Ia hadir bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang demikian itu 
karena kejeniusan Rasulullah Saw dalam memerankan politik Negara Islam 
telah terbukti dan diamini kebenarannya oleh para ahli tahkik dan 
pemerhati politik dunia Islam. Di samping itu, kepemimpinannya tidak 
dapat diukur atau dibandingkan dengan kepemimpinan siapa pun dari mereka
 yang ditakdirkan jadi pemimpin, corak dan naskah kepemimpinan tunggal 
yang hanya sekali terjadi dan tidak akan pernah terulang. Yang demikian 
itu karena kepemimpinannya selalu terkait dengan masalah keimanan. 
Rasulullah Saw tidak melakukan manuver-manuver politik, jihad, 
perjanjian damai, kecuali dengan dasar iman yang menjadi penggerak utama
 perbuatannya, iman yang menjadi tema sentral dari ajaran yang 
diembannya. Olehnya itu, ia senantiasa dimonitoring oleh wahyu samawi 
dalam menjalankan kepemimpinannya.
Abbas Aqqad berkata:
 “Hakikat
 yang dilihat oleh mereka yang jernih menghukumi setiap masalah, muslim 
atau non-muslim, sesungguhnya invasi Muhammad invasi keimanan dan 
kekuatan Muhammad kekuatan iman. Tidak ada tanda yang paling mendasar 
dari setiap usahanya kecuali tanda ini, dan tidak ada alasan lain dari 
semua itu selain alasan ini. Dia tidak goyah dalam menanamkan 
nilai-nilai keimanan yang mengesakan Allah meski godaan-godaan duniawi 
datang menghampirinya, fitnah duniawi yang tidak akan pernah ditemukan 
di mana pun dan kepada siapa pun kecuali Rasulullah Saw.
Beliau
 didatangi Atabah bin Rabiah, pemuka kaum Quraisy, di hari-hari pertama 
dakwah Islam menyinari sudut-sudut kota Mekah. Atabah dengan lembut dan 
penuh kesopanan menggoda Rasulullah Saw dengan godaan-godaan duniawi 
supaya ia meninggalkan tugas sucinya setelah mereka putus asa 
mengintimidasinya: “Wahai putra saudaraku, Anda itu dari kami, Anda yang
 paling terbaik dari kami dilihat dari nasab dan strata sosial. Tetapi, 
Anda mendatangi kaum Anda sendiri dengan perkara besar yang telah 
memecah jamaah mereka, bukan hanya itu, Anda pun memudarkan mimpi-mimpi 
mereka, memandang hina tuhan-tuhan dan agama mereka, mengkafirkan nenek 
moyang mereka. Wahai putra saudaraku, dengarkanlah aku! Saya memberikan 
Anda beberapa pilihan, semoga Anda menerima salah satunya.” Rasulullah 
Saw menjawab: “Katakanlah wahai Abu al-Walid!” Jawabnya: Wahai putra 
saudaraku! Jika engkau menginginkan harta dari perkara (Islam) yang 
engkau datangkan, kami siap mengumpulkan untukmu dari harta-harta kami 
sehingga Anda yang terkaya, dan jika Anda ingin kemuliaan, kami pun siap
 menobatkan Anda tuan terhadap kami sehingga kami tidak memutuskan 
sebuah perkara kecuali denganmu, dan jika Anda ingin kekuasaan, kami 
juga siap mengukuhkanmu sebagai raja kami, dan jika yang mendatangimu 
itu pengaruh jin yang sulit ditepis, kami akan mencari obatnya dan 
menafkahkan harta kami demi kesembuhanmu.” Rasulullah Saw menjawab: 
“Apakah ucapan Anda selesai wahai Abu al-Walid? Jawabnya: “Ya.” 
