Komitmen terhadap dakwah hingga akhir hayat tidak akan terjadi tanpa adanya pilar tajarrud. Secara lughawi tajarrud bermakna: mengosongkan, membersihkan, melepaskan, atau menanggalkan.
Makna syar’i tajarrud adalah:
membersihkan dan melepaskan diri dari segala ikatan selain dari ikatan
Allah dan segala keberpihakan selain kepada Allah. Tajarrud menuntut
kita untuk:
Pertama, membebaskan dari
keterikatan dan loyalitas kepada selain Allah dan pihak-pihak yang
direkomendasikan oleh-Nya. Sebagaimana yang dicontohkan para Nabi, di
antaranya: Nabi Musa as. Yang ber-tajrrud dari Firaun. Ketika Allah swt.
memerintahkan Kepada Nabi Musa untuk mendakwahi Firaun, Firaun
menjawab, “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami,
waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa
tahun dari umurmu. (Q5. 26.-18). Tapi itu tidak menjadi penghalang bagi
Nabi Musa untuk tetap menyampaikan kebenaran dan mengajak Firaun untuk
bertaubat dan beriman kepada Allah. Karena loyalitas Nabi Musa bukanlah
kepada Firaun. Nabi Musa malah mengatakan, “Budi yang kamu limpahkan
kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil”
(QS. 16:24). Sama sekali tidak ada perasaan terikat.
Rasulullah saw. juga diperintahkan Allah agar
bertajarrud dari orang-orang kafir yang membujuknya untuk mengusap-usap
patung-patung mereka. Mereka berjanji jika itu dilakukan, mereka akan
masuk Islam. Allah swt. menjelaskan hal itu, “Dan sesungguhnya mereka
hampir memalingkan kamudariapa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar
kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah
begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau
Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong
sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan
rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula
siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat
seorang penolongpun terhadap Kami."(QS. 17:73-75)
Kedua, membebaskan diri dari
segala pengaruh selain pengaruh shibghah (celupan) Allah swt. Jadi
tidak, cukup hanya bertajarrud dari orangnya tanpa tajarrud dari
ideologi, akhlak, pemikiran, pengaruh, dan rayuan-rayuannya. Apa artinya
kita membenci Zionis, kalau kita melestarikan perilaku-perilaku Zionis
dalam diri kita. Apa artinya kita membenci orang-orang yang
menghalang-halangi penerapan Syari’at Islam, sementara kita sendiri
tidak menunjukkan keseriusan untuk menjalankannya dalam kehidupan nyata.
Hanya dengan menerima sepenuhnya celupan Allah yang berupa aqidah,
ibadah, akhlak dan menolak segala celupan selain itu manusia benar-benar
menjadi abdi Allah. Firman-Nya:
"(Pegang teguhlah) celupan Allah. Dan siapakah lagi yang lebih baik celupannya selain dari celupan Allah." (Al-Baqarah: 138)
Teramat banyak rintangan dalam dakwah yang dapat
menyebabkan seorang da’iyah terpelanting dari jalan dakwah. Lebih-lebih
bila yang diusung dalam dakwah bersifat syamilah, menyeluruh,
dan integral. Dakwah dengan corak ini menghadapi tantangan berat dan
beresiko tinggi serta tidak disukai terutama oleh orangorang
menyekutukan Allah, orang-orang yang benci bila tauhid tegak di muka
bumi. Yaitu orang-orang yang merasa terancam bila syari’at Allah berlaku
dalam kehidupan nyata. Firman-Nya:
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama
apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)." (QS. Asy-Syura 42:13)
Seorang da’iyah yang bertajarrud tidak akan terjebak dalam logika dan ambisi: "Yang penting semua orang bisa menerima dakwah
saya, tanpa ada yang tersinggung, tanpa konflik." Bila itu yang menjadi
cita-cita, maka seorang da’i dan da’iyah hanya akan mencari aman dalam
dakwahnya. Akibatnya dia tidak segan-segan menyembunyikan ayat-ayat
Allah. Sebetulnya dia tidak sedang mempertahankan risalah Islam
melainkan risalah dirinya; popularitas.
