Oleh : Cahyadi Takariawan
Dalam dinamika dakwah, ada kegiatan yang harus selalu dilaksanakan, 
yaitu konsolidasi. Di seluruh tahapan dan mihwar, di seluruh fase 
perjalanan dakwah, konsolidasi sangat diperlukan untuk menjaga gerakan 
tetap solid dan tidak melemah apalagi terpecah belah. Konsolidasi akan 
menjamin tetap utuhnya semua potensi dalam dakwah
Ada sangat banyak jenis konsolidasi, di antaranya adalah konsolidasi 
personal, konsolidasi struktural, dan konsolidasi amal. Pada kesempatan 
kali ini, saya akan membahas satu bagian saja, yaitu konsolidasdi 
personal yang merupakan aset terbesar, aset terpenting, dan aset 
termahal dalam gerakan dakwah.
Dalam konteks kekinian, konsolidasi personal sangat diperlukan agar 
seluruh potenbsi bisa efektif bekerja mencapai tujuan dakwah. 
Konsolidasi personal meliputi konsolidasi spiritual,  konsolidasi 
konsepsional, dan konsolidasi moral.
Konsolidasi Spiritual
Konsolidasi spiritual bertujuan untuk semakin mengikatkan anggota 
gerakan dakwah  dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka harus memiliki 
orientasi Rabbani dalam setiap aktivitas hidupnya. Pada saat yang sama, 
diharapkan akan muncul ruh berjama’ah yang  kian kokoh.
Asy Syahid Hasan Al Banna dalam risalah beliau Da’watuna fii Thuru Jadid Bainal Amsi wal Yaum
 menjelaskan, “Ciri misi kami yang paling spesifik adalah sifat 
Rabbaniyah dan syumuliyah. Mengenai sifat Rabbaniyah, karena asas yang 
menjadi pusat seluruh tujuan kami ialah agar umat manusia mengenal Tuhan
 mereka. Dari limpahan berkah hubungan ini mereka dapat memperoleh 
keruhanian yang mulia yang akan mengangkat jiwa mereka dari kebekuan dan
 kekotoran materi kepada tingkat kesucian, keindahan serta kemanusiaan 
yang mulia. Kami berseru dengan segenap hati kami : Allah tujuan kami”.
Madrasah ruhaniyah yang dibangun Rasul saw menandakan perhatian 
(tarkiz) beliau terhadap konsolidasi spiritual ini. Diktum asasi yang 
berlaku dalam dakwah adalah, ketinggian kinerja dakwah sebanding dengan 
ketinggian spiritualitas pelakunya. Ayat-ayat Makiyah mendukung 
keabsahan diktum tersebut, bahwa nilai-nilai spiritualitas menjadi pokok
 bahasan yang berulang-ulang di dalamnya. Ayat-ayat awal Al Muzammil dan
 Al Mudatsir memberikan penekanan pada pembersihan dan pengokohan 
spiritualitas. Selain itu, ayat-ayat Makiyah banyak mengulang-ulang 
kisah surga dan neraka untuk menjadi pengingat dan berita gembira secara
 ruhaniyah bagi kaum muslimin.
Dr. Abdullah Nasih Ulwan dalam kitab Ruhaniyatud Da’iyah menjelaskan 
posisi ruhaniyah sebagai berikut, “Kini kita akan menuju terminal dimana
 anda bisa menghirup nafas keimanan dan menambah bekal ketaqwaan. Di 
sana jiwa anda akan memantulkan pancaran ruhani. Anda akan menjadi 
seorang yang shalih, seorang insan yang penuh keikhlasan. Bahkan tatkala
 anda melanjutkan perjalanan, langkah akan terasa lebih ringan, 
kata-kata akan berpengaruh, tingkah laku akan menjadi tauladan, 
penampilan menjadi penuh daya tarik, serta sorotan mata anda akan 
memancarkan semangat dan optimisme”.
