Sebetulnya kami tidak
marah, hanya menyayangkan saja. Karena bagaimanapun, kami yang
notabene aktivis dakwah yang punya banyak amanah (bukannya sombong,
pen) ini, memerlukan penguatan untuk tetap dapat kuat menapaki jalan
kebenaran ini. Kami bukannya robot tak berhati yang setiap hari
dituntut untuk memperhatikan umat, mengurusi segudang kegiatan
dakwah, memikirkan perbaikan orang banyak, tanpa perlu perhatian.
Untuk itu kami memerlukan penguatan! Dan adanya halaqah itulah
yang kami harapkan dapat menjadi penguatan kami selama ini! Namun
bagaimana itu bisa terjadi, jika kondisi halaqah kami
sekarang tak lebih kegiatan pekanan yang isinya setor wajah dan
formalitas belaka. Kering! Tak ada greget-gregetnya. Evaluasi tak
ada; Motivasi untuk meningkatkan hafalan juga kurang ditekankan, atau
malah tidak berjalan; Murabbi dan
teman-teman juga sering kali datang terlambat, dan itu biasa!
Pelatihan amal tidak diterapkan; Penugasan juga jarang-jarang. Setiap
pekan begitu-begitu terus! Datang-duduk-dengarkan-pulang.
Apa hanya
itu halaqah yang
kami cari? Tidak! Kami inginkan halaqah yang
benar-benar memberikan ketenangan dan kenyamanan di hati kami. Namun
apa yang kami dapatkan? Rutinitas monoton yang membosankan, terlalu
banyak ketawa dan bercanda (apalagi yang kader-kader genit ngomongnya
cuma soal nikah melulu, pen), kontrol dan perhatian Murabbi yang
kurang, hingga kondisi terlalu stagnan selama
ini membuat kami berpikir kembali, apakah ini yang disebut halaqah?
Kami jadi ingat tentang
sejarah yang membawa kami pada tarbiyah. Di mana saat itu, kala masa
sekolah, sebelum mentoring di mulai, mentor kami menanyakan kabar
kami. Kalau di antara kami ada yang sakit, dirinya cekatan
mengusulkan untuk segera membesuk. Kalau ada yang pacaran, rona
wajahnya berubah pias, seolah begitu menyayangkan langkah kami yang
keliru tersebut. Lepas dari itu, tegur sapa yang menyenangkan tak
pernah lepas dari pribadinya, hingga kami berpikir, apakah dirinya
tidak lelah selalu menyungging senyum untuk kami? Terlebih ketika
berdoa, memperkenalkan doa rabithah, dirinya
begitu khusyuk, membuat hati kami merasa teduh dan larut karenanya.
Bahkan kami pun begitu
senang dibuatnya, hanya karena mentor kami kerap membawa makanan
kecil dan minuman untuk kami santap. Ah,
tahu saja dia kalau kami selalu lapar sepulang sekolah.
Hehe. Terlebih,
kalau di antara kami ada yang ulang tahun, dirinya paling bisa ambil
hati kami dengan kejutan-kejutan hadiah yang ia bawa. Hehe, lucu
sekali kalau ingat itu. Apalagi sekarang kami tahu, bahwa makanan,
minuman, dan hadiah yang ia berikan ternyata adalah taktiknya untuk
mengambil hati kami, agar semata kami tetap betah ikut mentoring. Ya,
boleh jadi itu taktik. Tapi tentang ketulusan dan kejujurannya, hati
kami dapat merasakan itu.
Maka itulah yang kami
butuhkan sekaligus rindukan pada halaqah kali
ini, yakni kenyamanan dan ketenangan yang kami rasakan. Orang-orang
bilang halaqah itu
lebih tinggi levelnya dari mentoring. Tapi kenapa yang levelnya lebih
tinggi ini malah berkurang soal keterikatan hatinya? Kami khawatir,
jika ini diteruskan, banyak di antara dari kami yang kecewa dan
akhirnya memutuskan untuk berhenti tarbiyah.