Rasulullah Saw pun membacakan kepadanya Q.S Fussilat [41]: 2-4, jawaban 
kuat tidak terbantah bahwa mustahil baginya meninggalkan misi kenabian 
suci ini hanya dengan fitnah duniawi yang murah.”([1])
Selanjutnya,
 Anda diajak melihat hakikat lain, arti kedaulatan negara. Baik Allah 
SWT atau pun hamba-Nya punya hak dari negara yang berdaulat. Umat ingin 
jiwa, agama, harta, kehormatan, dan kreasi-kreasi daya pikir mereka 
terlindungi. Tentunya, hak-hak tersebut mustahil tercapai tanpa 
berdirinya negara yang punya kedaulatan. Di lain sisi, umat yang 
negaranya tidak memiliki kedaulatan senantiasa dirongrong ketakutan dan 
dihantui kemusnahan. Jika mereka takut dan musnah, wajah dunia murung 
ditinggal pergi syiar-syiar agama dengan perginya hamba-hamba abid yang 
musnah tidak terlindungi oleh kekuatan negara yang berdaulat. Kebutuhan 
mereka terhadapnya di atas segala kebutuhan fisik, kebutuhan yang telah 
menjadi hak umum setiap orang. Olehnya itu, tegaknya kedaulatan negara 
kewajiban bersama demi tercapainya hak-hak Allah SWT dan umat.
Prof. Dr. Muhammad Imarah berkata:
“Bukanlah
 hal berlebihan jika kita melihat negara khilafah yang kedaulatannya 
dijaga oleh para sahabat dari ancaman orang-orang murtad dan 
memposisikannya sebagai perangkat utama dari tegaknya syiar-syiar Islam,
 tujuannya jauh lebih tinggi dari sekadar menegakkan kewajiban zakat 
yang diingkari mereka yang murtad. Olehnya itu, negara -dilihat dari 
sisi ini- telah berperan aktif menyebarkan Islam di luar semenanjung 
Arab dengan kembali mengobarkan panji Islam memerangi kemurtadan 
orang-orang Arab.
Seandainya saja negara khilafah
 ini tidak ada, Islam senantiasa terancam bahaya yang setiap saat siap 
menerkam. Tanpanya, Islam mungkin sebatas nama saja yang dikenang 
sejarah, seperti agama-agama lain, atau sekadar agama yang dianut 
sebagian kecil umat manusia. Sesungguhnya negara ini telah menjadi alat 
bantu utama dalam mewujudkan janji Allah menjaga Al-Quran dari 
tangan-tangan kotor yang ingin mencoreng kesuciannya sebagai kitab suci 
umat Islam seperti yang difirmankan Q.S. Al-Hijr [15]: 9:
 )إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ(.”([2])
Hakikat
 lain yang sepatutnya Anda ketahui juga sebelum Anda diajak mengenal 
sebagian dari keberhasilan politik Rasulullah Saw, hakikat Sunnah yang 
telah menjadi pegangan utama politik Islam. Hakikat yang mengajak Anda 
untuk peka mengkategorikan segala perilaku Rasulullah Saw dan 
menempatkannya di icon yang tepat dan benar. Apakah Nabi saw berperilaku sebagai seorang rasul yang bertugas menyampaikan wahyu, atau selaku mufti (pemberi fatwa),
 atau sebagai hakim yang menyelesaikan apa yang dipersengketakan 
manusia, atau ia diposisikan sebagai pemimpin negara yang sedang 
menangani urusan-urusan politik?
Salah melihat denah 
Sunnah hijab tersendiri terhadap makna-makna yang mungkin saja dapat 
teraba dan terbaca jika seandainya ia terlihat dengan kaca mata 
pendekatan yang benar. Namun, tidak berarti bahwa jika Anda mengabaikan 
ini Anda tidak punya kesempatan memahami dan menuai petunjuk hidup 
Sunnah. Yang demikian itu karena dari sudut mana pun Anda melihatnya, 
Anda akan mendapatkan percikan cahaya kesuciannya, seperti Al-Quran yang
 makna-maknanya senantiasa mengalir tidak henti-hentinya mengisi 
kekosongan jiwa dan menyejukkan kalbu para pemerhati dan perindunya 
sesuai tingkat kesiapan masing-masing. Dari sudut pandang apa pun Anda 
mendekatinya, Anda tidak akan dibiarkan pulang dengan tangan kosong, 
jika bukan mutiara makna-maknanya, maka keagungan dan kebersahajaan 
ayat-ayatnya sebagai kalam ilahi yang terjaga sepanjang zaman dari 
kejahilan mereka yang tidak bertanggung jawab. Seperti Al-Quran punya 
kunci-kunci ma’nawi dalam memeras sari pati maknanya, Sunnah pun seperti
 itu, dan apa yang dikenalkan kepada Anda di atas terhitung salah satu 
kunci utama dalam memberikan pendekatan makna. Inilah yang diyakini 
penulis kebenarannya.
