 
  Para pelanggannya sangat 
menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah
 lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus 
membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang 
menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat 
bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang
 ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan 
keringatbercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Para pelanggannya sangat 
menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah
 lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus 
membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang 
menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat 
bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang
 ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan 
keringatbercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Bai Fang Li tinggal disebuah 
gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, 
bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung 
lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara 
harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah 
tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia 
biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak. 
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan 
tubuhnya beristirahat, di ruang itu juga ia menerima tamu yang butuh 
bantuannya, di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi 
beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah 
bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel dan ada sebuah tempat 
minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok 
minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di 
gubuk tua itu bila malam telah menjelang.
Bai
 Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia 
seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara 
sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang 
yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. 
Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan 
itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari penghasilan yang 
diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu 
untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan 
membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang 
hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena 
telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil 
penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang 
biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin 
di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui 
sekolah yang ada.
Ceritanya dimulai saat hatinya sangat 
tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar 
seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia 
sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang
 seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan 
menggendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat 
melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar 
dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh 
ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, 
mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya 
hari itu. Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong 
ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia 
lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu
 menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan
 memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu 
makanan dari surga. Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri 
anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia 
heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang 
yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk 
sekedar membeli makanan sederhana.
 
“Uang yang saya dapat untuk 
makan adik-adik saya” jawab anak itu. “Orang tuamu di mana?” tanya Bai 
Fang Li. “Saya tidak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan 
lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. 
Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang
 masih kecil” sahut anak itu. Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya 
melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li 
semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus 
berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan
 sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping. Bai Fang Li 
tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu yang tidak terlalu 
perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya 
itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat 
parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri
 dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga 
anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di 
Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia 
setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu 
anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang 
layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak. Sejak saat 
itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai 
jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk 
mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa 
gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan 
sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya
 ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat 
kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali 
melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. 
Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian 
rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan 
sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang 
berbeda warna. Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari 
setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah cuaca 
dingin atau dalam panas matahari yang sangat menyengat tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, 
yang pentingg biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak
 dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya 
bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar 
untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri. Hari demi hari, 
bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang
 Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya 
pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia 
mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu 
rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan 
menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li berkata “Saya sudah 
tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini 
mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan” katanya dengan sendu. 
Semua guru di sekolah itu menangis.
spicaku.blogspot.com
 


 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..