundang-undangan)
Esensi dari demokrasi menurut kami adalah : memberikan hak tasyrî’
(legislasi) kepada manusia dan manusia berhak membuat hukum bagi diri
mereka sendiri menurut kehendak dan keinginan mereka. Kemampuan untuk
membuat legislasi ini menurut kami adalah pasti ada di dalam seluruh
bentuk sistem demokrasi.
Masalah legislasi ini merupakan substansi perbedaan antara Islam
dengan demokrasi. Islam secara tegas dan terang-terangan menyatakan
bahwa hak legislasi itu adalah murni hak Allah semata. Yang haram adalah
apa yang diharamkan Allah dan yang halal adalah apa yang dihalalkan
Allah. Masalah ini bukanlah permasalahan furû’ (cabang)
sebagaimana diduga oleh sebagian orang, namun masalah ini adalah masalah
yang berkaitan dengan pokok aqidah. Bagi orang yang masih
memperdebatkan masalah ini, silakan merenungi firman Allah Azza wa Jalla berikut : “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS asy-Syûrâ : 21)
Dan firman-Nya : “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan
syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya.” (QS an-Nisâ` : 60)
Dan firman-Nya Ta’âlâ : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidaklah dikatakan beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisâ` : 65)
Syaikh Muhammad bin Ibrâhîim rahimahullâhu berkata tentang ayat ini di dalam Risâlah Tahkîmu al-Qowânîna :
“Allah Subhânahu
telah meniadakan keimanan seseorang yang tidak mau berhukum dengan nabi
terhadap perkara yang mereka perselisihkan dengan penafian yang
ditekankan (nafyan mu`akkadan) dengan pengulangan yang disertai dengan sumpah.” (Risâlah Tahkîmu al-Qowânîna hal. 5)
Ibnu Katsîr rahimahullâhu menukilkan sebuah konsensus (ijmâ’)
atas kafirnya orang yang menjadikan bagi dirinya syariat selain syariat
Allah. Beliau berkata ketika membicarakan tentang hukum al-Yasa yang diterapkan oleh Jengis Khân untuk menghukumi para pengikutnya :
“Barangsiapa yang meninggalkan syariat yang diturunkan kepada Muhammad bin ‘Abdillâh penutup para nabi, dan berhukum dengan selain syariat beliau dari syariat-syariat kafir yang telah di-mansûkh (dihapus hukumnya dengan Islam) maka ia telah kafir. Lantas bagaimana kiranya dengan orang yang berhukum dengan al-Yasa dan lebih mendahulukannya (ketimbang syariat Nabi)? Barangsiapa yang melakukan hal ini maka telah kafir dengan kesepakatan (ijmâ’) kaum Muslimin.” (al-Bidâyah wah Nihâyah 13:128)
Berbilangnya Partai (Multi Partai)
Poin kedua dari demokrasi yang kita tolak adalah fenomena multi
partai, yaitu leluasanya dan bolehnya siapa saja yang berkeinginan untuk
mendirikan partai. Walaupun poin pertama sebelumnya sudah cukup untuk
meruntuhkan bangunan demokrasi -oleh sebab poin pertama tersebut
termasuk ranah aqidah-, hanya saja poin kedua tentang multi partai ini
tidak boleh dilupakan begitu saja ketika berbicara tentang demokrasi.
Kita mengetahui bahwa pembentukan partai-partai ini merupakan sifat
mendasar dari sistem demokrasi barat. Kecuali, pada bentuk demokrasi
secara langsung yang telah berakhir dan tidak ada wujudnya, melainkan
pada sejumlah propinsi di Swiss dan sejumlah kota kecil di New-England
Amerika. (Lihat buku Musykilât fî al-‘Ulûmi as-Siyâsiyah karya DR. Ahmad Jamâl Zhâhir II:40).
Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq,
karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap
pemeluk agama, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah
partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang
menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan
pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, “Sesungguhnya
sistem demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan
yang telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang
lalu,” sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan
(ironisnya) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam
yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan: ”Sesungguhnya
demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami
untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik.”
Kesetaraan (al-Musâwâh)
Termasuk perkara yang sudah ma’rûf di dalam sistem demokrasi
barat adalah, warga satu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama,
tanpa ada perbedaan antara orang yang satu dengan lainnya oleh sebab
warna kulit, suku ataupun aqidah. Hal inilah yang bertentangan dengan
Islam, sebab Islam adalah agama yang adil secara mutlak, tidak
menganggap semua manusia itu setara dan sama secara total dan mutlak.
