Semula, ia adalah satu dari empat orang. Empat orang yang menyadari
bahwa negerinya berada di jalan yang salah. Ada penyimpangan besar.
Maka, hari itu mereka saling berjanji. Berjanji untuk merahasiakan
perkara besar, bahwa mereka hendak melakukan perubahan.
Peristiwa di hari itu kemudian dicatat sejarah. Saat semua
orang-orang Makkah berkumpul di sekitar berhala dan berkorban untuk
mereka, empat orang itu berkumpul di tempat terpisah, berkomitmen
menjaga rahasia “perjuangan.”
“Kita semua harus saling percaya dan menjaga rahasia ini,” kata salah seorang dari mereka. “Ya!”, jawab yang lainnya serempak.
Sejak peristiwa itu mereka mencari jalan masing-masing. Berusaha
menemukan kebenaran. Bertualang mencari tauhid dan menghindari
penyimpangan besar penduduk Makkah; kemusyrikan, khamr, pembunuhan bayi
perempuan. Empat orang itu adalah Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin
Jahsy, Utsman bin Al-Huwairits, dan Zaid bin ‘Amr bin Naufal.
Sementara Waraqah menjadi Nasrani, Ubaidillah bin Jahsy masih
kebingungan. Hingga tibalah masa diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah.
Demi mendapatkan keyakinan yang selama ini dicarinya, Ubaidillah bin
Jahsy memeluk Islam. Menjadi kader generasi awal.
Pada tahun kelima kenabian, sejumlah sahabat hijrah ke Habasyah.
Termasuk Ubaidillah bin Jahsy dan istrinya, Ramlah binti Abu Sufyan yang
memiliki nama kuniyah Ummu Habibah. Di Habasyah, ketika kaum muslimin
mendapatkan perlindungan, kondisinya aman, bebas dari siksaan dan
intimidasi yang selama di Makkah selalu menghiasi dakwah, Ubaidillah bin
Jahsy justru menyempal. Murtad. Keluar dari Islam. Pada akhirnya, ia
meninggal sebagai seorang Nasrani.
Ubaidillah bin Jahsy. Kader generasi awal yang menyempal. Bukan kader
biasa, ia hidup di bawah dakwah Rasulullah. Bertemu langsung dengan
penutup para Nabi. Mendapatkan ajaran dari beliau. Bahkan merasakan
pahit getirnya mempertahankan Islam di Makkah, bahkan berpisah dari
tanah air menuju negeri seberang. Murtad.
Riwayat hidup Ubaidillah bin Jahsy mengajarkan kepada kita bahwa
istiqamah itu memang sulit. Sangat sulit. Tidak ada jaminan bagi kita
untuk terus isitiqamah. Durasi yang lama bersama dakwah tidak pula
menjamin kita istiqamah. Realita ini seharusnya juga menyadarkan kita,
bahwa sehebat apapun jamaah dakwah, tidak akan mampu menjami seluruh
kadernya istiqamah. Sehebat apapun sistem kaderisasi, tetap ada peluang
kader yang menyempal, termasuk kader generasi awal. Bukankah tidak ada
jamaah yang lebih hebat dari generasi pertama umat ini, generasinya
Rasulullah SAW dan para sahabat radhiyallaahu anhum?
Gerakan dakwah kontemporer juga mendapati fenomena yang sama. Yusuf
Qardhawi mengisahkan perselisihan partai Al Wafd terhadap Ikhwanul
Muslimin. Dalam bukunya, Aku dan Al-Ikhwan Al-Muslimin, Yusuf Qardahwi
menceritakan bahwa dari perselisihan itu Partai Wafd menebar tipu daya
terhadap Ikhwan, hingga berhasil mempengaruhi Ustadz Ahmad As-Sukari.
Ahmad As-Sukari, yang sebelumnya adalah pendiri Ikhwanul Muslimin
bersama Hasan Al-Banna, juga menjadi Sekjend Ikhwan, menyatakan keluar
dari jamaah. Bukan hanya menyempal, As-Sukari lalu menyerang Ikhwan.
Harian Al-Wafd menyediakan ruangan khusus di halaman pertamanya
sebagai media bagi As-Sukari untuk menyerang Ikhwan. Maka ia pun menulis
“Bagaimana kekeliruan Hasan Al-Banna dalam Dakwah Ikhwanul Muslimin?”.
Mereka mengira tulisan dan pernyataan As-Sukari akan menghancurkan
Ikhwan, memecah barisannya, menjadikan sebagian kader Ikhwan ikut
menyempal. Ternyata, harapan mereka kandas. Ikhwan tetap kuat, kokoh,
solid. “Namum kenyataannya”, tulis Yusuf Qardhawi mengisahkan,
“keluarnya As-Sukari dari barisan Ikhwan ibarat menarik sehelai rambut
dari tepung. Tak ada yang menangisi kepergiannya, tak ada hati yang
peduli merindukannya. Para Ikhwan hanya menyayangkan apa yang ia tulis
di media massa tersebut.”
Apa yang terjadi pada Ubaidillah bin Jahsy, bahkan apa yang terjadi
pada As-Sukari bisa saja menimpa seluruh jamaah dakwah di bumi manapun
dan periode sejarah kapan pun. Karenanya Rasulullah mengajarkan doa
kepada kita agar tetap istiqamah di jalan-Nya: Allaahumma yaa muqallibal
quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinik (Ya Allah, Dzat yang
membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu). Wallaahu
a’lam bish shawab. [Muchlisin]
sumber beritapks.com
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..