“Dan tinggalkanlah orang-orang yang 
menjadikan agama mereka sebagai permainan dan olok-olok dan mereka yang 
terpedaya oleh dunia,” (QS. Al Maidah :57)
Hari ini anak-anak kita lahir di atas tilam zaman
 yang digenggam dengan tangan-tangan yang kelewat tega, jorok, dan mati 
rasa. Tangan-tangan yang digerakkan oleh -kalau ada- otak, syaraf, dan 
hati yang terbuat dari beton dusta, baja korupsi dan batu karang 
keangkuhan. Namun tangan-tangan itu begitu lentur, piawai tampil dalam 
wujud yang tramat simpatik dan manusiawi. Tak bakal ditemukan dalam 
kitab-kitab sirah, Abu Jahal  dan Abu Lahab tadarus membaca Al-Qur’an 
dan Khusu’ mengkaji hadist. Namun Abu Jahal zaman ini lain. Mereka yang 
dengan enteng mencetak uang palsu dan menyengsarakan rakyat dengan Napza
 untuk membenamkan generasi muda bangsa mereka, tanpa sungkan-sungkan mengumpulkan para darwish untuk menyanyikan nyaanyian spiritual.
Alangkah kudus hatinya tanpa upacara, 
tanpa menunggu persetujuan parlemen, mereka sematkan atas nama Allah 
dibendera resmi negara mereka yang sangat sekuler dan memusuhi setiap 
gagasan menuju kehidupan islami dalam berbangsa dan bernegar. Dan ketika
 kematian -yang terkesan datang begitu lamban dalam fikiran para mangsa-
 menjemput mereka, seluruh menara masjid dan radio memutar rekaman 
tilawah dengan suara teramat sendu. Langit pun semakin pucat, 
menyembunyikan kapan murka bumi yaang siap menghimpit-remukkan tubuh 
paraa hipokrit ini.
Lengkap sudah sandiwara, tranplantasi 
dan penggincuan mental. Sang tokoh yang kerdipan matanya, tanda 
tangannya dan isyaratnya menyebabkan sekian ribu mujahid dibunuh, dibuat
 cacat dan sekian juta rakyat menjadi miskin, miskin harta dan miskin 
iman mengakhiri hidupnya dengan segala kebesarn dan sanjungan para 
penjilat. Ia tetap yang ‘terbaik’, setidaknya untuk beberapa saat 
sebelum sejarah mencabik-cabik topeng kepalsuannya atau saat pen-taqlid cepat-cepat menghujaninya dengan sumpah serapah sebagai upaya penyelamatan diri.
Ketika ‘Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Waliyyul Amri Adhururi bi Syaukah’ Dr.
 Ir. Soekarno jatuh dari singgasana, banyak orang yang mengutukinya 
dengan makian yang kadang berlebihan, kecuali Alm. Mohammad Natsir, 
lawan politik yang -bersama beberapa teman- dipenjarakaan tanpa alasan 
dan proses hukum yang benar. Ia tak termasuk jumlah besar para pemaki 
itu. “Mengapa Bapak tidak menghujaninya dengan kutukan dan cercaaan 
seperti tokoh-tokoh lain.?” tanya seseorang. ” Karena saya telah 
menunaikan amanah dengan mengkritiknya, meluruskannya dan tak pernah 
menjilatnya. Jadi saya tak perlu mencuci diri terhadap kekotoran masa 
lalu, ” demikian jawabnya.
Manusia, memang makhluk ajaib yang punya daya adaptasi yang tinggi, “berbudaya dan beretika”, tampil elegan walaupun
 tangan berlumuran darah rakyat. Tepat kiranya komentar sebuah majalah 
atas gambar penjaja topeng diperempatan Kuningan, Ripanya manusia tak 
cukup dengan hanya satu topeng: wajahnya.”
