| Ilustrasi. (clock-desktop.com) | 
Semesta ini terus menggoda manusia dengan berbagai fenomena untuk 
dipikirkan dan dianalisa, namun manusia yang apatis, berjalan di atas 
rutinitas tanpa perenungan yang membekas.
Maka jika dalam Qur’an 
bertebaran ayat-ayat tentang semesta, “dan Kami turunkan dari awan air 
yang banyak tercurah” (an-Naba:14), “Maka apakah mereka tidak melihat 
langit dan bumi yang ada di hadapan dan di belakang mereka?” (saba:9). 
“Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat 
memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari
 lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar
 padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan 
supaya kamu bersyukur”(an-Nahl:14). 
“Kami membacakan kepadamu sebagian 
dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman”
 (al-Qhashash:3), “dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di 
lembah” (al-Fajr:9).
Ribuan ayat sejenis ini bukan sekedar penguat
 akidah, bahwa segala sesuatu ada penciptanya dan kisah-kisah terhahulu 
yang hilang sumbernya itu ada dalam Qur’an yang benar. Tapi ia mempunyai
 fungsi yang indepeden, yang berkaitan dengan misi manusia sebagai 
pengelola bumi. Qur’an tidak memberikan rumus-rumus ilmiah, tapi ia 
mengarahkan tema-tema umum agar manusia mengeksplorasinya. Karena memang
 ilmu-ilmu inilah bahan dasar manusia untuk mengelola bumi ini.
Qur’an
 tidak hanya memberikan pintu-pintu pengetahuan, tapi juga 
metodologinya. “Katakanlah: “Berjalanlah di muka bumi lalu analisalah 
bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu…” (ar-Rûm:42), 
“Katakanlah: “Berjalanlah di muka bumi lalu analisalah bagaimana Allah 
memulai penciptaan…” (al’-‘Ankabût:20). Dua metode ini pernah menjadi 
tradisi dalam kehidupan umat Islam yaitu ‘siyar’ dan ‘nadzr’ (Ekspedisi 
dan Analisa).
Ekspedisi, adalah rahasia gunung karya ilmuan-ilmuan
 muslim. Ruang belajar mereka tidak tersekat kota, bahkan benua. Seperti
 Baqi Ibnu Makhlad, dari Andalusia, di daratan paling Barat Eropa, yang 
sekarang menjadi Spanyol. Riset ilmiahnya berbekal naluri seorang 
ekspeditor. Ia arungi bentangan sahara Afrika Utara menuju Baghdad 
selama 2 tahun untuk bergabung dalam kajian Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu 
kembali ke negerinya hingga menjadi guru besar. Tapi berkarir di 
Andalusia dan negeri-negeri Afrika utara tidak cukup untuk memenuhi 
dahaga pengetahuannya. Ibnu Makhlad belum puas, hingga ia tempuh 
ekspedisi keduanya menuju Syam, lalu Madinah, Mekkah dan Mesir, hingga 
ia berhasil mengumpulkan riwayat hadist dari 1.300 sahabat Rasulullah 
dalam Musnad Baqi ibn Makhlad, yang kata Ibnu Hazm “belum pernah ada 
musnad yang levelnya lebih tinggi dari ini”.
Ibnu Batutah, dari 
Tangiers Maroko, lebih dahsyat lagi, ekspedisi ilmiahnya melebihi 120 
ribu kilometer di abad 14, seorang diri. Ia jelajahi Afrika, bagian 
selatan dan timur Eropa, timur tengah, asia tengah, selatan, Cina, 
hingga Aceh. Untuk meneliti berbagai tipe budaya, karakteristik umat 
manusia, fenomena alamnya, corak peradabannya, yang di hari ini menjadi 
sumber terpenting dalam ilmu Anthropologi, bahkan hingga 
divisualisasikan dalam film ‘Journey to Mecca’.
