Oleh : Ust. Rahmat Abdullah
Ada murid dapat belajar hanya dari guru yang ber-SK, disuapi ilmu dan
didikte habis-habisan. Ada yang cukup belajar dari katak yang melompat
atau angin yang berhembus pelan lalu berubah menjadi badai yang
memporakporandakan kota dan desa. Ada yang belajar dari apel yang jatuh
disamping bulan yang menggantung di langit tanpa tangkai itu. Ada guru
yang banyak berkata tanpa berbuat.
Ada yang lebih pandai berbuat
daripada berkata. Ada yang memadukan kata dan perbuatan. Yang istimewa
diantara mereka, “bila melihatnya engkau langsung ingat Allah, ucapannya
akan menambah amalmu dan amalnya membuatmu semakin cinta akhirat
(khiyarukum mandzakkarakum billahi ru’yatuh wa zada fi’amalikum mantiquh
wa raggahabakum filakhirati ‘amaluh)”
Yang tak dapat belajar dari guru alam dan dinamika lingkungannya,
sangat tak berpotensi belajar dari guru manusia. Yang tak dapat
mengambil ibrah dari pelajaran orang lain, harus mengambilnya dari
pengalaman sendiri, dan untuk itu ia harus membayar mahal. Bani Israil
bergurukan nabi Musa As, salah satu Ulul Azmi para rasul dengan azam
berdosis tinggi. Bahkan leluhur mereka nabi-nabi yang dikirim silih
berganti. Apa yang kurang? Ibarat meniup tungku, bila masih ada api di
bara, kayu bakar itu akan menyala, tetapi apa yang kau hasilkan dari
tumpukan abu dapur tanpa setitik api, selain kotoran yang memenuhi
wajahmu?
Murid-murid Bebal
Berbicara seputar orang-orang degil, berarti menimbun begitu banyak kata seharusnya. Seharusnya Bani Israil berjuang sepenuh jiwa dan raga, bukan malah mengatakan: “Hai Musa, kami telah disakiti sebelum engkau datang dan setelah engkau datang,” (QS.7:129) karena sesungguhnya mereka tahu ia benar-benar diutus Allah untuk memimpin mereka.
Seharusnya mereka tidak mengatakan: “Kami tak akan masuk kesana
(Palestina), selama mereka masih ada disana, maka pergilah engkau dengan
tuhanmu, biar kami dudukduduk disini,” (QS.5:24) karena berita
tenggelamnya Fir’aun di lautan dan selamatnya Bani Israil, adalah energi
besar yang mampu meruntuhkan semangat orangorang Amalek yang menduduki
bumi suci yang dijanjikan itu. Adapun yang ditenggelamkan itu Fir’aun,
mitos sejarah yang tak terbayangkan bisa jatuh. Kemudian seharusnya
mereka yang dihukum karena sikap dan ucapan dungu tadi, pasrah saja di
padang Tih, dengan jatah catering Manna dan Salwa serta tinggal
beratapkan awan pelindung dari sengatan terik matahari.
Ternyata mereka mengulangi lagi kedegilan lama mereka. “Hai Musa,
kami tak bakalan sabaran dengan jenis makanan monotype, cuma semacam
ini, karenanya berdoalah engkau kepada tuhanmu untuk kami, agar ia
keluarkan untuk kami tumbuhan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya,
bawang puihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya.” (QS.2:61) Betul,
manusia memerlukan guru manusia, tetapi apa yang dapat dilihatnya
diterik siang di bawah sorotan lampu ribuat watt, bila matanya ditutup
rapat? Tarbiyah dzatiyah atau pendidikan mandiri untuk menguasai mata
kuliah kehidupan sangat besar perannya.
Sebuah bangsa yang sudah “merdeka” 54 tahun, namun tak peduli
bagaimana menghemat cadangan energi, tak tahu bagaimana membuang sampah,
ringan tangan membakar hutan dan me-WC-kan sungai-sungai kota mereka,
tentulah bukan bangsa yang pandai mendidik diri. Sebuah bangsa yang
tergopoh-gopoh ikutan kampanye anti AIDS, dengan hanya menekankan aspek
seks aman (dunia) saja tanpa mengingat murka Allah, tentulah bangsa itu
belum kunjung dewasa. Bila diingat 6 dari 10 anak-anak mereka terancam
flek paru-paru, lengkap sudah kebebalan itu.
