Penulis : Ust. Cahyadi Takariawan
Tidak pernah mendengar omongan orang, pasti membawa masalah bagi anda.
Selalu mendengar semua omongan orang, juga akan menimbulkan masalah bagi
anda.
Jika kita tidak mendengarkan omongan orang lain, artinya kita menolak
nasihat, dan itu adalah kesombongan. Sesungguhnyalah semua orang
memerlukan nasihat, penringatan, bimbingan, arahan, masukan dan lain
sebagainya. Menolak nasihat adalah kepongahan, karena merasa diri
sempurna dan tidak memerlukan masukan dari orang lain.
Seperti Fir’aun yang dengan congkak berkata “Ana Rabbukumul a’la.
Akulah Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. Tidak memerlukan masukan lagi, tidak
memerlukan pengingatan lagi, karena mendakwakan diri menjadi Tuhan.
Sudah sempurna.
Atau seperti para pembesar Quraesy yang sombong, hingga diungkapkan
dalam Qur’an, “Amma manistaghna. Adapun orang-orang yang merasa diri
cukup”. Seakan tidak memiliki sedikitpun kekurangan.
Semua serba cukup. Tidak perlu mendengar omongan orang lain.
Namun jika semua omongan orang didengarkan dan dimasukkan ke dalam hati, akan sangat membingungkan. Kisah Nasrudin Satu (NS) –atau siapapun namanya– tentu sudah sangat terkenal. Saat NS dan anaknya menaiki seekor keledai, berkatalah orang yang melihat, “Kalian ini tidak memiliki perasaan. Kasihan keledaimu harus menanggung beban dua orang sekaligus. Salah satu sajalah yang naik keledai, biar tidak terlalu memberatkan keledaimu”.
Namun jika semua omongan orang didengarkan dan dimasukkan ke dalam hati, akan sangat membingungkan. Kisah Nasrudin Satu (NS) –atau siapapun namanya– tentu sudah sangat terkenal. Saat NS dan anaknya menaiki seekor keledai, berkatalah orang yang melihat, “Kalian ini tidak memiliki perasaan. Kasihan keledaimu harus menanggung beban dua orang sekaligus. Salah satu sajalah yang naik keledai, biar tidak terlalu memberatkan keledaimu”.
Benar juga orang ini, kata NS dalam hati.
Maka NS menyuruh anaknya turun, sehingga dia sendiri yang menaiki
keledai. DI tengah jalan, seseorang menyapa mereka. “Kasihan benar
anakmu. Mengapa tidak engkau saja yang jalan kaki, dan biar anakmu yang
naik keledai ? Bukankah engkau yang lebih kuat berjalan ?”
Benar juga orang ini, pikir NS.
Maka ia turun dan meminta anaknya menaiki keledai. Mereka kembali
berjalan. Tak lama berjalan, mereka bertemu orang dan langsung
berkomentar, “Hai betapa tidak sopan engkau anak muda. Bagaimana engkau
santai naik keledai dan engkau biarkan ayahmu yang sudah tua berjalan
kaki ? Tidakkah engkau memiliki rasa hormat kepada orang tua?”
Ahai, benar pula orang ini, pikir NS. Tapi siapa yang seharusnya naik
keledai ? Tadi naik keledai berdua, ditegur orang. Saat NS yang naik
keledai, ditegur orang. Giliran anaknya yang naik keledai, masih ditegur
orang.
“Kita jalan kaki saja berdua Nak”, kata NS. Maka anaknya turun, dan berdua berjalan kaki sambil menuntun keledai.
Baru sebentar berjalan, seseorang mendekati mereka. “Hai NS, betapa
bodoh dirimu. Memiliki keledai tapi tidak kalian manfaatkan. Apa guna
keledai kalau ternyata kalian berjalan kaki ? Keledai itu kan
tunggangan, kenapa tidak kalian naiki ?”
Benar pula orang ini, pikir NS. Tapi, sekarang harus bagaimana lagi ?
Ah, ternyata semua tindakanku tidak ada yang benar. Maka keputusannya,
“Nak apapun kata orang, jangan pedulikan lagi. Ayo bantu aku menggendong
keledai ini”, pinta NS kepada anaknya.
Maka NS dan anaknya berjalan kaki sambil menggendong keledai.
Anda juga ingat kisah Nasrudin Dua (ND) —atau siapapun namanya—yang
berjualan ikan di pasar. Sekian lama ND berjualan ikan di pasar, namun
sepi, belum banyak dikunjungi pembeli. “Saya kira banyak orang tidak
tahu kalau engkau jualan ikan di sini, makanya sedikit yang datang.
Sebaiknya engkau pasang tulisan yang besar agar banyak orang melihat dan
mengerti bahwa engkau berjualan ikan”, saran seorang pembeli.
