Pertanyaan apakah kita sudah tarbiyah atau belum
dapat dijawab dengan berbagai jawaban. Kita dapat mengiyakannya dengan
berbagai alasan formal. Alasan formal yang kerap menggoda untuk kita
munculkan adalah:
a. kita telah tarbiyah, karena kita telah memiliki murabbi,
b. kita telah tarbiyah, karena kita telah memiliki liqa’ pekanan,
c. kita telah tarbiyah, karena kita telah mendapatkan materi yang berkelanjutan.
Benarkah kita telah tarbiyah karena alasan-alasan
tersebut di atas? Benarkah sesungguhnya kita telah tarbiyah dengan
’sekadar’ memiliki murabbi? Apakah dengan ’sekadar’ memiliki liqa’
pekanan dan menerima materi tarbiyah, kita telah tarbiyah? Adakah
parameter yang lebih dapat dipertanggungjawabkan pada masa depan kita
dan tentu saja dapat dipertanggungjawabkan pula di hadapan Allah Swt.?
Visi adalah ide tentang hasil yang dinilai dan dijadikan motivasi kerja suatu tim. Ada dua kata kunci dari deskripsi ini, yaitu
a. visi adalah hasil yang nanti akan menjadi standar penilaian,
b. visi adalah sesuatu yang memotivasi tim dalam bekerja.
Bila disandingkan dengan konsep sederhana tentang
visi tersebut di atas, visi tarbiyah adalah ide tentang hasil yang
diharapkan dari proses tarbiyah serta sesuatu yang memotivasi tim
tarbiyah dalam bekerja. Dari konsepsi sederhana tentang visi di atas,
tarbiyah sejatinya mengharapkan suatu hasil yang spesifik dibanding bila
diproses dengan selain tarbiyah maupun bila tidak diproses. Hasil
spesifik itulah yang kemudian disebut dengan visi tarbiyah.
Visi tarbiyah diformulasikan sebagai berikut,
a. Tarbiyah menjadikan seseorang menjadi seorang da’i yang produktif dan mampu menanggung beban dakwah.
b. Tarbiyah menjadikan seseorang menjadi pribadi yang memiliki wawasan ilmiah dengan berbagai ilmu pengetahuan.
c. Tarbiyah mendukung potensi setiap orang demi mendukung dan mewujudkan cita-cita secepat mungkin.
Paparan tersebut di atas menunjukkan bahwa impian
(hasil yang diharapkan) tarbiyah tidak berhenti pada aspek-aspek formal
semata. Sebaliknya, visi tarbiyah melompati aspek formal dan menyentuh
aspek substantif dalam tarbiyah. Sesungguhnya, lebih penting untuk
menjawab pertanyaan ’sudahkah kita tarbiyah?’ dengan jawaban substantif
daripada aspek formal.
Untuk memberikannya pada aspek substantif, perlu
didefinisikan apa yang menjadi nilai substantif tarbiyah. Dengannya,
kita dapat lebih bertanggung jawab dalam menjawab pertanyaan ’sudahkah
kita tarbiyah’ tersebut. Tentu saja-sekali lagi pendefinisian nilai
substantif ini tidak dalam rangka menafikan aspek formal tarbiyah.
Ada banyak ayat dalam Al-Quran yang memakai kata rabb atau ar-rabb. Rabb adalah nama Allah dalam makna sebagai pendidik dan pemberi perhatian. Materi rububiyatullah
kita ‘mengajarkan’ tentang peran Allah dalam menciptakan alam semesta,
memberinya rezeki, dan sekaligus menguasainya. Abdurrahman An-Nahlawi
menjelaskan tiga akar kata untuk tarbiyah, yaitu sebagai berikut.
a. Raba-yarbu yang bermakna bertambah dan berkembang.
b. Rabiya-yarba yang bermakna tumbuh dan berkembang.
c. Rabba-yarubbu yang bermakna memperbaiki, mengurusi, mengatur, menjaga, dan memerhatikan.
Imam Baidhawi menyebutkan bahwa kata ar-rabb
memiliki makna tarbiyah yang artinya menyampaikan sesuatu hingga
mencapai kesempurnaannya setahap demi setahap. Tarbiyah adalah sebuah
proses yang menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai
batas kesempurnaannya. Berdasarkan makna tumbuh dan kembang tersebut,
Abdurrahman Al-Bani mengambil empat unsur penting dalam pendidikan,
a. menjaga dan memelihara fitrah objek didik,
b. mengembangkan bakat dan potensi objek didik sesuai dengan kekhasan masing-masing,
c. mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan, dan
d. dilakukan secara bertahap.
