Engkaulah itu minyak atar
Meskipun masih tersimpan
Dalam kuntum yang akan mekar
-Iqbal, Javid Namah-
“Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami”,
kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat dan
jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga terkemuka
lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi. Janggut. Salah satu simbol kejantanan
dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin dan bersih.
Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!
Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya.
Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!”
Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.
Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya.
Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu. Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih anaknya.
Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.
Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.
Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.”
Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum.
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat 13)
Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.”
Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.”
Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk menikahi.
Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya, ”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih langgeng.”
Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi.
Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar (نظر). Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan melestarikan prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya..
Keluarkan Kucing dari Karungnya
jangan kau kira cinta datang
dari keakraban dan pendekatan yang tekun
cinta adalah putera dari kecocokan jiwa
dan jikalau itu tiada
cinta takkan pernah tercipta,
dalam hitungan tahun, bahkan millenia
-Kahlil Gibran-
Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin menikah dengan kucing.
Adalah Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker yang setelah sukses dengan buku Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya, Blink: The Power of Thinking without Thinking. Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya.
Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan akbar.
“Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”
Padahal seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja.
Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.
Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon tak bisa memasak?
“Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum.
“Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.”
Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.”
Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua macam profesi itu.
Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja.
Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda.
"Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah)
Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja. Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak menyatu.
”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu.
Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!
Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya.
Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!”
Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.
Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya.
♥♥♥
Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu. Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih anaknya.
Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.
Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.
Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.”
Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum.
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat 13)
♥♥♥
Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.”
Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.”
Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk menikahi.
Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya, ”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih langgeng.”
Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi.
Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar (نظر). Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan melestarikan prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya..
Keluarkan Kucing dari Karungnya
jangan kau kira cinta datang
dari keakraban dan pendekatan yang tekun
cinta adalah putera dari kecocokan jiwa
dan jikalau itu tiada
cinta takkan pernah tercipta,
dalam hitungan tahun, bahkan millenia
-Kahlil Gibran-
Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin menikah dengan kucing.
Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja.
Adalah Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker yang setelah sukses dengan buku Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya, Blink: The Power of Thinking without Thinking. Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya.
Dua detik pertama mencerap dengan indera itu menentukan. Mahapenting.
Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan akbar.
“Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”
Padahal seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja.
Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.
Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon tak bisa memasak?
“Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum.
“Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.”
Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.”
Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua macam profesi itu.
Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja.
Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda.
"Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah)
Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja. Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak menyatu.
”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu.
kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya
ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan
ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan
ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan
tapi satu hal tetap sama
mereka cocok karena bersama bertasbih memuji Allah
seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya
*http://salimafillah.com/nazhar-bukan-sekedar-taaruf/
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..