Sering ada diskursus publik yang tidak konstruktif ketika berbincang
di wilayah hubungan antara politik dengan agama atau dakwah. Hal ini
sudah berlangsung dalam waktu lama, sebagaimana tampak dalam ungkapan
Syaikh Hasan Al Banna, “Sedikit sekali orang berbicara tentang politik
dan Islam, kecuali ia memisahkan antara keduanya, diletakkan
masing-masing secara independen. Menurut mereka keduanya tidak mungkin
bersatu dan dipertemukan. Untuk itulah organisasi mereka disebut
organisasi Islam nonpolitik. Pertemuan mereka adalah pertemuan keagamaan
yang tidak mengandung unsur politik, dan hal ini bisa dilihat dari
Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga mereka suatu ungkapan: Tidak
mencampuri urusan politik”.
Untuk itu, ketika
memberikan batasan pemahaman Islam, Syaikh Hasan Al Banna memberikan
sebuah gambaran yang utuh tentang universalitas dan integralitas Islam.
Beliau mengungkapkan, “Islam adalah sebuah sistem universal yang lengkap
dan mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan. Islam adalah negara dan
tanah air, pemerintahan dan rakyat, akhlaq dan kekuatan, kasih sayang
dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi
dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara dan
pemikiran, sebagaimana Islam adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang
benar, tidak kurang dan tidak lebih”.
Tampak dari
penggambaran tersebut sebuah definisi Islam yang teramat luas, mencakup
segala aspek kehidupan kemanusiaan, tak ada yang ditinggalkan. Politik
adalah salah satu bagian utuh dari perhatian Islam, agar manusia bisa
melaksanakan fungsi kekhalifahan di muka bumi dengan baik, memakmurkan
alam semesta dan memimpin umat manusia menuju kebaikan hidup di dunia
maupun akhirat.
Selanjutnya Syaikh
Hasan Al Banna menegaskan, “Setelah batasan global dari makna Islam yang
syamil dan substansi makna politik yang luas dan tidak terkait dengan
kepartaian ini, saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang
muslim tidak akan sempurna Islamnya kecuali jika ia seorang politisi,
mempunyai jangkauan pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang
besar terhadap umatnya”.
“Saya juga bisa
katakan bahwa pembatasan dan pembuangan makna ini (yakni: pembuangan
makna politik dari substansi Islam) sama sekali tidak pernah digariskan
oleh Islam. Sesungguhnya setiap jam’iyah Islamiyah harus menegaskan pada
garis-garis besar programnya tentang perhatian dan kepedulian jam’iyah
tadi terhadap persoalan-persoalan politik umatnya. Kalau tidak seperti
itu, jam’iyah tadi butuh untuk kembali memahami makna Islam yang benar”,
demikian Al Banna memberikan penjelasan yang gamblang kepada kita.
Oleh karena itu,
suatu ketika dalam sebuah forum, Al Banna mengungkapkan, “Biarkan saya
untuk bersama kalian berpanjang lebar dalam menegaskan makna ini, di
mana hal itu mungkin sesuatu yang mengejutkan dan asing di mata mereka
yang terbiasa mendengarkan senandung pemisahan antara Islam dan
politik”.
Para ulama terdahulu
telah memberikan penjelasan dan pembahasan yang memadai mengenai aspek
politik. Ibnul Qayyim Al Jauzi dalam kitabnya Ath Thuruq al Hukmiyyah
mengemukakan, “Allah Ta’ala mengutus para Rasul untuk menurunkan
kitab-kitab suci-Nya, agar manusia melaksanakan keadilan yang ditegakkan
sesuai dengan prinsip-prinsip langit dan bumi. Jika keadilan muncul dan
terlihat dalam bentuk apapun, maka itulah syari’at Allah dan
agama-Nya”.
“Bahkan Allah Ta’ala
telah menjelaskan bahwa garis-garis yang telah ditetapkan itu
dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan di kalangan hamba-hamba-Nya dan
agar manusia berbuat adil di muka bumi. Cara apa pun yang ditempuh jika
sesuai dengan garis-garis yang telah dijelaskan untuk mewujudkan
keadilan, adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya.
Jadi tidak dapat dikatakan bahwa politik yang berkeadilan itu
bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh syari’ah, melainkan ia
sesuai dengan apa yang dibawa oleh syari’ah dan bahkan bagian integral
dari padanya,” demikian tulis Ibnul Qayyim.