Satu hal yang dirasakan sangat menonjol dalam
beberapa makna tarbiyah di atas adalah tentang pemberdayaan,
memperbaiki, menjaga, menumbuhkan, memberi penekanan pada kekhasan
personal, dan kesemuanya dilakukan secara bertahap. Tarbiyah dilakukan
sesuai tahap-tahap demi sebuah proses pemberdayaan, perbaikan,
penjagaan, penumbuhan, dan penguatan karakter. Tahapan tarbiyah
dilakukan dengan sebuah jaminan bahwa akan terjadi pemberdayaan,
perbaikan, penjagaan, penumbuhan, dan penguatan karakter; bukan sebuah
proses yang mekanis dan berdasarkan urutan. Apakah kita tarbiyah jika
semakin tarbiyah justru kita semakin tidak berdaya, semakin hilang
karakter positifnya, semakin buruk akhlak dan etosnya, serta semakin
kerdil jiwa dan pemikirannya? Sudahkah kita tarbiyah bila hal-hal
tersebut terjadi?
Untuk memberikan penekanan pada aspek
pemberdayaan, uraian berikut ini mencoba menawarkan kepada saudara
sebuah alat bantu untuk menjawab pertanyaan sudahkah kita tarbiyah?
1. Kita sudah tarbiyah jika kita terbuka terhadap perubahan
Kita telah tarbiyah ketika kita mengembangkan
sikap terbuka terhadap perubahan. Hasil akhir dari semua proses
pembelajaran adalah perubahan; termasuk tarbiyah. Hasil akhir dari
tarbiyah adalah adanya perubahan.
Perubahan dipercaya banyak orang sebagai sebuah
keniscayaan. Bahkan, perubahan diyakini sebagai sesuatu yang tetap di
dunia ini. Oleh karena itu, sikap terbuka dan kemampuan beradaptasi
menjadi syarat utama seorang kader dakwah. Seperti ulat, insan-insan
produk tarbiyah bagaikan makhluk yang selalu melakukan metamorfosis
menuju kondisi yang lebih baik. Insan tarbiyah bukanlah ulat yang
bertahan menjadi ulat, meski kondisi dan ulat-ulat lainnya telah
melangkah ke fase kepompong. Ulat tarbiyah rela meninggalkan lezatnya
dedaunan untuk sebuah masa depan. Demikian pula ketika fase kepompong
berakhir, ulat tarbiyah juga segera merobek kantung tidurnya dan terbang
tinggi ketika saat untuk terbang telah tiba. Hangatnya kantung
kepompong dengan segera mereka tinggalkan. Efektivitas tarbiyah patut
kita pertanyakan ketika kita menganggap diri kita telah purna atau
setidaknya telah merasakan keletihan untuk terus berubah.
Dalam beberapa kasus, insan tarbiyah ‘telanjur’
besar dalam kondisi tertentu dan sulit berubah ketika kondisi telah
berubah. Perasaan telah menjadi sesuatu yang besar itulah yang membunuh
tujuan akhir dari tarbiyah. Sudahkah kita tarbiyah?
2. Kita sudah tarbiyah jika mampu bersikap tegas dan menghindari sikap agresif
Kita tarbiyah ketika menjadi manusia yang tegas,
bukan agresif. Menjadi insan yang tegas tidak harus menumbuhkan
agresivitas. Menolak praktik syirik, menolak kemaksiatan, mempertahankan
strategi dakwah, menjelaskan tujuan dakwah, dan menegakkan disiplin
memang membutuhkan ketegasan, tetapi tidak membutuhkan agresivitas.
Mendiskreditkan, menjelek-jelekkan lawan, menciptakan stereotipe, atau
menfitnah rival, bahkan mencederai kompetitor adalah tindakan-tindakan
agresif yang kontraproduktif. Para praktisi tarbiyah mesti menyadari
urgensi siasat jangka panjang dan penjagaan determinasi dalam dakwah.
Oleh karena itu, produk dari tarbiyah adalah insan yang tegas dalam
prinsip, memiliki determinasi yang tinggi, sabar dan ulet, serta tidak
dapat diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif.
Sudahkah kita tarbiyah?
