...Rudi Zainal...
Keterlibatan
Agen Intelijen Amerika (CIA), dalam keruntuhan sebuah partai besar di
Indonesia, bukanlah kisah mengada-ada. Dalam kasus PKI (Partai Komunis
Indonesia), John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal (terbit
2008) membuktikan keterlibatan tersebut secara ilmiah. Pada bab VI buku
yang edisi Inggrisnya diterbitkan The University of Wisconsin Press,
Madison, USA (2006) itu, terurai bagaimana keterlibatan Amerika Serikat
(CIA) hingga berujung pada kehancuran partai berlambang palu arit. Dari
pembukaan bab VI itu saja telah terbayang peranan Amerika Serikat di
sana. Di pucuk bab itu diletakkan kutipan pernyataan Duta Besar Amerika
Serikat untuk Indonesia, Howard P. Jones (HPJ), pada 10 Maret 1965.Apa katanya?
”Dari sudut pandangan kami, sudah
barang tentu, percobaan kup yang gagal oleh PKI boleh jadi merupakan
perkembangan yang paling efektif untuk memulai pembalikan arah
kecenderungan politik di Indonesia.” Demikian Howard Jones berkata.
Dihubungkan dengan kenyataan
yang kemudian menjadi fakta sejarah, pendapat HPJ itu langsung terlihat
relevansinya. Meskipun, dalam uraian lengkap Roosa di bab 6 itu
terungkap, bahwa tidak mudah juga bagi Amerika untuk mendorong
terjadinya apa yang mereka harapkan. Bagaimanakah membuat PKI mau
melancarkan aksi yang diharapkan Amerika? Bukankah PKI berada di posisi
yang sangat baik, buah dari taktik kerjasamanya dengan Sukarno? Di sisi
lain, posisi Sukarno pun tidak bisa diserang. Dalam laporan diplomat
berpengalaman Ellsworth Bunker kepada Presiden Johnson pada April 1965
tertulis,“Tidak perlu disangsikan kesetiaan rakyat Indonesia kepada
Sukarno.” Bangsa Indonesia, lanjut Bunker, “Dalam jumlah yang besar
mengharapkan kepemimpinan darinya, mempercayai kepemimpinannya, dan
bersedia mengikutinya. Tak ada kekuatan di tanah air yang bisa
menyerangnya, tidak pula ada bukti bahwa suatu kelompok penting ingin
berbuat demikian.”
Di sinilah kelihaian intelijen
menemukan momentum ujiannya. Untuk mencapai apa yang diinginkan Amerika,
CIA melancarkan operasi-operasi rahasia yang mendorong PKI berfikir
bahwa partai dan Bung Karno dalam keadaan bahaya. Beberapa dari
“operasi-operasi black letter [surat kaleng]” dan “operasi-operasi
media” CIA dirancang untuk meyakinkan pimpinan PKI, bahwa
jenderal-jenderal Angkatan Darat dan Amerika Serikat adalah
anjing-anjing gila yang sangat menginginkan kup/kudeta.
Di sisi lain, Bunker menyarankan
pula, agar AS menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi elemen-elemen
kekuatan potensial untuk menang dalam konfrontasi. Pemerintah AS pun
kemudian menjadi sangat berharap terjadinya bentrokan antara Angkatan
Darat dengan PKI. AS meyakinkan Angkatan Darat bahwa Amerika Serikat
akan mendukung mereka jika mereka bergerak melawan PKI.
Meski kemudian AS
dibayang-bayangi keraguan akan sukses dengan isu kudeta para Jenderal,
kenyataannya PKI dalam hal ini DN Aidit dan Syam Kamaruzzaman, menyambar
umpan yang dipancingkan Amerika. Mereka percaya dengan isu itu.
Terjadilah penculikan para jenderal. Akibatnya fatal bagi PKI. Tak lama
sesudah operasi yang terkenal dengan nama G 30 S, partai komunis
terbesar ketiga di dunia saat itu, hancur dan tak pernah dibiarkan hidup
kembali di negeri ini. Amerika dengan kapitalismenya pun keluar sebagai
pemenang dalam perebutan pengaruh ideologis melawan komunisme di
Indonesia, hingga saat ini.
***
Sebagai sebuah karya yang dihasilkan
dari metode ilmiah, apa yang disampaikan Roosa itu tentu sulit untuk
dikatakan oleh orang Indonesia saat ini sebagai mengarang-ngarang atau
mereka-reka. Namun, di masa dokumen-dokumen Amerika yang menjadi objek
penelitian Rossa masih bersifat rahasia (tahun 60-an sampai 80-an), dan
karena itu belum diungkap ke publik, anggapan yang berlaku di masyarakat
Indonesia saat itu pastilah sebaliknya. Saat itu, analisis yang
menyatakan adanya keterlibatan intelijen dalam keruntuhan PKI, tentu
dianggap hanya suatu teori konspirasi belaka, yang sulit memberikan
bukti.