Benar juga orang ini, pikir ND. Segera ia membuat tulisan besar-besar
dan dipasang di dekat tempatnya jualan. “Di Sini Berjualan Ikan”,
begitu bunyi tulisan yang dipasang ND. Ia berharap banyak orang membaca
tulisan itu dan datang membeli.
Beberapa hari kemudian, seorang pembeli tersenyum membaca tulisan
itu. “Aneh sekali tulisan ini. Engkau julan ikan di sini, tapi masih
engkau beri tulisan : Di Sini Berjualan Ikan. Bukankah memang engkau
jualan di sini, bukan ditempat lain, mengapa masih engkau beri tulisan
seperti itu?” katanya.
Benar juga orang ini, pikir ND. Memang aneh kalau ada kata “Di Sini”.
Segera ia turunkan tulisannya, dan ia ganti dengan tulisan baru,
“Berjualan Ikan”.
Beberapa hari kemudian, jualan ND tetap saja sepi. Seorang pembeli
datang dan memberikan saran, “Hai ND, betapa aneh tulisanmu itu. Semua
orang sudah tahu kalau engkau berjualan ikan, bukan berjualan beras.
Mengapa masih engkau beri tulisan jualan ikan ?”
Benar juga orang ini, pikir ND. Ia menghadap ikan saja, tidak ada
barang lain yang dijual, jadi semua orang pasti sudah tahu kalau ia
berjualan ikan. Segera ia turunkan tulisannya dan ia ganti dengan
tulisan baru, “Berjualan”.
Beberapa hari berlalu, dagangan ND tetap saja sepi. Seorang pembeli
datang dan memberikan kritik, “Hai ND, semua orang yang ada di pasar ini
dan membawa barang, pasti untuk berjualan, bukan untuk dibagi gratis.
Semua orang sudah tahu kalau engkau berada di sini menghadap ikan itu
artinya dijual, bukan dibagikan gratis. Mengapa masih engkau beri
tulisan juga?”
Akhirnya ND melepas tulisannya, kembali seperti semula. Ia berjualan di pasar, dan tidak ada lagi tulisan yang dipasang.
Bingung kan, kalau mendengarkan semua omongan orang ? Mengapa ?
Karena tidak ada sesuatu yang dianggap benar oleh semua orang.
Karena tidak ada sesuatu yang dianggap benar oleh semua orang.
“Benar” di sini bukan dalam konteks kebenaran yang dalam bahasa Arabnya disebut sebagai al haq. Namun lebih dalam konteks “ketepatan bertindak di mata orang”, atau tindakan “yang menyenangkan semua orang”. Tidak ada perbuatan yang bisa menyenangkan semua orang.
Semua orang punya perspektifnya sendiri-sendiri. Memiliki cara
pandang dan cara menilai yang berbeda. Maka ketika memberikan penilaian
atas sebuah keadaan atau tindakan, bisa berbeda-beda pula hasilnya.
Namun jangan karena alasan itu lalu kita tidak mau mendengar masukan
dan nasihat orang lain. Sesungguhnyalah kemampuan dan pengetahuan semua
manusia sangat terbatas. Tidak ada manusia yang sempurna dan terbebas
dari kekurangan. Oleh karena itu, kita selalu memerlukan pendapat dan
pemikiran orang lain, dalam rangka menguatkan, memperkaya atau
mendapatkan ide baru yang kita perlukan. Maka dengarkanlah pendapat,
masukan, nasihat, usulan, arahan dari orang lain. Itu semua akan
memberikan manfaat bagi anda.
Jangan dibuat bingung jika pendapat, masukan, usulan yang anda terima
sangat beragam dan berbeda-beda. Bahkan kadang berlawanan satu dengan
lainnya.
Yang kita perlukan kemudian adalah kemampuan memilih. Ya, kita harus
memilih masukan, pendapat, usulan atau nasihat yang sangat beragam tadi.
Karena kadang tidak mungkin menggunakan semua, apabila masukan yang
anda terima saling berlawanan satu dengan yang lainnya.
Misalnya, anda dihadapkan kepada pilihan pekerjaan. Ada dua instansi
yang menerima lamaran anda, dan anda harus memilih salah satu. Anda
bimbang, karena keduanya sangat anda inginkan. Maka anda bertanya dan
meminta masukan dari orang-orang yang anda percaya.
“Kamu pilih saja instansi A, karena gajinya lebih tinggi. Jangan pilih
B, karena di situ gajinya lebih rendah”, kata seorang teman.
“Kamu pilih saja instansi B, karena waktunya lebih longgar sehingga
kamu bisa melakukan hal yang lain. Kalau kamu pilih A, waktu kamu habis
untuk kerja. Kamu tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan
berbagai hal lainnya”, kata teman pula.