Ada banyak hukum-hukum yang bersifat qoth’î (pasti) di dalam Islam yang tidak menyamakan antara muslim dengan non muslim. Allah Ta’âlâ berfirman :
“Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)”? (QS al-Qolâm : 35)
Ayat ini tidak khusus membicarakan perkara akhirat sebagaimana yang
difahami oleh sebagian orang. Namun, sesungguhnya ayat ini –walaupun siyâq (konteks) permbicaraannya mengenai akhirat- namun lafazhnya umum, yaitu Allah tidak menjadikan kaum muslimin itu seperti kaum mujrimîn
(pendosa) baik di dunia maupun di akhirat. Masih banyak hukum-hukum
yang menyatakan ketidaksamaan antara kaum muslimin dengan non muslim.
Tidakkah Anda mengetahui bahwa seorang muslim pria boleh menikahi wanita
ahli kitab sementara pria ahli kitab tidak boleh menikahi wanita
muslimah. Di dalam hadits yang shahih dikatakan, “seorang muslim tidak boleh dibunuh oleh sebab seorang kafir” (HR Bukhârî : 111, at-Turmudzî : 1412, an-Nasâ`î VIII:23, dan Ibnu Mâjah : 2658 dari ‘Alî secara marfû’).
Saya akan berikan satu contoh di sini yang berkaitan dengan masalah
yang sedang kita diskusikan. Yaitu, di dalam sistem demokrasi, setiap
warga negara berhak untuk mencalonkan diri menjadi presiden selama
memenuhi beberapa persyaratan, dimana agama tidak termasuk persyaratan
tersebut. Di Mesir, Undang-Undang pasal 30 menyatakan, bahwa
“persyaratan orang yang mencalonkan diri di dalam pemilu sebagai
presiden, haruslah berkewarganegaraan Mesir dan berasal dari kedua orang
tua yang juga dari Mesir”. Tidak ada persyaratan dia haruslah seorang
yang beragama Islam. Berdasarkan pasal tersebut, bisa jadi seorang
Yahudi atau Nasrani terpilih menjadi presiden Mesir, selama kedua orang
tuanya adalah berasal dari Mesir. Senegal, pernah dipimpin oleh seorang
Nasrani, (Leopold Sedar) Senghor (سنجور), padahal Senegal adalah negeri
Islam. Kaum muslimin di Eritria dipimpin oleh seorang Nasrani, Isaias
Afewerki ( أفورقي أسياسي). Dan semua hal ini berada di bawah slogan
demokrasi.
Adapun di dalam sistem Islam, suatu hal yang sudah kita ketahui
bersama dan tidak perlu lagi dijelaskan, bahwa tidak boleh negeri Islam
dipimpin oleh non muslim. Dalil-dalil syar’î tentang hal ini begitu
jelasnya. Allah Ta’âlâ berfirman :
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS an-Nisâ` : 59)
Yang dimaksud dengan Ulil Amri haruslah dari kalangan kita sendiri, yaitu kaum muslimin. Bahkan sudah merupakan suatu ijmâ’
(kesepakatan) ummat tentang hal ini, dan kami tidak mengira ada
seorangpun yang memperdebatkannya. Sayangnya, kami temukan masih ada
saja orang yang memperdebatkan masalah ini.
Sistem demokrasi tidak membedakan antara orang yang alim dengan orang
yang jahil, antara orang yang mukmin dengan orang kafir, dan antara
laki-laki dengan perempuan, karena mereka semuanya memiliki hak suara
yang sama, tanpa dilihat kelebihannya dari sisi syar’i. padahal Allah
Ta’ala berfirman: ”Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Surat Az-Zumar: 9) Dan Allah Ta’ala berfirman: ”Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasiq? Mereka tidaklah sama.” (Surat As-Sajdah: 18) Dan Allah Ta’ala berfirman: ”Maka
apakah Kami patut menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu berbuat demikian,
bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Surat Al-Qalam: 35-36) Dan Allah Ta’ala berfirman: ”Dan anak laki-laki (yang ia nadzarkan itu) tidaklah seperti anak perempuan (yang ia lahirkan).” (Surat Ali Imran: 38)
(Diberlakukannya sistem demokrasi) berarti menafikan peran ulama dan
menghilangkan kedudukan mereka di mata masyarakat padahal merekalah yang
memiliki ilmu dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, karena mereka
sudah tidak lagi ditaati dan dijadikan sebagai pemimpin lantaran
kebijaksanaan hukum berada di tangan mayoritas.
