Mengapa ada orang yang mampu terus berjalan meski
cobaan menghantamnya bertubi-tubi? Namun kenapa juga yang lainnya justru
patah, meski nampaknya ujian dan derita yang is terima relatif lebih
ringan? Ada banyak sebab tentu. Tapi salah satunya adalah, karena
orang-orang yang mampu melangkah terus, yang tidak mundur dan tidak
berhenti, adalah orang-orang yang "kreatif". Jiwa-jiwa mereka kreatif
menemukan celah dan terobosan untuk menjaga diri agar tidak patah, agar
tidak berhenti. Tentu, di dalamnya ada sebentuk cinta dari Allah swt,
sehingga mereka menemukan kunci-kunci untuk tidak berhenti karena cobaan
dan nestapa apa pun. Dan, kunci penyangga itu ternyata ada di
mana-mana.
Ia Tidak Berhenti, Karena Cinta Ternyata di Sekelilingnya
Laki-laki itu pejabat tinggi suatu perusahaan swasta, berusia 40-an, belum menikah.
Beberapa tahun lalu, ia menuturkan kisah hidupnya
yang paling rahasia dalam sebuah harian nasional, demi berbagi dengan
seorang yang tertimpa pengalaman buruk mirip yang pernah ia alami.
Laki-laki itu membaca dalam rubrik konsultasi, tentang anak muda yang
merasa dirinya kotor dan hidupnya berakhir, karena menjadi korban
pelecehan seksual temannya sendiri.
Ternyata, laki-laki 40-an tahun itu, semasa SD,
pernah diperlakukan sama. Saat itu ia tengah berwisata di pantai bersama
guru dan teman-teman sekolahnya. Tiba-tiba ia dipanggil beberapa kakak
kelas. Ia menduga akan diajak bermain bersama. Ternyata, di tempat yang
jauh dari keramaian, ia mengalami pelecehan seksual, di bawah todongan
pisau. Ia sangat terpukul, hingga menangis terus dan mengubur diri di
dalam pasir. Sampai sore datang, dan guru serta teman-teman lain yang
mencarinya, menemukannya masih di dalam pasir, gemetar.
Bertahun-tahun ia mencoba melupakan peristiwa
tragis itu. Ada masa di mana ia merasa sangat membenci para pelaku, yang
masih kanak-kanak itu. Ada masa ia merasa tidak sanggup melihat orang
lain. Namun pada akhirnya ia mencoba sesuatu yang amat sulit, memaafkan.
Satu kata yang terus ia ucapkan hingga dewasa, "maafkan, maafkan." Ia
menduga, mereka pun punya masa lalu yang kelam, boleh jadi mereka
sebelumnya pernah pula menjadi korban.
Ternyata itulah yang menjadi titik balik ia
membuka hatinya untuk melihat sisi lain dunianya. Sebelum "terbangun",
ia tidak mampu membuka dirinya untuk orang-orang terdekat, untuk orang
tuanya, untuk adik dan kakaknya yang kesemuanya sudah menikah. Hingga
dewasa, ia amat penuh dengan laranya sendiri, dan kehilangan waktu untuk
peduli pada lingkungannya. Ia tenggelam dalam dunia kerja, menghasilkan
uang berlimpah, yang tak kunjung membuatnya "sembuh".
Kemudian, sewaktu ia memberi perhatian dan kasih
sayang pada keluarganya, terutama pada para keponakannya, ia menemukan
mutiara cinta ternyata ada di mana-mana. Kini, setiap ia datang ke rumah
saudara-saudaranya, anak-anak mereka menyambutnya dengan kegembiraan
yang polos. Di sanalah, ia merasa bisa berlabuh, menemukan
kebahagiaannya, menemukan kesembuhannya. Malah, oleh keluarganya, ia
dijadikan "kepala" keluarga, termasuk oleh ayah ibunya. Ternyata, mereka
telah lama memendam cinta untuknya. Laki-laki itu pun tidak kalah,
jiwanya menolak untuk patah, karena cinta ternyata ada di sekelilingnya.