Makna Siyasah
Secara sederhana,
kata siyasah dimaknai sebagai politik. Jika kita teliti dengan cermat,
memang tidak dijumpai penggunaan kata siyasah dalam Al Qur’an maupun
Hadits yang maknanya politik, namun ada banyak konteks yang menunjukkan
ketepatan pemaknaan tersebut.
Dalam terminologi
Arab, secara umum dipahami bahwa kata siyasah berasal dari kata as saus
yang berarti ar riasah (kepengurusan). Jika dikatakan saasa al amra
berarti qaama bihi (menangani urusan). Syarat bahwa seseorang berpolitik
dalam konteks ini adalah ia melakukan sesuatu yang membawa maslahat,
bagi jama’ah atau sekumpulan orang.
Sedangkan secara
istilah, ditemukan sangat banyak definisi tentang siyasah atau politik,
dimana keseluruhannya bisa saling melengkapi. Di antara makna siyasah
yang penting adalah:
a. Seni mengatur pemerintahan
Politik tidak
identik dengan pemerintahan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa
salah satu bagian penting politik adalah pemerintahan. Rifa’ah Ath
Thahthawi mendefinisikan politik sebagai seni mengatur pemerintahan dan
berbagai hal yang terkait dengannya.
“Kajian tentang ilmu
ini, perbincangannya, diskusi tentangnya di berbagai forum dan tempat
pertemuan, menyelami arusnya, semua itu dinamakan politik. Aktivis di
bidang ini disebut politikus. Maka politik berarti segala sesuatu yang
bersentuhan dengan pemerintahan, hukum-hukum serta berbagai hal yang
berkaitan dengannya”, demikian penjelasan Rifa’ah.
b. Seni mengelola perubahan
Politik juga bisa
dimaknai sebagai seni mengelola perubahan. Malik bin Nabi memberikan
gambaran bahwa politik adalah “aktivitas yang terorganisir dan efektif
yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan –negara dan masyarakat- yang
sejalan dengan ideologi mayoritas rakyatnya, dalam rangka mewujudkan
kesetaraan dan saling bantu antara pemerintah dan individu dalam aspek
sosial, ekonomi dan budaya; agar politik memberikan pengaruhnya yang
kongkret pada realitas sosial, yang membawa pada perubahan bingkai
kultur dalam sebuah orientasi yang akan menumbuhkan kecerdasan baru
secara harmonis”.
Dalam pandangan itu,
politik pada akhirnya adalah “penciptaan kultur”; yang oleh karena
itu, dalam pandangan Malik bin Nabi, aktivitas membangun taman di kota
Kairo juga berarti aktivitas politik. Zaki Najib Mahmud berpendapat
bahwa politik adalah “melihat bagaimana kondisi tempat kita hidup ini
mengalami perubahan” atau upaya mengubah realitas sosial. Politik
berarti bahwa kita menciptakan perubahan untuk mereka dan kita
menjadikan mereka bisa melakukan perubahan tersebut untuk diri mereka
sendiri.
c. Upaya merealisasikan kebaikan
Dalam perspektif
Aristoteles dan para filosof Yunani pada umumnya, politik dimaknai
sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di
tengah masyarakat.
Imam Syafi’i memberi
definisi bahwa politik adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’.
Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Aqil bahwa politik adalah hal-hal
praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih
menjauhkan dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah saw
atau dibawa oleh wahyu Allah Ta’ala.
d. Kepedulian terhadap urusan umat
Selanjutnya politik
bisa dimaknai secara lebih luas sebagai kepedulian terhadap berbagai
dinamika dan persoalan umat. Hasan Al Banna menyebutkan politik adalah
“hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat”.
Yang dimaksud dengan internal adalah “mengurus persoalan pemerintahan,
menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya,
melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika
mereka melakukan kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan
kekeliruan”.
Sedangkan sisi
eksternal politik dalam wacana Al Banna adalah “memelihara kemerdekaan
dan kebebasan bangsa, menghantarkannya mencapai tujuan yang akan
menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain serta
membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam
urusan-urusannya”. Karena persepsi semacam inilah Al Banna dengan tegas
mengatakan, “Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian
kepada persoalan-persoalan bangsa”.
Dari berbagai
pengertian tersebut dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas.
Sejak dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai
aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan.
Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. Dengan pengertian
seperti ini, tampak bahwa siyasah termasuk salah satu tugas kerasulan
yang penting, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Kami
telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata,
dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (Al Hadid: 25).