Kebebasan (al-Hurriyât)
Ini adalah poin terakhir yang akan kami diskusikan berkenaan dengan
hukum demokrasi di dalam Islam. Kami melihat bahwa demokrasi barat
membuka kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat, bahkan hampir-hampir
tak terkendalikan. Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama
‘kebebasan’ dalam maknanya yang shahih, yang meletakkan kontrol secara
optimal di dalam pelaksanaan kebebasan tersebut. Inilah hal yang tidak
diridhai oleh aktivis pro demokrasi.
Saya berikan satu contoh di sini, yaitu kebebasan dalam berkeyakinan
di dalam sistem demokrasi, bahwa seseorang berhak untuk memperoleh
kebebasan dalam berkeyakinan, dan berhak untuk merubah aqidahnya dan
menanggalkan agamanya kepada agama baru atau kepada atheisme (tidak
beragama). Adapun kebebasan berkeyakinan di dalam Islam berbeda
bentuknya. Seorang Nasrani contohnya, diperbolehkan untuk menetap di
negeri Islam dan ia tetap boleh berpegang dengan agamanya dalam keadaan
dilindungi jiwa dan hartanya, dengan syarat ia mau untuk memenuhi
kewajiban undang-undang Islami yang menaunginya.
Adapun seorang muslim, tidak boleh dia merubah agamanya kemudian
murtad menjadi seorang Nasrani –misalnya- dengan slogan kebebasan
berkeyakinan. Barang siapa melakukan hal ini, maka hukumnya telah ma’rûf
di dalam syariat, yaitu ia diminta untuk bertaubat atau diberi hukuman
mati. Kami dapati ada seorang penyeru sekulerisme di Mesir, menyerukan
untuk melakukan tindakan revolusioner (pemberontakan) hanya karena
permasalahan ini –yaitu permasalahan riddah (kemurtadan)-. Mereka
beranggapan bahwa hal ini merupakan bentuk pengekangan terhadap
kebebasan, sampai-sampai salah seorang dari mereka (yaitu ‘Abdus Sattar
ath-Thawîlah, penulis haluan kiri di dalam bukunya “Umarâ` wal Irhâb” hal. 34) menganggap permasalahan untuk merubah agama wajib untuk disamaratakan bagi seluruh rakyat dan menolak hak bagi kaum Qibthî (kristen koptik) untuk mengganti keyakinannya sedangkan di sisi lain menolak hak ini bagi muslim.
Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme
(menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain
musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan
hal-hal lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi
yang populer, “Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana
saja ia mau,” juga di bawah semboyan “menjaga kebebasan individu.”
Di bawah naungan sistem demokrasi berbagai bid’ah dan kesesatan
dengan berbagai macam pola tumbuh subur dan orang-orang yang
menyerukannya dari berbagai thoriqot dan firqoh seperti Syiah, Rafidlah,
Sufiah, Mu’tazilah, Kebatinan, dan lain-lainnya pun bermunculan. Bahkan
di bawah naungan sistem ini mereka mendapatkan dukungan dan dorongan
dari orang-orang munafik yang berada di dalamnya dan juga dari
kekuatan-kekuatan yang terselubung dari pihak luar. Dan Allah tetap
memiliki urusan terhadap makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Sebaliknya
bertubi-tubi tuduhan dan dakwaan yang ditujukan kepada para aktivis
dakwah dengan menjelekkan citra mereka di mata masyarakat umum sehingga
mereka dijuluki sebagai pencari kedudukan, harta dan jabatan, dan mereka
juga dijuluki sebagai penjilat dan masih banyak lagi julukan-julukan
dusta lainnya sebagai akibat diberlakukannya asas bebas berbicara dan
mengeluarkan pendapat serta menghujat harga diri orang lain.
Kesimpulan
Kalaupun ada kemaslahatan yang dapat dipetik dari berkiprah dalam
demokrasi dan pemilihan umum, kemaslahatan ini masih bersifat parsial
dan masih samar jika dibandingkan dengan sebagian kerusakan besar yang
ditimbulkannya apalagi jika dibandingkan dengan keseluruhannya. Dan
orang yang mengamati secara obyektif atas sebagian yang telah disebutkan
akan menjadi jelas baginya ketimpangan sistem thoghut ini dan jauhnya
dari dienullah.
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, dapatlah kita ambil
kesimpulan bahwa sistem demokrasi yang memiliki ciri-ciri sebagaimana
disebutkan di atas adalah sistem yang bathil dan haram diterapkan pada
kaum Muslimin, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Pembahasan akan kita lanjutkan dengan membandingkan antara Musyawarah dan Demokrasi. Insya Allah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..