Saudaraku,
Ada sebuah karakter yang biasa dimiliki orang-orang shalih, para
penyeru dakwah. Karakter khusus yang tidak disebutkan secara tegas, tapi
menjadi bagian yang selalu ada dalam kepribadian para pejuang dakwah.
Mereka, ternyata orang-orang yang banyak berpikir tentang kondisi
sekelilingnya, tentang kondisi umatnya. Mereka orang-orang yang sangat
menderita memikirkan keterpurukan bangsanya, masyarakatnya dan sangat
berpikir bagaimana cara untuk bisa membangkitkan mereka. Mereka sering
tenggelam memikirkan masalah-masalah orang lain, dan hanyut memikirkan
obsesi-obsesi umatnya, bukan obsesi dirinya. Sakit hatinya bila umatnya
dizalimi, dan gembira jiwanya bila umatnya kembali kepada Allah swt.
Saudaraku,
Sebenarnya, inilah yang menjadi keistimewaan mereka. Karena
pemikiran-pemikiran seperti itu tidak dilakukan oleh orang kebanyakan.
Mungkin, justru banyak orang yang justru heran dengan pikiran-pikiran
mereka.
Coba perhatikan bagaimana gejolak pikiran dan kegundahan yang melanda
diri Rasulullah saw seperti digambarkan Al Quran surat Fathir ayat 8,
yang artinya, “…Maka janganlah engkau (Muhammad) biarkan dirimu binasa
karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat.”
Secara lebih detail, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menguraikan tafsir
ayat ini dengan mengatakan, “Jangan engkau bunuh jiwamu karena
kegundahan berat yang melanda dirimu karena mereka meninggalkan
keimanan.” Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan, “Ayat ini adalah
semacam hiburan dari Allah swt kepada Rasulula saw, agar terlepas beban
berat yang menggelayuti hatinya secara manusiawi yang sangat ingin
memberi petunjuk kepada umatnya. Rasulullah saw ingin agar umatnya bisa
terbuka dan melihat kebenaran yang dibawanya di antara mereka.
Rasulullah mempunyai obsesi kemanusiaan yang sangat kentara sekali.
Allah swt mengiringi perasaan-perasaan yang ada dalam jiwanya. Kemudian
menjadi jelas bagi Rasulullah saw, bahwa masalah itu adalah otoritas
Allah swt dan bukan otoritas dirinya. Itulah juga yang dirasakan oleh
para juru dakwah yang ikhlash dalam seruan mereka. Mereka tahu nilai
seruannya, keindahan seruannya dan kebaikan di dalanya. Lalu mereka
melihat manusia pada saat yang sama, menolak dan menjauhi seruan itu.”
(Tafsir Fii Dziilal Al Qur’an, juz 5)
Renungkanlah saudaraku,
Bagaimana gelombang perasaan yang hadir dalam jiwa dan pikiran
Rasulullah saw. Lalu bagaimana getar-getar serupa itu juga dirasakan
oleh para penyeru dakwah yang mulia. Apakah kita juga mengalaminya?
Dalam hadits dari Aisyah ra, disebutkan ia pernah bertanya kepada
Rasulullah saw, “Apakah engkau pernah mengalami peristiwa yang lebih
mengerikan daripada peristiwa Uhud?” Rasulullah saw lalu menceritakan
kegalauan hatinya saat melakukan dakwah di Bani Tsaqif di Thaif tapi
kemudian Rasulullah saw mendapat lemparan batu dari mereka.
Perhatikanlah bait-bait do’a yang keluar dari mulut Rasulullah saw
yang kita cintai. Rangkaian kata yang tergubah benar-benar menunjukkan
ketulusan hati dan sekaligus semangatnya untuk berdakwah kepada kaumnya
ketika itu.
“Ya Allah kepadamu aku mengadukan kelemahan dari
kekuatanku,kekurangan kemampuanku, kelemahan dalam mengahadapi
orang-orang yang lemah,Engkau Rabbku. Kepada siapakah Engkau serahkan
aku? Apakah kepada orang yang jauh bermasam muka kepadaku? Ataukah
kepada musuh yang engkau kuasakan untuk menguasai diriku? Jika bukan
karena murkamu atas diriku ,maka tidak akan aku pedulikan mereka semua.