Konsolidasi Konsepsional
Konsolidasi konsepsional bermaksud untuk memperkuat keterikatan dan 
penguasaan konsepsional setiap personal bagi keperluan dakwah. 
Pengkayaan pemikiran dan berbagai konsepsi akan terjadi dalam suasana 
kebersamaan, sehingga syura dan diskusi-diskusi ilmiah lebih hidup dan 
segar. Gerakan dakwah akan terjaga kesinambungan ide dan konsepsinya 
dengan langkah ini, serta terjaga dari bahaya penyimpangan tujuan.
Syaikh Musthafa Masyhur dalam Qadhaya Asasiyah ‘ala Thariqid Da’wah menjelaskan perlunya ar ru’yah al wadhihah
 (pandangan atau konsep yang jelas) dalam konteks gerakan dakwah sebagai
 berikut, “Pertama kali yang harus dimiliki oleh seorang da’I adalah 
pandangan yang jelas terhadap jalan dakwah, mengenal pasti 
petunjuk-petunjuknya serta seluruh yang terkait dengannya. Ini adalah 
qadhiyah paling penting bagi setiap orang yang berjalan di atas jalan 
dakwah”.
Lebih lanjut belaiu mengungkapkan, “Mengapa hal itu sangat 
diperlukan? Sebab ketiadaan pengetahuan yang jelas terhadap karakter 
perjalanan tidak jarang menyebabkan seseorang menjadi ragu dan sangsi 
terhadap keselamatan perjalanannya. Bahkan sering menyebabkan seseorang 
dilanda kegoncangan yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan dan takut
 meneruskan perjalanan”.
Kelemahan pelaku dakwah dalam memahami dan menguasai konsep-konsep 
pergerakan akan menyebabkan kelemahan pula dalam mencapai tujuan dakwah.
 Kebijakan-kebijakan produk pergerakan dakwah tidak akan menghasilkan 
apapun apabila tidak dikuasai dengan baik oleh setiap pelakunya. Bisa 
jadi seseorang merasa telah melakukan kegiatan yang sedemikian tinggi 
ritmenya, akan tetapi sama sekali ternyata tidak mencapai sasaran yang 
ditetapkan. Allah Ta’ala memberikan penggambaran kondisi orang-orang 
yang tertipu, dalam ungkapan ayat-Nya:
“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang 
orang-orang yang paling merugi amalannya, yaitu orang-orang yang telah 
sia-sia dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa 
mereka berbuat sebaik-baiknya” (Al Kahfi: 103 – 104).
Konsolidasi konsepsional akan menghindarkan pelaku dakwah dari bentuk
 ketertipuan semacam itu. Dr. Yusuf Al Qardhawi menjelaskan, “Masyarakat
 Islam diwarnai oleh pemikiran dan pemahaman yang menetukan pandangannya
 terhadap segala persoalan, peristiwa, tingkah laku seseorang, nilai dan
 hubungan…. Islam sangat memperhatikannya untuk meluruskan pemahaman 
pengikutnya, sehingga pandangan dan sikap mereka terhadap permasalahan 
hidupnya menjadi lurus dan tashawur umum mereka terhadap sesuatu dan 
nilai tertentu menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang 
sesuatu dengan pemikiran yang dangkal, sehingga menyimpang dari 
orientasi yang benar dan tersesat dari jalan yang lurus. Oleh karena itu
 Al Qur’an dan As Sunnah selalu meluruskan pemahaman-pemahaman yang 
menyimpang, pemikiran-pemikiran keliru yang tersebar di masyarakat” 
(Lihat: Dr. Yusuf Al Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an 
dan As Sunnah, Citra Islami Press, Solo, 1997).