Malin Kundang 
Begitu banyak tangan manusia dan lidah 
melafaskan kata-kata yang tak berbasis pada keyakinan aqidah, karena 
para pemiliknya sendiri tak tahu apakah mereka atau hnya sejumput ‘emosi
 religius’ yang tumbuh begitu saja sejak masa kanak-kanak. Emosi yang 
membuat mereka merasakan ‘kebahagiaan’ berhari raya, yang dalam kamus 
mereka kumpul makan ketupat. Hanya karena ‘kepatutan’ mereka 
menyesuaikan diri pada momen-momen ‘keagamaan’ dengan mengeluarkan 
sejumlah kecil biaya untuk busana terkait.
Mereka melahap begitu saja stigma 
teroris yang dipaksakan atas saudara mereka, tanpa sedikitpun goresan 
luka di hati. Bila menyiarkan tayangan hamba-hamba Allah yang dibantai, 
tak ada ketersinggungan yang memerahkan wajah atau membakar hati mereka.
Anak-anak bangor ini telah 
mendesain sendiri gaya pertaubatan mereka dan tak jarang media busuk 
membantu mereka. Untuk kasus Indonesia, lihatlah, betapa orang lain 
menyanjung-sanjung seseorang dengan panggilan Soeharto saat mereka 
habis-habisan mengeksplorasi begitu banyak keuntungan lewat rezim 
korupnya. Atau berkibarnya mereka mensyiarkan panggilan Gus saat 
singgasananya belum goyang. Amboi, sesudah itu begitu entengnya lidah 
jaksa, presenter TV dan pena wartawan menyebut masing-masing dengan 
sebutan; Haji Muhammad dan Kyai Haji saat mereka tak lagi melihat 
manfaatnya. Tidakkah terluka hati Tuan saat disebutkan nama sebuah 
gorong-gorong penyaluran dana yang begitu menaburkan bau busuk. 
Gorong-gorong limbah itu bernama Raudhotul Jannah. Sebuah gorong-gorong 
aliran isyu busuk dan stigma pencolengan bodoh berharga 40 miliar? 
Mengapa bukan yayasan Swarga Loka atau Hollywood?
Ketika Matori dibacok, Polisi telah 
dengan sangat lugas, cepat dan pede menyebutkan, para pembacok itu 
anggota AMIN (Anggota Mujahid Islam Indonesia Nusantara). Tapi di 
desa-desa, masyarakat yang lugu mengeluh kok tega sekali Amien Rais yang
 Muhammadiyyah dan PAN, ngebacok Pak Matori yang PKB? Mungkin Tuan masih
 belum tahu, ada pengurus sebuah masjid yang mempertahankan hak 
keberadaannya dari penggusuran di tengah kota, pusat bisnis dan 
pemerintahan di interogasi berhari-hari dan dipaksa masuk partai mereka,
 dengan tuduhan merekalah yang membakar gedung Sarinah? Mungkin kita 
menilai ini stigma, tetapi mereka menganggap ini sebagai perlindungan 
diri yang sangat ampuh. Agama telah menjadi tumbal dan jimat 
keselamatan. Halnya seperti kisah pencuri masa lalu di Baghdad yang 
dikisahkan kitab paling laris Majmu’ Syarif. Berkali-kali ia 
ditombak, ditikam dan dipancung, namun tetap hidup dan sehat wal afiat 
dan tak terluka. Lelah karena gagal menyiksa dan membunuh sang pencuri, 
rakyat bertanya apa gerangan rahasia pencuri itu? Ia menjawab: “Aku 
selalu mengamalkan ayat 7.”
Kasihan petugas pabean Amerika yang 
selalu harus waspada. Mereka harus menyita sebilah peniti yang terselip 
dalam bagasi seorang penumpang pesawat yang nama depannyaMuhammad. 
Kasihan istri Muhammad yang telah berlelah-lelah menata bagasi suaminya,
 akhirnya diaduk-aduk hanya untuk mencari gunting kuku, barang paling 
berbahaya dari dunia islam yang tertangkap X-Ray. Ketika Israel 
memulai uji coba bom nuklirnya, Orang tak bilang itu bom Yahudi. Waktu 
RRC berbuat serupa, mereka tak sebut Bom Budha, Confucius atau Komunis. 