Ia tidak Berhenti, Karena Memilih Tegak Meski Tertatih-tatih
Betapa kerasnya kehidupan di ibukota. Ini tidak
dipungkiri siapa pun. Namun, di Jakarta pula, kita bisa menemukan
manusia-manusia yang mampu tegak, meski hidupnya diselang-selingi
"kejutan" yang tak nyaman. Di halte pasar di bilangan Tebet Timur,
Jakarta Selatan, misalnya. Sepasang suami istri sejak belasan tahun
berdiam di kios rokok dan minuman dingin yang sekaligus dijadikan tempat
tinggalnya.
Modal yang seadanya, masih harus menanggung hutang
para awak bus yang kerap mangkal di sana. Mereka pun masih harus
membayar berbagai pungutan demi keamanan. Termasuk ke pejabat lokal,
demi perijinan. Semua itu, bahkan sudah dijalani sang istri sejak ibunya
masih hidup. Ia dibawa ibunya merantau ke Jakarta sejak kanak-kanak.
Dan, kios itu adalah warisan ibunya, sebelum wafat. "Jenazah si Mbok
kami bawa ke desa, di sana kan ada kuburan desa. Biaya merawatnya lebih
murah. Kalau di sini mahal, nggak sanggup bayar," tuturnya.
Siang itu, percakapan rutin terdengar di halte.
"Kapan utangnya dibayar? Udah banyak nih, udah 30 ribu," tutur sang
istri pada seorang supir, yang tengah memarkir busnya di depan halte.
Sang awak nampak terkejut, seolah tak percaya. "Masak sebanyak itu?"
Perempuan itu melanjutkan, "Ini ada catatannya." Suaminya, yang tengah
beristirahat di dalam kios, terbangun dan membenarkan istrinya. "Yah,
nanti dibayar," itulah akhirnya jawaban sang awak bus. "Kalau begini
terus, modalnya bisa habis," ujar perempuan itu perlahan.
Meski sehari-hari harus hidup amat prihatin, namun
seperti diakui perempuan itu, ia merasa masih mampu bertahan. "Memang
pemasukan sedikit sekali, kami sering terpaksa makan apa adanya, tapi
kami masih bisa bertahan. Di kota besar kayak Jakarta, itu sudah bagus
kok," ujar sang istri.
Demikianlah. Meski tersendat-sendat, mereka sudah memilih.
Ia Tidak Berhenti, Karena Harus Menjadi Pelita Lingkungan
Boleh jadi, pilihan untuk tidak berhenti, didesak
pula oleh lingkungan. Namun, tidak semua orang menyambut desakan ini.
Waras Soebroto, penduduk desa Kedung Rejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi,
Jawa Timur, adalah orang yang mengambil desakan ini. Hasilnya, ia
melangkah terus, dan memberi arti positif buat lingkungannya.
Waras sudah bekerja selama belasan tahun sebagai
petugas pengawas hutan lindung. Setiap bulan, ia hanya dibayar 3000
(tiga ribu) rupiah. Ia amat prihatin dengan kondisi suaka alam di
Banyuwangi, yang dijarah para penebang liar. Inilah awal mulanya Waras
merasa harus melakukan sesuatu: total melindungi suaka alam dengan
segala kemampuannya, dengan semua waktu yang ia punya. Termasuk
"memerangi" penebangan liar. Resikonya, ia sering menghadapi ancaman
dari penebang liar dan pencuri kayu, bahkan kerap diisukan akan
diguna-guna.
Meski begitu, Waras tidak mundur. Ia merasa tidak
boleh mundur, karena lingkungannya akan tambah hancur jika ia memilih
jalan itu. Secara kontinyu Waras malah mencoba meyakinkan masyarakat,
tentang pentingnya menjaga suaka alam. Ia terus membangun kesadaran
kolektif. Tidak tanggung-tanggung, Waras akhirnya berhasil mengamankan 6
lokasi suaka alam di daerah Banyuwangi.
