“Barangsiapa ditanya tentang suatu
ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka kelak di hari Kiamat akan dijahit
mulutnya dengan jahitan dari api neraka.”[1]
Sepengetahuan kami, tidak ada dalam
aliran agama dan pemikiran manapun di dunia ini, baik yang terdahulu
(seperti Kristen, Hindu dan Budha) maupun kontemporer (kapitalisme,
westernisme, sosialisme, pluralisme) yang sampai memberikan support
demikian kuat kepada anggotanya untuk belajar dan mengajarkan ilmu
(dalam arti umum, bukan hanya ilmu agama ansich), bahkan dengan
memberikan ancaman yang demikian keras hanya karena tidak mau menjawab
sebuah pertanyaan tentang ilmu padahal ia mengetahuinya…
Demikianlah kesempurnaan sistem ilahiah
dan rabbaniah yang merupakan sistemtertinggi yang tidak dapat ditandingi
oleh sistem manapun dalam kesempurnaannya di segala aspek kehidupan
yang dibutuhkan oleh penganutnya. Demikian tinggi perhatian Islam pada
ilmu pengetahuan, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan
rasul-Nya yang mulia melarang bersikap iri hati kecuali kepada 2
kelompok orang, salah satunya orang yang dianugerahi ilmu lalu ia
memanfaatkan dan mengajarkan ilmunya tersebut siang dan malam.[2]
Lebih jauh, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam menyebutkan balasan Jannah bagi orang-orang yang sedang berusaha
menempuh jalan untuk menuntut ilmu[3],
bahkan dalam riwayat lain disebutkan secara lengkap sebagai berikut:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka akan Allah
mudahkan baginya jalan menuju Jannah.
Sungguh para malaikat itu membentangkan
sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan hal
tersebut. Bahwasannya penghuni langit dan bumi sampai ikan-ikan dan
kerang di dasar samudera memintakan ampunan kepada orang yang berilmu.
Keutamaan orang alim dari seorang abid (ahli ibadah) adalah bagaikan
keutamaan bulan purnama dari bintang-bintang. Sungguh para ulama itu
adalah pewaris Nabi dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham akan
tetapi mewariskan ilmu pengetahuan. Maka barangsiapa yang menuntut
ilmu, maka ia telah mengambil bagian yg sempurna.”[4]
Keutamaan belajar ilmu dan
mengajarkannya bagi pelakunya dalam Islam juga tidak hanya berhenti
sebatas di dunia ini saja, melainkan pahala dan keutamaannya tersebut
akan terus mengalir kepada orang tersebut sampai setelah ia lama mati [5]sepanjang
perbuatan mencari dan mengajarkan ilmu tersebut semata-mata ikhlas
ditujukan untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, ada pun jika
tujuan mencari ilmu tersebut untuk kepentingan sesaat (duniawi) yang
rendah dan buruk, maka hukumanlah yang akan ia dapatkan di akhirat
kelak, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya bertujuan untuk
mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla, lalu ia mempelajarinya dengan tujuan
hanya untuk mendapatkan kedudukan dunia, maka kelak di hari Kiamat ia
tidak akan mendapatkan wanginya Jannah.”[6]
Islam pun menggariskan bahwa tidak semua
manusia memiliki kemampuan yang sama dalam menyerap dan memahami ilmu
pengetahuan, ada yang genius, ada yang moderat dan ada pula yang lemah
akalnya (idiot); sebagaimana dalam sabda nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam: “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepadaku bagaikan hujan yang menimpa bumi. Sebagian tanah ada
yang subur, lalu tumbuhlah berbagai tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang
banyak. Namun ada pula tanah yang kering namun masih bisa menyimpan air,
lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaatkan kepada manusia,
mereka bisa minum dari air tersebut dan memberi makanan ternak dan
bertani. Ada lagi air yang menimpa bagian bumi yang datar dan lunak yang
tidak dapat menyimpan air dan tidak dpt menumbuhkan tumbuhan.
Demikianlah perumpamaan orang alim dalam masalah agama dan
mengerjakannya, dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk
Allah yang diturunkan kepada mereka.”[7]
Maka ketika kaum Muslimin mendalami dan
mengamalkan agamanya dengan benar, penuhlah dunia dengan para ilmuwan
dan saintek Muslim seperti di bidang kedokteran: Kitab Ibnu Sina, Al
Qanun (abad-12) & Al Hawi (Ar Razi) menjadi sumber pengetahuan
kedokteran di Barat sampai abad-16; Raja Friederich-II dari Perancis
meminta putra-putra Ibnu Rusyd (menurut ejaan Barat dibaca: Averoes)
untuk tinggal diistananya mengajarinya ilmu Botani & Zoologi; Paus
Gerbert (bergelar Sylvestre-II) mengajar ilmu-ilmu alam pada tahun
1552-1562 yang kesemuanya dipelajarinya di Universitas Islam Andalusia
di Spanyol; Bahkan menurut Gustave Le Bon (sejarawan Perancis) bahwa
ahli-ahli Barat seperti Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Albertus Magnus,
dan lain-lain dibesarkan dalam era keemasan perpustakaan pengetahuan
Islam & Arab.[8]
Kesemuanya itu kemudian diganti oleh generasi berikutnya yang menjauh
dari nilai-nilai Islam dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sehingga sedikit demi sedikit kepemimpinan kaum Muslimin digantikan oleh
generasi yang meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat.[9]
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala
mencabut ilmu dari kaum Muslimin tidak secara sertamerta, tapi melalui
diwafatkannya orang-orang yang berilmu dan bertaqwa dan digantikannya
dengan orang-orang yang bodoh dan sesat yang memimpin manusia, sehingga
mereka sesat dan menyesatkan orang lainnya.[10]
Allahu a’lam bish Shawab…
[1]
Hadits Riwayat: 1. Abu Daud, hadits no. 3658. 2. Tirmidzi, hadits no.
2651. 3. Ibnu Majah, hadits no. 261. 4. Menurut Tirmidzi sanadnya hasan,
sedangkan menurut Ibnu Hibban hadits ini shahih (no. 95), juga dalam
shahih-nya dalam bab Abdullah bin Umar (96).
[2] HR. Bukhari, I/152-153; Muslim hadits no. 816.
[3] HR. Muslim, hadit no. 2699.
[4]
HR. Abu Daud no. 3641-3642; Tirmidzi, no. 2683; Ibnu Majah, no. 223;
dan dishahih-kan oleh Ibnu Hibban (74-75) melalui riwayat Abu Darda
Radhiyallahu ‘Anhu; juga dari riwayat Jabir bin Muth’im Radhiyallahu
‘Anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/80) dan dishahih-kan oleh Al
Hakim (I/86-87); juga dari riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu
yang diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (V/183); hadits ini juga
diriwayatkan oleh ad Darami (I/75) dan di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban
(72-73).
[5] HR. Muslim, hadits no. 1631.
[6]
HR. Abu Daud (3664); Ibnu majah (252); dan di-shahih-kan oleh Ibnu
Hibban (89) dan Al Hakim (I/85) dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[7] HR. Bukhari I/150-151, VI/152; Muslim (1037).
[8] DR Musthafa As Siba’i, Min Hadharatina.
[9] QS Maryam, 19/59.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..