Oleh : Cahyadi Takariawan
Ketika dakwah memasuki wilayah politik, ada berbagai dinamika yang 
menjadi bagian dari konsekuensi perpolitikan. Misalnya saja setiap 
prosesi politik lima tahunan, berupa pemilihan umum legislatif, atau 
pemilihan presiden, atau pemilihan kepala daerah. Selalu saja ada 
dinamika dalam menentukan calon anggota dewan, calon presiden yang 
diusung, atau calon kepala daerah yang diusung. Tentu saja dinamika itu 
adalah hal yang wajar, mengingat keputusan yang diambil menyangkut 
wilayah strategis dan memberikan dampak jangka panjang bagi masyarakat, 
bangsa dan negara.
Pada berbagai partai politik, penentuan kepengurusan partai, 
penentuan calon anggota dewan, penentuan calon kepala daerah yang 
diusung, selalu menimbulkan konflik. Mereka berebut posisi, berebut 
jabatan, berebut kesempatan. Ambisi politik telah mengalahkan akal 
sehat, sehingga tidak jarang partai menjadi pecah dan berantakan. 
Kekecewaan akibat tidak ditempatkan sebagai calon anggota dewan, sering 
menjadi dalih untuk bertikai. Saling menjegal, saling menyikut, dan 
akhirnya menimbulkan barisan sakit hati. Rutin terjadi setiap prosesi 
pemilihan dan penentuan posisi politik.
Di sisi lain, sebagai muslim kita mendapatkan ajaran ukhuwah yang 
sangat indah. Kita mendapatkan arahan untuk mendahulukan saudaranya 
dibanding diri sendiri. Kita tidak diperbolehkan berlaku egois yang 
hanya memikirkan dan mementingkan diri sendiri. Ajaran tersebut kita 
kenal sebagai itsar, yaitu mengutamakan kepentingan saudaranya di atas 
kepentingan diri sendiri.
Adakah Itsar dalam Aktivitas Politik?
Mari tinggalkan perpecahan dan pertikaian berbagai partai politik 
setiap kali menentukan  posisi perpolitikan. Sesungguhnyalah sampai saat
 ini, itsar tetap terjaga dalam berbagai kegiatan politik. Dalam skala 
mikro, di tubuh gerakan dakwah yang berbentuk partai politik, kita bisa 
menyaksikan bagaimana prosesi pemilihan bakal calon anggota dewan. 
Ustadz Untung Wahono berkali-kali menyatakan, “Andai boleh memilih, saya
 memilih tidak menjadi calon anggota dewan. Biarlah ikhwah lain yang 
menduduki posisi itu, mereka jauh lebih layak dan lebih tepat dibanding 
dengan saya”.
Pada kesempatan lain, ustadz Untung Wahono menyatakan, “Andai saya 
boleh memberikan posisi yang diberikan kepada saya sebagai calon anggota
 legislatif kepada kader lainnya, pasti akan saya berikan. Saya lebih 
nyaman tidak menjadi calon anggota dewan”.
Sahabat saya, Muhammad Darul Falah menceritakan, “Saya memiliki 
aktivitas rutin setiap lima tahun sekali, yaitu mengundurkan diri dari 
proses pencalonan sebagai anggota dewan. Sayangnya, pengunduran diri itu
 selalu ditolak”. Menurutnya, masih sangat banyak kader lain yang 
memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih tepat untuk menempati 
posisi itu. Ia tidak bersedia dijadikan calon anggota dewan, namun 
karena sifatnya adalah penugasan, maka setiap kali mengajukan 
pengunduran diri, selalu ditolak oleh para pimpinan di partai dakwah 
tempatnya berkiprah.