Nurani yang Selalu Bergetar Konon, Imam Syafi’ie ra sangat malu dan
menyesal bila sampai ada orang mengutarakan hajat kepadanya. “Mestinya
aku telah menangkap gejala itu cukup dari kilas wajahnya.” Mereka yang
akrab dengan arus batin manusia, mestinya selalu dapat menangkap isyarat
muqabalah (oposit) makna ayat 2:273, “Engkau kenal mereka dengan ciri
mereka, tak pernah meminta kepada manusia dengan mendesak.” Sementara
yang bukan “engkau” tak dapat membaca gelagat ini: “Si jahil mengira
mereka itu kaya, lantaran mereka berusaha menjaga diri.”
Mereka yang berhasil dalam tarbiyah dzatiyah akan tampil sebagai
manusia yang jujur, ikhlas dan merdeka. Karenanya, “Hindarilah bergincu
dengan ilmu sebagaimana engkau menghindari ujub (kagum diri) dengan
amal. Jangan pula engkau meyakini bahwa aspek batin dari adab dapat
diruntuhkan oleh sisi zahir dari ilmu. Taatilah Allah dalam menentang
manusia dan jangan taati manusia dalam menentang Allah. Jangan simpan
sedikitpun potensimu dari Allah dan jangan restui suatu amal kepada
Allah yang bersumber dari nafsumu. Berdirilah dihadapan-Nya dalam
shalatmu secara total.” (Almuhasibi, Risalatu’lmustarsyidin).
Akhirnya, semakin jauh perjalanan tarbiyah dzatiyahnya, semakin
banyak kekayaan yang diraihnya. Ungkapan berikut ini tidak ada kaitannya
dengan bid’ah atau khilafiyah fiqh. Ia lebih mewakili ibrah agar kita
tak terjebak pada aktifitas formal atau sebaliknya. “Pada aspek zahir
ada janabah yang menghalangimu masuk rumah-Nya atau membaca kitab-Nya,
dan aspek batin juga punya janabah yang menghalangimu memasuki hadhirat
keagungan-Nya dan memahami firman-Nya. Itulah ghaflah (kelalaian)” (Ibnu
Atha’illah, Taju’l Arus).
Hakikat Kematangan Ilmu
Kembali ke kematangan pribadi dan keberhasilan tarbiyah dzatiyah, seseorang tak diukur berdasarkan kekayaan hafalannya atau keluasan pengetahuannya, tetapi pada kemampuannya memfungsikan bashirahnya: “Perumpamaan orang yang aktif dalam dunia ilmu namun tak punya bashirah, seperti 100.000 orang buta berjalan dengan kebingungan. Seandainya ada satu saja di tengah mereka yang dapat melihat walau hanya dengan satu mata, niscaya masyarakat hanya mau mengikuti yang satu ini dan meninggalkan yang 100.000″.
Rasulullah SAW meredakan kemarahan para sahabat yang sangat
tersinggung kepada seorang pemuda yang minta izin kepada beliau untuk
tetap bisa berzina. “Engkau rela ibumu dizinai orang?” tanya beliau
dengan bijak. “Demi Allah, saya tidak rela!” “Relakah engkau jika anak
perempuanmu, saudara perempuanmu dan isterimu dizinai orang?” “Tidak,
demi Allah!” “Nah, demikianlah masyarakat….”
Demikianlah, amtsal merupakan metode pencerahan yang digunakan
Al-Qur’an dan Al-Hadist, bahkan dengan kata kunci yang patut dicermati:
“….Tak dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (29:43).
Citarasa yang tinggi dibangun dan sensitifitas dipertajam, mengantarkan
manusia kepada puncak pencerahan ruhani mereka. Sebuah ungkapan
kedewasaan pun “Semua manusia dari Adam dan Adam dari tanah, tak ada
perbedaan antara Arab atas Ajam dan Ajam atas Arab melainkan dengan
taqwa.” Itulah zaman, saat sejarah tak lagi dimonopoli raja, puteri dan
pangeran, tetapi menjadi hak bersama yang melambungkan nama Bilal budak
hitam abadi dalam adzan, atau Zaid menjadi satu-satunya nama sahabat
dalam Al-Qur’an.
Demikianlah kemudian kita kenal Ammar, Sumayyah dan banyak lagi budak
yang melampaui prestasi dan prestise para bangsawan. Padahal 13 abad
kemudianpun Eropa masih mempertanyakan perempuan makhluk apa. Dan, para
intelektualnya sampai pada kesimpulan “Mereka adalah iblis yang
ditampilkan dalam tampilan manusia.” Justru Muhammad SAW telah memberi
standar “Takkan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan takkan
menghinakan mereka kecuali manusia hina”. Sementara para perempuannya
seperti dilukiskan puteri Sa’id bin Musayyab: “Kami memperlakukan suami
seperti kalian memperlakukan para pemimpin, kami ucapkan:
“Ashlahakallah, hayyakallah!” (Semoga Allah memperbaiki/melindungimu,
semoga Allah memuliakanmu).”
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..