Ketiga, mempersembahkan jiwa dan
harta secara mudah hanya untuk Allah swt, dan hanya dalam rangka mencari
ridho-Nya. Rasulullah saw. bersabda:
"Allah telah menjamin bagi orang yang berjihad di
jalan Allah, tidak ada yang mendorongnya keluar dari rumah selian jihad
di jalan-Nya dan membenarkan kalimat-kalimat-Nya untuk memasukkannya ke
surga atau mengembalikannya ke tempat tinggal semula dengan membawa
pahala atau ghanimah." (Diriwayarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).
Para sahabat memahami hal itu dan
mengaplikasikannya dalam diri mereka. Maka dampaknya pun terlihat dalam
perilaku mereka. Syadad bin Al-Hadi mengatakan, seorang Arab gunung
datang kepada Rasulullah saw. lalu beriman dan mengikutinya. Orang itu
mengatakan, "Aku akan berhijrah bersamamu." Maka Rasulullah saw.
menitipkan orang itu kepada para sahabatnya. Saat terjadi perang
Khaibar, Rasulullah saw. memperoleh ghanimah (pampasan perang). Lalu
beliau membagi-bagikannya dan menyisihkan bagian untuk orang itu seraya
menyerahkannya kepada para sahabat.
Orang Arab gunung itu tengah menggembalakan ternak
mereka. Ketika ia datang para sahabat pun menyerahkan jatah
ghanimahnya. Maka orang itu pun berkata, "Apa ini?" Sahabat berkata
lagi, "Aku mengikutimu bukan karena ingin mendapatkan bagian seperti
ini. Aku mengikutimu (Rasululah) semata-mata karena aku ingin tertusuk
dengan anak panah di sini (sambil menunjuk tenggorokannya), lalu aku
mati lalu masuk surga." Rasulullah saw. mengatakan, "Jika kamu jujur
kepada Allah maka Dia akan meluluskan keinginanmu."
Beberapa waktu kemudian mereka berangkat untuk
memerangi musuh dan orang itu terkena panah pada tenggorokannya. Para
sahabat mendatangi Rasulullah dengan membopong orang itu. Rasulullah
saw. berkata, "Inikah orang itu?" Mereka menjawab, "Ya." Rasulullah saw.
berujar, "Ia telah jujur kepada Allah maka Allah meluluskan
keinginannya." Lalu Rasulullah saw. mengafaninya dengan jubahnya dan
menshalatinya. Dan di antara doa yang terdengar dalam shalatnya itu
adalah: "Allaahumma haadza ‘abduka kharaja muhaajiran fii sabiilika faqutila syahiidan wa ana syahidun alaihl”
(Ya Allah, ini adalah hamba-Mu. Dia keluar dalam rangka berhijrah di
jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi
atasnya)." (Diriwayatkan oleh An-Nasai)
Keempat, tajarrud untuk dakwah
ditandai dengan selalu menimbang segala sesuatu dari sudut pandang
kepentingan dakwah dan selalu mengarahkan segala sesuatu untuk
kepentingan dakwah. Jadi, makna tajarrud itu bukanlah meninggalkan
segala sesuatu dengan dalih dakwah. Melainkan justru melibatkan segala
sesuatu untuk mendukung dakwah. Adalah Rasulullah, da’i ideal itu.
Beliau adalah panutan dalam segala sisi kehidupan, termasuk dalam
kehidupannya dengan lingkungan sosial terkecil yakni keluarganya.
Rasulullah saw. dengan segala kesibukan,
keseriusan, beban-beban umat, masih menyempatkan diri membantu
beban-beban domestik istrinya. Dari Al-Aswad, ia berkata, "Saya bertanya
kepada Aisyah ra,’ Apa yang Rasulullah saw. lakukan untuk keluarganya?’
Ia berkata, ‘Beliau selalu membantu urusan rumah tangga dan apabila
datang waktu shalat, beliau bergegas menunaikannya’." (HR. Bukhari).
Wallahualam.
Naapain nggak boleh di share?
BalasHapussebuah kehormatan jika itu bermanfaat....silahkan tuk d share...
Hapusboleh dishare nggak akhi...
BalasHapus