Jika al-Idrisi di 
abad 12 mampu meneliti dataran bumi ini hingga bisa menggambar peta 
dunia yang relatif mirip peta modern, generasi muda muslim abad 21 ini 
belum tentu mampu memahami peta yang mudah di akses di google earth, 
terlebih untuk mengeksplorasinya.
Metodologi yang Allah ajarkan 
ini memang sesuai dengan kaidah peradaban. Pengetahuan menunggu di 
datangi bukan ditunggui kedatangannya. Oleh karena itu ilmuan-ilmuan 
barat berlomba dalam ekpedisi dan eksplorasi. Lihatlah para researcher 
Orang Utan dan para pakarnya di Kalimantan sana! Apakah anak negeri kita
 sendiri? Atau amatilah liputan National Geographic, berapa jauh jarak 
rumah nyaman mereka dan lapangan penelitian para researcher itu? 
kemudian adakah korelasi antara produktivitas ilmiah seorang doktor 
tanah air sebelum mendapat jabatan dosen yang nyaman dan setelahnya? 
Apakah ada keterputusan antara ekspeditor muslim seperti al-Idrisi dan 
sarjanawan muda muslim hari ini? Apa yang terputus? Padahal Qur’an yang 
dibaca mereka dan memberikan arah pengetahuan itu sama dengan yang 
dibaca hari ini.
Bukan ajaran Qur’an yang terputus, tapi naluri 
ekspedisi dan eksplorasi umat yang kian tergerus. Gaya hidup instan dan 
konsumtif semakin menggerogoti idealisme ini. Walaupun disetiap zaman 
selalu ada obsesi-obsesi luhur personal yang mengalahkan zaman, tapi 
umumnya naluri ekspedisi ini ditumbuhkan atau dimatikan oleh masyarakat.
Misalnya,
 mimpi terbesar para mahasiswa adalah segera selesai kuliah untuk segera
 melamar kerja. Maka bidang-bidang yang paling cepat menghasilkan 
finansial selalu paling padat. Karena kursi-kursi masyarakat belum 
diizinkan diduduki para ilmuan murni. Pencetakan generasi teknisi akan 
lebih diminati, yang akan merakit mobil, motor, ponsel, komputer impor 
untuk dijual di dalam negeri. Dibanding proyeksi satu tim pakar kimia, 
fisika, matematika, elektro, informatik yang dikirim belajar dalam satu 
proyek integral menciptakan produk-produk asli dalam negeri.
Saat 
naluri ekspedisi ilmiah hilang, umat Islam kehilangan tulang-tulang 
pengetahuan yang akan menegakkan kehidupannya, dan selalu mencari 
sandaran walau dari tongkat-tongkat keropos milik umat lain. Tapi 
perubahan itu diciptakan, bukan dinantikan. Karena fenomena masyarakat 
yang sekarang disaksikan adalah hasil pemikiran zaman muda mereka yang 
dibiasakan. Sehingga wajah masyarakat 2-3 dekade lagi adalah refleksi 
gaya hidup pemuda hari ini.
Beberapa daerah Indonesia mempunyai 
budaya merantau, seperti Suku Minangkabau, Bugis-Makassar, Banjar, 
Bawean, Batak, dan Madura. Terlepas dari perbedaan filosofi perantauan 
dari masing-masing budaya tersebut, tapi irisannya ada dalam pencarian 
pengalaman (experience). Jika budaya ini bisa diadopsi generasi muda, ia
 akan menjadi landasan awal yang bagus. Untuk kembali, setidaknya 
menumbuhkan naluri ekspedisi dan berani keluar dari zona nyaman untuk 
mencari ‘sesuatu’. Apalagi jika budaya ini dikonversi oleh pemerinah 
secara massif menjadi ekspedisi ilmiah, untuk memahami semesta ini, 
menganalisa hukum-hukumnya, untuk kemudian menciptakan revolusi 
pengetahuan.
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..