Konsolidasi Moral
Konsolidasi moral adalah upaya kristalisasi nilai-nilai akhlaq karimah
 dalam diri setiap pelaku dakwah. Tak bisa dipungkiri, salah satu kunci 
keberhasilan dakwah Rasul dan para sahabat justru terletak pada 
ketinggian akhlaq mereka. Klaim negatif yang berkaitan dengan 
kepribadian Rasul senantiasa tertolak secara alami, lantaran keluhuran 
budi pekerti Rasul bukan saja disaksikan dan diakui para sahabat beliau,
 namun juga musuh-musuh beliau sekalipun.
Kerendahan moralitas adalah kondisi paradoks terhadap tujuan dakwah. 
Artinya, semakin rendah moralitas pelaku dakwah, semakin jauh pula 
mereka dari tujuan. Demikian pula berlaku sebaliknya.
Tatkala pasukan Islam di bawah pimpinan Abu Ubaidah mencapai lembah 
Jordan, penduduk setempat menulis surat kepadanya berbunyi, 
“Saudara-saudara kami kaum muslimin,  kami lebih bersimpati kepada 
saudara-saudara daripada orang-orang Romawi meskipun mereka seagama 
dengan kami, karena saudara-saudara lebih setia kepada janji, lebih 
bersikap belas kasih terhadap kami dengan menjauhkan tindakan-tindakan 
tidak adil. Pemerintah Islam lebih baik daripada pemerintah Byzantium 
karena mereka telah merampok harta dan rumah-rumah kami”.
Sejarah juga telah mencatat penduduk Emessa menutup gerbang kota 
terhadap tentara Hiraklius serta lebih suka kepada pemerintahan dan 
sikap adil kaum muslimin daripada tekanan dan sikap tidak adil 
orang-orang Yunani (Lihat: Thomas W. Arnold,  Sejarah Dakwah Islam, 
Wijaya, Jakarta, 1977).
Kelembutan, kasih sayang terhadap ummat adalah sebagian kecil dari tuntutan moralitas bagi para pelaku dakwah:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut 
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, 
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
 mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka…” (Ali Imran : 159).
Sejarah mencatat pula kejayaan dakwah yang amat gemilang, karena 
faktor moralitas ideal yang ditawarkan Islam. Thomas W. Arnold dalam Preaching of Islam mencatat dokumen berikut :
“Demikianlah keadaan perasaan di Syria selama kampanye tahun 633 
hiungga 639, pada waktu bangsa Arab secara berangsur-angsur mengusir 
pasukan Romawi dari propinsi itu. Dan ketika Damaskus pada tahun 637 
memberikan teladan dengan menjalin hubungan dan mengadakan perjanjian 
dengan bangsa Arab sehingga berhasil mendapatkan kekebalan terjamin dari
 tindak perampasan harta benda, dan syarat-syarat lain yang 
menguntungkan, maka kota-kota lain di Syria langsung mengikutinya. 
Emessa, Arethusa, Heliopolis dan kota-kota lain juga memasuki perjanjian
 sehingga mereka menjadi daerah-daerah kekuasaan bangsa Arab muslim. 
Bahkan kepala kota Jerussalem menyerahkan diri dengan syarat-syarat 
perjanjian yang mirip. Rasa takut akan paksaan agama dari sang Kaisar 
yang memerintahkan hal-hal bid’ah dalam agama mereka, menjadikan janji 
Islam akan adanya toleransi lebih menarik bagi mereka daripada 
berhubungan dengan kekaisaran Romawi”.
Ketika para pelaku dakwah menampilkan akhlaq yang mulia, pasti akan 
menimbulkan simpati dan rasa suka secara alami dari masyarakat. 
Sebaliknya, jika dakwah ditampakkan dengan cara-cara yang tidak memenuhi
 standar akhlaq mulia, justru akan menjauhkan masyarakat dari lingkungan
 dakwah. Sudah semestinya seluruh personal dalam dakwah selalu berusaha 
menjaga ketinggian akhlaq, kemuliaan sikap, kelembutan hati, kesantunan 
komunikasi, sehingga akan memberikan nilai positif yang menyebabkan 
masyarakat mudah menerima seruan dakwah.
Wallahu a’lam.
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..