Sebut saja A dan B. Dua orang sahabat yang sejak kecil sering
bercanda bersama, menangis bersama, bahkan melanjutkan sekolah hingga
perguruan tinggipun selalu bersama. Kecocokan antara keduanya telah
terbingkai dalam sebuah jalinan persaudaraan yang unik, yang tak mudah
kita temui di kebanyakan episode persaudaraan yang lain.
Suatu ketika, di sebuah serambi masjid kampus, mereka sepakat untuk
saling mengoreksi dan mengevaluasi dir mereka masing masing. Si A harus
mengevaluasi kekurangan dan kelebihan si B. Begitupun sebaliknya, si B
juga harus bisa menyebutkan kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri
si A. Mereka bersepakat bahwa beberapa hari lagi akan bertemu di tempat
yang sama untuk menyampaikan hasil evaluasi yang mereka siapkan mulai
dari pertemuan itu. Hingga tibalah hari dimana mereka menyampaikan
boring evaluasinya.
“A, silahkan kamu mulai bacakan evaluasimu terhadap tingkahku selama ini.” Ucap si B mengawali pembicaraan.
“Tidak B, kamu saja yang memulainya. Sepertinya tulisanmu lebih
banyak. Dan sepertinya kamu lebih siap untuk menyampaikannya lebih
dahulu.”
“Hmm, baiklah. Aku yang akan memulainya.”
“Silahkan B, aku akan mendengarkan.”
“Tapi,,, kamu janji ya tidak akan marah padaku setelah kubacakan penilaianku padamu?”
“Baiklah, aku tidak akan marah. Sampaikan saja sejujurnya padaku.”
“Kamu mau mendengar yang mana dulu? Tentang kelebihanmu atau kekuranganmu?”
“Kekuranganku saja dulu.”
“A, kamu itu orangnya egois, maunya selalu diperhatikan, tidak peka
sama lingkungan, tak pernah mau terus terang tentang masalah yang
menimpamu. Kamu itu selalu menyalahkan orang lain ketika ada masalah
yang menimpamu, kamu itu……”
“maaf B, maafkan aku bila selama ini telah sering menyakitimu.” Ujar
si A memotong perkataan si B yang sedang membacakan evaluasinya.
“Tak apa A, maaf juga bila kamu telah teseinggung mendengarkan
evaluasiku ini. Tapi, aku masih belum selesai membacakannya. Apakah
harus ku hentikan?”
“Tidak B, lanjutkan saja. Aku akan terus mendengarkannya.” Kata si A sambil menyeka pipinya yang mulai meneteskan air mata.
“Kamu itu, maaf…. Pemalas, tergantung pada orang tua, selalu bilang
aku seperti anak-anak. Dan kamu itu plin-plan….” Sejenak B menatapa
wajah saudaranya. Binar matanya mulai terbasahi air mata yang muai
menetes melintasi pipinya.
“A, ada apa? Apa ku menyakitimu? Kalu begitu aku hentikan saja evaluasiku. Aku tak ingin sahabatku bersedih seperti ini.”
“Tidak apa B, terus lanjutkan saja. Aku akan terus mendengarkan nasehat dari sahabat terbaikku.”
“Aku tak sanggup melihatmu bersedih seperti ini. Biar ku hentikan saja ya.”
“Tolong B, lanjutkan saja. Aku tidak apa-apa sahabatku. Aku hanya
ingin mengetahui dari lisanmu mengenai kesalahan-kesalahanku padamu.
Apakah kekuranganku masih banyak?” ujar A sambil menahan tangis yang
hampir meledak “Maaf A, masih ada tiga halaman lagi.Baiklah, aku
lanjutkan.” Si B pun melanjutkan membaca daftar kekuragan si a yang
telah ia tuliskan.
Selanjutnya, si B membacakan daftar kelebihan yang dimiliki si A.
“A, bagiku kamu tetap istimewa, kamu adalah temanku yang paling
cerdas dan kamu sering mengingatkanku bila ku tersalah.” Si B membacakan
daftar kelebihan si A yang hanya tiga paragraph tersebut.
“Sudah A, aku sudah membacakayan semuanya. Selanjutnya giliranmu.”
Sambil berusaha senyum, si A membacakan daftar kelebihan dan kekurangan si B.
