Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!
oleh: M Anis Matta
 Fajar belum menyingsing ketika itu. Tiga orang laki-laki melangkah 
gagah menggapai takdir mereka. Senyum mereka lepas. Sorot mata mereka 
teduh, ada keyakinan dan kerinduan yang menggelora di sana. Mereka baru 
saja akan memulai sebuah kehidupan baru, kehidupan dari kehidupan yang 
sesungguhnya, hidupnya hidup; kehidupan akhirat sedetik setelah tiang 
gantungan menutup nafas mereka.
 Sayyid Quthb, Yusuf Hawwas dan 
Abdul Fattah Ismail. Merekalah ketiga pahlawan itu, yang mengakhiri 
hidup di tiang gantungan, menjelang fajar hari Senin tanggal 29 Agustus 
1966. Sebuah buku kehidupan telah berakhir dalam riwayat kefanaan dunia,
 tapi sebuah buku kehormatan telah dimulai dalam riwayat keabadian 
akhirat. Sebuah skenario kebatilan telah dirampungkan dengan sempurna, 
tapi sebuah skenario kepahlawanan baru saja dimulai dengan indahnya.
 Itu peristiwa besar dalam sejarah harakah Islam yang kita catat dengan 
penuh kebanggaan, dan akan tetap kita kenang dengan penuh kebanggaan. 
Sebab darah para syuhada itulah yang sesungguhnya mengalirkan energi 
dalam tubuh harakah Islam, yang membuatnya sanggup bertahan di tengah 
berbagai macam cobaan dan penderitaan panjang yang menimpanya.
 
Lelaki yang menggantung Sayyid Quthb bersama kedua rekannya itu adalah 
Jamal Abdul Nasser. Lelaki yang disebut terakhir ini naik ke panggung 
kekuasaan Mesir setelah sukses melakukan kudeta militer pada 23 Juli 
1952. Kudeta militer yang kemudian dikenal dengan Revolusi Juli itu 
dirancang melalui kerjasama antara militer dengan Ikhwanul Muslimin. 
Nasser sendiri, disamping merupakan perwira tinggi militer, juga 
merupakan seorang kader inti Ikhwan. Selama masa perencanaan dan 
pematangan revolusi, rumah Sayyid Quthb, yang juga dikenal sebagai 
pemikir kedua Ikhwan setelah Hasan Al-Banna, merupakan salah satu pusat 
pertemuan terpenting para tokoh perancang revolusi tersebut.
 
