RASANYA PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa
rnembahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya
tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana “mengelola” ketidaksetujuan itu?
Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan
pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari
fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi
ciri kehidupan majemuk. Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah
ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat
pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda.
Walaupun proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai
dai dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal,
organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja akan menyisakan
celah bagi semua kemungkinan perbedaan.
Di sinilah kita memperoleh “pengalaman keikhlasan” yang baru. Tunduk
dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan
terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling
berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman
spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan dakwah,
salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap
hasil syuro.
Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita
menjalani “pengalaman keikhlasan” seperti itu?
Pertama, marilah kita
bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk
melalui suatu “upaya ilmiah” seperti kajian perenungan, pengalaman
lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk
mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat
yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yane
sebenamya merupakan sekedar “lintasan pikiran” yangmuncul dalam benak
kita selama rapat berlangsung.
Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya
hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam
syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar
lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah
menyedihkannya menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan
pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh. Tapi, seandainya pendapat
kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari
kita belajar tawadhu. Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada
kita mengatakan, “Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan
pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar.”
Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri,
apakah pendapat yang kita bela itu merupakan “kebenaran objektif” atau
sebenarnya ada “obsesi jiwa” tertentu di dalam diri kita, yang kita
sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk “ngotot”? Misalnya,
ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan.
Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai
kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah “obsesi jiwa” kita. Bukan
kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya
demikian.
Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti
memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt.
Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita
kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seadainya yang kita bela
adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala
bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela hal
yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., “Umatku tidak akan
pernah bersepakat atas suatu kesesatan.” Dengan begitu kita menjadi lega
dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.
Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar
dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah
atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan
kesatuan dan keutuhan shaff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih
penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi
memang lebih benar. Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada
jamaah yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah
bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam
peperangan. Jadi, seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu
jauh lebih baik daripada kita menang tapi kernudian bercerai berai.
Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman
kepada-Nya.
Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan
kesatuan dan keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan
mengurangi darnpak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi
tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang
mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu.
Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul
situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan
cara yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt.
sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya. Dengan
begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena hikmah
tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berialunya waktu. Dan,
alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di
sepanjang pengalaman dakwah kita.
Keempat, sesungguhnya dalam keddaksetujuan itu kita belajar tentang
begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak
terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang rnakna
ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati,
tentang cara rnenempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah,
tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat,
tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak
terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt
yang tidak terbatas, tentang makna tsiqoh kepada jamaah.
Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas
dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah
kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan
pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban
perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati
terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang
mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang
akan datang.
Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak ?
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..