Bayangkan, Anda adalah seorang yang memiliki sebuah rumah lengkap dengan isinya. Rumah ini adalah rumah warisan dari orangtua Anda. Dan orang tua Anda juga mendapatkan rumah ini dari kakek dan nenek Anda. Dan begitu seterusnya. Dengan kata lain, rumah ini adalah rumah leluhur Anda sejak lama. Namun, suatu ketika, datang seseorang yang tidak Anda kenal mengklaim bahwa rumah tersebut adalah miliknya. Dia berdalih rumah tersebut adalah rumah yang dijanjikan untuknya pada zaman leluhurnya dulu. Alih-alih menunjukkan bukti kepemilikan, dia malah langsung mengusir Anda dari rumah Anda. Anda berang.
Anda ingin melawan. Karena Anda berhak untuk itu, namun apa daya, orang yang merebut rumah Anda ternyata memiliki senjata. Dan Anda hanya bermodalkan tangan kosong. Merasa Anda tidak mungkin menang, Anda kemudian menghubungi pihak yang berwajib. Namun, jangankan untuk menolong Anda, pihak yang berwajib malah mendukung orang yang merebut aset Anda satu-satunya itu dengan alasan orang tersebut adalah orang yang dirugikan dalam kasus ini. Rupanya, pihak yang berwajib dan orang yang merebut hunian Anda sudah terlebih dahulu kongkalikong di belakang.
Anda tidak menyerah, Anda menghubungi tetangga dan saudara Anda yang kenal. Namun, bak jauh panggang dari api, tetangga Anda hanya bisa bungkam, karena tetangga Anda rupanya sudah terlalu banyak berutang budi dengan pihak berwajib yang bersekongkol dengan sang penjahat. Begitu juga dengan saudara Anda. Mereka terlalu banyak memakan bantuan dari pihak yang berwajib itu. Alhasil, daripada mendukung Anda, tetangga dan saudara Anda memilih untuk menasihati Anda untuk berdamai dengan sang penjahat dengan sedikit kesepakatan bahwa sang penjahat memperoleh rumah beserta isinya dan Anda berhak atas halaman depan rumah Anda tanpa sedikit pun mendapat harta Anda, walau hanya perabotan. Jadilah Anda sekarang orang yang berjuang sendiri, semua pihak sekarang memandang Anda sebagai orang yang bersalah atas ini semua. Malah Anda diancam akan dipenjara jika Anda tidak merelakan harta Anda. Pertanyaan terbesar yang tersisa sekarang adalah, apa yang akan Anda lakukan?
Saudaraku, saat ini kita bersyukur bahwa kita bukan tokoh utama pada cerita di atas. Bersyukur karena kita tidak senaas itu. Namun, tampaknya kita akan lebih banyak memohon ampun pada Allah karena ternyata kita adalah saudara sang pemilik rumah tersebut. Ya, inilah gambaran nasib saudara kita di Palestina. Mereka diusir oleh sang ”penjahat” Israel. Dikecewakan oleh ”pihak berwajib” Amerika Serikat. Dikhianati oleh ”tetangga” negeri Arab. Dan ditusuk dari belakang oleh ”saudara” muslimnya. Bayangkan betapa banyak dari kita yang sudah termakan isu menyuruh saudara kita berdamai dan melepaskan tanah yang diwarisi turun temurun oleh orang tua mereka. Berapa banyak dari kita yang merasa bahwa sang Zionis israel punya hak atas setiap jengkal tanah di Palestina. Berapa banyak dari kita yang melihat sang ”tokoh utama” Hamas sebagai teroris karena memperjuangkan apa yang mereka punya.
Hari ini agenda besar kita hanyalah mengecam dan menggerutui tindakan genoside pada saudara kita di Gaza. Mungkin ini imbas dari terlalu lama kita hidup dari bantuan sang ”pihak berwajib”, tetapi bisa juga manifestasi dari ketidakberdayaan kita terhadap keadaan. Bahkan sebagian dari kita sering skeptis tentang seberapa besar manfaat yang kita bisa berikan lewat sumbangan-sumbangan yang beredar – walaupun jika mereka diajak berjihad ke sana mereka pasti menolak. Mereka berdalih, jangankan untuk membeli sebutir peluru, mungkin sumbangan kita hanya mampu membeli sepotong roti untuk saudara kita di sana.
Namun, jangan pernah remehkan arti sepotong roti. Mungkin sepotong roti tersebut hanya bisa menyambung hidup saudara kita di sana selama 1 x 24 jam. Namun kita tidak bisa membayangkan, berapa banyak lontaran batu yang bisa mengenai serdadu-serdadu israel yang dilempar oleh anak manusia yang kekuatannya berasal dari sepotong roti dalam 1x 24 jam tersebut. Atau, berapa ratus doa yang bisa keluar dari mulut orang yang hidupnya disokong oleh sepotong roti dalam 1x 24 jam. Sudah cukup bagi kita hanya sekadar menggerutui. Sudah cukup pula bagi kita untuk mencari-cari alasan guna menutupi ketakutan kita. Mungkin saatnya kita harus malu pada rakyat Palestina yang masih mengirim bantuan pada kita pada tsunami 4 tahun yang lalu meski mereka dalam keadaan perang. Mungkin ini saatnya kita harus berhenti hanya sebatas kesal pada keadaan. Mungkin ini saatnya berbuat walau hanya dengan doa dan sepotong roti!
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..