Pembahasan yg diambil dari Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
hadits ini diberi judul "Amal yang Paling Utama",
mengacu pada pertanyaan kepada Rasulullah tentang hal itu. Judul Asli
yang diberikan Imam Bukhari dalam hadits ini adalah مَنْ قَالَ إِنَّ
الإِيمَانَ هُوَ الْعَمَلُ (Orang yang mengatakan "Iman adalah
Perbuatan").
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ أَىُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW ditanya, "Amal apakah yang paling
utama?" Maka beliau menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya."
Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan
Allah." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "haji yang
mabrur."
Penjelasan Hadits
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ أَىُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ
bahwa Rasulullah SAW ditanya, "Amal apakah yang paling utama?"
Di
dalam hadits ini dipakai kata سُئِلَ (ditanya), tidak disebutkan siapa
yang bertanya. Orang yang bertanya tersebut tidak lain adalah Abu Dzar
Al-Ghifari. Insya Allah nanti kita akan bertemu dengan keterangan
tentang hadits ini berikut Abu Dzar yang tercantum sebagai penanya dalam
bab Al-Itqu, nomor hadits 2518.
Abu
Dzar bertanya kepada Rasulullah mengenai amal yang paling utama. Dalam
kesempatan ini Rasulullah menjawab "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya".
Jawaban inilah yang dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk memberikan
judul bab hadits ini: مَنْ قَالَ إِنَّ الإِيمَانَ هُوَ الْعَمَلُ (Orang
yang mengatakan "Iman adalah Perbuatan"). Bahwa iman, dalam arti tashdiq
(membenarkan) adalah termasuk amal (perbuatan). Demikian pula,
perkataan juga termasuk amal (perbuatan). Maksudnya, keyakinan adalah
perbuatan hati, dan perkataan adalah perbuatan lisan. Karenanya pada
pertanyaan berikutnya kita akan mendapati jawaban Rasulullah adalah
"jihad fi sabilillah" dan "haji mabrur", padahal keduanya adalah
termasuk bagian dari iman sebagaimana yang telah dijelaskan pada
hadits-hadits sebelumnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa iman yang
dimaksud dalam hadits ini adalah tashdiq, amal hati.
قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah."
Pada
pertanyaan kedua ini dipakai kata ثم (kemudian). Ini menunjukkan
perbedaan dan urutan. Perbedaan maksudnya amal yang kedua tidak sama
dengan amal yang pertama. Urutan maksudnya amal yang pertama lebih utama
dari amal yang kedua. Jika ada yang bertanya "Bukankah digunakan ثم
(kemudian) yang menunjukkan perbedaan, ini berarti jihad dan haji bukan
termasuk iman, karena kalau termasuk iman tidak perlu dikatakan lagi?"
Maka jawabannya adalah seperti penjelasan sebelumnya. Bahwa iman yang
dimaksud dalam hadits ini adalah tashdiq, amal hati.
Kita perhatikan juga, pada jawaban kedua ini Rasulullah menjawab dengan jihad dalam bentuk ma'rifat (definit, memakai "al"): الحهاد. Sedangkan pada jawaban iman dan haji digunakan bentuk nakirah
(indefinit, tidak memakai "al"). Al Karmani berpendapat, itu
menunjukkan iman dan haji tidak perlu diulang, sedangkan jihad itu
berulang-ulang. Namun hal ini dibantah oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa
itu tidak benar, penggunaan makrifat dan nakirah hanyalah penyampaian. Nakirah juga bisa menunjukkan arti ta'zhim yang berarti kesempurnaan, sedangkan makrifat menunjukkan arti al-ahdu, sesuatu yang telah diketahui.
قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "haji yang mabrur."
Pada
pertanyaan ketiga ini, Rasulullah menjawabnya dengan "haji yang
mabrur". Haji yang mabrur adalah haji yang diterima. Haji yang tidak
dicampuri dengan riya' dan perbuatan dosa. Tidak ada yang tahu apakah
haji seseorang itu mabrur atau tidak, namun meningkatnya ibadah dan
kebaikan seseorang setelah haji dapat dipakai sebagai salah satu
indikatornya.
Hadits pertanyaan Abu Dzar Al-Ghifari ini bukanlah
satu-satunya hadits mengenai "amal yang paling utama." Ada beberapa
sahabat yang menanyakan pula kepada Rasulullah mengenai amal yang paling
utama, namun oleh Rasulullah SAW dijawab dengan amal yang berbeda. Ini
menunjukkan bahwa tingkat keutamaan amal di sini tidak mutlak. Bahwa
setelah iman, amal yang paling utama adalah jihad kemudian haji mabrur,
sementara amal-amal yang lain berada di bawahnya. Bukan, bukan begitu.
Namun Rasulullah menjawab pertanyaan beda penanya beda jawaban itu
adalah berdasarkan kondisi dan kebutuhan si penanya.
Ketika
Abdullah Ibnu Mas'ud bertanya dengan pertanyaan yang sama: أي العمل أفضل
(amal apa yang paling utama), Rasulullah menjawab dengan mendahulukan
shalat tepat pada waktunya, kemudian birrul walidain, baru jihad fi
sabilillah. Hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Sedangkan
ketika Abu Amamah (dalam riwayat An-Nasa'i) bertanya hal yang sama,
dijawab Rasulullah SAW dengan : "puasa".
Penjelasan lebih lengkap sekaligus renungan tentang perbedaan jawaban ini bisa juga kita lihat DI SINI.
Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Iman dalam makna tashdiq (membenarkan, meyakini) adalah amal hati, sebagaimana ikrar atau ucapan juga merupakan amal lisan;
2.
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat antusias dengan amal shalih
dan sangat bersemangat dengan kebaikan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai
amal yang paling utama, apa yang paling baik, dan sebagainya menunjukkan
antusiasme dan semangat itu;
3. Boleh bagi kita untuk menyampaikan suatu pelajaran dalam peristiwa tertentu tanpa menyebut nama pelakunya;
4. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya, jihad fi sabilillah dan haji mabrur adalah termasuk amal-amal yang paling utama;
5. Tngkat keutamaan amal bergantung pada kondisi dan kebutuhan masing-masing orang;
6.
Rasulullah menjawab pertanyaan sahabat –dalam hal ini- berdasarkan
kondisi dan kebutuhan mereka sehingga menjadi solusi terbaik bagi
perbaikan diri dan peningkatan ketaqwaan mereka. Tampak jelas pula bahwa
Rasulullah sangat memahami keadaan para sahabat. Demikian pula
hendaknya para dai meneladani beliau untuk memahami mad'unya dan
berorientasi solusi dalam membimbing mereka.
Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-26.
Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga istiqamah dalam
iman, perbaikan diri dan peningkatan ketaqwaan. Allaahumma aamiin.
Wallaahu a'lam bish shawab.[]
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..