Olehnya itu, kadang kita menjumpai sahabat menanyakan Rasulullah Saw dari sebagian perilakunya: “Apakah ini wahyu samawi yang tidak mengenal tawar-menawar, ataukah ini ijtihad Anda wahai Rasulullah Saw?”
 Seperti yang dilontarkan Hubab bin al-Mundzir yang menyarankan 
Rasulullah Saw menyusun strategi perang di bawah sumur yang ada di bukit
 Badr. ([3])
Pendekatan
 seperti ini dapat dijumpai di tulisan para ulama, di antaranya Imam 
Qarafi (w 684 H/1285 M). Di sini beliau melihat bahwa kelompok pertama 
dan kedua –perilaku Nabi Saw dalam keadaan ia diposisikan selaku rasul (penyampai wahyu) dan mufti (pemberi fatwa)-,
 keduanya bagian dari agama yang disyariatkan. Sementara itu, kelompok 
ketiga dan keempat –perilakunya dalam keadaan ia ditempatkan sebagai 
hakim dan imam (pemimpin negara), keduanya bukanlah bagian 
mendasar agama yang absolut pelaksanaannya, seperti shalat dan puasa. 
Tetapi, keduanya merupakan ijtihad yang memperhatikan objek ijtihad yang
 kondisional, yang tidak lepas dari pengaruh waktu dan situasi yang 
senantiasa berubah. Di sini, Rasulullah Saw sebagai Imam (pemimpin negara)
 punya peran yang cukup luas, berperan sebagai hakim dan mufti. Olehnya 
itu, ia berhak melakukan sesuatu dengan mengatasnamakan dirinya hakim 
dan imam, seperti: menata strategi perang dan menyiapkan bala tentara, 
membagi hasil perang (ganimah), menyepakati dan menandatangani 
perjanjian damai, mengatur keuangan negara, menata perangkat-perangkat 
negara dengan memberi jabatan tertentu kepada yang layak menyandangnya 
dari sebagian sahabat, seperti: panglima perang, wali (gubernur di bahasa penulis), hakim, dan buruh kerja.([4])
Setelah
 imam Qarafi, Anda dapat menjumpai Waliyullah ad-Dahlawi yang 
pernyataannya tidak jauh beda dengan di atas. Dia menulis bagan Sunnah 
dan memecahkannya ke dalam dua anak panah:
Anak panah 
pertama: Apa yang datang dari wahyu yang wajib disampaikan Rasulullah 
Saw. Di bagian ini termasuk ilmu-ilmu akhirat, keajaiban-keajaiban alam 
gaib, tata cara pelaksanaan ibadah dan hukum-hukumnya. Sebagian 
ilmu-ilmu ini datang dari wahyu dan sebagian lainnya datang dari 
pemahaman Rasulullah Saw terhadap tujuan-tujuan penetapan syariat (Maqashid Syariah) yang diposisikan juga bagian dari wahyu.
Ini telah digarisbawahi Q.S. Al-Hasyr [59]: 7
قَالَ
 تَعَالَى: )وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ 
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(.
Anak
 panah kedua: Apa yang di luar dari kategori wahyu yang wajib 
disampaikan, seperti pendapat dan ijtihad Rasulullah Saw di masalah 
tertentu yang telah digarisbawahi sabdanya berikut ini:
عَنْ
 أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ e أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ e سَمِعَ 
جَلَبَةَ خَصْمٍ بِبَابِ حُجْرَتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ: 
(إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّهُ يَأْتِينِى الْخَصْمُ، فَلَعَلَّ 
بَعْضَهُمْ أَنْ يَكُونَ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ صَادِقٌ 
فَأَقْضِى لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِىَ 
قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ يَذَرْهَا). ([5])
Dan
 sabdanya di kisah pohon kurma yang pengawinan dan pembuahannya 
sepenuhnya dikembalikan kepada alam dan hukumnya tanpa ada campur tangan
 manusia:
حَدَّثَنِى رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ قَالَ: قَدِمَ 
نَبِىُّ اللَّهِ e الْمَدِينَةَ، وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ، يَقُولُونَ
 يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ، فَقَالَ: «مَا تَصْنَعُونَ». قَالُوا: كُنَّا 
نَصْنَعُهُ، قَالَ: «لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا». 
فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ،([6])
 قَالَ: فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ:«إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، إِذَا 
أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ
 بِشَىْءٍ مِنْ رَأْىٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ».([7])
           
 Yang termasuk juga dalam kategori bidikan anak panah kedua ini 
ilmu-ilmu dunia, seperti: kedokteran, pertanian, kerajinan tangan, dan 
semua yang bertumpu pada keahlian dan percobaan, serta segala hal yang 
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan politik pemimpin negara di 
peperangan dan pembagian hasil perang (ganimah), demikian pula dengan masalah-masalah pengadilan. ([8])
           
 Di samping itu, ada hakikat lain yang tidak kalah pentingnya dengan apa
 yang telah mengorek perhatian Anda, sekularisme yang menguliti agama 
dari perannya, mengenyampingkan ajaran-ajaran agama dalam menahkodai 
kehidupan duniawi, sekularisme yang memetakan peran agama dan membatasi 
gerak langkah dan jangkauannya. Agama yang diinginkan mereka agama yang 
hanya mementingkan kehidupan ukhrawi semata, agama yang hanya 
diperdengarkan di tempat-tempat ibadah saja, yang mereka inginkan apa 
yang digemakan dengan begitu kuatnya oleh para pengikut sejati mereka: “Bagi kaisar urusan duniawi, dan bagi gereja urusan ukhrawi, jangan pernah mencampuradukkan kedua tatanan kehidupan ini!”
           
 Mereka terpukul oleh apa yang menghantui mereka dari penindasan gereja 
yang mengatasnamakan agama di zaman kegelapan. Mereka seperti baru saja 
tersadar dari mimpi buruk pengadilan-pengadilan gereja yang tidak 
mengenal belas kasih bagi mereka yang menyalahi keyakinan dan kehendak 
gereja yang memberikan dirinya hak mutlak menilai, menentukan, dan 
menjatuhkan hukum kepada siapa saja yang dianggapnya menentang ajaran 
gereja. Zaman pengekangan yang membelenggu daya kreasi pikir yang tidak 
berdaya melahirkan teori-teori ilmiah dan filsafat yang dapat 
mendongkrak kemajuan peradaban Eropa.
            Yang 
terimbas dari aliran pemikiran yang sakit dan menyakitkan seperti di 
atas, matanya seperti dimasuki debu yang menghalanginya melihat dengan 
begitu jelas keberhasilan Rasulullah Saw sebagai kepala negara dalam 
menahkodai tata negara Islam di Madinah.
            
Yang menjadi pertanyaan: “Apa yang menyebabkan peradaban Barat maju di 
era sekularisme yang begitu kuatnya menancapkan gigi-gigi taringnya di 
seluruh sendi kehidupan mereka? Apakah umat Islam sepatutnya 
menanggalkan pakaian agama mereka dalam kehidupan dunia seperti umat 
Eropa dan Amerika yang meraih kemajuan duniawi yang jauh dari campur 
tangan agama?
Tentu tidak, yang diyakini bersama, 
kejayaan umat Islam dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadits. 
Semakin jauh kita melangkahkan kaki dari kedua sumber hidup ini, semakin
 jauh kita tertinggal di gerbong paling belakang kereta peradaban. 
Sementara itu, kemajuan umat-umat Barat dengan mengamini apa yang 
diejakan sekularisme mereka. Semakin kuat pegangan mereka terhadapnya, 
semakin dekat bagi mereka keberhasilan dan kejayaan duniawi. Tetapi, 
mereka lupa bahwa pohon kejayaan mereka itu rapuh, tidak kuat menghadapi
 badai, buahnya yang indah tidak mampu memenuhi kekosongan jiwa mereka 
yang rindu kepada ketenangan jiwa, ketenangan yang hanya ditemukan bagi 
mereka yang mempercayai kehidupan ukhrawi yang dituturkan agama. Di 
samping itu, kitab suci mereka yang telah disentuh perubahan dan 
pemalsuan tangan-tangan jahil mereka sendiri tidak layak lagi menjadi 
pegangan hidup dalam tingkatan dunia-akhirat, sehingga dengan sendirinya
 mereka mencari penopang dan sandaran kehidupan duniawi lain, dan mereka
 pun menemukannya di jabaran-jabaran sekularisme.
