Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di
sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton sehingga
susananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam permainan musik
itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masuk, ada yang main kecapi, ada
yang menari-nari, semua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu
sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama.
Dan ketika para tamu sudah pada kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi
kepada para hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu
Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun
karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan, dan
diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ia ditampar. Ternyata
tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara
selesai sekitar pukul dua dini hari.
Esok harinya Abu Nawas menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid di Istana.
“Tuanku, ternyata di negeri tuan ini ada suatu permainan yang belum
pernah hamba kenal, sangat aneh.”
“Di mana tempatnya?, tanya baginda Khalifah.
“Di tepi Hutan sana.” “Mari kita alihat,” ajak Baginda. “baik, Kata
Abu Nawas. “Nanti malam kita pergi berdua saja, dan tuanku memakai
pakaian santri.”
“Tapi ingat.” Kata Baginda, “Kamu jangan mempermainkan aku seperti dulu lagi.”
Setelah shalat Isya, berangkatlah baginda ke rumah Yahudi itu di
temani Abu Nawas. Ketika sampai di sana kebetulan si Yahudi sedang asyik
bermain musik bersama teman-temannya, maka baginda pun dipersilahkan
duduk. Ketika diminta menari, baginda menolak, sehingga ia dipaksa dan
ditampar pipinya kiri-kanan.
Sampai disitu Baginda baru sadar, ia telah dipermainkan Abu Nawas.
Tapi apa daya, ia tidak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka menarilah
baginda sampai peluh membasahi badannya yang gemuk itu. Setelah itu
barulah di edarkan kopi kepada semua tamu, melihat hal itu Abu Nawas
keluar dari ruangan dengan alasan akan kencing, padahal ia langsung
pulang.
“Biar baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya
sendiri tidak pernah mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya
kepada laporan para mentri, “Pikir Abu Nawas.”
Tatkala hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, baginda di tampar oleh Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat lagi cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar lagi. Baginda diam saja, kemudian dilihatnya Yahudi itu minum seperti binatang: menghirup sambil ketawa-ketawa.
“Apa boleh buat,” pikir baginda, “Aku seorang diri, dan tak mungkin
melawan Yahudi sebanyak itu.” Larut malam Baginda pulang ke Istana
berjalan kaki seorang diri dengan hati yang amat dongkol. Ia merasa
dipermainakan oleh Abu Nawas, dan dipermalukan didepan orang banyak.
“Alangkah kasihan diriku,” gumamnya.
Pagi harinya, bagitu bangun tidur, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan seorang pelayan Istana untuk memanggil Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu malam tadi, terima kasih kamu
masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan kamu tinggal aku seorang diri,
sementara aku dipermalukan seperti itu,” kata Baginda.
“Mohon ampun, ya Baginda,” jawab Abu Nawas. “Malam sebelumnya hamba
telah mendapat perlakuan yang sama seperti itu. Apabila hal itu hamba
laporkan secara jujur, pasti baginda tidak akan percaya. Maka hamba bawa
baginda kesana agar mengetahui dengan mata kepala sendiri perilaku
rakyat yang tidak senonoh seperti itu.”
Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberpa pengawal memanggil si Yahudi.
“Hai, Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam,” baginda bertanya dengan sengit. “darimana kamu memperoleh cara minum seperti hewan?”
Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberpa pengawal memanggil si Yahudi.
“Hai, Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam,” baginda bertanya dengan sengit. “darimana kamu memperoleh cara minum seperti hewan?”
“Ya tuanku Syah Alam …” jawab si Yahudi. “sesungguhnya hamba tidak
tahu akan Duli Syah Alam, jika sekiranya hamba tahu, masa hamba berbuat
seperti itu? Sebab itu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya.”
“Sekarang terimalah pembalasanku,” kata Baginda. Yahudi itu
dimasukkan kedalam penjara. Dan sejak itu di haramkan orang bermain
serta minum seperti binatang. Mereka yang melanggar larangan itu di
hukum berat.
Sumber Kisah Alkisah Nomor 19 / 13 – 26 September 2004
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..