Pilihan serupa diambil pula La Ode Muhammad. Ia
hanyalah satu dari banyak penduduk Desa Wantimoro, Kecamatan Kabawo,
Muna, Sulawesi Tenggara. Mulanya, La Ode bersama warga Suku Bajo di
kampung Wantimoro tinggal di laut, di atas perahu bido. Suku Bajo memang
menjadikan laut sebagai sumber pencaharian, bahkan sebagai tempat
berkelana. Namun, kehidupan mereka lama-kelamaan terjepit, akibat
potensi ikan makin merosot.
Dalam situasi ini, kekhawatiran soal masa depan
menghinggapi mereka. Hingga La Ode tersadar, ia mesti melakukan sesuatu.
Lantas, ia mengajak suku Bajo untuk menetap di darat dan bertani dengan
pola sanitasi. Mereka berhasil. Ratusan kepala keluarga telah mengubah
pola hidupnya, dan mereka mampu bertahan, bahkan tingkat ekonominya
terus membaik. Warga menganggap La Ode Muhammad sebagai pelita
lingkungannya. Bagi La Ode dan Waras, mereka tidak kalah justru karena
lingkungannya.
Ia Tidak Berhenti, Karena Ia Punya Mimpi
Namanya Az Zamakhsyari. Ia seorang ulama terkenal,
ahli dalam banyak ilmu pengetahuan agama. Namun, ia lebih terkenal
sebagai tokoh ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab). Menjadi ahli
dalam ilmu bahasa bagi Az Zamakhsyari adalah keberhasilan yang boleh
dibilang sebagai prestasi dan kesuksesan luar biasa dalam menghadapi
rintangan. Betapa tidak, sejak kecil ia telah mempelajari ilmu nahwu, tetapi hingga menginjak remaja ia tak kunjung paham dengan ilmu yang dipelajarinya.
Bayangkan, selama bertahun-tahun belajar untuk membedakan antara subyek (mubtada) dan obyek (khabar)
saja ia tidak bisa. Sementara teman-temannya, hampir semuanya telah
mengusai ilmu itu. Bahkan ada di antara mereka yang diberi tugas untuk
mengajar adik-adik kelas mereka.
Kenyataan ini nyaris membuat Az Zamakhsyari putus
asa. Ia merasa malu dengan usianya yang semakin tua tetapi belum tahu
apa-apa, apalagi ia harus duduk dan belajar bersama anak-anak yang jauh
di bawah usianya. Di tengah kegalauannya ia berniat meninggalkan
sekolah, pergi merantau untuk mencari ilmu di tempat lain.
Setelah cukup jauh berjalan, ia mampir berteduh di
sebuah rumah. Ketika sedang beristirahat sambil menyandarkan
punggungnya di tembok, ia melihat seekor semut kecil sedang menggigit
sisa kulit korma. Semut itu berusaha menarik kulit korma yang ukurannya
lima kali lipat lebih besar dari tubuhnya, ke lubang di tembok itu.
Berkalikali ia melakukannya namun selalu gagal, kulit korma selalu jatuh
ke tanah. Az Zamakhsyari terpaku melihat kelakuan semut itu, yang
mempunyai keuletan mengagumkan.
Setelah berkali-kali gagal, ternyata sang semut
berhasil membawa naik kulit korma itu. Saat itu muncullah pemikiran
dalam benak Az Zamakhsyari, "Seandainya aku melakukan seperti yang
dilakukan semut ini niscaya aku juga akan berhasil." Setelah mengucapkan
itu, ia memutuskan kembali ke sekolahnya dan membatalkan niatnya untuk
merantau. Hasilnya, Az Zamakhsyari benar-benar meraih impiannya. Ia
menguasai ilmunya sedemikian rupa. Bahkan, ia menjadi tokoh nahwu yang
sangat disegani.
Mimpi dan cita-cita, yang di dalamnya termaktub
tekad, semangat dan kerja, memang seringkali membuat orang tidak mau
berhenti. Bahkan, seekor semut pun, menghayati semangat ini. Apatah
lagi, kita, manusia.