Tetapi ketika Pakistan sukses dengan percobaan nuklirnya, sebuah media 
massa Amerika membuat judul dan gambar depan dengan komentar. “The Islamic Bom!”
Eufimisme
Stigma dan eufimisme mungkin sepanjang anak madame PR ( Public Relation), hasil hubungan gelapnya dengan Signore LS (Lie Station). Dalam Al-Qur’an peran negatifnya disebut sebagai ‘irshadan’
 (menara kontrol, QS. At Taubah :107) bagi para musuh Allah dan 
Rasul-Nya. Sukses terbesarnya pada kemampuannya mengubah citra. Jutaan hektare hutan
 ditebang dicitrakan untuk dijadikan kertas-kertas majalah dan koran. 
Ada yang menyiarkan -4 dan +4 kedatangan seorang artis bersama ‘kerbau’ 
nya. Di kali lain, berapa banyak waktu teralokasi, air mata mengalir dan
 doa terangkat -termasuk ibu-ibu majelis ta’lim Jakarta mengiring 
kematian Lady Spencer? Lady dengan style innocence yang membuat orang tak lagi tega mengingat kembali apa yang dilakukannya bersama  Al Fayyadh. Madame PR telah me-make up segalanya.
 Seperti juga kaum Zionis, hari ini mereka menjadi bangsa dengan ‘penuh 
heroisme membalas’ tindakan kekerasan dan teror bangsa Palestina. Mereka
 lekatkan citra terdzalimi, padahal mereka yang merampasi tanah, 
membunuh bayi-bayi, orang-orang tua dan perempuan palestina yang tak 
berdaya? Orang tak ingat bagaimana permusuhan mereka dengan nabi, 
kecurangan mereka terhadap bisnis, riba yang mereka tarik seperti 
menyedot sumsum dari tulang sapi yang masih hidup.
Mengapa scholar Muslim begitu 
sibuk membongar-bongkar khazanah kekayaan sejarah Muslimin pada abad 
lampau, seraya mengomentari setiap produk dengan lecehan: “Tidak HAM, 
tidak humanis, tidak berpihak kepada kaum perempuan yang tertindas.” 
Mengapa mereka jadi tumpul terhadap kekuasaan yang korup dan represif? 
Mengapa mereka lebih toleran terhadap atheisme dengan segala derifatnya? Madam PR yang berhak menjawabnya.
Larangan menyebut Ra’ina bagi orang Yahudi (dengan Raa bermad, artinya perhatikan bicara kami. Kaum Yahudi memendekkan Ra yang dalam bahasa mereka artinya: engkau gila!)
 bukan hanya dalam batas pengertian bebas. Ia adalah perang total 
terhadap teror dan teroris citra. Dan Al Qur’an dengan ummatnya adalah 
pemenang. Periwayatan mutawatir tidak hanya berarti riwayat 
sejumlah orang, tahap demi tahap yang memustahilkan kemungkinan dusta. 
Ia juga bermakna sampainya riak gelombang dari pusat sampai tepian, 
seperti batu yang mengirim gelombang benturannya dengan permukaan air di
 danau. Harus ada penerjemah Al-Qur’an secara langsung dalam sikap dan 
akhlak, selain penulisan buku-buku dengan efek pencerahan yang luas. 
Kalau tidak, keberadaan Muslimin menjadi penghalang hamba-hamba Allah 
untuk memahami pesan-pesan suci-Nya. Kalau ada pembela, mereka harus 
membela dengan sadar. Kalau ada yang memusuhi, lalu hancur karenanya, 
mereka harus hancur dengan sadar . “Agar hiduplah yang hidup diatas kejelasan dan binasalah yang binasa diatas kejelasan.” Qs Al Anfal : 42).
sumber : http://www.hasanalbanna.com/
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..