Olehnya
 itu, sekularisme bagi mereka obat penawar ampuh dari pahitnya zaman 
kegelapan Eropa yang menayangkan kegelapan dan kemunduran dari pelbagai 
aspek kehidupan. Sementara itu, sekularisme bagi kita, umat Islam, racun
 mematikan yang ingin melucuti pribadi Islam kita dari ajaran-ajaran 
agama, sehingga kita dengan mudahnya menafikan agama dari sendi-sendi 
kehidupan.
Jadi, apa lagi yang menyebabkan kita 
mengimpor produk asing ini, mengadopsi, dan menelannya mentah-mentah, 
kecuali taklid bodoh yang membabi buta meniru produk-produk mereka yang 
jauh dari nilai-nilai agama. Apa yang menyebabkan kita alergi dari 
segala yang islami dan lebih tamak kepada apa yang kebarat-baratan, 
kecuali gengsi dan angkuh atas nama modernitas yang diberkahi 
sekularisme dan westernisasi.
Bukankah sekularisme 
dengan segala corak, filsafat, dan kerusakannya yang berusaha keras 
menjauhkan agama dari negara dan mendesain kehidupan dengan desain hawa 
nafsu, undang-undang buatan manusia, dan kesalahan-kesalahan mereka, 
bukankah paham seperti ini menyalahi syariat?
Jika 
mereka ingin melihat Islam hanya sebatas agama tanpa penghayatan dan 
penerapan hidup, bukankah keinginan seperti ini menyalahi tujuan 
kedatangan Islam, kedatangannya yang ingin mengibarkan panji syariat di 
muka bumi?
Yah, Islam itu bukanlah seperti teori arsitek
 atau cara kerja mesin yang tidak menuntut apa-apa dari seseorang 
kecuali meyakini dan menyebutkan dalil-dalil kebenarannya, ia pun bukan 
seperti filsafat akal yang dengan membacanya seseorang akan terhibur, 
atau ia hanya dipegang dan dibaca oleh para pemerhatinya jika timbul 
dalam diri mereka keinginan yang mendorong mereka untuk membaca dan 
mengamati. Islam bukan seperti ini dan itu, tetapi Islam metode hidup 
yang meliputi seluruh bentuk pembelajaran, baik rohani, praktek, atau 
yang bersifat ilmiah, ia pun menyuguhkan kaidah-kaidah yang jelas dalam 
mencapai kemaslahatan umum yang erat kaitannya dengan masalah-masalah 
pribadi, lingkungan, negara, dan umat.
Itulah Islam yang
 ingin dipudarkan bahkan ditutup cahayanya oleh mereka, tetapi, 
bagaimana mungkin mereka melakukannya, Islam metode kehidupan sempurna 
dunia-akhirat yang diridhai Allah, pemilik matahari kehidupan. ([9])
Kini,
 penulis yakin bahwa Anda dengan penuh percaya diri mengamini apa yang 
telah dikatakan oleh kebanyakan para ahli tahkik dan pemerhati sejarah 
politik Islam bahwa Rasulullah Saw pemimpin negara Islam pertama di 
Madinah yang menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya demi menjaga 
kedaulatan Islam dari rongrongan kafir Mekah dan Yahudi di Madinah.
Sekarang, Anda diajak berikutnya melihat beberapa bentuk keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw yang di antaranya:
Pertama: Kemampuannya menyatukan kaum Aus dan Khasraj
Yang diketahui bersama, Rasulullah Saw tidak hijrah ke Madinah sebelum kota ini layak menerima kedatangannya.