Dakwah dan Siyasah
Kehadiran Islam
dalam wujud sebuah institusi yang menata, mengelola, dan mengendalikan
pemerintahan telah menjadi obsesi Hasan Al-Banna sebagaimana ungkapannya
yang disampaikan kepada para pemuda:
“Adalah sangat
mengherankan sebuah paham seperti komunisme memiliki negara yang
melindunginya, yang mendakwahkan ajarannya, yang menegakkan
prinsip-prinsipnya, dan menggiring masyarakat untuk menuju ke sana.
Demikian juga paham fasisme dan Nazisme, keduanya memiliki bangsa yang
mensucikan ajarannya, berjuang untuk menegakkannya, menanamkan
kebanggaan kepada para pengikutnya, menundukkan seluruh bangsa-bangsa
lain untuk mengekor kepadanya. Dan lebih mengherankan lagi, kita dapati
berbagai ragam ideologi sosial politik di dunia ini bersatu untuk
menjadi pendukung setianya”.
”Mereka perjuangkan
tegaknya dengan jiwa, pikiran, pena, harta benda, dan kesungguhan yang
paripurna, hidup dan mati dipersembahkan untuknya. Namun sebaliknya,
kita tidak mendapatkan tegaknya suatu pemerintahan Islam yang bekerja
untuk menegakkan kewajiban dakwah Islam, yang menghimpun berbagai sisi
positif yang ada di seluruh aliran ideologi dan membuang sisi
negatifnya. Lalu ia persembahkan itu kepada seluruh bangsa sebagai
ideologi alternatif dunia yang memberi solusi yang benar dan jelas bagi
seluruh persoalan umat manusia.”
Berpolitik tidak
selalu identik dengan urusan partai politik. Partai hanyalah salah satu
sarana dalam urusan politik. Terhadap partai politik yang berkembang di
Mesir saat itu Al-Banna mempunyai kritikan yang mendasar, “Kami
berkeyakinan bahwa partai-partai politik yang ada di Mesir didirikan
dalam suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar didorong oleh ambisi
pribadi, bukan demi kemaslahatan umum …. Kami juga berkeyakinan bahwa
partai-partai yang ada hingga kini belum dapat menentukan program dan
manhajnya secara pasti … Kami berkeyakinan bahwa hizbiyah (sistem
kepartaian) yang seperti itu akan merusak seluruh tatanan kehidupan,
memberangus kemaslahatan, merusak akhlak, dan memporakporandakan
kesatuan umat.”
Sebagai aktivis
dakwah, Hasan Al Banna telah merangkaikan hubungan-hubungan yang khas
antara dakwah dengan aktivitas politik. Teori islah (reformasi) yang
dirumuskan Al Banna adalah teori yang jelas dan komprehensif.
“Sesungguhnya terapi
bagi keterpurukan, perpecahan kata, kehancuran dan kemunduran peradaban
umat Islam tidak bisa dilakukan dengan terapi tunggal, ia harus dengan
terapi komprehensif. Begitu juga manhaj reformasi untuk membebaskan umat
Islam dari keterpurukannya haruslah komprehensif tanpa memprioritaskan
manhaj salah satu reformis, tetapi harus mencakup seluruh unsur islahi.
Dengan itulah semua kondisi umat Islam akan membaik,” demikian pendapat
Al Banna.
Untuk menegaskan hakikat ini, bahwa dakwah memperjuangkan tegaknya sistem kehidupan yang utuh dan integral, beliau menjelaskan:
“Produk pemahaman
secara umum dan utuh tentang ini menurut kami adalah, bahwa gagasan
pemikiran mereka mencakup seluruh aspek perbaikan masyarakat. Termasuk
dalam bagiannya adalah semua unsur lain yang merupakan gagasan perbaikan
pula. Karena itu, semua reformis yang tulus dan penuh perhatian akan
mendapati apa yang diinginkannya di sana. Maka bertemulah cita-cita
pencinta reformasi yang memahami dan mengetahui visinya. Engkau dapat
mengatakan, dan itu tidak mengapa, bahwa gerakan dakwah adalah tatanan
politik, karena para kadernya menuntut perbaikan hukum di dalam negeri
dan menuntut kaji ulang terhadap hubungan umat dengan bangsa lain di
luar negeri, juga pendidikan masyarakatnya agar mencapai kehormatan,
kemuliaan, perhatian kepada kebangsaannya, hingga batas yang paling
jauh”.