Bu Anis Byarwati dengan cepat merespon keputusan pimpinan Partai yang
 menyatakan tidak diperbolehkan suami isteri menjadi calon anggota 
dewan. Hanya diperbolehkan salah satu saja yang dicalonkan. Beliau 
mantap tidak maju menjadi calon anggota dewan, dan mempersilakan sang 
suami yang diproyeksikan menjadi calon anggota dewan. Semua mengerti, 
bahwa bu Anis Byarwati memiliki kapasitas yang sangat relevan dengan 
tugas sebagai anggota dewan, apalagi setelah beliau menyandang gelar 
doktor bidang ekonomi belum lama ini. “Masih banyak kader lain yang 
memiliki potensi dan kapasitas untuk menjadi anggota dewan”, ungkap 
beliau suatu ketika.
Demikian pula ustadz Makruf Amary yang selalu menolak untuk dijadikan
 calon anggota dewan. Beliau memilih menikmati kegiatan sosial karena 
merasa tidak tepat mendapat amanah sebagai anggota dewan. “Biarlah 
kader-kader lain yang ditempatkan dalam posisi anggota dewan, saya tidak
 tepat diberi amanah di bidang itu”. Padahal setiap menjelang Pemilu 
nama beliau selalu muncul sebagai salah seorang calon anggota dewan, 
namun beliau selalu konsisten menolak amanah itu karena merasa tidak 
tepat. “Saya diberi amanah dakwah yang lain saja. Masih sangat banyak 
amanah dakwah di luar parlemen”, lanjutnya.
Masih sangat banyak kita lihat fenomena seperti itu. Jika banyak 
kalangan masyarakat selama ini menilai, setiap partai politik atau 
politisi selalu berebut untuk menjadi anggota legislatif, maka terbukti 
penilaian itu tidak benar. Di kalangan kader dakwah, sikap mempersilakan
 kader lain untuk menempati posisi calon anggota dewan masih selalu kita
 jumpai di antara mereka. Tidak ada yang berebut posisi, daerah 
pemilihan atau nomer urut pencalonan. Semua saling mempersilakan kader 
lainnya.
Hanya karena penugasan atau keputusan Partai, maka mereka bersedia 
menjadi calon anggota legislatif. Bukan saling berebut ingin menjadi 
calon anggota legislatif. Namun mereka saling mempersilakan kader 
lainnya, dan dengan sikap itu memudahkan para pimpinan Partai untuk 
menempatkan calon anggota dewan tanpa ada keributan atau perebutan.
Belajar Itsar dari Generasi Terdahulu
Itsar sudah menjadi pelajaran penting dari generasi keemasan Islam. 
Para sahabat Anshar dan Muhajirin menjadi pembahasan yang sungguh luar 
biasa indah dalam pelajaran itsar. Anshar telah memiliki sikap yang 
sangat tulus dalam memuliakan saudara-saudara mereka dari kalangan 
Muhajirin. Kecintaan, pembelaan, pengutamaan terhadap saudara mereka 
atas diri mereka sendiri sungguh mencengangkan, sehingga pantas 
diabadikan dalam Al Qur’an :
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah 
beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka 
(Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan 
mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap 
apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka 
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, 
sekalipun mereka dalam kesusahan” (Al Hasyr : 9).
Para sahabat Anshar digambarkan memiliki dua karakter yang sangat kuat, yaitu mencintai komunitas Muhajirin (yuhibbuuna man haajara ilaihim), dan memiliki kelapangan dada (salamatush shadr)
 terhadap Muhajirin. Coba perhatikan kalimat yang digunakan Al Qur’an 
dalam memberi gambaran kebersihan dan ketulusan hati masyarakat Anshar :
 “Walaa yajiduuna fii shuduurihim haajatan mimmaa uutuu, dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)”.
Allah menggunakan kata shudur, bukan qulub, ketika 
menggambarkan kondisi kelapangan dada masyarakat Anshar. Qulub (hati) 
itu lebih kecil bentuknya, dibandingkan dengan shudur (dada). 
Orang-orang Anshar itu memiliki kelapangan dada dalam berinteraksi 
dengan Muhajirin, tampak dalam penggunaan kata “haajatan”. Mereka tidak memiliki suatu keinginan dalam dada. Jangankan iri atau dengki (hasad),
 keinginan (hajat) saja tidak ada. Hasad tentu lebih besar nilainya dan 
lebih parah, sementara keinginan (hajat) itu lebih kecil dan sederhana.