Dalam segala hal Sayyid Quthb adalah senior. Itu sebabnya Nasser selalu 
memanggilnya dengan sebutan "abang". Setelah menjadi presiden, Nasser 
bahkan menawarkan jabatan apa pun yang diinginkan Sayyid Quthub. Tapi 14
 tahun kemudian, Nasser pulalah yang menggantung seniornya, abangnya.
 Pelajaran besar
 Dalam sejarah pergerakan Islam, ada sebuah fakta yang terulang 
berkali-kali, bahwa sebagian besar musibah yang menimpa da'wah dan 
harakah selalu datang dari dalam harakah itu sendiri. Untuk sebagiannya,
 musibah itu datang dari shaf yang terlalu longgar, yang kemudian 
tersusupi dengan mudah.
 Jangan pernah menyalahkan musuh jika 
mereka berhasil menyusupi shaf kita. Sebab penyusupan adalah pekerjaan 
yang wajar yang akan selalu dilakukan musuh. Kita juga akan selalu 
melakukan hal yang sama. Seperti dulu, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi 
wa sallam telah melahirkan banyak tokoh intelijen yang dikenal dengan 
keahlian menyusup. Misalnya Huzaifah Ibnul Yaman dan Amru Bin 'Ash. Tapi
 kalau sekarang malah shaf kita sendiri yang mengalami kebobolan. 
Tampaknya kita perlu belajar kembali.
 Apakah shaf Rasulullah Saw 
sendiri tidak pernah disusupi? Dalam sebuah perang, penyusupan adalah 
keahlian inti tim intelijen. Orang-orang Yahudi dan munafiqin 
berkali-kali mencoba melakukan penyusupan ke dalam shaf Rasulullah. Tapi
 tidak pernah berhasil.
 Begitu harakah Islam mulai membuka diri 
dengan masyarakat luas, masyarakat yang heterogen, maka mereka akan 
berhadapan dengan persoalan kontrol organisasi. Pengetatan dan 
pelonggaran berakar pada konsep harakah sendiri tentang mekanisme 
kontrol internalnya.
 Keterbukaan adalah asas da'wah. Semua 
manusia mempunyai hak untuk dida'wahi, sama seperti mereka berhak juga 
untuk ikut berpartisipasi dalam da'wah. Jadi gerakan bawah tanah 
haruslah dianggap sebagai sebuah pengecualian, yang ditentukan oleh 
tuntutan kondisi lingkungan strategis da'wah.
 Tapi di sinilah 
letak masalahnya; keterbukaan adalah tuntutan da'wah, tapi keterbukaan 
juga bisa membawa masalah. Salah satunya adalah penyusupan itu; terlalu 
ketat akan menutup ruang partisipasi dan rekrutmen, terlalu longgar akan
 membuka peluang penyusupan. Jadi pertanyaannya adalah bagaimana 
membangun sebuah organisasi da'wah yang terbuka, tapi tetap rapi dan 
terkontrol?
 Sistem kontrol
 Apakah yang harus kita kontrol 
dalam organisasi da'wah kita? Jawabannya adalah gagasan dan orang. 
Gagasan perlu dikontrol karena manhaj da'wah kita mengalami proses 
interaksi yang dinamis dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam 
organisasi dan pada lingkungan strategis. Prinsip-prinsip da'wah yang 
bersifat fundamental dan permanen, atau yang biasa disebut dengan 
tsawabit, dengan pikiran-pikiran yang bersifat variabel, atau yang biasa
 disebut dengan mutaghayyirat, mengalami proses-proses pengujian dan 
pembuktian yang rumit dan kompleks.
 Benturan-benturan yang 
berkesinambungan dengan realitas melahirkan dinamika dalam pemikiran 
yang menjadi sumber kekayaan harakah. Tapi dinamika itu jugalah yang 
harus dikontrol. Kontrol bukanlah merupakan upaya penjegalan atas 
munculnya gagasan-gagasan baru. Kontrol dilakukan untuk memastikan bahwa
 proses kreativitas dan pengembangan pemikiran dalam da'wah berlangsung 
dengan panduan metodologi yang benar. Keluaran (output) yang kita 
harapkan adalah munculnya gagasan baru yang menjadi sumber kekayaan 
pemikiran yang mendinamisasi da'wah.
 Ambillah contoh bagaimana, 
misalnya, gagasan tentang penggunaan kekerasan telah mendorong banyak 
harakah Islam terjebak dalam konflik berkepanjangan dengan penguasa dan 
masyarakat. Kekerasan bagi mereka adalah cara kilat untuk mengubah 
masyarakat atau melawan kemungkaran. Apakah munculnya gagasan itu 
merupakan proses dinamika pemikiran yang murni dari dalam atau ada 
kekuatan lain yang 'mewahyukan' pemikiran itu kepada harakah karena 
mereka memang menginginkan harakah berpikir dan bertindak begitu?
 Kontrol atas orang dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada penyusup 
dalam organisasi da'wah. Hubungan personal dalam da'wah dilakukan atas 
dasar kepercayaan atau tsiqah; kepercayaan kepada aqidah, niat, fikrah, 
akhlak. Tapi kepercayaan itu bersifat subjektif, sedangkan manusia juga 
mengalami perubahan-perubahan besar di dalam dirinya. 
Perubahan-perubahan itulah yang perlu kita kontrol; dari saat seseorang 
menjadi objek da'wah, kemudian bergabung dengan da'wah hingga saat 
wafatnya.
 Seseorang bisa dirancang sebagai penyusup ke dalam 
da'wah, tapi bisa juga direkrut oleh 'orang lain' justru setelah ia 
bergabung dengan da'wah. Proses rekrutmen bisa berlangsung melalui suatu
 rekayasa intelijen, tapi bisa juga terjadi secara natural melalui 
pergaulan sehari-hari. Dalam kondisi terakhir ini, seorang aktivis 
da'wah biasanya mengalami penyimpangan perilaku atau akhlak, larut dalam
 pergaulan, dan kemudian secara tidak sadar membawa 'pesan' orang lain 
tanpa sadar ke dalam da'wah.
 Akhir kata, sistem proteksi gerakan 
da'wah harus dilakukan dengan dua cara: penguatan kesadaran manhajiah 
dan penguatan kesadaran intelijen. Kesadaran manhajiah akan memungkinkan
 kita mengontrol gagasan, sedangkan kesadaran intelijen memungkinkan 
kita mengontrol orang.
 

 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..