Tetapi mulai tahun 90-an, ketika
dokumen itu resmi menjadi konsumsi publik, anggapan itu pun mau tidak
mau harus berubah. Apa yang disebut-sebut hanya sebagai teori konspirasi
ternyata faktual adanya. Pelajaran dari hal ini adalah: Suatu anggapan
yang dinilai sebagai teori konspirasi belaka pada suatu masa, boleh jadi
merupakan suatu fakta yang dapat dilihat kesahihannya beberapa
dasawarsa ke depan.
Bertolak dari pelajaran atau hikmah
tersebut, adalah menarik apa yang disampaikan Anis Matta dalam orasi
politik perdananya setelah diangkat sebagai presiden PKS (Partai
Keadilan Sejahtera). Dari berbagai poin yang ia sampaikan, yang relevan
di sini adalah pernyataan bahwa ada konspirasi besar untuk menghancurkan
PKS.
Ketika ditanya berbagai pihak,
siapakah para konspirator itu? (Termasuk dalam pertanyaan ini tentunya:
dari dalam negeri atau luar negerikah konspirator itu?). Anis Matta
menjawab diplomatis, bahwa ia merasa tidak relevan untuk mengungkapkan
apalagi membuktikannya. Anis seolah hendak mengatakan bahwa biarlah PKS
saja yang merasakannya, karena sifat konspirasi memang tidak kasat mata
namun terasa adanya.
Akan tetapi, jika kisah
penghancuran PKI di atas menjadi pembanding, kiranya patut
dipertimbangkan publik, kemungkinan pihak asing (baca:Amerika) punya
andil dalam prahara PKS. Dan sekiranya memang demikian yang terjadi,
prahara PKS sejatinya bukan musibah bagi PKS semata. Bukan pula hanya
bagi perpolitikan Indonesia (sebagaimana judul dialog Indonesia Lawyer
Club dalam salah satu edisinya: Prahara PKS, Prahara Politik). Tapi ini
menyangkut musibah bagi kedaulatan dan harga diri bangsa. Tidakkah
nasionalisme bangsa ini terusik, ketika dalam urusan dalam negerinya
bangsa lain ikut cawe-cawe?
Kerangka teoritik untuk
pertimbangan itu sebenarnya telah lama tersedia, dan semakin hari
semakin terlihat relevansinya. Adalah Samuel Huntington, seorang Guru
Besar Ilmu Politik asal Amerika yang mengabarkan dunia, bahwa pasca
perang dingin di panggung global akan berlangsung clash civilization,
benturan peradaban. Kemajuan ekonomi China, reaksi Amerika pasca tragedi
11 September 2001 (termasuk pembentukan Densus 88 di Indonesia), dan
Arab Spring, adalah fenomena-fenomena yang kemudian tampak, usai
Huntington menyampaikan teorinya di dekade akhir abad 20. Benturan
peradaban yang dimaksud Huntington tak lain adalah antara Barat dan
Timur. Timur dalam hal ini adalah Islam dan Konfusianisme.
Kerangka teori itu, bagi PKS
jelas ada relevansinya. PKS adalah partai Islam terbesar di negeri
berpenduduk Islam terbesar di dunia. Apakah ia tidak layak karenanya
diperhitungkan, dalam konstelasi clash civilization a la Huntington itu?
Dalam konteks perbenturan
ideologi di masa lalu, yang sangat diperhitungkan Barat dari Indonesia
adalah PKI. Dalam konteks perbenturan peradaban saat ini, yang wajar
bila ia diperhitungkan, adalah PKS! Dalam sejarah, PKI hancur
sehancur-hancurnya. Dalam masa penantian, apakah PKS akan habis?
Dengarlah pesan Anis Matta
dalam sebuah perhelatan partainya di Bandung. Ia mengutip Aku-nya
Chairil Anwar: Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari. Hingga hilang
pedih perih Aku ingin hidup seribu tahun lagi…..
30 tahun lagi, konspirasi besar
yang dinyatakan Anis Matta, terbuka untuk diuji dan dibuktikan di
perpustakaan Amerika. Di sana akan ditemukan jawaban atas persoalan:
Apakah Amerika memang memiliki keterlibatan atau tidak dalam prahara PKS
tahun 2013, dan bagaimana modus operandinya. Apakah PKS saat itu tetap
eksis dan telah menjadi the ruling party ? Waktulah yang akan
menjawabnya. Yang pasti, sekali lagi, keterlibatan Agen Intelijen
Amerika (CIA) dalam keruntuhan sebuah partai besar di Indonesia,
bukanlah kisah mengada-ada.
http://politik.kompasiana.com/2013/02/16/cia-pki-dan-pks-534053.html
Baca Juga 'Operasi Intelijen' untuk PKS: Dari penjatuhan citra hingga perangkap daging impor
Baca Juga 'Operasi Intelijen' untuk PKS: Dari penjatuhan citra hingga perangkap daging impor
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..