3. Kita sudah tarbiyah jika kita menjadi pribadi yang proaktif
Kita tarbiyah ketika proaktif dalam hal-hal yang bermanfaat. Penanggung jawab proses pemberdayaan adalah murabbi dan memang tidak dapat digeser kepada pihak lain. Tetapi, pernyataan tersebut tidak dapat diartikan sebagai hujah bagi sikap pasif mad’u.
Nabi Muhammad Saw. berpesan,
”Bersungguh-sungguhlah kamu dalam hal yang memberikan manfaat dan
janganlah kamu lemah/mudah menyerah.
Sebuah kemanfaatan mesti kita upayakan dengan
sungguh-sungguh. Sedangkan dengan segenap upaya saja belumlah pasti kita
berhasil, apalagi mengharapkan kebaikan dengan cara pasif. Kesempatan
belajar, kesempatan bisnis atau penghasilan, dan kesempatan-kesempatan
lainnya tidak boleh disia-siakan hanya karena belum mendapat’restu’ dari
murabbi. Atau kita berpangku tangan menunggu wasilah-wasilah (sarana) yang direkomendasikan oleh murabbi. Hanya mengonsumsi wasilah
yang direkomendasikan dalam suasana kompetisi yang sedemikian tinggi
adalah sikap pasif yang pada gilirannya akan merugikan praktisi
tarbiyah. Rekomendasi memang diperlukan dan syura memang harus dilakukan, tetapi kedua hal tersebut bukan alasan untuk tidak proaktif. Justru syura akan dinamis dan rekomendasi akan bervariasi jika peserta syura melakukannya dengan proaktif. Lalu sudahkah kita tarbiyah?
4. Kita sudah tarbiyah jika menjadi pribadi yang memiliki sikap mawas diri
Kita tarbiyah ketika tidak mudah menyalahkan orang
hin. Bahkan sebaliknya, di lembaga tarbiyahlah kita mengembangkan sikap
mawas diri. Karena, komunitas tarbiyah adalah komunitas manusia dengan
segenap keunggulan dan sekaligus kelemahannya. Interaksi kemanusiaan ini
memang potensial menonjolkan kelemahan orang lain dan menyembunyikan
kelemahan diri.
Gajah di pelupuk mata memang kerap kali tampak
terlampau kecil. Sebaliknya, kuman atau bahkan ‘bayi kuman’ orang lain
tampak jelas di depan mata. Tarbiyah mengantarkan seseorang untuk sadar
akan pentingnya berinstitusi atau berjamaah dalam menegakkan agama;
sebuah kesadaran bahwa tulang punggung dan pundaknya tidak akan kuasa
menanggung beratnya beban dakwah ini seorang diri. Namun, kesadaran ini
juga mesti diikuti dengan kesadaran bahwa sebuah jamaah atau institusi
dakwah apa pun adalah institusi manusia dengan segenap kemanusiaannya.
Ada keunggulan di sana, ada kecerdasan, ada kehebatan, tetapi juga
berserak kealpaan, keteledoran, ego, dan juga kepentingan individual.
Tarbiyah menjadikan seseorang memiliki kesadaran bahwa berjamaah atau
berorganisasi tetaplah lebih baik daripada sendiri dengan kelemahan dan
keunggulan pribadi. Proses tarbiyah dengan segenap sarananya haruslah
sangat dekat dengan pelajaran-pelajaran mawas diri dan tidak mudah
menyalahkan orang lain serta memiliki kecukupan sarana latihan untuk
menekan sifat takaburnya terhadap orang lain.
5. Kita sudah tarbiyah jika menjadi pribadi yang mandiri
Kita tarbiyah ketika menjadi insan yang mandiri
dan merdeka, bukan manusia yang tergantung pada orang lain. Fakta
empiris menyajikan data bahwa para pahlawan kita memiliki jiwa merdeka
yang membangkitkan energi besar dalam perjuangannya. Muhammad Saw.
adalah sosok yang mandiri dan merdeka, jauh dari intervensi siapa pun.
Demikian pula para sahabat Nabi yang tercinta, tidak terkecuali sahabat
yang dulunya dikenal sebagai budak. Yasir, Bilal bin Rabah, dan Sumayah
bukan lagi insan yang mudah diintervensi oleh tuannya sekalipun ketika
berhadapan dengan prinsip yang mereka yakini. Penjajahan nafsu atas jiwa
manusia merupakan bahaya laten. Jiwa sangat mungkin tunduk oleh harta
benda, jabatan, fasilitas, atau lainnya. Apakah kita pribadi yang
mandiri? Sudahkah kita tarbiyah dengan menjadi pribadi yang mandiri?