Hal kecil berupa “hajat” saja tidak dijumpai dalam dada (shadr) mereka yang luas. Apalagi hasad. Luar biasa penggambaran ini !
“Wa yu’tsiruuna ‘alaa anfusihim walau kaana bihim khashaashah,
 dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka 
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”. Ketika Anshar mengutamakan 
(itsar) kepada Muhajirin, bukan berarti mereka tidak memiliki kesulitan.
 “Walau kaana bihim khashaashah”, masyaallah! Mereka memiliki 
kesulitan, namun tetap mengutamakan Muhajirin atas diri mereka sendiri. 
Luar biasa sikap yang ditampakkan oleh para sahabat generasi terdahulu.
Bagaimana Mereka Melakukannya?
Perhatikanlah kisah itsar di kalangan para sahabat Nabi Saw berikut 
ini. Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw, lalu dia berkata, 
“Sungguh aku ini miskin dan sangat lapar.” Lalu Rasulullah Saw 
menyampaikan hal tersebut kepada sebagian istri beliau. Maka mereka 
berkata, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan hak, saya tidak 
memiliki apa-apa kecuali air. Kemudian Rasulullah Saw menyampaikan hal 
itu kepada istri-istri beliau yang lain. Sampai semuanya mengatakan 
jawaban yang sama, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan hak, saya 
tidak memiliki apa-apa kecuali air”.
Rasulullah Saw pun bertanya kepada para sahabat, “Siapakah kiranya 
yang sudi menjamu tamuku malam ini?” Maka berkatalah seorang dari 
kalangan Anshar, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian sahabat tersebut 
membawa tamunya ke rumahnya dan berkata kepada istrinya, “Muliakanlah 
tamu Rasulullah Saw.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa shahabat tersebut bertanya 
kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk menjamu tamu 
Rasulullah Saw). Istrinya pun menjawab, “Tidak ada, hanya makanan yang 
cukup untuk anak-anak kita”. Lalu sahabat tersebut berkata, “Sibukkanlah
 anak-anak kita dengan sesuatu (ajaklah bermain), kalau mereka ingin 
makan malam, ajak mereka tidur. Dan apabila tamu kita masuk (ke ruang 
makan), maka padamkanlah lampu. Dan tunjukkan kepadanya bahwa kita 
sedang makan bersamanya”.
Mereka duduk bersama, tamu tersebut makan, sedangkan mereka tidur 
dalam keadaan menahan lapar. Tatkala pagi, pergilah mereka berdua 
(sahabat dan istrinya) menuju Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw 
memberitakan pujian Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka berdua, 
“Sungguh Allah merasa kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu
 kalian” (Muttafaq ‘alaih). Kemudian Allah menurunkan surat Al Hasyr 
ayat 9.
Subhanallah! Luar biasa sikap para sahabat Nabi Saw dalam 
mengutamakan saudara-saudara mereka. Kisah Perang Yarmuk berikut juga 
sangat masyhur. Abdullah bin Mush’ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi 
Tsabit menceritakan, bahwa dalam perang Yarmuk, Ikrimah meminta air 
minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah 
berkata, “Berikan air itu kepadanya.” Dan ketika itu Suhail juga melihat
 al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, “Berikan air itu 
kepadanya (al Harits)”. Namun belum sampai air itu kepada al Harits, 
ternyata ketiganya telah meninggal tanpa sempat merasakan air tersebut 
(Riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam 
At-Tamhid).
Sangat banyak kejadian semacam ini pada zaman keemasan Islam. 
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu Thalhah pada perang Uhud 
menjadi pasukan panah dengan posisi di depan Nabi Saw, dia memang 
seorang yang ahli memanah. Apabila Abu Thalhah memanah maka Rasulullah 
Saw memperhatikan kemana sasaran anak panahnya mengena. Maka Abu Thalhah
 mengangkat dadanya (untuk melindungi Nabi) seraya berkata, “Wahai 
Rasulullah, supaya engkau tidak terkena sasaraan panah musuh, biarlah 
yang terkena adalah leherku bukan lehermu” (Riwayat Ahmad dan selainnya,
 sanadnya shahih).