Yang
 diketahui juga, kota Madinah, sebelum Rasulullah Saw hijrah ke sana, 
kota yang penuh hiruk-pikuk perselisihan kaum Aus dan Khazraj yang 
dipicu oleh fitnah-fitnah busuk orang-orang Yahudi. ([10])
 Api kebencian di antara mereka senantiasa berkobar dan mustahil 
dipadamkan meski menghabiskan yang kecil dan besar, yang hina dan mulia 
dari perbendaharaan alam. Kebencian ini mewariskan dendam membara di 
hati mereka yang memicu terjadinya perang Buats yang kekal dikenang 
sejarah. Kenyataan ini telah diukir abadi Q.S. Al-Anfal [8]: 63, namun, 
dengan kehendak Allah SWT Rasulullah Saw berhasil memadamkan kobaran api
 kebencian itu dengan persaudaraan Islam yang menyejukkan hati mereka.
Apa yang Rasulullah Saw lakukan sehingga ia berhasil mendamaikan mereka?
Seperti
 adat kaum Arab di musim ibadah, mereka berbondong-bondong menuju kota 
Mekah untuk beribadah di Ka’bah. Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu 
saja Rasulullah Saw, tetapi ia memanfaatkannya dengan mendatangi mereka 
memaparkan dirinya dan agama yang ia emban. Di tahun itu, secercah 
harapan terbit dari kejauhan sana. Rasulullah Saw mendatangi kaum 
Khazraj pada bulan Rajab –seperti yang disepakati kebanyakan ahli 
sejarah- mengajak mereka masuk Islam setelah memaparkan kebenaran dan 
keindahannya.
Mereka pun dengan antusias mendengarkan 
dakwah Rasulullah Saw tersebut, mengingat masalah besar yang mereka 
tinggalkan di Madinah, perpecahan yang disebabkan oleh orang-orang 
Yahudi di antara mereka, Aus dan Khasraj. Di lain sisi, mereka pun 
menakuti ancaman orang-orang Yahudi yang selalu mengintimidasi mereka 
dengan kedatangan seorang Rasul yang akan memimpin orang-orang Yahudi 
membasmi mereka.
Kedua faktor ini sebab utama yang menarik perhatian mereka mendengarkan apa yang disampaikan Rasulullah Saw.
Mereka
 pun sejenak termenung merenungkan perihal buruk mereka di kota Madinah 
dan sifat-sifat kenabian Rasulullah Saw seperti yang diberitakan oleh 
ahli kitab orang-orang Yahudi, dan tidak lama kemudian setelah mereka 
bermusyawarah, mereka dengan tekad bulat yang didasari mufakat 
mengumumkan keislaman mereka. ([11])
Rasulullah
 Saw melakukan hal serupa terhadap kaum Aus. Namun, sejarah mencatat 
bahwa kaum Khazraj lebih cepat menerima dan mempercayai kebenaran 
kenabian dan kerasulannya dari kaum Aus. Mereka inilah yang menyebarkan 
Islam secara diam-diam di rumah-rumah mereka, jauh dari pengetahuan 
orang-orang Yahudi, sehingga kota Madinah sudah layak menjadi kota 
hijrah Rasulullah Saw.([12])
Setibanya
 di Madinah, yang pertama kali dilakukan Rasulullah Saw sebagai kepala 
negara membangun masjid, rumah Allah yang tidak mengenal kata perbedaan 
di antara manusia, tempat ibadah yang kondusif menangani masalah-masalah
 kenegaraan yang membutuhkan keteduhan dan kejernihan berpikir. Di sini 
masjid Rasulullah Saw memainkan peranan tersebut dengan baiknya.
Kemudian,
 Rasulullah Saw sebagai pemimpin negara mengajak orang-orang Yahudi 
menyepakati sebuah perjanjian suci, perjanjian yang mewajibkan mereka 
untuk hidup damai berdampingan dengan orang-orang mukmin, Muhajirin dan 
Anshar, dan mempertahankan kedaulatan negara Madinah dari rongrongan 
orang-orang kafir yang sewaktu-waktu dapat mengancam stabilitas negara. 
Tetapi, Yahudi Madinah melanggar perjanjian tersebut dan tidak 
menepatinya, bahkan bersekutu dengan kafir Mekah mengepung bala tentara 
Islam yang dipimpin langsung Rasulullah Saw di perang Khandaq. Olehnya 
itu, wajar jika mereka diusir Rasulullah Saw dari kota Madinah karena 
telah melanggar piagam suci perdamaian tersebut.