Arkan Al-Fahmu
dengan 20 prinsip yang dikemukakan Al Banna merupakan deklarasi bahwa
Islam adalah solusi, bukan problem. Karena Islam adalah solusi maka
kaidah-kaidah yang ada dalam Al-Fahmu ini akan menjadi modal pemahaman
dasar dalam beramal siyasi. Sebagai contoh, kita perhatikan prinsip yang
pertama yang menerangkan tentang Syumuliatul Islam.
“Islam adalah sistem
yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah
Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, kasih
sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan
hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan
dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang
murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”.
Indonesia sebagai
salah satu negara yang mengadopsi gagasan demokrasi, sebagaimana berlaku
di berbagai negara-negara di dunia, dalam konstitusi dan berbagai
peraturan perundangan-undangan serta konvensi yang ada mengakui dan
menjamin hak-hak politik warga negaranya. Pengakuan akan adanya jaminan
hak-hak politik rakyat merupakan syarat mutlak adanya legitimasi suatu
pemerintahan demoikrasi. Dengan kata lain pemerintahan negara akan
kehilangan hak moral untuk memerintah apabila sudah tidak dapat menjamin
hak-hak dasar rakyatnya, termasuk hak mereka untuk berpolitik.
Hak-hak politik
seseorang disamping mendapatkan jaminan dari hukum yang berlaku secara
nasional juga dilindungi dalam Piagam Hak-hak Asasi Manuisa (Universal
Decleration of Human Rights). Jaminan yang sama juga telah ditegaskan
oleh syari’at Islam, untuk melindungi hak-hak asasi manusia yakni
melindungi akal manusia, melindungi kehormatan manusia, melindungi
kebersihan keturunan manusia, melindungi hak milik serta melindungi jiwa
manusia.
Dalam perspektif
gagasan demokrasi, partisipasi politik warga negara, dalam politik tidak
hanya terbatas pada pelaksanaan keputusan politik (policy) akan tetapi
partisipasi politik meliputi tiga tahap yakni berpartisipasi pertama,
pada tahap input untuk bisa berupa dukungan (support) dan juga bisa
berupa tuntutan (demands), kedua pada tahap proses perumusan kebijakan,
yang ketiga berpartisipasi pada pelaksanaan kebijakan.
Agar seseorang atau
sekelompok orang atau komunitas tertentu, termasuk juga komunitas
gerakan Islam, dapat berpartispasi dengan efektif pada ketiga level
sebagaimana disebutkan di atas serta agar out put dari kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah tidak merugikan kepentingan umat, maka umat harus
menyampaikan aspirasinya melalui wadah-wadah politik yang ada,
seperti ormas, partai politik dan kelompok penekan seperti LSM, dan bila
telah memungkinkan gerakan dakwah harus terlibat dalam proses
pengambilan kebijakan pada setiap level.
Bagi gerakan dakwah,
pilihan yang tidak bisa dihindarkan dalam sistem pemerintahan seperti
ini adalah mengambil peran partisipasi politik (musyarakah siyasiyah)
secara optimal. Musyarakah siyasiyah dimaksudkan untuk mengarahkan
pengambilan kebijakan agar mendatangkan kemaslahatan yang seluas-luasnya
bagi masyarakat, serta menghindarkan munculnya kemudharatan dan
kerusakan di berbagai bidang kehidupan.
Dalam ungkapan yang
lain, musyarakah adalah upaya untuk melakukan hirasatud din dan
ri’ayatud dunya, sebagaimana diistilahkan oleh Imam Al Mawardi.
Keterlibatan secara langsung dalam pentas perpolitikan, bagi gerakan
dakwah tidak ada makna yang lebih penting, kecuali untuk menunaikan dua
misi dalam waktu yang bersamaan, yaitu menjaga nilai-nilai luhur agama
(hirasatud din) dan memakmurkan dunia (ri’ayatud dunya).
Islam telah
meletakkan kewajiban kepada kaum muslimin dan muslimat untuk melakukan
upaya perubahan dengan serius dan sistemis, sebagaimana sabda Nabi saw:
“Barangsiapa di
antara kalian melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya.
Jika ia tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika ia tidak
mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah
selemah-lemah iman” (Riwayat Muslim).
Telah sama-sama
diketahui bahwa cara yang efektif untuk mencegah kemungkaran adalah
dengan terlibat dalam pengambilan kebijakan atau kekuasaan. Apabila
kekuasaan berada di tangan orang-orang salih, atau didukung oleh
orang-orang salih, maka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
menolak kemungkaran dalam kehidupan masyarakat luas. Sebaliknya, jika
kekuasaan di tangan orang zhalim, maka akan bisa digunakan untuk
mengembangkan kemungkaran dan kezhaliman secara luas.