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, hati yang diisi dengan
hal-hal yang buruk akan menyebabkan pola pikir dan pola gerak seseorang
menjadi tidak teratur dan rapuh. Misalnya saja, hati seseorang diisi
dengan dengki terhadap kenikmatan mobil baru saudaranya. Maka pola pikir
seseorang yang hatinya dijajah oleh kedengkian menjadi tidak teratur,
tidak produktif, dan pola geraknya pun menjadi rapuh. Segenap potensi
pikir dan geraknya terfokus pada saudaranya dan menjadi sangat sensitif
terhadap hal itu. Pada akhirnya, hidupnya menjadi tidak produktif karena
terjadi kemubaziran potensi diri.
6. Kita sudah tarbiyah jika kita adalah sosok yang berperasaan, tetapi tidak emosional
Kita tarbiyah ketika tarbiyah menjadikan hati dan
perasaan kita hidup tanpa terjebak dalam sikap emosional. Kita juga siap
menghadapi ujian dan tidak cengeng menghadapi ujian, serta tidak mudah
terpukul oleh sebuah kegagalan. Emosi keagamaan adalah sebuah energi
yang mendorong untuk berperilaku serba religi. Sedangkan sikap emosional
dalam beragama adalah ekspresi yang tidak menguntungkan dan biasanya
ditimbulkan oleh pribadi yang tidak siap menghadapi kenyataan.
Konon, dalam menyongsong setiap pertempuran, para
samurai selalu menyiapkan diri untuk kalah. Meski kenyataannya justru
sering berbeda, karena lawan-lawan merekalah yang kerap kali harus
tunduk di tangan para samurai Jepang ini. Demikian pula, para syuhada
dalam menyongsong syahid. Hidup mulia atau mati syahid menjadikan mereka
tak gentar menyongsong kematian. Meski kenyataannya, sering kali
sebaliknya. Sebagian para sahabat bahkan harus menunggu-nunggu kapan
syahid menyongsongnya. Emosionalkah kita?
7. Kita sudah tarbiyah jika kita sanggup belajar dari kesalahan
Sebagai manusia, manusia tertarbiyah tentu tetap
tidak terbebas dari kesalahan. Ia tetaplah manusia yang mungkin salah.
Justru penyikapan seseorang terhadap kesalahan yang dilakukannya itulah
yang menjadi indikasi apakah ia tarbiyah atau tidak.
Seseorang yang tertarbiyah adalah seseorang yang
menjadikan kesalahan yang dilakukannya sebagai salah satu cara untuk
belajar. Terpukul dan sakit adalah hal yang wajar ketika seseorang
melakukan kesalahan. Hal yang tidak wajar adalah perasaan sakitnya
membunuh kemampuan belajarnya. Ketika kemampuan belajarnya telah mati
maka kemampuan untuk berubahnya pun menjadi sirna.
Kita sudah tarbiyah jika kita adalah manusia yang
siap menghadapi segala sesuatu di masa depan. Menghadapi sesuatu di masa
depan pasca kesalahan memang tidak
sederhana. Krisis kepercayaan diri, berkurangnya
kepercayaan dari lingkungan, dan ketakutan adalah hal-hal yang traumatis
dan tidak mudah untuk menghadapinya. Namun, kita harus bertanggung
jawab dengan menjawab pertanyaan,’sudahkah kita tarbiyah’ dengan menjadi
pribadi yang sanggup belajar dari kesalahan.
8. Kita sudah tarbiyah jika hidup di masa sekarang, bersikap realistis, dan berpikir relatif
Kita tarbiyah ketika kita tidak menjadi bagian
dari masa lalu; mampu bersikap realistis, berpikir secara relatif, dan
tidak mutlak-mutlakan, serta memiliki kepercayaan yang tinggi. Dunia
kita ini tidak hitam putih. Tidak ada sosok, oknum, maupun institusi
yang serba putih, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, yang
dibutuhkan dunia adalah pribadi yang mampu berpikir realistis dan
memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan konsep atau idealismenya di
dunia ini. Menghakimi atau menuding sebagian pihak oleh pihak yang lain
akan lebih banyak menghasilkan kenikmatan beragama secara sepihak.
Sedangkan di sisi yang lain, dunia tidak merasakan kemanfaatan dari
implementasi sebuah idealisme. Oleh karena itulah mengapa ditargetkan
agar tarbiyah menghasilkan da’i bukan menghasilkan hakim. Maka sudahkah kita tarbiyah?
sumber beranda.blogsome.com
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..