Tapi perlindungan dengan sinar wajah-Mu yang menyinari kegelapan,
menjadi baik urusan dunia dan akhirat. Dari-Mu lah segala petunjuk atas
keridhaan sehingga Engkau menjadi ridha, dan tidak ada tipu daya dan
kekuatan melainkan dengan pertolongan Engkau juga”
Setelah berdoa Nabi melanjutkan perjalanannya bersama Zaid bin
Haritsah ke Makkah Tapi belum jauh mereka berjalan datanglah Malaikat
Jibril bersama Malaikat gunung yang mengatakan, “Ya Rasul Allah!
Sesungguhnya Allah benar-benar mendengar perkataanmu kepadamu dan
penolakan mereka atas kamu;dan dia mengutus kepadamu Malaikat gunung
,supaya engkau perintahkan kepadanya apa-apa yang engkau hendaki,apa
yang akan dilakukan atas mereka (bani Tsaqif). Malaikat gunung lalu
berkata kepada Rasulullah saw: “Ya Rasul Allah sesungguhnya Allah telah
mendengar perkataan kaummu,dan akulah Malaikat Gunung, ,sesungguhnya Dia
telah mengutus aku supaya engkau perintahkan kepadaku berkenan,apa yang
engkau kehendaki? Jika kamu mau agar aku melipatkan kedua gunung yang
besar ini atas mereka tentu akan aku kerjakan”. Dua gunung yang dimaksud
adalah gunung Abu Qubais dan gunung Qo’aiqoan.
Tapi perhatikanlah apa jawab Rasulullah saw,
“Tidak! Bahkan saya berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari
keturunan mereka, orang-orang yang menyembah Allah dan tidak
menyekutukanNya dengan sesuatu apapun” Mendengar itu Jibril berkata,
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku untuk mengikuti kehendakmu
terkait apa yang tersangkut dengan kaummu, karena perbuatan mereka
kepadamu.” Nabi saw lalu berdo’a, Ya Allah berilah petunjuk atas
kaumku,karena mereka tidak tahu.” (HR Muslim)
Saudaraku,
Sikap memikirkan ummat seperti dicontohkan Rasulullah saw itupun lalu
diikuti jejaknya oleh para sahabat radhiallahu anhum. Abu Bakar
radhiallahu anhu yang begitu bergolak pikirannya melihat ada sekelompok
orang yang murtad dan menolak membayar zakat. Umar radhiallahu anhu juga
yang sangat memikirkan rakyatnya, hingga sedikit saja waktunya untuk
beristirahat.
Hingga, seorang juru dakwah bernama Hasan Al Banna rahimahullah pun
sempat menuliskan gejolak pikirannya dalam memoarnya. “Aku sungguh
mersakan sakit yang sangat karena masalah ini. Aku melihat bangsa Mesir
yang mulia, yang memiliki ketinggian Islam yang mulia sebagai
warisannya, harga dirinya, dan inti kebaikannya dan telah dibanggakan
selama empat belas abad penuh, tapi bangsa Mesir tertawan dengan perang
Barat yang keji dan dengan berbagai senjata yang siap mematikan, dengan
harta benda, dengan kedudukan, dengan penampilan, dengan kenikmatan ayng
tampak, dengan kekuatan dan berbagai sarana propaganda mereka. Perasaan
seperti inilah yang mendorongku untuk kerap menyampaikanya kepada
teman-teman yang ikhlash dan tulus. Gejolak perasaan seperti ini pula
yang menyebabkanku keluar masuk maktabah salafiyah. Di sana aku bertemu
dengan seorang mukmin, mujahid, seorang yang kuat, penulis Islam Sayyid
Muhibbuddin Al Khathib. Di sana juga aku bertemu dengan para tokoh Islam
yang mulia, yang terkenal dengan semangat Islamnya dan jiwa
keagamaannya.” (Mudzakkirah Dakwah wa Da’iyah)
Apakah kita merasakan suasana perasaan dan pikiran seperti ini?
(M. Lili Nur Aulia)
http://mujitrisno.wordpress.com/2012/10/10/apakah-kita-merasakan-apa-yang-mereka-rasakan/
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..