Keberhasilan
 yang cemerlang ini bukti nyata kepiawaian Rasulullah Saw dan ketajaman 
analisa politiknya dalam menangani masalah-masalah kenegaraan yang 
menuntut ketepatan dan ketangkasan khusus.
Kedua: Perjanjian Hudaibiyyah
Di
 perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah Saw beserta 1.300 muslim keluar 
menuju kota Mekah dengan maksud ziarah, dan bukan menginginkan perang. 
Setelah berita ini didengar orang-orang musyrik, mereka pun menghalang 
orang-orang mukmin di Hudaibiyyah sebelum memasuki kota Mekah. Situasi 
ini menyebabkan ketegangan urat saraf di antara kedua belah pihak yang 
berujung perjanjian damai yang bersyarat. Mereka mensyaratkan 
orang-orang Islam mengurungkan niat menziarahi kota Mekah tahun ini, dan
 dibolehkan mengunjunginya tahun depan. Di samping itu, mereka pun 
menambahkan syarat yang tidak kalah kerasnya dengan di atas, mereka 
meminta pihak Islam mengembalikan siapa pun dari mereka yang ditemukan 
mendatangi Madinah dalam keadaan beriman atau tidak, dan mereka tidak 
diwajibkan memulangkan seseorang dari pihak muslim jika ditemukan 
mendatangi kota Mekah.
Syarat yang secara lahiriah telah
 mencoreng kehormatan mereka dan kedaulatan negara Islam, syarat yang 
sulit diterima oleh sebagian sahabat. Yang demikian itu karena yang 
mereka yakini kemampuan mereka meraih kemenangan jika terjadi peperangan
 dengan kafir Mekah. Mereka tidak peka melihat apa yang mendasari 
Rasulullah Saw menerima perjanjian tersebut, pandangan singkat mereka 
tidak mampu melihat sudut pandang Rasulullah Saw yang jauh meneropong 
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.
Dengan
 perjanjian ini kota Mekah dan Madinah diselimuti sejuknya kedamaian dan
 perasaan aman, terbentang benang pertemuan dan perjumpaan antara kedua 
belah pihak, sehingga orang-orang Islam dengan leluasa memperdengarkan 
mereka Al-Quran dan melakukan debat tentang kebenaran ajaran Islam. 
Kejadian-kejadian seperti ini tidak pernah dijumpai sebelum terjadinya 
perjanjian damai di Hudaibiyyah. Olehnya itu, banyak dari mereka yang 
memeluk Islam. ([13])
Kenyataan
 ini seperti arus deras yang terpancar kuat menerpa dan mengangkat 
keraguan sebagian dari mereka yang enggan menerima kecemerlangan 
Rasulullah Saw dalam menjalankan politik negara.
Di 
penghujung tulisan ini saya mengajak pemerhati Sunnah Rasulullah Saw dan
 tatanan politik Islam menyuarakan kesimpulan berikut ini:
“Peka
 terhadap pemetaan Sunnah Rasulullah Saw langkah pertama dan yang 
terpenting dalam memeras kekayaan khazanah makna-makna kenabian dan 
kerasulan, buta terhadap pemetaan ini boleh jadi menjadi hijab 
tersendiri terhadap khazanah tersebut. Keberhasilan manuver-manuver 
politik Rasulullah Saw dalam menjaga stabilitas negara Islam pertama di 
Madinah tidak dapat dipungkiri lagi. Yang mengingkarinya seperti menutup
 cahaya matahari dari muka bumi dengan kedua telapak tangannya. Islam 
tidak dapat dipisahkan dari tatanan hukum negara. Yang menanggalkannya 
dari organ-organ tubuh negara seperti menggali kuburan sendiri, mereka 
yang menginginkan kebebasan yang didasari nafsu hewani dan dekadensi 
moral yang meruntuhkan. Kenakakan gaun Islam Anda dan lambaikan tangan 
perpisahan meninggalkan corak-corak sekularisme yang mengaburkan dan 
membutakan pandangan hidup Anda! Sekarang, negara Islam yang berdaulat 
perangkat utama dalam menegakkan ajaran dan hikmah syariat.” 
