Sudah menjadi kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa setelah perang usai, beliau muqim
dulu selama tiga hari untuk membereskan semua urusan, baru setelah itu
beliau dan pasukannya pulang. Tapi sebelum beliau dan para sahabat
pulang ternyata timbul masalah terkait pembagian ghanimah
(harta rampasan perang). Hal yang menjadi masalah adalah masing-masing
kelompok merasa paling berhak untuk mendapatkan sebagian besar ghanimah karena merasa paling berjasa dalam kontribusi memenangkan peperangan. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok yang pertama ialah para sahabat
yang bertugas sebagai pasukan garda depan dalam mengusir musuh. Mereka
merasa paling berjasa karena mereka berhasil memecundangi dan mengusir
musuh sehingga kalah dan lari tunggang langgang dari medan peperangan.
Kemudian kelompok kedua adalah pasukan yang berada di posisi tengah.
Mereka merasa bahwa merekalah yang paling berjasa mengumpulkan sekian
banyak ghonimah yang ditinggalkan oleh pasukan kafir Quraisy.
Terakhir adalah kelompok ketiga, mereka ialah pasukan yang ditugaskan
khusus untuk menjaga keselamatan Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Kelompok ini merasa merekalah yang paling berjasa karena telah berhasil menjaga Nabi shollallahu’alaihiwasallam dari serangan musuh. Oleh karenanya merekalah yang paling berhak mendapatkan pembagian ghanimah yang paling banyak.
Ibnu Katsir menyatakan keadaan sahabat
saat itu adalah tidak menggambarkan sebuah perilaku akhlaq yang terpuji.
Saling berebut dan tidak saling menghormati antara satu dengan lainnya.
Kita pahami, peristiwa ini terjadi di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
baik yang muhajirin maupun yang anshor. Kita pun telah tahu bagaimana
besarnya pengorbanan para sahabat muhajirin dan anshor. Namun mereka
juga manusia biasa dan ketika diuji dengan adanya ghonimah,
mereka juga bisa melakukan kekhilafan. Cukuplah ini menjadi pengingat
dan nasihat bagi kita bahwa harta dan segala gemerlapnya dunia dapat
menyilaukan siapapun tanpa terkecuali. Hal ini juga bisa menimpa pada
generasi dakwah selanjutnya, termasuk kita. Jika para sahabat saja yang
dibimbing langsung oleh Nabi masih mungkin tertipu oleh fitnah dunia,
bagaimana dengan kita? Maka tak ada alasan bagi kita untuk
bermalas-malasan dalam menuntut ilmu agama.
Tak hanya sampai di situ, setelah Perang Badar selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk menghitung berapa sahabat yang syahid dan berapa
musuh yang tewas. Dari kalangan kaum muslimin yang syahid ada 14
sahabat, sedangkan dari kalangan musuh, yang tewas sebanyak 70 orang.
Lalu ditambah yang ditawan dari kalangan orang kafir ada sebanyak 70
orang tawanan. Kemudian timbul persoalan, 70 orang tawanan perang ini
mau diapakan?
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
pun bermusyawarah dan meminta pendapat para sahabat. Nabi meminta
pendapat sahabat Abu Bakar r.a. dan sahabat Abu Bakar memberikan
pendapat: “mereka ini sepupu-sepupu kita, saudara-saudara kita dan
keluarga-keluarga kita. Sebaiknya mereka dibebaskan dengan tebusan.
Bukan semata-mata karena kasihan pada mereka, tapi karena kita ingin
mempunyai uang. Dana yang diperoleh bisa memperkuat pasukan kita,
membeli senjata sehingga kaum muslimin menjadi lebih kuat lalu kita
doakan mereka para tawanan agar memperoleh hidayah dan masuk islam”. Demikian pendapat Abu Bakar.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Umar bin Khattab r.a. Maka Umar berpendapat : “Demi Allah pendapatku tidaklah sama dengan pendapat Abu Bakar.” Umar meminta pada Nabi
“Ya Rasul, berikan mandat kepadaku untuk membunuh mereka, dan beri
mandat kepada Ali untuk membunuh Aqil (saudaranya sendiri), supaya
orang-orang musyrik itu jera dan tidak menuntut dan memerangi kita lagi.” Demikianlah pendapat Umar.
