Oleh : Farid Nu’man Hasan
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Wr.Wb. Pak ust, saya pernah baca dalam Siyasah Syar’iyah (politik yang berlandaskan syariat), bahwa yang layak terjun ke dalam dunia politik dan menjadi umara (para pemimpin) adalah para ulama, bukan orang yang awam tehadap agama? (dari 081345228xxx)
Jawab:
Wa ‘Alaikum Salam Wr Wb. Bismillahirrahmanirahim.
Ya, seharusnya demikian. Dalam urusan politik dan manajemen
kenegaraan harusnya diserahkan kepada ahli ilmu (ulama) sebagaimana pada
awal-awal Islam. Dahulu, para Khalufa’ur Rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali), selain seorang pemimpin mereka juga adalah ulama di
kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Umar bin Abdul Aziz, seorang mujtahid, dan pembaharu abad pertama dalam Islam. Dia juga seorang khalifah.
Namun, zaman telah berubah, ketika semangat keberagamaan melemah, otomatis politik yang diterapkan saat ini bukanlah siyasah syar’iyah (politik yang sesuai syariat). Melainkan politik kepentingan, politik Machiavelli yang tubarritul washilah (menghalalkan segala cara) untuk melanggengkan kekuasaan.
Para politisi zaman ini umumnya bukanlah orang yang faham agama, baik pokok dan cabangnya. Mereka umumnya adalah para Ar Ruwaibidhah yang diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ
خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ
وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ
فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ
التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi waSallam bersabda:
“Akan
datang kepada manusia tahun-tahun penuh kedustaan, saat itu pendusta
dipercaya, sementara orang jujur malah didustakan, saat itu para
pengkhianat diberi amanah, sedangkan orang yang menjaga amanah justru
dikhianati , dan saat itu para Ar Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya:
“Apakah Ar Ruwaibidhah itu?” Rasulullah menjawab:
“Seseorang yang bodoh tapi sok mengurus urusan orang banyak.”[1]
Justru anehnya, ketika ulama ingin terjun dalam dunia politik,
-selain memang politik adalah salah satu sisi yang diatur oleh Islam-,
mereka ingin mencoba menerapkan moralitas politik berbasiskan syariat.
Namun, justru mereka dicela, dituduh menjual agama, meninggalkan
‘kandang’ (maksudnya harusnya mereka mengurus permasalahan pesantren
saja). Padahal dibalik celaan itu, orang-orang itu takut kalau-kalau
kezaliman mereka dibongkar oleh para ulama. Namun demikian, politik saat
ini merupakan ranah yang amat berbahaya buat orang shalih dan alim.
Mereka bisa berubah lantaran godaan dunia yang sangat terbuka ketika
masuk ke gelanggang politik. Ini juga barangkali kekhawatiran sebagian
orang jika ulama masuk ke dunia yang penuh getah seperti politik.
Dalam institusi Daulah Islamiyah yang establish, ada yang dinamakan Ahlul Halli wal Aqdi
(semacam parlemen). Orang-orang yang layak mendudukinya adalah harus
alim, ahli ijtihad, taqwa, dan berwibawa. Demikianlah karakter ahlusy syura
yang dipilih oleh Khalifah Umar pada akhir masa jabatannya. Artinya,
keulamaan seseorang sangat menentukan layak tidaknya dia dimasukkan ke
dalamnya.
Apa Kata Al Quran?
Allah Ta’ala berfirman:“Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan ulil Amri di antara kalian..” (QS. An Nisa (4): 59)
Siapakah Ulil Amri yang dimaksud oleh ayat ini? Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan: “Berkata Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas: “Dan Ulil Amri di antara kalian” artinya ahli fiqih dan agama. Begitu pula menurut Mujahid, Atha’, Hasan Al Bashri, dan Abu al ‘Aliyah: “Dan Ulil Amri di antara kalian” artinya ulama.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/345. Darun Nasyr wat Tauzi’)
Sedangkan Imam Ibnu Katsir sendiri mengartikan ulil amri adalah umara (para pemimpin) dan ulama. Berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim berikut:
من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصا الله، ومن أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصا أميري فقد عصانى
“Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia telah taat kepada Allah,
barangsiapa yang membangkang kepadaku maka dia telah membangkang kepada
Allah, barangsiapa yang mentaati amir (pemimpin)ku, maka dia taat
kepadaku, dan barangsiapa yang membangkang kepada pemimpinku maka dia
telah membangkang kepadaku.”
Demikianlah makna ulil amri. Para ulama salaf mengartikan ulama, ahli
agama, dan ahi fiqih. Merekalah yang dahulu memainkan peran dalam
sistem perpolitikan Islam pada masa’masa awal.
Apa kata hadits?
Dalam berbagai artikel sudah kami sampaikan bahwa politk adalah warisan kenabian. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاء
“Adalah Bani Israel bahwa mereka disiyasahkan (diatur, dipimpin, diperintah) oleh para nabi.” (HR. Bukhari No. 3268 dan Muslim No.1842)
Jadi politik (siyasah) adalah warisan kenabian, karena dahulu para
nabi telah mensiyasahkan Bani Israil. Bukan orang awam yang mengatur dan
memerintahkan mereka, tetapi para nabi ‘Alaihim As Shalatu was Salam. Maka, para ulama sebagai warasatul anbiya,
sebenarnya lebih layak berpolitik. Tetapi, kondisi saat ini adalah
kondisi penuh fitnah, sekulerisme yang lebih kuat, kondisi di mana umat
Islam tidak lagi percaya dengan ulama, suka meledek ulama. Mereka baru
bertanya kepada ulama ketika ada urusan wanita haid, nifas, dan
penentuan awal ramadhan dan akhirnya. Tetapi urusan kenegaraan, urusan
politik, urusan hukum, urusan hudud, urusan hubungan antara negara, dan
urusan besar lainnya. Ulama ? No Way!!
Ada juga kelompok yang mengaku pejuang da’wah Islam yang amat
antipati pada politik. Anehnya meraka merasa sangat ‘Islami’ dengan
sikapnya itu, padahal sikap tersebut berawal dari pemahaman yang kurang
utuh dan kajian yang kurang mendalam terhadap agama.
Dalam Islam, ahli agama bukanlah rohaniawan yang hanya mengurus
rohani, itulah ruhbaniyah, itulah nasrani. Dalam Islam, sebagai agama
yang syumul (lengkap), ahli agama adalah mengatur banyak hal aspek
kehidupan umatnya, oleh karena itu dia disebut ‘ulama.’ Bukan
rohaniawan.
Wallahu A’lam
[1] (HR. Ibnu Majah No. 4038, dan lafal hadits ini adalah berdasarkan riwayat Ibnu Majah. Ahmad No. 7571. Ath Thabarani,
Mu’jam Al Kabir, No. 14550. Abu Ya’la No. 3615. Al Hakim,
Mustadrak ‘Alas Shahihain No. 8439. Katanya:
Shahih sanadnya, tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya jayyid. (
Fathul Bari, 13/84). Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani hadits ini shahih. Lihat
As Silsilah Ash Shahihah No. 1887, juga
Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 4038)