Ia Tidak Berhenti, Karena Batinnya Kaya
Seorang perempuan kurus berkulit gelap tampak
duduk di depan "rumahnya" di sebuah pojok Pintu Air Manggarai, Jakarta
Selatan. Dari cangkir plastik yang tak lagi bersih, ia menikmati betul
seruputan demi seruputan kopi hangat. "Rumah" perempuan itu hanya
susunan papan berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang berasal dari kotak
kayu yang biasa ditemukan di pasar, ada pula yang memanjang. Bagian yang
menjadi atap rumah ditutupi selembar terpal warna biru untuk
menghalangi kucuran air saat hujan datang. Antara atap dan lantai hanya
ada jarak satu meter. Karenanya, setiap kali keluar masuk "rumahnya"
perempuan itu harus membungkuk-bungkuk.
Di ambang pintu yang rendah, sebuah papan
penggilasan pakaian dipasang sebagai jembatan. Di bawahnya, selokan
kecil meliuk mengalirkan air berwarna hitam kehijauan. Dalam
keterbatasan ruang di halaman yang lebarnya hanya setengah meter, ia
tampak berusaha mempercantiknya dengan lima pot tanaman yang terbuat
dari bekas wadah cat tembok. Kelimanya diatur berjajar memanjang.
Jadilah gerbang. Sayangnya, daun-daun tanaman dalam pot itu nyaris habis
dipatuki ayam peliharaannya yang tak banyak jumlahnya.
Maryati, nama perempuan itu. Wajahnya sudah
berkerut-kerut meski usianya belum genap 40 tahun. "Saya sudah 25 tahun
tinggal di sini," katanya sambil menyebut usianya sendiri, 37 tahun. Ia
tinggal bersama suaminya. Karena sempit, Maryati hampir setiap malam
tidur di luar rumah. Beralaskan karung dan selembar kain. Kadang tidur
di "halaman" dan kadang tidur di atas tumpukan rangka besi besar di
samping "rumah".
"Syukurlah ada besi-besi itu. Kalau air sungai
meluap ya cukup terlindungilah, enggak hanyut," kata Maryati. Meski
harus tinggal di "rumah" sempit di lokasi yang tak sewajarnya, dalam
setiap pembicaraannya Maryati selalu mengucap syukur. "Alhamdulillah,
saya masih punya rumah. Kalau enggak di sini, mau di mana lagi? Di
kampung saya di Indramayu saja masih tinggal di rumah saudara," katanya.
"Maklumlah, orang kecil," lanjutnya.
Untuk hidup sehari-hari, Maryati berjualan sayur
di dekat terowongan Manggarai. Setiap bulan ia mengirim sedikit uang
untuk dua anaknya di kampung. Sekali dalam dua hari, Maryati biasa pergi
ke Pasar Induk Kramat Jati atau Pasar Minggu. "Beli cabai, tomat, sayur
juga," katanya. Namanya berjualan, risiko rugi sudah sangat dia pahami
tanpa mengeluh. "Nggak apa-apa kalau rugi, udah risiko," begitu ia
menyebut.
Penghasilannya yang minim masih harus dikurangi
untuk biaya hidup rutin yang tak bisa dia hindari, misalnya untuk mandi,
mencuci, dan buang hajat di WC umum. "Kami mandi bayar di kamar mandi
umum, air juga harus beli," ujar Maryati, yang lagi-lagi mengucapkan
syukur sewaktu menceritakan ada penghasilan tambahan selain berjualan
sayur.
Meski hidup serba prihatin dan mesti menghadapi
berbagai situasi yang tidak nyaman, Maryati tak goyah. Ia tetap tinggal
di gubuk kecilnya. Tetap berjalan terus mencari nafkah, bahkan tetap
berbagi rejeki dengan keluarganya di desa. Keyakinannya, kalau
memelihara waktu-waktu shalat ia akan selalu aman. "Kalau kita shalat
lima waktu, pasti aman deh," katanya sambil tersenyum.
Melihat Maryati, kita serasa melihat potret
kekayaan batin. Ini adalah kekayaan hakiki, yang membuat manusia tidak
patah, tidak kalah. Sampai kapan pun. Wallahu’alam
di kutip dari http://beranda.blogsome.com
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..