Kisah beredarnya kepala kambing berikut juga sangat terkenal. Ibnu 
Umar Ra menceritakan bahwa salah seorang dari shahabat Nabi Saw diberi 
hadiah kepala kambing, dia lalu berkata, “Sesungguhnya Fulan dan 
keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita.” Ibnu Umar mengatakan, 
“Maka ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain, dan secara terus 
menerus hadiah itu dikirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga 
berputar sampai tujuh rumah, dan akhirnya kembali kepada orang yang 
pertama kali memberikan” (Riwayat al Baihaqi dalam Asy-Syu’ab).
Ada lagi kisah anggur. Ibnu Umar suatu ketika mengalami sakit, dia 
sangat menginginkan anggur pada awal musimnya. Maka dia mengutus 
Shafiyah dengan membawa satu dirham untuk membeli anggur segar. Ketika 
utusan mengantarkan anggur, dia diikuti oleh seorang pengemis. Setelah 
sampai di pintu rumah, maka utusan masuk. Dari luar berkata pengemis, 
“Ada pengemis.” Maka Ibnu Umar berkata, “Berikan anggur itu kepadanya.” 
Maka utusan itu memberikan anggur tersebut kepada si pengemis (Riwayat 
Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab).
Kejadian demikian itu terulang hingga dua kali, sehingga Shafiyah 
meminta agar pengemis itu tidak kembali lagi untuk ketiga kalinya.
Berikut adalah kisah roti. Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah 
Ra, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang 
berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti 
kering, berkata Aisyah kepada pembantunya, “Berikan roti itu kepadanya,”
 si pembantu menyahut, “Engkau nanti tidak memiliki apa-apa untuk 
berbuka puasa”. Maka beliau berkata lagi, “Berikan roti itu kepadanya.” 
Perawi mengatakan, “Maka pembantu itu melakukannya, dan dia berkata, 
“Belum menjelang sore ada salah satu dari keluarga Nabi, atau seseorang 
yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging kambing (masak) yang 
telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata, “Makanlah engkau,
 ini lebih baik daripada rotimu tadi” (Riwayat Imam Malik dalam 
Al-Muwaththa’).
Kisah berikut juga sangat menyentuh. Dari Aun bin Abdullah dia 
berkata, “Seseorang yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang 
berbuka seorang pengemis datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua 
potong kue. Maka salah satunya diberikan kepada si pengemis, namun 
sejenak ia berkata, “Sepotong tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong 
lagi tidak membuatku kenyang, maka kenyang salah satu lebih baik 
daripada kedua-duanya lapar.” Akhirnya ia berikan yang sepotong lagi 
kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur dia bermimpi didatangi 
seseorang dan berkata, “Mintalah apa saja yang kau kehendaki.” Dia 
menjawab, “Aku minta ampunan”. Orang tersebut berkata, “Allah telah 
melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!” Dia berkata, “Aku 
memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan” (Riwayat Ad-Dainuri 
dalam Al-Mujalasah).
Kita memang belum ada apa-apanya dibanding mereka. Kadang masih ada 
hasad dalam hati kita terhadap posisi, kedudukan, jabatan dan kekayaan 
yang ada pada saudara kita. Astaghfirullahal ‘azhim. Kadang masih kita 
jumpai ada hasad dalam hati kita atas peluang kejayaan yang dimiliki 
atau diberikan kepada saudara kita. Astaghfirullahal ‘azhim. Dalam hati 
(qalb) yang kecil, terdapat hasad yang besar. Sementara para sahabat 
terdahulu, dalam dada (shadr) mereka yang luas, tidak terdapat hajat 
yang kecil. Subhanallah.
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..