Tentu saja yang
dimaksud dengan kemungkaran yang wajib dicegah bukan hanya terbatas pada
zina, judi, mabuk dan penyakit sosial semacam itu. Dr. Yusuf Qardhawi
menampik anggapan sempit seperti itu seraya menambahkan penjelasan,
”Merendahkan harga diri bangsa adalah kemungkaran. Berlaku curang dalam
Pemilihan Umum adalah kemungkaran. Enggan memberikan suara (kesaksian)
dalam Pemilihan Umum adalah kemungkaran. Menyerahkan urusan kepada orang
yang tidak memiliki kompetensi adalah kemungkaran”.
Bahkan menurut
Qardhawi, ”Mencuri kekayaan negara adalah kemungkaran. Memonopoli
barang-barang pokok untuk kepentingan pribadi atau kelompok adalah
kemungkaran. Menangkap seseorang yang tidak melakukan kesalahan adalah
kemungkaran. Menyiksa orang dalam tahanan atau penjara adalah
kemungkaran. Memberi dan menerima suap adalah kemungkaran. Menjilat dan
memuji pejabat dengan berlebihan adalah kemungkaran.”
Inilah berbagai
kemungkaran yang bisa dicegah dengan sarana kekuasaan, sekaligus untuk
memastikan berbagai kemaslahatan yang bisa diraih dengan kekuasaan
tersebut.
Salah satu sarana
perubahan yang cukup efektif dalam sistem demokrasi saat ini adalah
partai politik. Untuk itulah beragam gerakan dakwah di berbagai belahan
dunia, mulai melibatkan diri dalam partai politik. Bahkan salah seorang
tokoh gerakan Salaf di Kuwait, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq mendukung
pembentukan partai politik dan menentang orang-orang yang menolak
pembentukan partai politik. Beliau mengungkapkan:
“Lembaga-lembaga dan
sarana-sarana (partai-partai dan jama’ah-jama’ah) ini bukan merupakan
sesuatu yang haram atau dosa, tetapi ia termasuk dalam mashalih mursalah
dan tidak ada nash syar’i yang melarangnya. Pembentukan partai-partai,
kelompok-kelompok, atau perkumpulan-perkumpulan dengan segala macam
bentuk sistem demokrasi diperbolehkan. Dengan catatan bahwa pendapat dan
visinya tidak menetapkan hal-hal yang dilarang agama dan tidak merestui
mereka yang berbuat kebatilan. Mereka harus melalui jalan damai dan
dakwah yang terbuka, guna mengubah dan menghilangkan politik kekerasan
dan terselubung. Ini semua pada hakikatnya terpuji dalam agama, bahkan
merupakan pokok dalam berdakwah”.
Jauh masa sebelum
itu, Ibnul Qayyim telah mengungkapkan, “Ada bidang politik yang dibangun
sesuai dengan maslahat yang berbeda di setiap masa yang berbeda, ada
pula syariat umum yang tetap menjadi kewajiban umat hingga hari kiamat.
Sedangkan politik mengikuti serta terikat dengan kemaslahatan yang
disesuaikan dengan masa dan tempat. Hal ini secara keseluruhan
disepakati oleh para ulama”.
Dengan prinsip
pemikiran tersebut, kita menyaksikan berbagai gerakan Islam telah
memasuki kawasan kelembagaan politik. Sebagai contoh, Jama’ah Al Ikhwan
Al Muslimun di Mesir pernah berkoalisi dengan Partai Wafd pada
Pemilihan Umum tahun 1951. Pernah pula berkoalisi dengan Partai Wafd
Baru pada Pemilihan Umum multipartai pertama pada masa pemerintahan
Anwar Sadat, kemudian berkoalisi dengan Partai Buruh dan Partai Ahrar
dalam Pemilihan Umum berikutnya.
Jama’ah Salafiyah di
Kuwait ikut ambil bagian dalam Pemilihan Umum, juga berkoalisi dengan
tokoh-tokoh dan partai politik lainnya. Jama’ah ini memiliki wakil-wakil
di parlemen dan juga menteri-menteri dalam kabinet. Jama’at Islami di
Pakistan juga berkoalisi dengan partai-partai lainnya dalam membentuk
pemerintahan.
Gerakan Islam di
Yaman membentuk sebuah partai politik bernama Partai Pembaharuan Islam,
berkoalisi dengan partai sekuler, sampai pemimpin Partai Pembaharuan
Islam, Syaikh Abdullah Al Ahmar menjadi ketua umum parlemen. Jama’ah Al
Ikhwan Al Muslimun di Yordania berkoalisi dengan partai-partai lain dan
berhasil meraih kursi mayoritas di parlemen.