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
kala itu lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakar, dan pendapat itu
pun akhirnya dilaksanakan. Tawanan yang kaya membayar sekitar ribuan
dinar, tawanan miskin diwajibkan mengajar anak-anak muslim membaca dan
menulis. Akan tetapi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan pendapat Abu Bakar ini, keesokan harinya, ketika Umar r.a bertamu ke rumah Nabi, beliau menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabat Abu Bakar r.a dalam keadaan menangis.
Sahabat Umar pun kaget dan bertanya, “Kenapa anda berdua menangis?” Sahabat Umar pun terus bertanya kenapa mereka berdua menangis. Nabi shollallahu’alaihiwasallam
menjawab yang intinya adalah bahwa baru saja turun ayat Al Quran dalam
surat Al Anfal terkait tawanan perang. Dan di dalam ayat itu diterangkan
bahwa Allah membenarkan sikap dan pendapat Umar r.a. Diterangkan
seperti itu, semakin keraslah tangisan Umar. Tapi sahabat Umar ini tidak
merasa sedikitpun dirinya hebat meski pendapatnya dibenarkan wahyu
Ilahi. Karena keputusan telah diambil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin umat, dan sahabat Umar r.a sami’na wa atho’na.
Begitulah sikap seorang kader dakwah
seharusnya. Tak perlu merasa berjasa atas apa capaian yang kita raih.
Janganlah pernah berkata, “seandainya bukan karena aku maka agenda dakwah ini tidak akan sukses”. Sesungguhnya
kita ini hanyalah manusia, seberapa pun besar usaha kita, Allah lah
yang akan menentukan hasil akhirnya. Maka dari itu janganlah merasa ujub (bangga diri) atas ide-ide kita dalam dakwah. Jadilah hamba yang tawadhu’ yang senantiasa mengharap ridho Allah semata.
Kemudian, berita tentang perang badar sampai juga ke kota Madinah, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dan pasukan sahabat belum pulang kembali ke kota Madinah. Di Perang
Badar ini Nabi mengizinkan sahabat Ustman bin Affan r.a (menantu Nabi)
tidak ikut berperang karena sedang menunggui istrinya Ruqoyyah (putri
Nabi) yang sedang sakit keras. Usai perang, tercatat jumlah pasukan
kafir Quraisy yang terbunuh dalam peperangan cukup banyak dibandingkan
dengan pasukan kaum muslimin yang syahid. Pun dengan jumlah ghonimah yang didapatkan sangatlah luar biasa banyaknya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
kembali pulang ke Madinah bersamaan dengan selesainya prosesi pemakaman
Ruqoyyah, putri Nabi sekaligus istri Ustman r.a. Nabi tidak sempat ikut
memandikan, mensholatkan, dan menguburkan putri tercintanya ini.
Maka dari kisah ini kita belajar tentang dua keadaan, di satu sisi Madinah berduka karena meninggalnya putri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, namun di sisi lain Madinah bergembira karena berhasil mengalahkan pasukan kafir Quraisy Mekkah dan membawa ghonimah
yang cukup banyak. Maka sesungguhnya tidak ada kondisi 100% kegembiraan
hanya karena kemenangan ataupun 100% kesedihan karena sebuah musibah.
Semua keadaan pasti ada kebaikan yang harus di hayati dan dirasakan
dengan baik agar selalu menjadi hikmah dan inspirasi untuk
perjuangan-perjuangan berikutnya. Cukup tegakkan pandangan, hadap
tantangan hidup ke depan, dan carilah ridho Allah, niscaya hidup kita
tentram.
~Inspirasi Rabbani~
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..