“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah 
besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah 
karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan 
tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang 
sabar.” (QS Ali Imran [3]: 146).
Dakwah adalah sebuah perjalanan panjang yang takkan pernah sepi dari 
rintangan dan cobaan bagi mereka yang melaluinya. Usianya lebih panjang 
dari penyeru dakwah itu sendiri. Para rasul dan nabi yang telah merintis
 dan melaluinya telah memberikan banyak pelajaran (ibrah) bagi mereka yang meneruskan estafeta dakwah ini.
Rintangan dan ujian dalam berjuang di jalan dakwah adalah sebuah 
keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Ia pasti akan menghampiri, jangan
 pernah berhenti, karena para nabi dan pengikutnya tak pernah berhenti 
ataupun melemah karena rintangan dan ujian.
Nabi Nuh AS telah menghadapi cacian kaumnya, Nabi Ibrahim AS dibakar 
dalam nyala api, Nabi Isa AS dimusuhi, bahkan Nabi Muhammad SAW mendapat
 ancaman dibunuh setelah seringkali mendapat cacian, hinaan, dan 
penyiksaan. Tak ada satu pun dari mereka yang bergeming ataupun lemah 
lalu berhenti dalam dakwahnya, kecuali tetap kokoh dan semakin gigih 
dalam mengajak untuk menyembah Allah SWT semata.
Ayat di atas memberikan pelajaran dalam perjuangan. Dalam perjuangan 
para nabi dan pengikutnya, mereka tidak pernah berputus asa, menjadi 
lemah ataupun berhenti dalam dakwah atas cobaan yang menimpanya. Dalam 
ayat tersebut, terdapat tiga sifat yang menjadi duri di jalan dakwah, 
sifat yang harus diwaspadai oleh para dai penyeru kebenaran sehingga 
mereka tidak terjatuh dalam golongan orang-orang yang berjatuhan di 
jalan dakwah.
Di antara duri di jalan dakwah itu adalah, pertama, sifat wahn (famaa wahanu).
 Sifat ini dapat diartikan seperti dalam sebuah hadits ketika para 
sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang sebuah sebuah penyakit wahn. Wama alwahn ya Rasulallah? Rasulullah menjawab, ”Hubbuddunya wa karohiyatul maut.”
 Wahn adalah sifat cinta dunia dan takut mati. Sifat wahn banyak membuat
 para penyeru dakwah berguguran, boleh jadi karena tidak kuat atas 
siksaan, ataupun godaan dunia yang melenakan. Seorang yang telah 
memasuki arena dakwah dalam pertarungan hak dan kebatilan akan 
dihadapkan dengan hal ini. Sekali lagi sejarah telah menceritakan itu. 
Bukankah Rasulullah juga ditawari harta yang bergelimang? Tawaran untuk 
menjadi penguasa di jazirah Arab? Serta dijanjikan wanita Arab yang 
paling mempesona? Asalkan Rasul meninggalkan dakwahnya. Namun jawaban 
yang Rasulullah katakan, ”Kalaupun sekiranya mereka meletakkan matahari 
di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku niscaya aku tidak akan 
meninggalkan dakwah ini.”
Kedua, sifat lemah (wama dho’ufu). Tentunya sebuah keharusan 
ketika sebuah kebenaran berteriak lantang dan mulai menyadarkan kebisuan
 dan keterlenaan banyak orang, dakwah akan berhadapan dengan sebuah 
kekuatan yang akan menghadangnya. Begitulah ketika Firaun mengahadang 
dakwah Nabi Musa AS, begitulah ketika Abu Jahal dan Abu Lahab 
menghalang-halangi dakwah Rasulullah. Begitulah Gamal Abdul Naser 
menghalangi dakwah Al-Banna dan ikhwan. Namun mereka tidak pernah merasa
 lemah atas apa yang menimpa mereka. Inilah pelajaran penting dari 
dakwah bahwa sifat tsabat adalah sebuah keharusan yang harus dimiliki 
bagi pengembannya.
Ketiga, sifat berdiam diri / sifat istikan (wamastakanu).Mereka
 tidak pernah berdiam diri, para dai terus bergerak di tengah kesulitan 
dan cobaan. Seorang dai sejati tidak pernah menunggu panggilan untuk 
dakwah. Bagaimana mungkin ia akan bisa berdiam sedangkan kemungkaran 
berada di sekelilingnya. Ketika dakwah belum juga menampakkan hasilnya, 
maka tidaklah membuat dai kemudian berdiam diri, karena yang dituntut 
darinya bukanlah hasil. Namun yang dipinta darinya hanyalah amal, 
sedangkan hasil adalah urusan Allah SWT semata.
Ketiga sifat tersebut, wahn, dhoif, dan istikan hendaklah mesti dihindari dan dibuang jauh-jauh dari kamus para dai. Maka dari itu untuk menjaga kualitas ruhiyah agar tetap tsabat para pejuang dakwah hendaklah tidak bosan-bosan untuk mengulang-ulang doa yang diucapkan oleh para nabi dan pengikutnya.
”Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah 
dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam 
urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap 
kaum yang kafir”. (QS Ali Imran [3]: 147)
Semoga Allah SWT menguatkan langkah kita dalam menapaki jalan dakwah ini. Tsabat atas ujian dan rintangan yang menghadang di atas jalan ini. Amin.
http://www.al-intima.com/nasehat/duri-di-jalan-dakwah 
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..