Kami
merindukan halaqah yang
memberi kesejukan. Betapa kami mengharapkan segala rasa ‘panas’
dan lelah yang menempel di tubuh kami akibat segudang aktivitas
dakwah kami selama ini, dapat segera luruh dengan teduhnya
nuansa halaqah yang
kami dambakan, sehingga selepas kami halaqah kami
membawa spirit baru
untuk berjuang kembali. Bukankah dulu kami diajarkan
bahwa halaqah adalah charger yang
membuat ‘baterai’ keimanan kami terisi kembali? Tapi apa nyatanya
sekarang? Bukannya dibuat tenang, tapi malah pusing melihat
kondisi halaqah
yang
semrawut. Boro-boro curhat
tentang masalah pribadi atau persoalan dakwah ke Murabbi,
hadir
dan tanya kabar para Mutarabbi saja
jarang. Bahkan, bilang terima kasih setelah diberikan hadiah saja
enggan! Tidak percaya? Ya, sekiranya itulah yang pernah kami rasakan.
Miris, bukan?
Kami heran, apa
jadinya Murabbi yang
tidak tahu minat dan bakat para binaannya? Jangankan itu, kesibukan
dan sifat-sifat menonjol para binaannya saja tidak tahu! Kalau
seperti ini, bagaimana gerak dakwah akan bagus? Tak perlu bicarakan
kemenangan dakwah yang besar kalau ngurusi halaqah saja
tidak becus! Apakah benar ini refleksi jika halaqah tidak
dibangun dengan sepenuh hati, alhasil kami pun menerimanya dengan
hati yang separuh? Entahlah…
Malu kami kalau ingat
sudah tua begini, tapi juz 30 saja belum hafal. Kami sadar, itu
memang harus dengan kemauan pribadi dan azzam yang kuat. Tapi kami
pun butuh disemangati dan dibimbing ketika kami lemah. Kami perlu
diarahkan ketika kami lupa. Kami butuh di-iqab
ketika
kami salah. Kami juga perlu diapresiasi (meski bukan materi, pen)
ketika dianggap baik. Menjadi aktivis dakwah bukan berarti menjadikan
kami tidak butuh perhatian itu semua. Kami pun malu kalau punya
kebiasaan terlambat sekarang ini. Tapi bagaimana lagi, Murabbi yang
seharusnya mencontohkan pun kerap datang terlambat tanpa alasan yang
tepat.
Di satu sisi, amanah
kami sebagai kader dakwah mengharuskan kami lebih ekstra
memperhatikan orang-orang di sekitar kami, baik itu sesama kader,
maupun yang bukan kader, untuk kami dakwahi. Tapi di lain sisi, kami
pun perlu didakwahi. Hati kami menangis, kala mengetahui kelemahan
kami sebagai manusia biasa ini yang juga perlu diperhatikan,
diberikan sentuhan lembut, dan juga dimengerti segala kelemahannya.
Kami bukan robot yang hanya dirusuh mengerti tanpa pernah dimengerti!
Kalau semua ingin dipahami, lalu siapa yang memahami kami? Hey, kami
ini juga manusia! Perlakukan kami sebagai manusia. Bukankah esensi
dakwah dan tarbiyah adalah memanusiakan manusia? Maka perhatikan
kami. Penuhi hak-hak kami. Minimal, hak halaqah kami
sebagai Mutarabbi. Hak
untuk didengarkan, diperhatikan, dikontrol, diarahkan, dan termasuk
hak untuk mendapatkan teladan yang baik dari mereka para Murabbi!
Sebut saja kami
melankolis atau terlalu cengeng dengan mengatakan ini. Toh, kami
yakin mereka yang mengejek kami seperti itu juga tak terlepas dari
kebutuhan untuk mendapatkan ketenangan dan kenyamanan ini. Mengapa
kami katakan begitu? Karena itulah yang kita butuhkan sebagai
manusia, khususnya seorang kader dakwah, yakni ketenangan dan
kenyamanan dalam halaqah!
Sedikit bukti,
orang-orang menikah bukanlah untuk dapat keturunan dan kekayaan.
Kalaupun dapat, itu hanya bonus saja! Sudah pasti yang pertama dicari
adalah ketenangan dan kenyamanan. Apa yang terjadi jika mereka tidak
mendapatkannya? Sudah pasti keluarga akan banyak cek-cok dan berakhir
tragis. Sekolah pun demikian, yang pertama dicari saat menentukan
sekolah bukanlah mata pelajarannya, tetapi sekolah mana yang membuat
kita nyaman dan senang. Karena kalau tidak nyaman dan senang,
jangankan ilmu bisa terserap, niat untuk masuk sekolah saja bisa
musnah! Seperti itu pula halaqah, bukan
materi yang kami cari, tapi perhatian para Murabbi. Tak
peduli bagaimana kapasitasnya, yang penting perhatian dan komitmennya
untuk membina saja sudah cukup. Itulah yang membuat kami
merasa betah. Karena itu yang kami butuhkan.
