Sebelumnya, kita telah membahas tentang 
Prinsip Dasar Demokrasi yang bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Islam,
 sehingga menjadikan sistem demokrasi ini haram dalam pandangan Islam. 
Selanjutnya kini kita akan membahas mengenai perbedaan antara sistem 
syura’ (musyawarah) yang dimiliki Islam dengan sistem demokrasi yang 
berasal dari Yunani. Berikut ini penjelasan yang dipaparkan oleh Ustadz 
Muhammad Nur Ichwan Muslim, mengenai syura’ dan demokrasi:
Definisi Syura’’ (Musyawarah)
Menurut bahasa, syura’ memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu (Mu’jam Maqayis Al Lughah 3/226).
Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan 
definisi syura’, diantara mereka adalah Ar Raghib Al Ashfahani yang 
mendefinisikan syura’ sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling
 merevisi antara peserta syura’ (Al Mufradat fi Gharib Al Quran hlm. 207).
Ibnu Al Arabi Al Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk 
meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura’ saling
 mengeluarkan pendapat yang dimiliki (Ahkam Al Quran 1/297).
Sedangkan definisi syura’ yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer
 diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu 
permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran (Asy Syura’ fi Zhilli Nizhami Al Hukm Al Islami hlm. 14).
Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura’ sebagai proses
 memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi 
argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli
 yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan 
terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat 
terealisasikan (Asy Syura’ fi Al Kitab wa as-Sunnah hlm. 13).
Pensyari’atan Syura’ dalam Islam
Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di 
dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya (HR. Muslim : 1480).
Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat Al Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman, “Apabila
 keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya 
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu 
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu 
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu 
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu 
kerjakan“. (Al Baqarah : 233).
Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya),
 ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan 
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah 
apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua 
tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi 
bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka 
tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari
 hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah
 satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu 
dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah 
dengan yang lain (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 1/635).
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
 Al Quran telah menceritakan bahwa syura’ telah dilakukan oleh kaum 
terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu 
Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang 
dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi
 menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.
Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,“Maka
 disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap 
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah 
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka,
 mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
 urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka 
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang 
yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali ‘Imran : 159).
Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura’ ayat 38, Allah Ta’ala berfirman, “Dan
 (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan 
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat 
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami 
berikan kepada mereka”. (Asy Syura’ : 36-39).
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”
 adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling 
bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan 
pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 7/211).
Seluruh ayat Al Quran di atas menyatakan bahwasanya syura’ 
(musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama 
menyatakan bahwa syura’ adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin 
dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, 
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah 
untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh 
orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka 
dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik 
permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan 
selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa 
sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” (As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126).
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan 
betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk 
senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan 
terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.
Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.
Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah 
bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima 
pendapat Al Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan 
lawan.
Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, 
apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah
 menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat 
menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun 
menyetujuinya.
Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits Al ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Demikianlan, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya baik dalam masalah perang maupun yang lain.
Urgensi dan Faedah Syura’
Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura’ merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan ketentuan hukum dalam Islam” (Al Muharrar Al Wajiz).
 Apa yang dikatakan oleh beliau mengenai syura’ benar adanya karena 
Allah ta’ala telah menjadikan syura’ sebagai suatu kewajiban bagi 
hamba-Nya dalam mencari solusi berbagai persoalan yang membutuhkan 
kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain itu, Allah pun telah 
menjadikan syura’ sebagai salah satu nama surat dalam Al Quran Al Karim.
 Kedua hal ini cukup untuk menunjukkan betapa syura’ memiliki kedudukan 
yang penting dalam agama ini.
Amir Al Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah 
menerangkan manfaat dari syura’. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan 
syura’, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang 
brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari 
kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) (Al Aqd Al Farid hlm. 43).
Urgensi dan faedah syura’ banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-Razy dalam Mafatih Al Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura’ memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut :
- Musyawarah yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan 
para sahabatnya menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) 
dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau dan 
kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau tidak mengajak mereka 
bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada 
mereka.
- Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak 
seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh 
waliy Al amr (penguasa). Al Hasan pernah mengatakan, “Setiap kaum 
yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan 
keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” (Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149).
- Al Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi 
diperintahkan untuk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang 
lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya”
- Syura’ memberitahukan kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa 
sallam dan juga para penguasa setelah beliau mengenai kadar akal dan 
pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk mengetahui 
seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. 
Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan.
12 Perbedaan antara Syura’ dan Demokrasi
Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha untuk 
memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura’ dan demokrasi mengingat 
beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi antara
 keduanya tidaklah tepat mengingat syura’ berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi)
 sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam 
dan merupakan bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham 
as-Siyasah Al Islamiyah). Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan 
hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, 
dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan 
pendapat (Syura’ bukan Demokrasi karya M. Shiddiq Al Jawi). Dengan 
demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara system 
pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.
Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu 
landasannya adalah syura’ dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam 
poin-poin berikut :
a.        Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat 
didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah 
tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan 
kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu 
terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras dan bahasa (Mabadi Nizham Al Hukm fi Al Islam hlm. 489).
Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan 
apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam 
tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, 
umat dalam Islam memiliki definisi yang lebih luas karena akidah 
islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim 
tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski 
kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan 
wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam pandangan 
Islam (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).
b.        Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan 
berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa 
dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah 
memperhatikan aspek ruhiyah.
Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan 
faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, 
bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem 
Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan 
kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di
 belakangnya (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).
c.         Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. 
Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan 
masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat 
dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan 
dan tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada 
hukum Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan 
menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai 
dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam Al Quran dan lisan 
nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam permasalahan
 ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik
 yang sesuai dengan syari’at (An Nazhariyaat as-Siyaasiyah Al Islamiyah hlm. 338).
d.        Kewenangan majelis syura’ dalam Islam terikat dengan 
nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura’ 
terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau 
permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki
 beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas 
dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura’ tidak lagi diperlukan.
 Syura’ hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan 
nash-nash syari’at.
Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu 
permasalahan tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara 
jelas dan berada pada hukum mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang 
sama antara melakukan atau tidak. Adapun permasalahan yang hukumnya 
telah diketahui, maka tidak memerlukan musyawarah (Fath Al Baari 3/3291).
Adapun dalam demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar 
undang-undang mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang 
tersebut rentan akan perubahan (Asy Syura’ wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).
e.        Syura’ yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dengan 
nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, 
nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai 
perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai 
tersebutlah yang akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan 
tujuan umat.
Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang 
relatif/nisbi karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan
 yang diinginkan oleh mayoritas (Asy Syura’ wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).
f.          Demokrasi memiliki kaitan erat dengan eksistensi 
partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran Islam
 karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.
g.        Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i 
yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh majelis syura’. 
Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.
Adapun demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. 
Justru aturan-aturan yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa 
berevolusi dan menghantarkan pada tercapainya hukum yang mengandung 
kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan hukum mayoritas (Fiqh asy-Syura’ wal Al Istisyarah hlm. 12).
h.        Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki kekuasaan 
tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum mayoritas, suara 
mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum dalam 
menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura’, rakyat 
tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin
 kaum muslimin (Asy Syura’ la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32).
i.          Syura’ bertujuan untuk menghasilkan solusi yang selaras 
dengan Al haq meski bertentangan dengan suara mayoritas, sedangkan 
demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan 
perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran (Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32).
j.          Kriteria ahli syura’ sangatlah berbeda dengan kriteria 
para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem demokrasi. Al
 Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura’, beliau mengatakan, 
“Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens 
terhadap agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh 
kebaikan; Ketiga, memiliki karakter senang member nasehat dan penyayang,
 tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; 
Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan 
yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki tendensi pribadi dan 
dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang menjadi 
topik musyawarah (Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah fi I’dad Al ‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats Al Umam hlm. 33).
Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi 
yang sama dalam mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik 
(pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad 
Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak lagi 
membutuhkan dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa 
sallam telah memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau 
untuk bermusyawarah dengan mereka yang terkenal akan keshalihannya, 
menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, 
menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya, “Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” (HR. Muslim: 974).
Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi
 agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan 
diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka yang beranggapan bahwa 
mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang 
menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam (‘Umdat at-Tafsir 1/383-384).
k.         Ahli syura’ mengedepankan musyawarah dan nasehat kepada 
pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan yang 
diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin. 
Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura’ bergantung
 pada maslahat yang dipandangnya (Al ‘Umdah fi I’dad Al ‘Uddah 112).
Sedangkan dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin
 wajib menaati dan parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin 
dan menghalangi orang yang kredibel dari pemerintahan.
l.          Apabila terdapat nash syar’i dari Al Quran dan hadits, 
maka ahli syura’ wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan pendapat
 yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat 
minoritas ataupun mayoritas.
Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal 
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan orang-orang 
berilmu yang amanah dalam permasalahan yang mubah agar mampu menemukan 
solusi yang termudah. Apabila Al Quran dan hadits telah jelas 
menerangkan suatu permasalahan, maka mereka tidak berpaling kepada 
selainnya dalam rangka mengikuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu
 Bakr telah berpandangan untuk memerangi kaum yang menolak membayar 
zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda memerangi mereka 
padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku 
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa 
ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta 
mereka telah terjaga kecuali dengan alasan yang hak dan kelak 
perhitungannya di sisi Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi 
Allah, saya akan memerangi orang yang memisah-misahkan sesuatu yang 
justru digabungkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 
Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.
Abu Bakr tidak lagi butuh pada musyawarah dalam permasalahan di atas,
 karena beliau telah mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka 
yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat serta berkeinginan 
merubah aturan dan hukum dalam agama (Shahih Al Bukhari 9/112; 
Asy-Syamilah).
Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas Al Laadiniyah/al-’Ilmaniyah
 (ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai 
ajaran prinsipil dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan 
berbagai hukum yang tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah 
ta’ala.
Kesimpulannya adalah tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem 
yang dibentuk dan diridhai Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah 
sistem dari manusia yang datang untuk menutup kekurangan, namun masih 
mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai permasalahan, namun 
dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Gharbiyyah hlm. 32).
Meskipun ada persamaan antara syura’ dan demokrasi sebagaimana yang 
dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat
 substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura’ adalah 
sebuah metode yang berasal dari Rabb al basyar (Rabb manusia), 
yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia 
yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.Wallahu Al Muwaffiq.
Dalam pembahasan selanjutnya, kita akan membahas hukum berpartisipasi dalam sistem pemerintahan non Islami.