Gerakan-gerakan
Islam di Al Jazair berasama-sama mendirikan Partai Front Penyelamatan
Islam (FIS) dan ikut Pemilihan Umum yang berlangsung secara demokratis,
akhirnya meraih kemenangan mutlak, meskipun akhirnya dibatalkan secara
sepihak oleh junta militer. Gerakan Islam di Turki membentuk partai
politik, setelah beberapa kali mengalami pasang surut dan berganti nama,
Partai Refah berkoalisi dengan partai-partai sekuler akhirnya meraih
dukungan mayoritas dari rakyat, meskipun akhirnya dianulir oleh militer.
Bahkan Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki telah meraih kemenangan
mayoritas dalam Pemilihan Umum tahun 2002.
Lewat kiprah partai
politik tersebut, diharapkan gerakan dakwah memiliki peran dan pengaruh
positif dalam mengelola pemerintahan negara, sebagaimana cita-cita
Syaikh Hasan Al Banna, “memperbaiki pemerintahan sampai menjadi
pemerintahan Islam yang sebenarnya; sehingga dapat memainkan perannya
sebagai pelayan dan pekerja umat demi kemaslahatannya”.
Mengenai bentuk
pemerintahan, tidak menjadi keharusan syari’at untuk ditetapkan dengan
sebuah bentuk tertentu. Syaikh Hasan Al Banna menjelaskan dengan,
“Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang
sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam pemerintahan Islam”. Artinya,
syari’at tidak mengharuskan adanya bentuk pemerintahan tertentu, akan
tetapi lebih kepada substansi pemrintahan yang dikehendaki.
Syaikh Said Hawa
ketika mengambil pelajaran penting dari ungkapan Al Banna di atas,
memberikan penjelasan sebagai berikut: “Jika kita berpegang kepada
prinsip-prinsip ini dengan cara pandang yang luas, maka perjalanan
menegakkan kedaulatan akan mengambil pola yang relatif lunak. Dengan
demikian, kita bisa menjadikan pihak-pihak yang berpotensi memerangi
menjadi para pendukung”. Penjelasan ini tampaknya penting dikemukakan,
mengingat temperamen beberapa kalangan aktivis yang cenderung
menggunakan pola-pola kekerasan dalam upaya untuk perbaikan
pemerintahan.
“Kadang-kadang,”
tulis Said Hawa, “kita menjumpai suatu sistem yang tidak perlu
bermusuhan dengannya. Untuk itu, kita perlu mengembangkan dan
menggiringnya menuju kondisi yang lebih baik. Dengan demikian para
pendukungnya akan merasa tenang berhadapan dengan kita, namun dengan
syarat sistem itu bersesuaian dengan kaidah umum dalam Islam”.
Prinsip ini
menampakkan sisi-sisi orisinalitas ajaran Islam yang memang moderat.
Praktek penyelenggaraan pemerintahan bukan merupakan wilayah pembahasan
yang telah dihukumi dengan qath’i pada aspek bentuk dan teknis, tetapi
masuk dalam wilayah ijtihad yang amat elastis. Akan tetapi, bagaimanapun
bentuk pemerintahan yang telah dihasilkan lewat ijtihad, esensi sebuah
pemerintahan tidak boleh terhilangkan.
Lebih lanjut Al
Banna menjelaskan pemerintahan yang dimaksud, “Di antara sifat-sifatnya
adalah rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, bersikap adil
sesama manusia, menahan diri dari harta rakyat dan menghemat
penggunaannya. Sedangkan kewajiban-kewajibannya antara lain memelihara
keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarkan pengajaran,
mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan masyarakat, memelihara
kepentingan umum, mengembangkan kekayaan negara, menjaga keselamatan
harta benda, meninggikan akhlak dan menyampaikan dakwah”.
“Adapun hak-haknya,
setelah menjalankan semua kewajiban, antara lain: loyalitas, ketaatan
dan dukungan jiwa raga yang diberikan oleh rakyat. Apabila pemerintah
lalai melaksanakan kewajibannya, maka berilah nasihat dan bimbingan.
Jika itu tidak membawa perubahan, maka dicabutlah loyalitas dan ketaatan
darinya, karena tidak ada kewajiban untuk taat kepada makhluk dalam
bermaksiat kepada Allah”, demikian tulis Al Banna.
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh : Cahyadi Takariawan
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..