Bukti lain. Kali ini,
mari kita berpikir ekstrem. Pernahkah kita memikirkan secara mendalam
relevansi eksistensi halaqah selama
ini? Mungkin kita menjawab dari segi keilmuan, dari tidak tahu
menjadi tahu. Karena Islam ini membutuhkan kepemahaman dalam
pelaksanaannya. Lantas, kalau sudah tahu ilmunya dan ibarat kata
sudah jadi orang baik-baik dan faqih agama,
apakah perlu kita halaqah lagi? Sebagian
lagi mungkin menjawab bahwa halaqah tidak
hanya bermaksud mencetak orang-orang saleh, tetapi juga yang dapat
menyolehkan orang lain (berdakwah, pen). Oke, sekarang begini, kalau
kita sudah saleh, ibadah sudah tekun, ilmu agama sudah ‘ngelotok’,
dan aktif juga di berbagai kegiatan dakwah, apakah masih perlu
kita halaqah?
Coba
renungkan selama ini, dan gali jawaban yang begitu kongkret, sehingga
alasan kita halaqah
menjadi
kuat dan substantif! Kami yakin, segala kegersangan atau curhatan
para aktivis dakwah tentang proses tarbiyahnya tidak akan jauh dari
keluh kesah mereka tentang ketenangan dan kenyamanan! Pola pikir
mereka dibentuk sedemikian rupa untuk pandai berdakwah, tubuh mereka
ditempa untuk kuat beramal, tapi sangat disayangkan jika mereka
kurang disentuh hatinya dengan cinta dan kasih sayang.
Spirit
halaqah bukanlah
terletak di baramij-nya (susunan
acara), melainkan dari nuansa
ruhiyah yang
jarang kita rasakan selama ini. Ruhiyah itulah
yang membuat kita nyaman dan tenang. Kenyamanan dan ketenangan inilah
yang kita perlukan. Sekali lagi, kenyamanan dan ketenangan! Mari
simak penggalan hadits arba’in yang
ke-36 ini: “Tidaklah
suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab
Allah, dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun kepada
mereka ketenteraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah
akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di
sisi-Nya.” [HR.
Muslim]
Lihatlah, bukankah
hadits ini begitu akrab dengan situasi halaqah? Maka
ketika tidak ada ketenteraman, ketenangan, dan kenyamanan
dalam halaqah, maka
boleh jadi selama ini ada yang salah dengan proses halaqah kita,
dan itu perlu segera diperbaiki! Mungkin sekiranya inilah yang
menjadi koreksi kita, bahwa apabila seluruh pelaku tarbiyah
(halaqah, pen)
memahami makna tarbiyah dengan baik dan menjalankan hak dan
kewajibannya masing-masing, niscaya proses dan output tarbiyah
itu akan baik sebagaimana mestinya. Begitu pula
dengan Murabbi, kalaulah
mereka menjalankan peran dan fungsi mereka sebagai guru, orangtua,
pemimpin, dan sahabat dengan baik, niscaya impian dan target
capaian halaqah akan
tertunaikan dengan baik. Bahkan kami yakin, para binaan mereka akan
sangat bersedih jika ternyata harus ditransfer ke Murabbi
lain!
Ah, semoga yang kami
rasakan ini hanya potret minoritas belaka. Kami menyampaikan ini guna
sebagai muhasabah saat
kami membina, juga mereka yang saat ini sebagai pembina
(Murabbi, pen).
Semoga tercipta perbaikan dan kebaikan. Kami sangat menantikan saat
di mana para Mutarabbi dengan
senang menjalankan kewajibannya karena mendapatkan haknya, sementara
para Murabbi pun
dengan bahagia menuntut haknya karena telah melunasi kewajibannya.
Allahu a’lam…
—
Didedikasikan untuk
seorang sahabat yang sedang mencari penguatan.
sumber:
Dakwatuna.com
Catatan Kecil yahya
:
Apapun yang kau
rasakan kawan itulah bagian dari proses Tarbiyah, kelak ia akan
mengajarkanmu tentang keikhlasan dan pengorbanan yang kan nanti
mendewasakanmu.... Ingat kawan pesan Dr.
Syaikh Mustafa Masyur
" Tarbiyah bukanlah segala-galanya namun segalanya takkan
terwujud tanpa TARBIYAH "
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..