“Sekarang aku akan membacakan kelebihanmu dulu saja ya B.”
“Baik A, kalau kamu berkenan, silahkan.”
“Kamu itu kreatif, cekatan, suka menolong, penuh ide brilian,
konsisten, tak mengharap imbalan duniawi, kata-katamu selalu terjaga,
dan selalu senyum tatkala menyapa ornag-orang disekitarmu….” Ucap si A
panjang lebar hingga tiga halaman A4 ia selesai bacakan.
“Sudah B, aku sudah selesai membacakan semua yang kutulis.”
“kekuranganku?”
“Tidak, tidak ada. Aku sudah rampung membaca semua evaluasiku padamu saudaraku.”
“Apa maksudmu? Apa saja kekuranganku dan tingkah burukku yang telah
menyakitimu selama aku menjadi sahabatmu A? coba sebutkan saja, aku
tidak akan marah.”
“Aku tak bisa menuliskan apapun pada lembar kekuranganmu A. bagiku,
kekuranganmu telah mengajarkanmu untuk lebih dewasa dan bijak dalam
mengambil setiap keputusan. Dan semua itu telah terbingkai indah dalam
memori hidupku sahabatku. Oleh karena itu tak ada yang bisa kubacakan
mengenai kekuranganmu.”
“Duhai sahabatku, maafkan aku. Sungguh engkau adalah sahabat terbaik
yang pernah kutemui. Engkau adalah mutiara yang selalu menjadi perhiasan
dalam hidupku, menghiasi setiap lembaran perjalanan kehidupan yang
penuh kejadian mengharu biru ini.”
Dan kini, serambi masjid kampus itu pun menjadi saksi, tetesan asir
mata yang mengalir karena sebuah ikatan yang begitu berharga. Ikatan
ukhuwah.
Ah, rasanya aku belum bisa menjadi seperti A yang mampu menangkap
setiap aura kebaikan dari sahabatnya. Menjadikan segala kekurangan
sahabatnya sebagai pelecut semangat untuk mendewasakan diri tanpa
mengungkit-ngungkit apalagi membicarakan kekurangan sahabatnya pada
orang lain. Kita, pasti pernah punya salah. Bahkan sering kita lakukan
pada orang lain. Pada sahabat kita. Saat ego masih tersimpan dalam hati,
saat persepsi menutupi mata hati bahwa orang lain harus menjadi yang
sempurna dihadapan kita, tanpa cacat, tanpa kekurangan. Maka,
sesungguhnya kita telah membutakan mata hati kita untuk memberikan
permaafan pada orang lain. Menganggap setiap kesalahan sahabat kita
adalah dosa besar yang takkan termaafkan dan telah menutup pintu maaf
bagi setiap kesalahan mereka.
Sahabatku, Saudaraku, ikatan kita bukan sembaran ikatan. Kita diikat
bukan karena kesamaan ampus, kesamaan asal daerah, kesamaan jurusan,
kesamaan organisasi. Akan tetapi kita diikat atas dasar cinta yang
terbingkai dalam ukhuwah. Cinta pada Allah dan ukhuwah yang menggelora
mempersatukan setiap keping-keping hati yang tersebar di seluruh penjuru
bumi-Nya ini.
Sahabatku, Saudaraku, ikatan kita adalah ikatan yang istimewa. Yang
telah dipertautkan oleh Yang Maha Istimewa, yang selalu kita ucapkan
do’ado’a rabithah dalam waktu istimewa kita, disepertiga malam terakhir
sambil berdo’a;
Ya Allah.. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu, berhimpun dalam naungan cintaMu, bertemu dalam ketaatan, bersatu dalam perjuangan, menegakkan syariat dalam kehidupan, Kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya, tunjukilah jalan-jalannya, terangilah dengan cahayaMu, yang tiada pernah padam, Ya Rabbi bimbinglah kami. Lapangkanlah dada kami, dengan karunia iman dan indahnya tawakal padaMu, hidupkan dengan ma’rifatMu, matikan dalam syahid di jalan Mu, Engkaulah pelindung dan pembela.Oleh: Jupri Supriadi, Bogor.
http://www.fimadani.com/muhasabah-cinta-dua-sahabat/
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..