“Menurutku, sebaiknya kamu tidak terima keduanya. Lebih baik kamu
daftar lagi di lembaga C, di sana lebih cocok dengan potensimu”, kata
teman yang lain lagi.
Bukankah anda tidak perlu bingung dengan banyaknya pendapat dan
masukan seperti ini ? Anda hanya perlu kemampuan untuk memilih, dari
sekian banyak masukan dan nasihat, pilih yang paling kuat alasannya,
masuk akal bagi anda, dan sesuai dengan kecenderungan jiwa anda.
Ada enam lelaki datang meminang anda, dan anda bingung harus menerima
pinangan siapa. Semua punya kelebihan, semua punya kelemahan. Maka anda
berkonsultasi kepada banyak teman dan senior, tentu jawaban mereka
sangat beragam. Pada akhirnya pilihan kembali kepada anda sendiri,
karena anda yang harus mempertanggungjawabkan semua pilihan tersebut, di
dunia maupun di akhirat.
Ini untuk jenis pilihan yang bersifat bebas, dimana anda bebas
memilih yang manapun, karena semua pilihan tersebut tidak membawa anda
kepada dosa dan kerusakan. Tidak pula merugikan dan mencelakakan orang
lain. Namun kadang bertemu jenis pilihan yang bersifat mengikat, tidak
bebas, karena pilihannya sangat terbatas.
Misalnya, apakah akan ikut mabuk atau tidak, di saat berada dalam
lingkungan dimana banyak orang mabuk di lingkungan itu. Kalau tidak ikut
mabuk, khawatir dianggap tidak lazim, karena tidak mengikuti kebiasaan
lingkungan.
Apakah akan ikut korupsi atau tidak, saat berada dalam lingkungan
birokrasi atau instansi yang mengembangkan perilaku korupsi. Jika tidak
mau korupsi, khawatir nanti akan menjadi musuh bersama karena dianggap
tidak kompak dengan teman sejawat yang hobi melakukan korupsi.
Apakah akan ikut judi atau tidak, di saat berada di sebuah negara
yang mendorong warganya untuk berjudi. Jika tidak ikut berjudi, khawatir
dianggap aneh, karena semua masyarakat berjudi.
Ketika menghadapi pilihan semacam itu, pertanyaan yang harus anda
ajukan untuk mendapatkan masukan dan nasihat adalah, “Bagaimana caranya
saya tidak ikut mabuk, namun justru bisa membawa perubahan kebaikan bagi
lingkungan sekitar ?” Bukan pertanyaan, “Saya ikut mabuk atau tidak ?”
Pertanyaan anda adalah, “Bagaimana agar saya tetap istiqamah tidak
korupsi, namun saya tetap bisa berada di instansi tersebut untuk
melakukan perbaikan ?” Bukan pertanyaan, “Saya ikut korupsi atau tidak
?”
Pertanyaan anda adalah, “Bagaimana caranya agar saya tidak ikut judi,
namun bisa berinteraksi secara wajar dengan masyarakat dan bisa membawa
mereka menuju kebaikan?” Bukan pertanyaan, “Saya ikut berjudi atau
tidak ?”
Oleh karena itu, yang harus anda mintai pendapat, masukan, dan
nasihat adalah orang-orang yang anda percaya kebaikannya dan
kompetensinya. Bukan orang baik yang tidak kompeten, atau orang punya
kompetensi tapi tidak baik. Jika terpaksa tidak ada yang memenuhi dua
kulifikasi itu, anda harus mendengarkan masukan secara terpisah, untuk
anda himpun sendiri nantinya. Anda meminta masukan dari orang baik,
berikutnya anda meminta masukan dari orang kompeten, ketika keduanya
tidak menyatu.
Ya, bagaimanapun anda harus mendengarkan masukan, nasihat dan
pendapat, namun anda harus memiliki kemampuan untuk memilih berbagai
pendapat tersebut yang membawa anda menuju kepada kebaikan, dan
menjauhkan anda dari keburukan. Semua pilihan, akhirnya anda sendiri
yang harus memutuskan, setelah mendapatkan banyak masukan dari
orang-orang yang terpercaya.
Jika ternyata pilihan anda kelak terbukti salah atau tidak tepat,
setidaknya anda merasa telah melakukan usaha yang maksimal dengan
meminta pendapat banyak orang terpercaya sebelum memutuskan pilihan.
Namun jika anda tidak pernah meminta pertimbangan dan pendapat siapapun,
maka kesalahan dalam menentukan pilihan akan terasa semakin berat
dampaknya. Inilah salah satu manfaat meminta dan mendengarkan pendapat
orang-orang terpercaya di sekitar anda.
Wallahu a’lam bish shawab.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..