([1])   Abbas al-Aqqad, al-Abqariyyât al-Islâmiah: Abqariyyah Muhammad, Darul Kitab al-Lubnani, Beirut, cet. 1984, vol. 1, hlm. 160-161
([2])   Prof. Dr. Muhammad Imarah, Muhammad Saw ar-Rasul as-Siyâsi, Dar as-Salam, Cairo, cet. 1, 1433 H/2012 M, hlm. 35
([3])   Seperti yang telah dijelaskan di tulisan kami “Keistimewaan Ijtihad Rasulullah Saw” yang dimuat di: http://www.dakwatuna.com/2013/01/26389/keistimewaan-ijtihad-rasulullah-saw-1/
([4])   Lihat: Al-Qarafi, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris, al-Ihkâm fi Tamyiz al-Fatâwa anil Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdi wal Imâm, manuskrip perpustakaan Azhar, no. registrasi khusus: 801, no. registrasi umum: 12601, hlm. 4
([5])   Hadits riwayat Ummu Salamah R.A di Shahih Imam Muslim, kitab al-Aqdiyyah, bab al-Hukmi bi ad-Dzhahir wa al-Lahni bil Hujjah, hadits. no: 4570, hlm. 909
([6])   Di
 sini Rasulullah Saw lebih cenderung membiarkan pengawinan dan pembuahan
 pohon kurma kepada hukum alam tanpa campur tangan manusia seperti 
biasanya. Namun, karena ijtihad ini menyalahi kenyataan yang ada, buah 
kurma yang dihasilkan buruk, dan tidak mendatangkan kemaslahatan umum, 
Rasulullah Saw pun menarik perkataannya dan mensyariatkan mereka hukum 
umum, yaitu: “Jika Aku memerintahkan kalian dari agama ini untuk 
dikerjakan maka patuhilah! Dan jika Aku menyerukan suatu perkara dari 
pendapatku sendiri maka saya manusia seperti kalian, tidak luput dari 
kekeliruan pendapat.”
([7])   Hadits riwayat Râfi’ bin Khadij R.A di Shahih Imam Muslim, kitab al-Fadhail, bab Wujub Imtitsal Ma Qalahu Syar’an duna Ma Dsakarahu min Maâyish ad-Dunya, hadits. no: 6275, hlm. 1234
([8])   Lihat: Waliyullah bin Abdurrahîm ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Bâligah, ditahkik oleh Sayyid Sâbiq, Darul Jail, Beirut, cet. 1, 1426 H/2005 M, vol. 1, hlm. 223-224
([9])   Lihat: Dr. Muhammad Rasyâd Abdul Azîz Dahmash, Atsar al-Fikri al-Almâni fi al-Mujtama’ al-Islâmi, (nama penerbit dan tahun cetak tidak disebutkan), hlm. 119
([10])                 di antara Kabilah-kabilah Yahudi yang masyhur di Madinah:
- Banu Qaenaqâ’, mereka sekutu kaum Khazraj, mereka bertempat tinggal di dalam kota Madinah.
- Banu an-Nadhîr, mereka sekutu kaum Khazraj, tempat tinggal mereka di sudut-sudut kota Madinah.
- Banu Quraedsah, mereka sekutu kaum Aus, rumah-rumah mereka di sudut-sudut kota Madinah.
Mereka
 inilah yang menciptakan peperangan antara Aus dan Khasraj dalam kurun 
waktu yang cukup lama, seperti perang Buats. Lihat: Ar-Rahîq al-Makhtûm, hlm. 140
([11])                 Jumlah mereka 6 orang:
    
 As’ad bin Zurârah Abu Umâmah dari Bani an-Najjâr, Awf bin al-Hârits bin
 Rifâa, Râfi’ bin Mâlik bin al-Ajalân dari Bani Zuraeq, Qutbah bin Âmir 
dari Bani Salamah, Uqbah bin Âmir dari bani Harâm, dan Jâbir bin 
Abdillah dari Bani Ubaed.
([12])                 Lihat: Prof. Dr. Thaha Habisyi, Qissah an-Nabi maal Yahud fi Jazirah al-Arab, hlm. 35.
([13])                 Lihat: Syekh Muhammad al-Khidr Husain, Muhammad Rasulullah wa Khatam an-Nabiyyin, Maktabah al-Iman, Cairo, cet. 1, 1432 H/2011 M, hlm. 65
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..