Suatu hari di kelas, saat uji praktik aku meminta kesediaan murid 
yang siap untuk maju. Lalu majulah seorang murid maju melakukan uji 
praktik. Ia berhasil dengan baik dengan nilai hampir sempurna. 
Teman-teman sekelas ada yang memberi tepuk tangan sekadarnya. Yang lain 
sibuk melatih diri agar tidak lakukan kesalahan saat di depan. Yang lain
 mengobrol, entah apa yang dibicarakan. Sengaja aku tidak mengingatkan. 
Lalu aku kembali menawarkan lagi kepada murid-muridku untuk maju. Tidak 
ada yang maju. Aku hanya menunggu karena aku memang berniat demikian. 
Aku ingin melihat respon dan kesiapan murid-muridku mengikuti ujian 
praktik ini. Setelah beberapa waktu ada seorang muridku yang maju. 
Ternyata ia melakukan kesalahan yang menurutku tidak perlu ditertawakan.
 Tapi betapa terkejutnya aku. Hampir satu kelas menertawakan muridku ini
 dan berteriak “Huu….”. Hingga aku harus berkata, “Ada yang lucu?”
Aku
 tiba-tiba ingat, ketika tidak sengaja menonton sebuah audisi dari luar 
negeri untuk penyanyi. Salah seorang penyanyi melakukan kesalahan di 
tengah pementasan tapi apa yang terjadi dewan juri dan penonton memberi 
tepuk tangan penyemangat. Lalu saat ada yang bagus pementasannya mereka 
memberinya “stand up applause” tepuk tangan sambil berdiri yang 
melambangkan penghargaan tinggi. Tidak seperti pada audisi yang hampir 
sama, yang ada di Indonesia. Kejadiannya-pun hampir sama seperti di 
kelasku. Ada teriakan “Hu….”
Ironis bukan? Ini yang kulihat dari 
seserpih gambaran dari bangsa ini. Anak-anak dari bangsa ini. Hal yang 
bagus, yang baik jarang dapat penghargaan, dapat pujian. Sekali 
melakukan kesalahan, kekeliruan bagaikan hujan sehari hilangkan panas 
setahun. Kesalahan, kekeliruan sekali hancurkan kebaikan yang banyak. 
Bagai rusak sebelanga karena nila setitik. Begitukah bangsa ini?
Seperti
 itulah yang kulihat dari sebuah layar kaca kotak di rumahku. Saat 
seorang pemimpin partai politik yang dari awal mendukung antikorupsi, 
mendukung KPK, tiba-tiba ditangkap oleh KPK dengan dugaan suap di kantor
 pusat partai tersebut. Seluruh media menyorot. Bahkan di salah satu 
provinsi partai tersebut dilecehkan lewat spanduk-spanduk tidak 
bertanggung jawab (sumber @republikaonline).
Selang beberapa waktu
 partai tersebut mengangkat pemimpin baru, yang tadinya merupakan sekjen
 partai. Apa yang diucapkan pemimpin baru tersebut? Ia menyerukan 
pertobatan nasional bagi seluruh kader partai tersebut. Menyerukan 
istighfar. Hal ini tak akan pernah terucap kecuali dari seorang pemimpin
 yang berjiwa besar dan memiliki kerendahan diri kepada Allah SWT…
Apakah
 benar dugaan suap itu? Apakah ada konspirasi di balik itu? Banyak 
spekulasi. Baik di media cetak, media internet, dsb. Apapun itu 
kebenaran akan terungkap. Aku percaya itu. Kita harus percaya itu. Entah
 di besok, pekan depan, bulan depan, tahun depan, di dunia, atau di 
akhirat. Aku, kita, pun tidak akan tahu.
Terlepas dari semua hal itu, bangsa ini perlu belajar menghargai pengakuan kesalahan. Tak ada manusia yang terlahir sempurna, begitu lirik lagu d’Masiv. “Setiap anak Adam (manusia) mempunyai salah (dosa), dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah]. Mari kita tetap dukung perbaikan dalam kebaikan. Semoga kejadian ini dapat menjadi kontemplasi bagi kita semua.
Demi
 masa. Sesungguhnya, manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang 
beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk 
kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran. (QS Al ‘Ashr: 1-3)
 Wallohu a’lam bishowab.
 

 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..